Jumat, 25 November 2011

Makna Kemampuan dalam Profesi Keguruan


Kemampuan dalam arti yang umum dapat dibatasi sebagai “Kemampuan adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan” (Danim, 1994 : 12). Sedangkan dalam konteks keguruan, kemampuan tersebut diterjemahkan sebagai “gambaran hakekat kualitatif dari perilaku guru yang nampak sangat berarti” (Wijaya, 1992 : 7). Dengan demikian, suatu kemampuan dalam suatu profesi yang berbeda menuntut kemampuan yang berbeda-beda pula. Sedangkan kemampuan dalam profesi keguruan akan dicerminkan pada kemampuan pengalaman dari kompetensi keguruan itu sendiri.
Apabila disimak makna yang tertuang dalam kaidah kemampuan tersebut, maka setiap profesi yang diemban seseorang harus disertai dengan kemampuan, dimana profesi itu sendiri dibatasi sebagai “Suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat” (Sardiman, 1986 : 131).
Dalam profesi keguruan, kriteria yang dipergunakan untuk menjembataninya sebagai sebuah profesi secara umum adalah sebagai berikut.
(a)    Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
(b)   Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
(c)    Jabatan yang memerlukan persiapan professional yang lama.
(d)   Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
(e)    Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanent.
(f)    Jabatan yang menentukan standarnya sendiri.
(g)   Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
(h)   Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat (Soetjipto, 1999 : 18).

Secara khusus, profesi keguruan bercirikan dengan hal-hal sebagai berikut.
1.      Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas, maksudnya :
(a)    Memiliki pengetahuan umum yang luas.
(b)   Memiliki keahlian khusus yang mendalam.
2.      Merupakan karier yang dibina secara organisatoris, maksudnya:
(a)    Adanya keterikatan dalam suatu organisasi professional.
(b)   Memiliki otonomi jabatan.
(c)    Memiliki kode etik jabatan.
(d)   Merupakan karya bakti seumur hidup.
3.      Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status professional, maksudnya :
(a)    Memperoleh dukungan masyarakat.
(b)   Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum.
(c)    Memiliki persyaratan kerja yang sehat.
(d)   Memiliki jaminan hidup yang layak (Sardiman, 1986 : 131 – 132).

Gambaran (citra) guru yang ideal mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dalam hal ini J. Sudarminta sebagai seorang filsuf dan pengamat pendidikan di Indonesia memberikan rambu-rambu tentang citra guru sebagai berikut :
1.      Guru yang sadar dan tanggap akan perubahan zaman, pola tindak keguruannya tidak rutin (tidak dibenarkan jika guru menerapkan pola kerja yang baku tanpa memperhatikan individualistis peserta didik), guru tersebut maju dalam penggunaan dasar keilmuan dan perangkat instrumentalnya (misalnya sistem berpikir, membaca keilmuan, kecakapan problem-solving, seminar dan sejenisnya) yang diperlukannya untuk belajar lebih lanjut (berkesinambungan).
2.      Guru yang berkualifikasi profesional, yaitu guru yang tahu secara mendalam tentang apa yang diajarkannya, cakap dalam mengajarkannya secara efektif serta efesien dan guru tersebut berkepribadian yang mantap.
3.      Guru hendaknya berwawasan dan berkemampuan menggalang partisipasi masyarakat di sekitarnya, tanpa menjadi otoriter dan dogmatik dalam pendekatan keguruannya.
4.      Guru hendaknya bermoral yang tinggi dan beriman yang mendalam, seluruh tingkah lakunya (baik yang berhubungan dengan tugas keguruannya maupun sosialitasnya sehari-hari) digerakkan oleh nilai-nilai luhur dan taqwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara nyata guru tersebut bertindak disiplin, jujur, adil, setia dan menghayati iman yang hidup (Samana, 1994 : 21).

Idealnya profesi keguruan bukan hanya sekedar untuk mengisi lowongan pekerjaan, tidak juga semata-mata untuk menentukan prestise, tetapi profesi keguruan harus dapat ditempatkan sebagai sebuah profesi kemanusiaan yang dilandasi oleh panggilan hati nurani dengan dasar-dasar kemampuan yang seharusnya dimiliki untuk melaksanakannya. Profesi keguruan merupakan sebuah profesi yang strategis untuk membawa angin kemajuan pada semua aspek nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, guru tidak hanya sekedar berfungsi menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi lebih-lebih ia adalah pendidik yang bertugas mentrasfer dan mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan, sehingga dengan demikian tugas-tugas  keguruan menuntut kemampuan yang majemuk dalam proses pendidikan, sehingga kemajuan ilmu pengetahuan, kecanggihan teknologi dan dinamika seni yang telah dicapai sekarang ini belum mampu menggantikan kehadiran seorang guru dalam proses belajar mengajar. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh (Sudjana, 1989 : 19), berikut ini.
Kehadiran guru dalam proses pembelajaran masih memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pembelajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder atau komputer yang paling modern  sekalipun. Masih terlalu banyak unsur manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain yang merupakan hasil dari proses pembelajaran tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut.

Mengingat peran pentingnya kehadiran seorang guru pada proses pendidikan itu, maka kemampuan-kemampuan yang seharusnya dimiliki sebagai pondasi profesinya adalah tonggak awal bagi keberhasilannya dalam menjalankan tugasnya.
Kemampuan mengajar guru, sebenarnya merupakan pencerminan penguasaan guru atas kompetensinya, sedangkan gugus kompetensi dasar keguruan itu adalah : ” 1. Kemampuan merencanakan pengajaran, 2. Kemampuan melaksanakan pengajaran, 3. Kemampuan mengevaluasi pengajaran” (Imron, 1995 : 168).
Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutelak dimiliki guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik. Kompetensi merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran di jalur sekolah. Kompetensi sebagai konsep dapat diartikan secara etimologis dan terminologis. Dalam pengertian etimologis kompetensi dapat dikemukakan bahwa  “Kompetensi tersebut berasal dari bahasa Inggris, yakni competency yang berarti kecakapan dan kemampuan. Oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu” (Djamarah, 1994 : 33). Sedangkan secara definitif, kompetensi dapat dijelaskan sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang ahli bahwa “Kompetensi adalah suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang” (Roestiyah, 1986 : 4). Apabila pengertian ini dihubungkan dengan proses pendidikan, maka guru sebagai pemegang jabatan pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, seorang guru perlu menguasai bahan pelajaran dan menguasai cara-cara mengajar serta memiliki kepribadian yang kokoh sebagai dasar kompetensi. Jika guru tidak memiliki kepribadian, tidak menguasai bahan pelajaran serta tidak pula mengetahui cara-cara mengajar, maka guru akan mengalami kegagalan dalam menunaikan tugasnya. Oleh karena itu, kompetensi mutelak dimiliki guru sebagai kemampuan, kecakapan atau keterampilan dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dengan demikian, kompetensi guru berarti pemilikan pengetahuan keguruan dan pemilikan keterampilan serta kemampuan sebagai guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.

DAFTAR BACAAN
Danim, Sudarwan, 1994, Tranformasi Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.
Djamarah, Syaiful Bahri, 1994, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya.

Imron, Ali, 1995, Pembinaan Guru di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta.
Roestiyah, NK, 1986, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Bina Aksara, Jakarta.
Samana, A. 1994. Profesionalisme Keguruan, Kanisius, Yogyakarta.
Sardiman, AM, 1986, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, CV. Rajawali, Jakarta.

Sudjana, Nana, 1989, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

Wijaya, H. ES dan Tabrani Rusyan, 1992, Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Nine Karya Jaya, Bandung.

Kemampuan dalam arti yang umum dapat dibatasi sebagai “Kemampuan adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan” (Danim, 1994 : 12). Sedangkan dalam konteks keguruan, kemampuan tersebut diterjemahkan sebagai “gambaran hakekat kualitatif dari perilaku guru yang nampak sangat berarti” (Wijaya, 1992 : 7). Dengan demikian, suatu kemampuan dalam suatu profesi yang berbeda menuntut kemampuan yang berbeda-beda pula. Sedangkan kemampuan dalam profesi keguruan akan dicerminkan pada kemampuan pengalaman dari kompetensi keguruan itu sendiri.
Apabila disimak makna yang tertuang dalam kaidah kemampuan tersebut, maka setiap profesi yang diemban seseorang harus disertai dengan kemampuan, dimana profesi itu sendiri dibatasi sebagai “Suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat” (Sardiman, 1986 : 131).
Dalam profesi keguruan, kriteria yang dipergunakan untuk menjembataninya sebagai sebuah profesi secara umum adalah sebagai berikut.
(a)    Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
(b)   Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
(c)    Jabatan yang memerlukan persiapan professional yang lama.
(d)   Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
(e)    Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanent.
(f)    Jabatan yang menentukan standarnya sendiri.
(g)   Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
(h)   Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat (Soetjipto, 1999 : 18).

Secara khusus, profesi keguruan bercirikan dengan hal-hal sebagai berikut.
1.      Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas, maksudnya :
(a)    Memiliki pengetahuan umum yang luas.
(b)   Memiliki keahlian khusus yang mendalam.
2.      Merupakan karier yang dibina secara organisatoris, maksudnya:
(a)    Adanya keterikatan dalam suatu organisasi professional.
(b)   Memiliki otonomi jabatan.
(c)    Memiliki kode etik jabatan.
(d)   Merupakan karya bakti seumur hidup.
3.      Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status professional, maksudnya :
(a)    Memperoleh dukungan masyarakat.
(b)   Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum.
(c)    Memiliki persyaratan kerja yang sehat.
(d)   Memiliki jaminan hidup yang layak (Sardiman, 1986 : 131 – 132).

Gambaran (citra) guru yang ideal mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dalam hal ini J. Sudarminta sebagai seorang filsuf dan pengamat pendidikan di Indonesia memberikan rambu-rambu tentang citra guru sebagai berikut :
1.      Guru yang sadar dan tanggap akan perubahan zaman, pola tindak keguruannya tidak rutin (tidak dibenarkan jika guru menerapkan pola kerja yang baku tanpa memperhatikan individualistis peserta didik), guru tersebut maju dalam penggunaan dasar keilmuan dan perangkat instrumentalnya (misalnya sistem berpikir, membaca keilmuan, kecakapan problem-solving, seminar dan sejenisnya) yang diperlukannya untuk belajar lebih lanjut (berkesinambungan).
2.      Guru yang berkualifikasi profesional, yaitu guru yang tahu secara mendalam tentang apa yang diajarkannya, cakap dalam mengajarkannya secara efektif serta efesien dan guru tersebut berkepribadian yang mantap.
3.      Guru hendaknya berwawasan dan berkemampuan menggalang partisipasi masyarakat di sekitarnya, tanpa menjadi otoriter dan dogmatik dalam pendekatan keguruannya.
4.      Guru hendaknya bermoral yang tinggi dan beriman yang mendalam, seluruh tingkah lakunya (baik yang berhubungan dengan tugas keguruannya maupun sosialitasnya sehari-hari) digerakkan oleh nilai-nilai luhur dan taqwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara nyata guru tersebut bertindak disiplin, jujur, adil, setia dan menghayati iman yang hidup (Samana, 1994 : 21).

