Kamis, 31 Januari 2013

Mengapa Kita tidak Belajar dari Sejarah ? : Tinjauan Atas Konflik Sosial di Nusa Tenggara Barat (NTB)

Klik Untuk melihat
Provinsi NTB, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralisme), sampai saat ini belum bisa terbebas dari konflik sosial (kerusuhan dan kekerasan). Daerah ini sarat dengan gejolak sosial. Provinsi yang merupakan wilayah dengan konflik yang cukup tinggi dan sangat variatif. Maraknya konflik yang terjadi merupakan hal yang ironis dan paradoks jika melihat identitas NTB sebagai daerah seribu masjid. Tempat ibadah yang menjadi simbol keramahan dan kedamaian masyarakat tidak mampu meredam perkelahian dan konflik yang berujung pada kekerasan. Masyarakat begitu cepat (mudah) terprofokasi, sehingga memicu terjadinya konflik komunal. Masih segar dalam ingatan kita tentang berbagai bentuk konflik (gejolak) sosial yang pernah terjadi di beberapa tempat di wilayah provinsi ini. Mulai dari kerusuhan antar kampung (desa), bentrok antara aparat dan masyarakat, konflik agraria, sampai dengan konflik yang berbau sara. Berbagai bentuk konflik sosial tersebut terkadang atau bahkan terulang kembali, baik di tempat yang sama maupun di wilayah (kampung, desa) yang lainnya dengan modus yang sama walaupun pelakunya berbeda. Terjadinya konflik-konflik sosial di daerah ini sempat menjadi headline berbagai media, baik bersekala lokal maupun nasional. Sehingga gemanya meluas, bahkan kerusuhan berbau sara tersebar ke hampir seluruh pelosok negeri. Bila kita cermati dan urai kembali, konflik komunal yang terjadi di daerah ini, dapat kita ketahui beberapa faktor penyebab yang menjadi pemicunya, antara lain : 1. Masalah personal yang melibatkan keluarga dan masyarakat setempat. Misalnya permusushan antar pemuda kampung atau desa, seperti tercermin dalam kasus-kasus kerusuhan yang pernah terjadi antar desa di Bima, Lombok Timur dan Lombok Tengah. 2. Masalah perbedaan faham (idiologi) keagamaan. Misalnya, yang banyak menjadi sorotan di tingkat lokal maupun nasional, adalah kasus Ahmadiyah di Gerung Lombok Barat. 3. Masalah penyebaran isu yang tidak sesuai dengan fakta atau belum terbukti kebenarannya. Misalnya merebaknya isu penculikan anak beberapa waktu yang lalu. Contoh lainnya, seperti kasus bentrok antara desa Godo dan Samili di Bima, yang berawal dari tersebarnya isu kematian seorang warga Godo karena di sihir oleh salah seorang warga Samili. Penyebaran isu sebagai faktor penyebab munculnya konflik sosial juga bisa kita peroleh dalam kerusuhan berbau sara yang baru-baru terjadi di Sumbawa (Selasa, 22 Januari 2013), yang bermula dari tersebarnya isu kekerasan melalui sms dan dari mulut ke mulut, yaitu isu tentang pemerkosaan dan kematian seorang mahasiswi yang dibunuh oleh pacarnya sendiri yang berbeda suku dan agama. 4. Masalah kebijakan pemerintah daerah yang tidak didukung oleh masyarakat setempat. Sehingga memicu terjadinya bentrok antara aparat dan warga masyarakat. Misalnya dalam kasus tragedi Treng Wilis di Lombok Timur. 5. Masalah agraria. Masalah ini hampir terjadi di seluruh wilayah NTB, yang juga memancing terjadinya bentrok antara warga masyarakat dan aparat. Contoh dalam masalah ini, yang banyak menyita perhatian berbagai pihak adalah kasus yang terjadi di Sekotong Lombok Barat, di Gili Terawangan Kabupaten Lombok Utara, dan kasus (kerusuhan) Sape (Lambu) di Bima. Dengan demikian konflik komunal di NTB sanga variatif dan sangat potensial terjadi, mulai dari persoalan personal, agama, etnis, suku, adat budaya, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi dan politik. Sehingga, faktor penyebab terjadinya konflik komunal secara garis besar dapat dirumuskan sebagai akibat dari rendahnya pengetahuan agama masyarakat, lemahnya mental masyarakat, sifat dan sikap curiga (iri) dari satu kelompok atau suku (etnis) terhadap kelompok atau suku (etnis) yang lainnya (dekradasi sikap saling menghargai), faktor ekonomi dan politik serta lingkungan. Apabila tidak dapat diselesaikan dengan baik dan tepat, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat kembali meledak dengan dahsat. Terjadinya berbagai bentuk tindak kekerasan itu apapun lalar belakang dan modus atau motifnya, jelas mengejutkan kita semua. Para pelaku telah menunjukkan identitas diri dan kelompoknya dengan cara yang tidak sepantasnya. Mempertontonkan ego yang melukai hakekat diri sebagai manusia dan hamba Allah (Tuhan). Mengiris rasa kemanusiaan. Merobek dan mencabik rasa persaudaraan, kebersamaan dan toleransi antar ummat beragama. Menodai semangat bhineka tunggal ika yang telah menjadi konsensus bersama. Mengikis nilai-nilai (norma-norma) hidup bermasyarakat, dan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme). Rentetan kejadian konflik sosial, bagaimana pun besar kecil dan ragamnya, secara langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain. Kesemuanya itu secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya korban jiwa, materiil, spiritual, dan perasaan takut atau mencekam (tekanan psikologis), serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Akibat lainnya, adalah semakin menguatkan opini daerah lain dan dunia luar, bahwa NTB sebagai daerah konflik. Opini berlebihan, jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana, tentu akan merembet pada terhambatnya iklim investasi dan ekonomi di daerah ini. Maraknya kasus konflik sosial yang terjadi di NTB, menuntut kesadaran dan keberpihakan kita semua. Kita semua harus belajar kembali atas kejadian-kejadian tersebut. Setidaknya, pelajaran yang bisa kita petik dari konflik-konflik sosial yang terjadi di NTB adalah bahwa kita tidak bisa belajar dari sejarah dan tidak mampu memahami perbedaan sosial. Kekurangan dan kegagalan (ketidakmampuan) kita itu menyebabkan permusuhan, benterok dan kerusuhan selalu saja terjadi dan berulang kembali. Patut kita sadari dan pahami kembali, bahwa manusia dilahirkan ke dunia untuk mengemban amanah atau menjalankan misi kebaikan dan kedamaian, bukan untuk membuat permusuhan, kerusuhan, dan kerusakan. Tidak ada suku tertentu dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran agama mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan (kebencian) antar manusia atau antar etnik. Setiap agama mengajarkan tetang kebaikan dan kedamaian, persaudaraan (kebersamaan) dan keharmonisan. Para ulama (tuan guru, kiyai) dan tokoh-tokoh agama lainnya yang ada di daerah ini, dengan bercermin dari berbagai kasus kerusuhan yang telah terjadi, hendaknya mengevaluasi metode dakwah (ceramah) yang selama ini diterapkan. Dibutuhkan penyempurnaan pendekatan dalam berdakwah ke arah yang lebih mengena dengan realitas masyarakat. Disamping itu, ditinjau dari sisi penentu kebijakan, terjadinya berbagai bentuk konflik sosial merupakan cermin lemahnya perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah dituntut untuk mampu memberikan perhatian secara optimal, adil dan merata kepada seluruh masyarakat. Selain itu hendaknya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat, dilakukan sosialisasi secara tepat dan mendalam. Sehingga tidak menjadi pemicu timbulnya gejolak di masyarakat. Aparat keamanan (penegak hukum), juga dituntut untuk betul-betul mampu memberi rasa aman kepada masyarakat. Fungsi dekteksi dini harus mampu dijalankan dan dikembangkan dengan baik untuk mengidentifikasi potensi kerusuhan. Fungsi komunikasi aparat dengan warga jangan pula dilupakan dan dijalankan dengan optimal dalam rangka mengklarifikasi isu sesat ataupun untuk menetralisir suasana. Pengamanan yang diberikan harus betul-betul otimal dan mengena. Proses penegakan hukum harus mampu dilaksanakan secara tegas