Idealnya profesi keguruan bukan hanya sekedar untuk mengisi lowongan pekerjaan, tidak juga semata-mata untuk menentukan prestise, tetapi profesi keguruan harus dapat ditempatkan sebagai sebuah profesi kemanusiaan yang dilandasi oleh panggilan hati nurani dengan dasar-dasar kemampuan yang seharusnya dimiliki untuk melaksanakannya. Profesi keguruan merupakan sebuah profesi yang strategis untuk membawa angin kemajuan pada semua aspek nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, guru tidak hanya sekedar berfungsi menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi lebih-lebih ia adalah pendidik yang bertugas mentrasfer dan mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan, sehingga dengan demikian tugas-tugas  keguruan menuntut kemampuan yang majemuk dalam proses pendidikan, sehingga kemajuan ilmu pengetahuan, kecanggihan teknologi dan dinamika seni yang telah dicapai sekarang ini belum mampu menggantikan kehadiran seorang guru dalam proses belajar mengajar. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh (Sudjana, 1989 : 19), berikut ini.
Kehadiran guru dalam proses pembelajaran masih memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pembelajaran belum dapat digantikan oleh mesin, radio, tape recorder atau komputer yang paling modern  sekalipun. Masih terlalu banyak unsur manusiawi seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain yang merupakan hasil dari proses pembelajaran tidak dapat dicapai melalui alat-alat tersebut.

Mengingat peran pentingnya kehadiran seorang guru pada proses pendidikan itu, maka kemampuan-kemampuan yang seharusnya dimiliki sebagai pondasi profesinya adalah tonggak awal bagi keberhasilannya dalam menjalankan tugasnya.
Kemampuan mengajar guru, sebenarnya merupakan pencerminan penguasaan guru atas kompetensinya, sedangkan gugus kompetensi dasar keguruan itu adalah : ” 1. Kemampuan merencanakan pengajaran, 2. Kemampuan melaksanakan pengajaran, 3. Kemampuan mengevaluasi pengajaran” (Imron, 1995 : 168).
Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutelak dimiliki guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik. Kompetensi merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pembelajaran di jalur sekolah. Kompetensi sebagai konsep dapat diartikan secara etimologis dan terminologis. Dalam pengertian etimologis kompetensi dapat dikemukakan bahwa  “Kompetensi tersebut berasal dari bahasa Inggris, yakni competency yang berarti kecakapan dan kemampuan. Oleh karena itu dapat pula dikatakan bahwa kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu” (Djamarah, 1994 : 33). Sedangkan secara definitif, kompetensi dapat dijelaskan sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang ahli bahwa “Kompetensi adalah suatu tugas yang memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang” (Roestiyah, 1986 : 4). Apabila pengertian ini dihubungkan dengan proses pendidikan, maka guru sebagai pemegang jabatan pendidik dituntut untuk memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, seorang guru perlu menguasai bahan pelajaran dan menguasai cara-cara mengajar serta memiliki kepribadian yang kokoh sebagai dasar kompetensi. Jika guru tidak memiliki kepribadian, tidak menguasai bahan pelajaran serta tidak pula mengetahui cara-cara mengajar, maka guru akan mengalami kegagalan dalam menunaikan tugasnya. Oleh karena itu, kompetensi mutelak dimiliki guru sebagai kemampuan, kecakapan atau keterampilan dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dengan demikian, kompetensi guru berarti pemilikan pengetahuan keguruan dan pemilikan keterampilan serta kemampuan sebagai guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.

DAFTAR BACAAN
Danim, Sudarwan, 1994, Tranformasi Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.
Djamarah, Syaiful Bahri, 1994, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya.

Imron, Ali, 1995, Pembinaan Guru di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta.
Roestiyah, NK, 1986, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Bina Aksara, Jakarta.
Samana, A. 1994. Profesionalisme Keguruan, Kanisius, Yogyakarta.
Sardiman, AM, 1986, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, CV. Rajawali, Jakarta.

Sudjana, Nana, 1989, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

Wijaya, H. ES dan Tabrani Rusyan, 1992, Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Nine Karya Jaya, Bandung.

Pentingnya Kajian Sejarah Lokal tentang Peranan Tuan Guru dalam Gerakan Dakwah Islamiyah di Pulau Lombok dan Iimplikasinya bagi Pendidikan Sejarah

1.      Pendahuluan
Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau. Untuk mengetahui kejadian di masa lampau itu kita dapat  dipelajari dari bukti-bukti yang ditinggalkan, baik yang berupa bukti material (fisik) maupun non material (non fisik), ataupun melalui sumber tertulis maupun tak tertulis. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan manusia sebagai suatu sitem sosial di kelampuan dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan di tempat tertentu pula. Dengan demikian kejadian-kejadian di masa lampau itu menjadi sejarah suatu kisah dan selanjutnya menjadi sejarah sebagai tulisan ilmiah.
Kejadian-kejadian di masa lampau itu,  berhubungan erat dengan aktivitas manusia. Dalam kaitannya dengan itu Gazalba, mengatakan “sejarah adalah cerita tentang masa lalu. Inti cerita adalah nasib dari kesatuan sosial atau golongan manusia. Cerita mengisahkan laku perbuatan dari tokoh-tokohnya. Tiap desa mempunyai “sejarah” dari desanya, pahlawan-pahlawan, orang-orang besar atau dihormati oleh desa” (Untaka,1993 : 21).
Dengan demikian, tokoh dalam peristiwa sejarah di suatu tempat memiliki peranan yang penting dalam kehidupan kolektif masyarakatnya. Misalnya dapat kita ketahui dari tokoh-tokoh Tuan Guru yang ada di berbagai tempat (desa) di Pulau Lombok. Mereka menempati status sosial yang tinggi dan sekaligus merupakan elemen sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok.
Oleh karena itu, penting artinya untuk mengkaji peranan yang dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau dalam menyebar luaskan ajaran agama Islam di Pulau Lombok. Dengan begitu dapat memberikan makna dalam kehidupan kita. Arti penting itu, tercermin dari pendapat Widja (1993 : 1), sebagai berikut.
Dengan melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan sejarah nasional, tetapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada beberapa corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya.

Bukan itu saja tempat nilai lebih dari pengungkapan dan penulisan suatu peristiwa yang pernah terjadi di suatu daerah. Tetapi juga akan dapat memberi pengetahuan secara lebih mendetail kepada masyarakat yang ada di daerah tempat berlangsungnya peristiwa tersebut. Sehingga mereka dapat mengambil nilai-nilai positif dari peristiwa di kelampauan itu untuk kemudian diintegrasikan ke dalam kehidupannya yang sekarang, baik secara individu maupun kolektif. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh AB. Lapian, berikut ini.
Pengembangan penulisan sejarah yang bersifat nasional seperti sekarang ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang menyangkut tentang sejarah wilayahnya sendiri. Banyak bagian-bagian sejarah bangsa Indonesia, yang bukan saja tidak pernah dibayangkan, tetapi kurang dihayati karena kurangnya pengetahuan detail tentang latar belakang dari peristiwa-peristiwa yang hanya digambarkan dalam konteks yang sangat umum (Widja, 1993 : 1) .

Dengan demikian, melalui penulisan sejarah lokal akan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pewarisan nilai-nilai sosial budaya terhadap masyarakat, terutama generasi muda. Sehingga mereka menjadi arif dan bijaksana dalam menjalani hidup dan kehidupannya serta dapat menghadapi tantangan zaman dan pengaruh globalisasi yang semakin menggila.
Hasil penulisan sejarah lokal itu akan sangat efektif untuk diwariskan melalui jalur pendidikan. Di mana guru, terutama guru sejarah melalui proses pembelajaran dapat mentransformasikan nilai-nilai masa lalu tersebut kepada anak didiknya. Tentu saja hal ini akan menunjukkan hasil yang memuaskan bila mana disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan menarik perhatian peserta didik. Dengan demikian mereka tidak akan tercerabut dari akar budayanya sendiri.

2.      Peranan Tuan Guru
Di Indonesia ada beberapa istilah untuk menyebut tokoh agama, tergantung daerah masing-masing, misalnya Kiyai (Jawa), Tuan Guru (Lombok) dan lain-lain. Dalam pengertian yang lebih luas, dikenal ada istilah Ulama. “Antara Kiyai dan Ulama adalah dua spesialisasi keagamaan Islam yang memiliki perbedaan mendasar. Dalam hubungannya dengan pesantren, Kiyai biasanya dipakai untuk menunjukkan ulama dari kelompok tradisional” (Dhofier, 1994 : 55) dan memiliki sifat kharismatik dan kelebihan soal ijtihad. Sedangkan Ulama adalah “sekelompok sarjana hukum Islam yang lebih menekankan syariat Islam dan umumnya berkedudukan sebagai fungsionaris agama” (Dahlan, 2006 : 1-6). Istilah Kiyai identik atau sama dengan Tuan Guru. Pengertian inilah yang dipkai dalam tulisan ini.
Kiyai (Tuan Guru) memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Bahkan ”merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial” (Dhofier, 1994 : 56). Posisi strategis ini tidak serta merta begitu saja diperoleh oleh seseorang, melainkan terlebih dahulu melalui proses penilaian oleh masyarakat setempat. Indikator yang dipakai, antara lain seseorang harus memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang Islam, tingkat kealimannya, berkpribadian yang mantap, pengayomannya kepada masyarakat, dan kharisma dalam lingkungan masyarakat. Manakala hal ini terpenuhi, maka masyarakat setempat dengan sendirinya dan umumnya akan memberikan gelar tesebut, bahkan tanpa melihat garis keturunan tokoh yang bersangkutan. Artinya, masyarakat dalam memberikan gelar tersebut tidak mesti harus dari keturunan Tuan Guru (Kiyai) sebelumnya. Dengan demikian gelar tersebut bukan diperoleh melalui jalur pendidikan.
Walaupun gelar tersebut bukan hasil dari pendidikan, namun pendidikan merupakan aspek penting bagi Tuan Guru. Proses ini akan ikut memberikan adil besar bagi pembentukan karakter seorang Tuan Guru seprti di atas. Juga menjadi dasar untuk mengembangkan atau mengajarkan ilmu-imu agama kepada pengikutnya di kemudian hari. Sekaligus menjadi titik tekan para Tuan Guru kepada keluarga dan murid-muridnya untuk selalalu menuntut ilmu. Lebih-lebih bagi Tuan Guru yang memimpin suatu pesantren, akan memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya dalam masalah pendidikan sebagai generasi penerus dalam estapet kepemimpinannya pada pondok pesantren yang dipimpinnya atau dalam hal yang lainnya.
Pendidikan juga berhubungan erat dengan pengaruh seorang Tuan Guru. Pada umumnya seorang Tuan Guru yang telah selesai menempuh pendidikan, akan melakukan aktivitas dakwahnya dan mendirikan pondok pesantren (pendidikan). Pada saat itulah pengaruh dan pengikut dari tokoh tersebut akan dapat diketahui. Tokoh Tuan Guru yang ”memiliki pengikut yang banyak juga didukung oleh kharisma yang dimilikinya sebagai seorang pemimpin atau tokoh” (Lihat LAN RI, 1996 : 5). Namun demikian dalam kehidupan sebuah pesantren yang berpusat pada Kyai (Tuan Guru), ”tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor kehilangan santri ataupun mati sama sekali berhubung dengan meninggalnya Kiyai yang bersangkutan. Hal ini terutama terjadi bila pengganti Kiyai itu tidak sama keahlian dan kepopulerannya dengan Kiyai yang ia gantikan” (Noer, 1980 : 18). Untuk itu perlu dipersiapkan generasi penerus yang handal, terutama melalui pendidikan.
Pada umumnya, anak-anak dari keluarga Tuan Guru menerima  pendidikan Islam tingkat dasar diawali dari lingkungan keluarganya dalam hal mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik. Kemudian dilanjutkan ke pondok pesantren yang sudah termashur atau kepada Tuan Guru (Kiyai) yang memiliki tingkat pengetahuan Islam yang lebih tinggi. Tidak sedikit pula yang memutusakan atau dikirim untuk melanjutkan studinya di Mekkah. Mereka diasuh oleh ulama-ulama terkemuka dari Indonesia yang bermukim di sana. Mekkah pada masa lampau merupakan pusat pendidikan Islam. Belajar di Mekkah, sambil beribadah haji merupakan tradisi dan idola kaum muslimin kala itu. Setelah kembali ke Indonesia, mereka kemudian membuka pengajian, yang diawali dengan sistem khalaqoh (sorongan/badongan) dan majelis taklim. Materi yang diajarkan berasal dari kitab-kitab klasik (kitab kuning). Setelah itu dilanjutkan dengan berdakwah ke tempat-tempat lain yang jangkauan geografisnya lebih luas.
Dalam proses Islamisasi, para Tuan Guru di masa lampau menggunakan strategi dan metode yang tepat dan sesuai dengan keadaan setempat dan selera orang yang diislaminya. Dengan kata lain, pata Tuan Guru dalam menyebarkan agama Islam, sebagaimana para Kiyai (Wali) di Jawa, tidak serta merta menghilangkan kebiasaan atau budaya lama dari masyarakat setempat, tetapi secara bertahap dan disesuaikan dengan ajaran Islam (akulturasi). Proses akulturasi inilah yang memberi andil besar dalam mempercepat tersebarnya Islam di Pulau Lombok.
Ada kalanya juga untuk mempercepat atau mempermudah penerimaan masyarakat terhadap Islam, para juru dakwah dengan beberapa pertimbangan cenderung melakukan sinkritisme dengan kebiasaan penduduk pribumi. Adakalanya juga terjadi sebaliknya, tokoh-tokoh agama dan budaya Hindu dan Budha melakukan proses integrasi terhadap penduduk yang sudah memeluk agama Islam untuk menjalin keharmonisan (toleransi) antar pemeluk agama. Proses integrasi ini telah melahirkan kebudayaan Islam yang baru dengan mengadopsi unsur-unsur budaya Hindu Budha. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparman (2004 : 132), berikut ini.
Sejak agama dan kebudayaan Islam memasuki Indonesia, terjadilah proses Islamisasi terhadap masyarakatnya. Bersamaan dengan proses Islamisasi, mulai terjadi prubahan sosial budaya ke arah pembetukan budaya baru yang bernafaskan Islam. Sebelum kedatangan agama dan kebudayan Islam, kebudayaan Indonesia bercorak Hindu dan Budha. Dengan masuknya budaya Islam ke Indonesia terjadilah proses integrasi kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Islam. Dalam proses intergrasi tidak terjadi ketegangan di antara ketiga unsur agama dan kebudayaan tersebut. Hal itu disebabkan tokoh-tokoh Islam pada masa itu tidak bersikap memusuhi agama Hindu dan Budha, bahkan menggunakan unsur-unsur tersebut untuk mempermudah dakwah Islam.

Di Pulau Lombok, sebelum Islam masuk juga merupakan daerah yang mendapat pengaruh Hindu Budha, terutama dari daerah Jawa dan Bali. Telah terjadi pula sinkritisme timbal balik. Hal ini terbukti dengan lahirnya komunitas atau kelompok penganut Wetu Telu. “Wetu Telu merupakan sebuah sistem agama yang mendasarkan diri pada tiga pokok konsepsi ajaran” (Dahlan, 2006 : 68). Para penganut Wetu Telu mengkalim diri sebagai pemeluk Islam, tetapi pada dasarnya praktik ajaran yang dilaksanakan dalam ritual atau kesehariannya belum sempurna sebagaimana tuntutan ajaran Islam itu sendiri, justru masih dominan terlihat unsur-unsur Hindu dan animisme. Para penganut Wetu Telu inilah yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran dakwah para Tuan Guru di Pulau Lombok untuk mengislamisasi mereka atau memberikan pencerahan tentang ajaran Islam sebenarnya.
Jejak-jejak dakwah yang pernah dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau, dapat pula dilihat secara lebih luas dan mendalam dari  aspek-aspek dahwah yang pernah dikembangkannya. Misalnya pendirian dan perkembangan lembaga pendidikan formal, usahanya dalam memberdayakan sosial kemasyarakatan melalui pengadaan dan pengembangan sarana sosial secara gotong royong dan swadaya murni masyarakat, langkah-langkah yang pernah ditempuh dalam rangka membangun perekonomian masyarakat atau meningkatkan sumber pendapatan masyarakat, pandangan dan keterlibatannya dalam politik praktis, serta keperduliannya terhadap seni budaya masyarakat dalam rangka dakwah.
Pengkajian terhadap aspek-aspek dakwah di atas, akan mengantarkan kita pada kesadaran bahwa di masa lampau para Tuan Guru sangat mengedepankan dakwah dengan tindakan (Lisan al-Hal) melalui pemberian contoh dan tauladan kepada masyarakat, tanpa mengabaikan dakwah secara lisan. Aspek-aspek yang ditonjolkan itu, bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar dari masyarakat pada masa itu dan dapat dirasakan langsung manfaat atau hasilnya dalam kehidupan ummat. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau aktifitas dakwahnya cepat tersebar dan memiliki pengikut yang besar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan dakwah para tokoh Tuan Guru di masa lampau, tidak terlepas dari kharisma dan karakter kepribadiannya, tingkat keilmuan yang dimiliki, kemampuan dan kejeliannya dalam melihat latar belakang masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya, serta dalam berdakwah tidak terbatas hanya sekedar retorika atau menyampaikan doktrin keagamaan secara teoritis, tetapi diikuti oleh aplikasinya dalam masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk kesalehan sosial di samping kesalehan pribadinya.

3.      Implikasinya Bagi Pendidikan Sejarah
Penelitian ataupun penulisan sejarah tidaklah semata-mata untuk memenuhi hasrat ingin tahu manusia terhadap peristiwa-peristiwa di kelampauan, melainkan dilandasi pula oleh nilai guna, yakni kemanfaatan yang diperoleh dari sejarah. Dalam hubungan inilah sejarah merupakan salah satu mata ajar pada sekolah-sekolah, yakni “bernaung dalam satu rumpun mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial” (Atmadja, 1992 : 16).
Pendidikan yang berlangsung di sekolah adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan, yaitu untuk pemanusian manusia muda. Dalam kaitannya dengan inilah pendidikan sejarah memiliki peran, di antaranya untuk menanamkam nilai-nilai kelampauan kepada peserta didik untuk dijadikan bekal dalam menghadapi dan menatap masa depannya
Dalam rangka pewarisan nilai-nilai itu, tidaklah cukup hanya bermodal dari hasil studi sejarah secara nasonal yang dijabarkan dalam bentuk bahan ajar atau litelatur-litelatur sejarah nasional yang macam-macam jenisnya, tetapi lebih dari itu kita harus dapat mengetahui dan memahami hasil-hasil studi sejarah lokal atau menghasilkan penelitian (penulisan) tentang sejarah lokal sutau daerah dalam rangka pengajaran sejarah nasional. Dengan demikian, pendidikan sejarah di sekolah-sekolah akan menjadi bermakna atau bernilai bagi peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartodirdjo (1982 : 35), berikut ini.
Sering kali peristiwa-peristiwa yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan aik, apa bila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal. Peristiwa-peristiwa di tingkat yang lebih luas itu biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasinya yang lebih kongrit dan mendetail baru bisa diketahui melalui gambaran sejarah lokal.

Singkatnya tanpa memperhatikan implikasi dari perkembangan studi sejarah lokal itu, akan kehilangan peranannya dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang ada di suatu daerah yang memiliki sangkut paut dengan materi yang dibahas dengan bahan ajar sejarah nasional. Apabila pelajaran sekolah dianggap tidak fungsional dalam kehidupan masyarakat, maka tidak mengherankan kalau pengajaran sejarah dianggap membosankan atau menjenuhkan bagi peserta didik.
Oleh karena itu, topik dan materi bahasan dalam tulisan ini sangat relevan untuk dijadikan acuan atau materi pendamping pada saat kita membelajarkan tentang perkembangan Islam di Indonesia, termasuk peranan para ulama dalam proses perkembangan Islam, terutama di tingkat pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Dengan menyelipkan atau memasukkan materi tentang peranan para Tuan Guru dalam gerakan dakwah Islamiyah di Pulau Lombok pada pokok bahasan (SK/KD) tersebut, maka peserta didik terutama yang bersekolah di tempat-tempat para tokoh tersebut pernah berdakwah, tidak akan terasing dengan masa lalu masyarakatnya. Karena mereka akan lebih mengetahui dan menghayati dengan baik perkembangan masyarakatnya dari masa lampau sampai kini yang terjadi di lingkungannya sendiri.
Kajian nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam suatu peristiwa sejarah, termasuk yang pernah terjadi di suatu daerah, tentu tidaklah mengabaikan aspek kondisi yang telah menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Sebab menurut Sartono Kartodirdjo, sebagai berikut :
Nilai-nilai atau faktor kultural hanya merupakan salah satu sisi yang menimbulkan peristiwa sejarah. Kemudian yang tidak kalah penting, aspek proses dinamis dari suatu peristiwa, tentu tidak pula diabaikan, baik yang menyangkut waktu, ruang maupun nuasanya yang terdiri dari keberhasilan dan kegagalan, kesenangan dan kebahagiaan, atau kebaikan dan keburukan. Hal ini penting karena dengan demikian makna yang kongkrit dan sebenarnya dari suatu peristiwa tampak bagi masyarakat (Atmadja,1992 : 19) .

Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek pembentukan karakter, kemampuan memimpin dan mengelola lembaga, pengaruh yang dimilki, latar belakang masyarakat yang dihadapi dalam berdakwah, aspek-aspek dakwah yang dikembangkan, metode dan pendekatan dakwah yang dipakai, faktor-faktor keberhasilan, dan lain-lainnya, merupakan sisi yang perlu dikaji dari ketokohan para Tuan Guru di masa lampau untuk kemudian ditransformasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kepada para peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan di bawah ini.
Kajian kritis, aktif dan kreatif akan nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam sejarah, mengakibatkan peserta didik bisa berperan sebagai penemu nilai dan sekaligus menempatkannya pada kesadaran pribadinya. Nilai-nilai itulah kemudian akan berperan sebagai mekanisme kontrol atau sebagai resep, pedoman, petunjuk atau asas moralitas bagi kekuatan mereka dalam lingkungan sosial dan lingkungan hidupnya di mana mereka berada” (Atmadja, 1992 : 20).

Keseluruhan uraian di atas mengisyaratkan, “tidak saja adanya perubahan kurikulum pendidikan sejarah, lebih dari itu ialah mengubah paradigma pengajaran sejarah konvensional ke paradigma baru yang menekankan sejarah kritis dan komprehensif dan melibatkan pada proses sosio-historis. Dari sinilah sekiranya penyeimbangan ruang kelokalan akan terkondisikan” (Wijanarko, 2001 : 38). Dengan begitu peserta didik tidak mengalami keteraliansian dengan sejarah masyarakat mereka. Berangkat dari pengenalan sejarah lokal diharapkan mereka mencintai sejarah sebagai kajian pelajaran yang tidak cuma menghafal tahun-tahun dan nama-nama belaka.
Pengenalan terhadap sejarah perjuangan dan pergerakan dakwah Islamiyah para Tuan Guru di Pulau Lombok, juga bisa dijadikan refrensi bagi para peserta didik untuk mengambil nilai-nilai moral di dalamnya untuk dijadikan bekal dalam menghadapi tantangan nasa depan yang semakin bertumpu pada Iptek, kekuatan ekonomi, individualisme dan materialisme. Misalnya nilai kegotongroyongan dan keperdulian sosial, serta ajaran tasawuf (tarekat) yang apa bila dikerjakan secara benar dapat menjadi penyejuk hati dan penerang jiwa serta pengobar semangat beribadah atau sebagai mana diungkapkan oleh Umari (1993 : 11) berikut ini.
Tasawuf ada kalanya menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang putus asa menghadapi hidup serta pesimis memandang hari depan, tetapi ada kalanya pula menjadi dasar pengokoh kebathinan, pembersih jiwa serta pemupuk iman dan penyubur amal sholeh semata-mata mencari keredhaan Allah SWT, dimana yang terakhir ini hasilnya tasawuf memperkuat daya juang serta memperoleh kebahagian rasa.

Di samping itu, pesan-pesan moral dari gerakan dakwah seperti di atas dan yang lainnya, dapat dijadikan pedoman dan materi rujukan untuk mengatasi kemerosotan moral bangsa Indonesia dewsa ini, khususnya masyarakat Sasak. Banyak pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya, tinggal kemauan kita untuk mengkaji dan melaksnakannya secara benar. Dalam hubungannya dengan pendidikan, nilai-nilai atau pesan-pesan moral tersebut sangatlah cocok untuk ditransformasikan kepada peserta didik, terutama melalui pengajaran sejarah, sehingga mereka memiliki moral yang baik.

4.      Perana Guru Sejarah
Dalam pendidikan sejarah peran guru sangatlah penting untuk menciptakan suasana belajar yng tidak membosankan bagi peserta didik dan melaluli proses pembelajaran yang dilaksanakan siswa dapat mengambil makna dari materi yang diberikan. Sejalan dengan ini, Nengah Bawa Atmadja (1992 : 20) mengatakan sebagai berikut.
Guru sejarah sudah selayaknya tidak semata-mata membebani peserta didiknya dengan keharusan menghafalkan fakta-fakta, tetapi yang lebih penting adalah mampu mengembangkan iklim belajar mengajar yang bersifat kritis, aktif dan kreatif serta mampu membimbing peserta didik untuk berpikir interdisipliner dalam menelaah kekompleskan  ataupun kemultikausalitasan suatu peristiwa sejarah, dan sekaligus berhasil pula membedah dan mengintergrasikan nilai-nilai yang tersembunyi di balik suatu peristiwa sejarah.

Dalam rangka pencapaian tujuan ini, maka guru sejarah dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang bidang studi yang diajarkannya, serta mampu menggunakan konsep dan teori-teori ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mendukung wawasan bidang studinya. Dalam kaitannya dengan keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, “guru sejarah dituntut untuk menguasai 10 (sepuluh) kompetensi guru sebagaimana guru-guru secara umum” (Sendratari, 1992 : 67). Atau secara khusus, guru sejarah dituntut untuk mampu menerapkan strategi dan metode pengajaran yang memberi kemungkinan pengemabngan kemampuan murid untuk berpikir aktif kreatif. Untuk itu perlu dikembangkan suasana belajar yang ditandai oleh prinsip-prinsip seperti  “prinsip motivasi, keterarahan  pada fokus tertentu, hubungan sosial, learning by doing, memperhatikan perbedaan perseorangan, menentukan, dan prinsip pemecahan masalah” (Semiawan, dkk, 1998 : 10).
Untuk menuju ke arah itu, maka guru sejarah harus mampu memposisikan peserta didik untuk dapat berkenalan langsung dengan sejarah masyarakatnya sendiri, dengan cara mereka perlu dilibatkan dalam riset bersama-sama dengan guru sejarah untuk mengkaji dan mendalami suatu materi yang akan diajarkan atau dibahas. Dengan metode seperti ini akan menantang intelektualitas siswa. Sehingga dengan begitu, peserta didik tidak tercerabut dan terasing begitu saja dari sejarah dan budayanya sendiri. Singkatnya, guru sejarah dituntut untuk mampu memasukkan materi-materi atau hasil studi tentang sejarah lokal dimana mereka bertugas. Untuk bisa seperti itu, “maka solusianya adalah guru sejarah mesti memupuk kesenangan membaca, melihat dan menulis (meneliti) peristiwa-peristiwa sejarah lokal dimana peserta didik berada” (Sendratari, 1992 : 67). Misalnya, guru sejarah bisa memasukkan materi ke dalam bahan ajar, mengkaji, melakukan riset dan menulis tentang gerakan dakwah Islamiyah yang telah dilakukan para tokoh Tuan Guru di Pulau Lombok.
Namun apabila tidak ada semangat dan kemauan, maka diperkenalkan dengan perubahan yang bagaimana pun guru tetap tidak akan berubah. Perubahan baru akan terjadi bermula dari diri sendiri (guru). Semoga ada perubahan yang signifikan dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan.

5.      Simpulan
Tokoh Tuan Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam masyarakat. Kedudukan dan gelar tersebut sangat ditentukan juga oleh pembentukan karakter kepribadian, terutama melalui pendidikan. Sehingga dengan kemampuan pribadi dan kharisma yang dimiliki oleh seorang Tuan Guru merupakan elemen yang esensial dalam kehidupan kolektif masyarakatnya dan memberikan kontribusi (peran) yang penting bagi kehidupan bangsa dan negara dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Untuk mengetahui peranan para Tuan Guru di masa lampau secara lebih mendalam dan detail, penting artinya untuk dilakukan pengkajian. Sehingga kita dapat mengetahui secara jelas dan jernih tentang sosok/ketokohonnya,  yang tidak saja saleh secara pribadi tetapi juga saleh secara sosial. Bahkan peranan yang dimunculkan dan hasilnya, bisa jadi sangat luas yaitu mencakup aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat yang diayominya.
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa gerakan dakwah para Tuan Guru di kelampauan, mengandung banyak nilai yang dapat diwariskan kepada generasi muda, khususnya peserta didik di sekolah, terutama masyarakat Sasak tempat beliau pernah berdakwah. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dapat ditransformasikan melalui pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang cocok dengan topik pembahasan. Dengan begitu, maka peserta didik dapat memahami sejarahnya sendiri yang berhubungan erat dengan peristiwa sejarah secara nasional, karena mereka dapat secara langsung ikut mengkaji sejarah masyarakat dan lingkungannya.
Keberhasilan dalam proses penanaman (transformasi) nilai-nilai masa lalu itu, sangat tergantung dari peran guru sejarah dalam mengelola pembelajaran. Guru dituntut untuk memahami dan melaksankan kompetensi keguruannya dengan baik dan konsisten. Secara lebih khusus guru sejarah dituntut untuk mampu memilih strategi dan metode pembelajaran yang cocok dengan topik yang dibahas.



DAFTAR PUSTAKA


Atmadja, Nengah Bawa, 1992 “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.

Dahlan, Fahrurrozi, 2006, Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Dakwah Islamiyah Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli di Pulau Lombok (Pendekatan Kultural dan Sifistik dalam Mengislamisasi Masyaraat Wetu Telu. Jakarta : Sentra Media.
                                                                                                              
Dhofier, Zamakhsyari, 1994,  Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta : LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono, 1982, Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta : PT. Gramedia.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia, 1996, Bahan Materi Pelatihan dan Prajabatan Pegawai Negeri Sipil Golongan III : Kepemimpinan. Jakarta : LAN RI.

Noer, Deiar, 1994, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES.

Semiawan, Cony, dkk, 1988, Pendekatan Keterampilan Proses : Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta : PT. Gramedia.

Sendratari, Luh Putu, 1992, “Wanita dalam Dimensi Sejarah Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.

Suparman, Drs, dkk, 2004, Pengetahuan Sosial Sejarah untuk Kelas I SMP dan MTs. Solo : Tiga Serangkai.

Umari, Barmai,1993, Sistimatika Tasawuf. Solo : Penerbit Ramdhani.

Untaka, I Gst. Ngr. Bagus, 1993 ”Hubungan Patih Ularan dan Desa Ularan”, artikel dalam Media Komunikasi Pencinta Sejarah Lokal Candra Sengkala. Singajara : Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP Negeri Singaraja.

Widja, I Gde,1991, “Pendidikan Sejarah, Identitas Nasional dan Tantangan Masa Depan”, Orasi Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD Singaraja : FKIP UNUD.

          ,1991,“Pendidikan Sejarah dan Tantangan Masa Abad XXI”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.


                      ,1991,“Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia Suatu Dimensi Baru”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.
                      ,1993, “Pendidikan Sejarah Nasional dalam Pembangunan Bangsa”, Makalah dalam Seminar Peranan Ilmu Sejarah dalam Menyongsong Era Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Denpasar : Fakultas Sastra UNUD.

Wijanarko, 2001,“Persefektif Sejarah Lokal terhadap Sejarah Nasional : Tinjauan atas Kurikulum Pengajaran IPS Sejarah”, artikel dalam Bultin Pelangi Pendidikan Volume 4 No. 1. Jakarta : Depdiknas.
1.      Pendahuluan
Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau. Untuk mengetahui kejadian di masa lampau itu kita dapat  dipelajari dari bukti-bukti yang ditinggalkan, baik yang berupa bukti material (fisik) maupun non material (non fisik), ataupun melalui sumber tertulis maupun tak tertulis. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan manusia sebagai suatu sitem sosial di kelampuan dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan di tempat tertentu pula. Dengan demikian kejadian-kejadian di masa lampau itu menjadi sejarah suatu kisah dan selanjutnya menjadi sejarah sebagai tulisan ilmiah.
Kejadian-kejadian di masa lampau itu,  berhubungan erat dengan aktivitas manusia. Dalam kaitannya dengan itu Gazalba, mengatakan “sejarah adalah cerita tentang masa lalu. Inti cerita adalah nasib dari kesatuan sosial atau golongan manusia. Cerita mengisahkan laku perbuatan dari tokoh-tokohnya. Tiap desa mempunyai “sejarah” dari desanya, pahlawan-pahlawan, orang-orang besar atau dihormati oleh desa” (Untaka,1993 : 21).
Dengan demikian, tokoh dalam peristiwa sejarah di suatu tempat memiliki peranan yang penting dalam kehidupan kolektif masyarakatnya. Misalnya dapat kita ketahui dari tokoh-tokoh Tuan Guru yang ada di berbagai tempat (desa) di Pulau Lombok. Mereka menempati status sosial yang tinggi dan sekaligus merupakan elemen sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok.
Oleh karena itu, penting artinya untuk mengkaji peranan yang dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau dalam menyebar luaskan ajaran agama Islam di Pulau Lombok. Dengan begitu dapat memberikan makna dalam kehidupan kita. Arti penting itu, tercermin dari pendapat Widja (1993 : 1), sebagai berikut.
Dengan melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan sejarah nasional, tetapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada beberapa corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya.

Bukan itu saja tempat nilai lebih dari pengungkapan dan penulisan suatu peristiwa yang pernah terjadi di suatu daerah. Tetapi juga akan dapat memberi pengetahuan secara lebih mendetail kepada masyarakat yang ada di daerah tempat berlangsungnya peristiwa tersebut. Sehingga mereka dapat mengambil nilai-nilai positif dari peristiwa di kelampauan itu untuk kemudian diintegrasikan ke dalam kehidupannya yang sekarang, baik secara individu maupun kolektif. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh AB. Lapian, berikut ini.
Pengembangan penulisan sejarah yang bersifat nasional seperti sekarang ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang menyangkut tentang sejarah wilayahnya sendiri. Banyak bagian-bagian sejarah bangsa Indonesia, yang bukan saja tidak pernah dibayangkan, tetapi kurang dihayati karena kurangnya pengetahuan detail tentang latar belakang dari peristiwa-peristiwa yang hanya digambarkan dalam konteks yang sangat umum (Widja, 1993 : 1) .

Dengan demikian, melalui penulisan sejarah lokal akan dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pewarisan nilai-nilai sosial budaya terhadap masyarakat, terutama generasi muda. Sehingga mereka menjadi arif dan bijaksana dalam menjalani hidup dan kehidupannya serta dapat menghadapi tantangan zaman dan pengaruh globalisasi yang semakin menggila.
Hasil penulisan sejarah lokal itu akan sangat efektif untuk diwariskan melalui jalur pendidikan. Di mana guru, terutama guru sejarah melalui proses pembelajaran dapat mentransformasikan nilai-nilai masa lalu tersebut kepada anak didiknya. Tentu saja hal ini akan menunjukkan hasil yang memuaskan bila mana disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan menarik perhatian peserta didik. Dengan demikian mereka tidak akan tercerabut dari akar budayanya sendiri.

2.      Peranan Tuan Guru
Di Indonesia ada beberapa istilah untuk menyebut tokoh agama, tergantung daerah masing-masing, misalnya Kiyai (Jawa), Tuan Guru (Lombok) dan lain-lain. Dalam pengertian yang lebih luas, dikenal ada istilah Ulama. “Antara Kiyai dan Ulama adalah dua spesialisasi keagamaan Islam yang memiliki perbedaan mendasar. Dalam hubungannya dengan pesantren, Kiyai biasanya dipakai untuk menunjukkan ulama dari kelompok tradisional” (Dhofier, 1994 : 55) dan memiliki sifat kharismatik dan kelebihan soal ijtihad. Sedangkan Ulama adalah “sekelompok sarjana hukum Islam yang lebih menekankan syariat Islam dan umumnya berkedudukan sebagai fungsionaris agama” (Dahlan, 2006 : 1-6). Istilah Kiyai identik atau sama dengan Tuan Guru. Pengertian inilah yang dipkai dalam tulisan ini.
Kiyai (Tuan Guru) memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Bahkan ”merupakan bagian dari kelompok elite dalam struktur sosial” (Dhofier, 1994 : 56). Posisi strategis ini tidak serta merta begitu saja diperoleh oleh seseorang, melainkan terlebih dahulu melalui proses penilaian oleh masyarakat setempat. Indikator yang dipakai, antara lain seseorang harus memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang Islam, tingkat kealimannya, berkpribadian yang mantap, pengayomannya kepada masyarakat, dan kharisma dalam lingkungan masyarakat. Manakala hal ini terpenuhi, maka masyarakat setempat dengan sendirinya dan umumnya akan memberikan gelar tesebut, bahkan tanpa melihat garis keturunan tokoh yang bersangkutan. Artinya, masyarakat dalam memberikan gelar tersebut tidak mesti harus dari keturunan Tuan Guru (Kiyai) sebelumnya. Dengan demikian gelar tersebut bukan diperoleh melalui jalur pendidikan.
Walaupun gelar tersebut bukan hasil dari pendidikan, namun pendidikan merupakan aspek penting bagi Tuan Guru. Proses ini akan ikut memberikan adil besar bagi pembentukan karakter seorang Tuan Guru seprti di atas. Juga menjadi dasar untuk mengembangkan atau mengajarkan ilmu-imu agama kepada pengikutnya di kemudian hari. Sekaligus menjadi titik tekan para Tuan Guru kepada keluarga dan murid-muridnya untuk selalalu menuntut ilmu. Lebih-lebih bagi Tuan Guru yang memimpin suatu pesantren, akan memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya dalam masalah pendidikan sebagai generasi penerus dalam estapet kepemimpinannya pada pondok pesantren yang dipimpinnya atau dalam hal yang lainnya.
Pendidikan juga berhubungan erat dengan pengaruh seorang Tuan Guru. Pada umumnya seorang Tuan Guru yang telah selesai menempuh pendidikan, akan melakukan aktivitas dakwahnya dan mendirikan pondok pesantren (pendidikan). Pada saat itulah pengaruh dan pengikut dari tokoh tersebut akan dapat diketahui. Tokoh Tuan Guru yang ”memiliki pengikut yang banyak juga didukung oleh kharisma yang dimilikinya sebagai seorang pemimpin atau tokoh” (Lihat LAN RI, 1996 : 5). Namun demikian dalam kehidupan sebuah pesantren yang berpusat pada Kyai (Tuan Guru), ”tidak jarang terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor kehilangan santri ataupun mati sama sekali berhubung dengan meninggalnya Kiyai yang bersangkutan. Hal ini terutama terjadi bila pengganti Kiyai itu tidak sama keahlian dan kepopulerannya dengan Kiyai yang ia gantikan” (Noer, 1980 : 18). Untuk itu perlu dipersiapkan generasi penerus yang handal, terutama melalui pendidikan.
Pada umumnya, anak-anak dari keluarga Tuan Guru menerima  pendidikan Islam tingkat dasar diawali dari lingkungan keluarganya dalam hal mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik. Kemudian dilanjutkan ke pondok pesantren yang sudah termashur atau kepada Tuan Guru (Kiyai) yang memiliki tingkat pengetahuan Islam yang lebih tinggi. Tidak sedikit pula yang memutusakan atau dikirim untuk melanjutkan studinya di Mekkah. Mereka diasuh oleh ulama-ulama terkemuka dari Indonesia yang bermukim di sana. Mekkah pada masa lampau merupakan pusat pendidikan Islam. Belajar di Mekkah, sambil beribadah haji merupakan tradisi dan idola kaum muslimin kala itu. Setelah kembali ke Indonesia, mereka kemudian membuka pengajian, yang diawali dengan sistem khalaqoh (sorongan/badongan) dan majelis taklim. Materi yang diajarkan berasal dari kitab-kitab klasik (kitab kuning). Setelah itu dilanjutkan dengan berdakwah ke tempat-tempat lain yang jangkauan geografisnya lebih luas.
Dalam proses Islamisasi, para Tuan Guru di masa lampau menggunakan strategi dan metode yang tepat dan sesuai dengan keadaan setempat dan selera orang yang diislaminya. Dengan kata lain, pata Tuan Guru dalam menyebarkan agama Islam, sebagaimana para Kiyai (Wali) di Jawa, tidak serta merta menghilangkan kebiasaan atau budaya lama dari masyarakat setempat, tetapi secara bertahap dan disesuaikan dengan ajaran Islam (akulturasi). Proses akulturasi inilah yang memberi andil besar dalam mempercepat tersebarnya Islam di Pulau Lombok.
Ada kalanya juga untuk mempercepat atau mempermudah penerimaan masyarakat terhadap Islam, para juru dakwah dengan beberapa pertimbangan cenderung melakukan sinkritisme dengan kebiasaan penduduk pribumi. Adakalanya juga terjadi sebaliknya, tokoh-tokoh agama dan budaya Hindu dan Budha melakukan proses integrasi terhadap penduduk yang sudah memeluk agama Islam untuk menjalin keharmonisan (toleransi) antar pemeluk agama. Proses integrasi ini telah melahirkan kebudayaan Islam yang baru dengan mengadopsi unsur-unsur budaya Hindu Budha. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparman (2004 : 132), berikut ini.
Sejak agama dan kebudayaan Islam memasuki Indonesia, terjadilah proses Islamisasi terhadap masyarakatnya. Bersamaan dengan proses Islamisasi, mulai terjadi prubahan sosial budaya ke arah pembetukan budaya baru yang bernafaskan Islam. Sebelum kedatangan agama dan kebudayan Islam, kebudayaan Indonesia bercorak Hindu dan Budha. Dengan masuknya budaya Islam ke Indonesia terjadilah proses integrasi kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Islam. Dalam proses intergrasi tidak terjadi ketegangan di antara ketiga unsur agama dan kebudayaan tersebut. Hal itu disebabkan tokoh-tokoh Islam pada masa itu tidak bersikap memusuhi agama Hindu dan Budha, bahkan menggunakan unsur-unsur tersebut untuk mempermudah dakwah Islam.

Di Pulau Lombok, sebelum Islam masuk juga merupakan daerah yang mendapat pengaruh Hindu Budha, terutama dari daerah Jawa dan Bali. Telah terjadi pula sinkritisme timbal balik. Hal ini terbukti dengan lahirnya komunitas atau kelompok penganut Wetu Telu. “Wetu Telu merupakan sebuah sistem agama yang mendasarkan diri pada tiga pokok konsepsi ajaran” (Dahlan, 2006 : 68). Para penganut Wetu Telu mengkalim diri sebagai pemeluk Islam, tetapi pada dasarnya praktik ajaran yang dilaksanakan dalam ritual atau kesehariannya belum sempurna sebagaimana tuntutan ajaran Islam itu sendiri, justru masih dominan terlihat unsur-unsur Hindu dan animisme. Para penganut Wetu Telu inilah yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran dakwah para Tuan Guru di Pulau Lombok untuk mengislamisasi mereka atau memberikan pencerahan tentang ajaran Islam sebenarnya.
Jejak-jejak dakwah yang pernah dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau, dapat pula dilihat secara lebih luas dan mendalam dari  aspek-aspek dahwah yang pernah dikembangkannya. Misalnya pendirian dan perkembangan lembaga pendidikan formal, usahanya dalam memberdayakan sosial kemasyarakatan melalui pengadaan dan pengembangan sarana sosial secara gotong royong dan swadaya murni masyarakat, langkah-langkah yang pernah ditempuh dalam rangka membangun perekonomian masyarakat atau meningkatkan sumber pendapatan masyarakat, pandangan dan keterlibatannya dalam politik praktis, serta keperduliannya terhadap seni budaya masyarakat dalam rangka dakwah.
Pengkajian terhadap aspek-aspek dakwah di atas, akan mengantarkan kita pada kesadaran bahwa di masa lampau para Tuan Guru sangat mengedepankan dakwah dengan tindakan (Lisan al-Hal) melalui pemberian contoh dan tauladan kepada masyarakat, tanpa mengabaikan dakwah secara lisan. Aspek-aspek yang ditonjolkan itu, bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar dari masyarakat pada masa itu dan dapat dirasakan langsung manfaat atau hasilnya dalam kehidupan ummat. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau aktifitas dakwahnya cepat tersebar dan memiliki pengikut yang besar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan dakwah para tokoh Tuan Guru di masa lampau, tidak terlepas dari kharisma dan karakter kepribadiannya, tingkat keilmuan yang dimiliki, kemampuan dan kejeliannya dalam melihat latar belakang masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya, serta dalam berdakwah tidak terbatas hanya sekedar retorika atau menyampaikan doktrin keagamaan secara teoritis, tetapi diikuti oleh aplikasinya dalam masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk kesalehan sosial di samping kesalehan pribadinya.

3.      Implikasinya Bagi Pendidikan Sejarah
Penelitian ataupun penulisan sejarah tidaklah semata-mata untuk memenuhi hasrat ingin tahu manusia terhadap peristiwa-peristiwa di kelampauan, melainkan dilandasi pula oleh nilai guna, yakni kemanfaatan yang diperoleh dari sejarah. Dalam hubungan inilah sejarah merupakan salah satu mata ajar pada sekolah-sekolah, yakni “bernaung dalam satu rumpun mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial” (Atmadja, 1992 : 16).
Pendidikan yang berlangsung di sekolah adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan, yaitu untuk pemanusian manusia muda. Dalam kaitannya dengan inilah pendidikan sejarah memiliki peran, di antaranya untuk menanamkam nilai-nilai kelampauan kepada peserta didik untuk dijadikan bekal dalam menghadapi dan menatap masa depannya
Dalam rangka pewarisan nilai-nilai itu, tidaklah cukup hanya bermodal dari hasil studi sejarah secara nasonal yang dijabarkan dalam bentuk bahan ajar atau litelatur-litelatur sejarah nasional yang macam-macam jenisnya, tetapi lebih dari itu kita harus dapat mengetahui dan memahami hasil-hasil studi sejarah lokal atau menghasilkan penelitian (penulisan) tentang sejarah lokal sutau daerah dalam rangka pengajaran sejarah nasional. Dengan demikian, pendidikan sejarah di sekolah-sekolah akan menjadi bermakna atau bernilai bagi peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartodirdjo (1982 : 35), berikut ini.
Sering kali peristiwa-peristiwa yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan aik, apa bila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal. Peristiwa-peristiwa di tingkat yang lebih luas itu biasanya hanya memberikan gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasinya yang lebih kongrit dan mendetail baru bisa diketahui melalui gambaran sejarah lokal.

Singkatnya tanpa memperhatikan implikasi dari perkembangan studi sejarah lokal itu, akan kehilangan peranannya dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang ada di suatu daerah yang memiliki sangkut paut dengan materi yang dibahas dengan bahan ajar sejarah nasional. Apabila pelajaran sekolah dianggap tidak fungsional dalam kehidupan masyarakat, maka tidak mengherankan kalau pengajaran sejarah dianggap membosankan atau menjenuhkan bagi peserta didik.
Oleh karena itu, topik dan materi bahasan dalam tulisan ini sangat relevan untuk dijadikan acuan atau materi pendamping pada saat kita membelajarkan tentang perkembangan Islam di Indonesia, termasuk peranan para ulama dalam proses perkembangan Islam, terutama di tingkat pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Dengan menyelipkan atau memasukkan materi tentang peranan para Tuan Guru dalam gerakan dakwah Islamiyah di Pulau Lombok pada pokok bahasan (SK/KD) tersebut, maka peserta didik terutama yang bersekolah di tempat-tempat para tokoh tersebut pernah berdakwah, tidak akan terasing dengan masa lalu masyarakatnya. Karena mereka akan lebih mengetahui dan menghayati dengan baik perkembangan masyarakatnya dari masa lampau sampai kini yang terjadi di lingkungannya sendiri.
Kajian nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam suatu peristiwa sejarah, termasuk yang pernah terjadi di suatu daerah, tentu tidaklah mengabaikan aspek kondisi yang telah menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Sebab menurut Sartono Kartodirdjo, sebagai berikut :
Nilai-nilai atau faktor kultural hanya merupakan salah satu sisi yang menimbulkan peristiwa sejarah. Kemudian yang tidak kalah penting, aspek proses dinamis dari suatu peristiwa, tentu tidak pula diabaikan, baik yang menyangkut waktu, ruang maupun nuasanya yang terdiri dari keberhasilan dan kegagalan, kesenangan dan kebahagiaan, atau kebaikan dan keburukan. Hal ini penting karena dengan demikian makna yang kongkrit dan sebenarnya dari suatu peristiwa tampak bagi masyarakat (Atmadja,1992 : 19) .

Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek pembentukan karakter, kemampuan memimpin dan mengelola lembaga, pengaruh yang dimilki, latar belakang masyarakat yang dihadapi dalam berdakwah, aspek-aspek dakwah yang dikembangkan, metode dan pendekatan dakwah yang dipakai, faktor-faktor keberhasilan, dan lain-lainnya, merupakan sisi yang perlu dikaji dari ketokohan para Tuan Guru di masa lampau untuk kemudian ditransformasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kepada para peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan di bawah ini.
Kajian kritis, aktif dan kreatif akan nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam sejarah, mengakibatkan peserta didik bisa berperan sebagai penemu nilai dan sekaligus menempatkannya pada kesadaran pribadinya. Nilai-nilai itulah kemudian akan berperan sebagai mekanisme kontrol atau sebagai resep, pedoman, petunjuk atau asas moralitas bagi kekuatan mereka dalam lingkungan sosial dan lingkungan hidupnya di mana mereka berada” (Atmadja, 1992 : 20).

Keseluruhan uraian di atas mengisyaratkan, “tidak saja adanya perubahan kurikulum pendidikan sejarah, lebih dari itu ialah mengubah paradigma pengajaran sejarah konvensional ke paradigma baru yang menekankan sejarah kritis dan komprehensif dan melibatkan pada proses sosio-historis. Dari sinilah sekiranya penyeimbangan ruang kelokalan akan terkondisikan” (Wijanarko, 2001 : 38). Dengan begitu peserta didik tidak mengalami keteraliansian dengan sejarah masyarakat mereka. Berangkat dari pengenalan sejarah lokal diharapkan mereka mencintai sejarah sebagai kajian pelajaran yang tidak cuma menghafal tahun-tahun dan nama-nama belaka.
Pengenalan terhadap sejarah perjuangan dan pergerakan dakwah Islamiyah para Tuan Guru di Pulau Lombok, juga bisa dijadikan refrensi bagi para peserta didik untuk mengambil nilai-nilai moral di dalamnya untuk dijadikan bekal dalam menghadapi tantangan nasa depan yang semakin bertumpu pada Iptek, kekuatan ekonomi, individualisme dan materialisme. Misalnya nilai kegotongroyongan dan keperdulian sosial, serta ajaran tasawuf (tarekat) yang apa bila dikerjakan secara benar dapat menjadi penyejuk hati dan penerang jiwa serta pengobar semangat beribadah atau sebagai mana diungkapkan oleh Umari (1993 : 11) berikut ini.
Tasawuf ada kalanya menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang putus asa menghadapi hidup serta pesimis memandang hari depan, tetapi ada kalanya pula menjadi dasar pengokoh kebathinan, pembersih jiwa serta pemupuk iman dan penyubur amal sholeh semata-mata mencari keredhaan Allah SWT, dimana yang terakhir ini hasilnya tasawuf memperkuat daya juang serta memperoleh kebahagian rasa.

Di samping itu, pesan-pesan moral dari gerakan dakwah seperti di atas dan yang lainnya, dapat dijadikan pedoman dan materi rujukan untuk mengatasi kemerosotan moral bangsa Indonesia dewsa ini, khususnya masyarakat Sasak. Banyak pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya, tinggal kemauan kita untuk mengkaji dan melaksnakannya secara benar. Dalam hubungannya dengan pendidikan, nilai-nilai atau pesan-pesan moral tersebut sangatlah cocok untuk ditransformasikan kepada peserta didik, terutama melalui pengajaran sejarah, sehingga mereka memiliki moral yang baik.

4.      Perana Guru Sejarah
Dalam pendidikan sejarah peran guru sangatlah penting untuk menciptakan suasana belajar yng tidak membosankan bagi peserta didik dan melaluli proses pembelajaran yang dilaksanakan siswa dapat mengambil makna dari materi yang diberikan. Sejalan dengan ini, Nengah Bawa Atmadja (1992 : 20) mengatakan sebagai berikut.
Guru sejarah sudah selayaknya tidak semata-mata membebani peserta didiknya dengan keharusan menghafalkan fakta-fakta, tetapi yang lebih penting adalah mampu mengembangkan iklim belajar mengajar yang bersifat kritis, aktif dan kreatif serta mampu membimbing peserta didik untuk berpikir interdisipliner dalam menelaah kekompleskan  ataupun kemultikausalitasan suatu peristiwa sejarah, dan sekaligus berhasil pula membedah dan mengintergrasikan nilai-nilai yang tersembunyi di balik suatu peristiwa sejarah.

Dalam rangka pencapaian tujuan ini, maka guru sejarah dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang bidang studi yang diajarkannya, serta mampu menggunakan konsep dan teori-teori ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mendukung wawasan bidang studinya. Dalam kaitannya dengan keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, “guru sejarah dituntut untuk menguasai 10 (sepuluh) kompetensi guru sebagaimana guru-guru secara umum” (Sendratari, 1992 : 67). Atau secara khusus, guru sejarah dituntut untuk mampu menerapkan strategi dan metode pengajaran yang memberi kemungkinan pengemabngan kemampuan murid untuk berpikir aktif kreatif. Untuk itu perlu dikembangkan suasana belajar yang ditandai oleh prinsip-prinsip seperti  “prinsip motivasi, keterarahan  pada fokus tertentu, hubungan sosial, learning by doing, memperhatikan perbedaan perseorangan, menentukan, dan prinsip pemecahan masalah” (Semiawan, dkk, 1998 : 10).
Untuk menuju ke arah itu, maka guru sejarah harus mampu memposisikan peserta didik untuk dapat berkenalan langsung dengan sejarah masyarakatnya sendiri, dengan cara mereka perlu dilibatkan dalam riset bersama-sama dengan guru sejarah untuk mengkaji dan mendalami suatu materi yang akan diajarkan atau dibahas. Dengan metode seperti ini akan menantang intelektualitas siswa. Sehingga dengan begitu, peserta didik tidak tercerabut dan terasing begitu saja dari sejarah dan budayanya sendiri. Singkatnya, guru sejarah dituntut untuk mampu memasukkan materi-materi atau hasil studi tentang sejarah lokal dimana mereka bertugas. Untuk bisa seperti itu, “maka solusianya adalah guru sejarah mesti memupuk kesenangan membaca, melihat dan menulis (meneliti) peristiwa-peristiwa sejarah lokal dimana peserta didik berada” (Sendratari, 1992 : 67). Misalnya, guru sejarah bisa memasukkan materi ke dalam bahan ajar, mengkaji, melakukan riset dan menulis tentang gerakan dakwah Islamiyah yang telah dilakukan para tokoh Tuan Guru di Pulau Lombok.
Namun apabila tidak ada semangat dan kemauan, maka diperkenalkan dengan perubahan yang bagaimana pun guru tetap tidak akan berubah. Perubahan baru akan terjadi bermula dari diri sendiri (guru). Semoga ada perubahan yang signifikan dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan.

5.      Simpulan
Tokoh Tuan Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi dalam struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam masyarakat. Kedudukan dan gelar tersebut sangat ditentukan juga oleh pembentukan karakter kepribadian, terutama melalui pendidikan. Sehingga dengan kemampuan pribadi dan kharisma yang dimiliki oleh seorang Tuan Guru merupakan elemen yang esensial dalam kehidupan kolektif masyarakatnya dan memberikan kontribusi (peran) yang penting bagi kehidupan bangsa dan negara dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Untuk mengetahui peranan para Tuan Guru di masa lampau secara lebih mendalam dan detail, penting artinya untuk dilakukan pengkajian. Sehingga kita dapat mengetahui secara jelas dan jernih tentang sosok/ketokohonnya,  yang tidak saja saleh secara pribadi tetapi juga saleh secara sosial. Bahkan peranan yang dimunculkan dan hasilnya, bisa jadi sangat luas yaitu mencakup aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat yang diayominya.
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa gerakan dakwah para Tuan Guru di kelampauan, mengandung banyak nilai yang dapat diwariskan kepada generasi muda, khususnya peserta didik di sekolah, terutama masyarakat Sasak tempat beliau pernah berdakwah. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dapat ditransformasikan melalui pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang cocok dengan topik pembahasan. Dengan begitu, maka peserta didik dapat memahami sejarahnya sendiri yang berhubungan erat dengan peristiwa sejarah secara nasional, karena mereka dapat secara langsung ikut mengkaji sejarah masyarakat dan lingkungannya.
Keberhasilan dalam proses penanaman (transformasi) nilai-nilai masa lalu itu, sangat tergantung dari peran guru sejarah dalam mengelola pembelajaran. Guru dituntut untuk memahami dan melaksankan kompetensi keguruannya dengan baik dan konsisten. Secara lebih khusus guru sejarah dituntut untuk mampu memilih strategi dan metode pembelajaran yang cocok dengan topik yang dibahas.



DAFTAR PUSTAKA


Atmadja, Nengah Bawa, 1992 “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.

Dahlan, Fahrurrozi, 2006, Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Dakwah Islamiyah Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli di Pulau Lombok (Pendekatan Kultural dan Sifistik dalam Mengislamisasi Masyaraat Wetu Telu. Jakarta : Sentra Media.
                                                                                                              
Dhofier, Zamakhsyari, 1994,  Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta : LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono, 1982, Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta : PT. Gramedia.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) Republik Indonesia, 1996, Bahan Materi Pelatihan dan Prajabatan Pegawai Negeri Sipil Golongan III : Kepemimpinan. Jakarta : LAN RI.

Noer, Deiar, 1994, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES.

Semiawan, Cony, dkk, 1988, Pendekatan Keterampilan Proses : Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta : PT. Gramedia.

Sendratari, Luh Putu, 1992, “Wanita dalam Dimensi Sejarah Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.

Suparman, Drs, dkk, 2004, Pengetahuan Sosial Sejarah untuk Kelas I SMP dan MTs. Solo : Tiga Serangkai.

Umari, Barmai,1993, Sistimatika Tasawuf. Solo : Penerbit Ramdhani.

Untaka, I Gst. Ngr. Bagus, 1993 ”Hubungan Patih Ularan dan Desa Ularan”, artikel dalam Media Komunikasi Pencinta Sejarah Lokal Candra Sengkala. Singajara : Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP Negeri Singaraja.

Widja, I Gde,1991, “Pendidikan Sejarah, Identitas Nasional dan Tantangan Masa Depan”, Orasi Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD Singaraja : FKIP UNUD.

          ,1991,“Pendidikan Sejarah dan Tantangan Masa Abad XXI”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.


                      ,1991,“Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia Suatu Dimensi Baru”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.
                      ,1993, “Pendidikan Sejarah Nasional dalam Pembangunan Bangsa”, Makalah dalam Seminar Peranan Ilmu Sejarah dalam Menyongsong Era Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Denpasar : Fakultas Sastra UNUD.

Wijanarko, 2001,“Persefektif Sejarah Lokal terhadap Sejarah Nasional : Tinjauan atas Kurikulum Pengajaran IPS Sejarah”, artikel dalam Bultin Pelangi Pendidikan Volume 4 No. 1. Jakarta : Depdiknas.

Masih Perlukah Sistem Ujian Nasional Dipertahankan ?


Pemerintah telah mentapkan untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) bagi satuan pendidikan dasar dan menengah pada tahun pelajaran 2011/2012 ini. Bahkan Kemetrian Nasional dan Badan telah menetapkan sistem penyelenggaraan UN sama dengan tahun lalu, termasuk pembobotan nilai kelulusannya. Perubahan akan dilakukan hanya pada upaya untuk meniadakan atau meminimalisir kecunrangan dalam manajemen penyelenggarannya, seperti yang terjadi pada pada penyelanggaraan UN tahun pelajaran 2010/2011.
Kebijakan pemerintah ini, sebagai mana tahun-tahun sebelumnya, telah melahirkan pro kontra dengan berbagai sudut pandang. Pihak yang pro, pada dasarnya memandang UN sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sementara yang kontra, pada intinya menganggap UN merupakan kebijakan yang kredibilitasnya masih diragukan dan mempersoalkan fungsinya sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik.
Ketidaksamaan pandangan dalam melihat penyelenggaraan UN sebagai alat ukur (penilaian) pendidikan tersebut, menyebabkan kita terlibat terus untuk mempersoalkan dan mengkajinya lebih jauh dan mendalam lagi. Kajian tersebut akan akan menjawab permasalahan masih pentingkah sistem penyelenggaraan UN dipertahankan ?
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur tentang evaluasi untuk peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian tersebut kemudian diperjelan lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam PP dan Permendiknas itu, ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah. UN merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. Bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggarannya dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Penyelenggaraan UN dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan UN yang selalu menjadi fokus pembicaraan yang melahirkan pro kontra adalah terletak pada penyelenggaraannya yang belum sesuai dengan apa yang diamatkan oleh peraturan tertulis tersebut, yang harus diselenggarakan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Selain itu, isi PP dan Permendiknas yang selalu mendapat sorotan tajam dari masyarakat adalah adanya ketentuan yang mengatur bahwa hasil UN merupakan penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
Obyektifitas penyelenggaraan UN diragukan mengingat masih terjadinya kasus kebocoran dokumen soal UN. Menjelang pelaksanaan UN, banyak bertiup isu bahwa ada soal UN yang telah beredar. Kunci jawaban juga banyak beredar melalui pesan singkat (SMS). Bahkan tragisnya lagi, ada kasus pemberian kunci jawaban kepada peserta didik atas inisiatif guru atau sekolahnya. Di beberapa daerah kasus semacam itu telah terbukti secara hukum.   Sedangkan yang tidak terungkap, disadari atau tidak, masih lebih banyak lagi. Mengingat akan hal itu, maka hasil UN tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan sebagai hasil petbuatan yang jujur. Ketidakjujuran tersebut timbul dari adanya rasa takun dan tekanan. Pengelola sekolah dan guru, takut kepada masyarakat kalau banyak siswa yang tidak lulus, serta takut akibat yang akan diterima dari pemerintah daerah kalau hasil UN jelek dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah daerah secara langsung, maupun tidak langsung telah memberikan tekanan agar penyelenggaraan UN sesuai dengan garis kebijakannya. Tekanan (intervensi) politis ini menyebabkan pelaksanaan UN di satuan pendidikan tidak sesuai dengan rambu-rambu (pedoman) yang telah ditetapkan. Mencari keselamatan diri dan kelompok menjadi pilihan, dengan cara yang tidak sesuai aturan baku.
Kenyataan seperti diatas menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN belum mencerminkan prinsip keadilan. Ketidakadilan tersebut juga terlihat dari adanya persamaan soal UN untuk semua sekolah. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat satuan-satuan pendidikan di setiap wailayah, kota sampai desa tidak memiliki sarana fisik yang sama, dan kualitas tenaga pendidikan yang berbeda. Di kota-kota pada umumnya satuan pendidikan memiliki fasilitas pendukung yang lengkap dan tenaga guru dengan kualitas yang baik melimpah. Sementara satuan pendidikan di pelosok-pelosok kondisi fasilitas dan tenaga pendidiknya kekurangan. Bahkan ada sekolah yang kondisinya teramat parah dan memperihatinkan, sehingga mati enggan hidup pun tak mau. Fakta ini apabila disamakan dalam pelaksanaan UN, maka keadilan itu tidak pernah ada.
Dengan munculnya kasus-kasus kebocoran dokumen UN, serta tidak meratanya falisitas dan tenaga pendidik untuk semua satuan pendidikan, maka akuntabelitas penyelenggaraan UN patut dipertanyakan. Alangkah tidak ironisnya nilai UN peserta didik yang ada di kota lebih rendah dengan yang ada di pelosok pedesaan. Alangkah lucunya satuan pendidikan yang proses pembelajarannya Senin Kamis (tidak efektif) mendapatkan peringkat sepuluh besar hasil UN, dari pada sekolah yang proses pembelajarannya tidak diragukan. Hasil UN menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, apabila kita melihat kenyataan bahwa lulusan dari satuan pendidikan yang memperoleh nilai UN rata-rata tinggi dan mampu meluluskan 100 % tidak bisa diterima di sekolah-sekolah favorit atau tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi. Keraguan ini bisa juga timbul dari cara pembobotan  nilai kelulusan peserta didik, yang ditetapkan dengan rasio 60 % UN dan 40 % Ujian Sekolah (US). Ini akan mendorong terjadinya manipulasi nilai peserta didik, sehingga yang bodoh pun bisa lulus. Dengan cara ini, satuan pendidikan bisa jadi akan menaikkan kreteria ketuntasan minimal (KKM) secara serampangan, tanpa didasarkan pada kenyataan yang ada di satuan pendidikan.
Kredibilitas penyelenggaraan UN menjadi diragukan, bisa dikaji lagi dari kebijakan  yang   memposisikan hasil UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Ini menjadi momok yang menakutkan bagi peserta didik, sekolah dan pemerintah daerah. Kehawatiran untuk tidak lulus, mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku. Seharusnya hasil UN tidak ikut menentukan kelulusan peserta didik, tetapi dijadikan sebagai alat untuk melihat, memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Mengingat pula bahwa yang paling mengetahui keadaan siswa, baik prestasi maupun kepribadiannya adalah guru-guru yang ada di setiap satuan pendidikan. Seharusnya guru dan satuan pendidikan diberikan hak penuh untuk menentukan kelulusan sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sistem penyelenggaraan UN yang sekarang perlu dievaluasi secara menyeluruh, dan bila perlu diganti dengan sistem yang lain, misalnya kembali menggunakan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) di era tahun 1980-an dan 1990-an. Pada saat pemberlakuan sistem ini, tidak pernah seheboh seperti sistem penyelenggaraan UN dewasa ini. Sistem lama ini tidak mengebiri hak-hak guru dan sekolah, mereka diberikan hak  yang besar untuk menyelenggarakannya, hak penuh dalam mengoreksi hasilnya, dan memiliki hak penuh pula dalam menentukan kelulusan peserta didik, berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. Sedangkan hasil EBTANAS yang murni tidak dijadikan penentu kelulusan, tetapi dijadikan sebagai syarat untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional  (UAN) menjadi lebih obyektif, berkeadilaan dan akuntabel.

Jerowaru Lombok Timur, 27 September 2011

Pemerintah telah mentapkan untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) bagi satuan pendidikan dasar dan menengah pada tahun pelajaran 2011/2012 ini. Bahkan Kemetrian Nasional dan Badan telah menetapkan sistem penyelenggaraan UN sama dengan tahun lalu, termasuk pembobotan nilai kelulusannya. Perubahan akan dilakukan hanya pada upaya untuk meniadakan atau meminimalisir kecunrangan dalam manajemen penyelenggarannya, seperti yang terjadi pada pada penyelanggaraan UN tahun pelajaran 2010/2011.
Kebijakan pemerintah ini, sebagai mana tahun-tahun sebelumnya, telah melahirkan pro kontra dengan berbagai sudut pandang. Pihak yang pro, pada dasarnya memandang UN sebagai alat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sementara yang kontra, pada intinya menganggap UN merupakan kebijakan yang kredibilitasnya masih diragukan dan mempersoalkan fungsinya sebagai penentu kelulusan bagi peserta didik.
Ketidaksamaan pandangan dalam melihat penyelenggaraan UN sebagai alat ukur (penilaian) pendidikan tersebut, menyebabkan kita terlibat terus untuk mempersoalkan dan mengkajinya lebih jauh dan mendalam lagi. Kajian tersebut akan akan menjawab permasalahan masih pentingkah sistem penyelenggaraan UN dipertahankan ?
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, termasuk mengatur tentang evaluasi untuk peningkatan mutu pendidikan. Evaluasi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab X tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar penilaian tersebut kemudian diperjelan lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam PP dan Permendiknas itu, ditegaskan bahwa penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah. UN merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh pemerintah. Bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggarannya dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Penyelenggaraan UN dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk melakukan pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan UN yang selalu menjadi fokus pembicaraan yang melahirkan pro kontra adalah terletak pada penyelenggaraannya yang belum sesuai dengan apa yang diamatkan oleh peraturan tertulis tersebut, yang harus diselenggarakan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Selain itu, isi PP dan Permendiknas yang selalu mendapat sorotan tajam dari masyarakat adalah adanya ketentuan yang mengatur bahwa hasil UN merupakan penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan.
Obyektifitas penyelenggaraan UN diragukan mengingat masih terjadinya kasus kebocoran dokumen soal UN. Menjelang pelaksanaan UN, banyak bertiup isu bahwa ada soal UN yang telah beredar. Kunci jawaban juga banyak beredar melalui pesan singkat (SMS). Bahkan tragisnya lagi, ada kasus pemberian kunci jawaban kepada peserta didik atas inisiatif guru atau sekolahnya. Di beberapa daerah kasus semacam itu telah terbukti secara hukum.   Sedangkan yang tidak terungkap, disadari atau tidak, masih lebih banyak lagi. Mengingat akan hal itu, maka hasil UN tidak dapat sepenuhnya dapat dikatakan sebagai hasil petbuatan yang jujur. Ketidakjujuran tersebut timbul dari adanya rasa takun dan tekanan. Pengelola sekolah dan guru, takut kepada masyarakat kalau banyak siswa yang tidak lulus, serta takut akibat yang akan diterima dari pemerintah daerah kalau hasil UN jelek dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah daerah secara langsung, maupun tidak langsung telah memberikan tekanan agar penyelenggaraan UN sesuai dengan garis kebijakannya. Tekanan (intervensi) politis ini menyebabkan pelaksanaan UN di satuan pendidikan tidak sesuai dengan rambu-rambu (pedoman) yang telah ditetapkan. Mencari keselamatan diri dan kelompok menjadi pilihan, dengan cara yang tidak sesuai aturan baku.
Kenyataan seperti diatas menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN belum mencerminkan prinsip keadilan. Ketidakadilan tersebut juga terlihat dari adanya persamaan soal UN untuk semua sekolah. Hal ini menjadi sebuah ironi, mengingat satuan-satuan pendidikan di setiap wailayah, kota sampai desa tidak memiliki sarana fisik yang sama, dan kualitas tenaga pendidikan yang berbeda. Di kota-kota pada umumnya satuan pendidikan memiliki fasilitas pendukung yang lengkap dan tenaga guru dengan kualitas yang baik melimpah. Sementara satuan pendidikan di pelosok-pelosok kondisi fasilitas dan tenaga pendidiknya kekurangan. Bahkan ada sekolah yang kondisinya teramat parah dan memperihatinkan, sehingga mati enggan hidup pun tak mau. Fakta ini apabila disamakan dalam pelaksanaan UN, maka keadilan itu tidak pernah ada.
Dengan munculnya kasus-kasus kebocoran dokumen UN, serta tidak meratanya falisitas dan tenaga pendidik untuk semua satuan pendidikan, maka akuntabelitas penyelenggaraan UN patut dipertanyakan. Alangkah tidak ironisnya nilai UN peserta didik yang ada di kota lebih rendah dengan yang ada di pelosok pedesaan. Alangkah lucunya satuan pendidikan yang proses pembelajarannya Senin Kamis (tidak efektif) mendapatkan peringkat sepuluh besar hasil UN, dari pada sekolah yang proses pembelajarannya tidak diragukan. Hasil UN menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, apabila kita melihat kenyataan bahwa lulusan dari satuan pendidikan yang memperoleh nilai UN rata-rata tinggi dan mampu meluluskan 100 % tidak bisa diterima di sekolah-sekolah favorit atau tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi. Keraguan ini bisa juga timbul dari cara pembobotan  nilai kelulusan peserta didik, yang ditetapkan dengan rasio 60 % UN dan 40 % Ujian Sekolah (US). Ini akan mendorong terjadinya manipulasi nilai peserta didik, sehingga yang bodoh pun bisa lulus. Dengan cara ini, satuan pendidikan bisa jadi akan menaikkan kreteria ketuntasan minimal (KKM) secara serampangan, tanpa didasarkan pada kenyataan yang ada di satuan pendidikan.
Kredibilitas penyelenggaraan UN menjadi diragukan, bisa dikaji lagi dari kebijakan  yang   memposisikan hasil UN sebagai salah satu penentu kelulusan. Ini menjadi momok yang menakutkan bagi peserta didik, sekolah dan pemerintah daerah. Kehawatiran untuk tidak lulus, mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku. Seharusnya hasil UN tidak ikut menentukan kelulusan peserta didik, tetapi dijadikan sebagai alat untuk melihat, memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan. Mengingat pula bahwa yang paling mengetahui keadaan siswa, baik prestasi maupun kepribadiannya adalah guru-guru yang ada di setiap satuan pendidikan. Seharusnya guru dan satuan pendidikan diberikan hak penuh untuk menentukan kelulusan sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Berangkat dari kenyataan di atas, maka sistem penyelenggaraan UN yang sekarang perlu dievaluasi secara menyeluruh, dan bila perlu diganti dengan sistem yang lain, misalnya kembali menggunakan sistem Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) di era tahun 1980-an dan 1990-an. Pada saat pemberlakuan sistem ini, tidak pernah seheboh seperti sistem penyelenggaraan UN dewasa ini. Sistem lama ini tidak mengebiri hak-hak guru dan sekolah, mereka diberikan hak  yang besar untuk menyelenggarakannya, hak penuh dalam mengoreksi hasilnya, dan memiliki hak penuh pula dalam menentukan kelulusan peserta didik, berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. Sedangkan hasil EBTANAS yang murni tidak dijadikan penentu kelulusan, tetapi dijadikan sebagai syarat untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan begitu penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional  (UAN) menjadi lebih obyektif, berkeadilaan dan akuntabel.

Jerowaru Lombok Timur, 27 September 2011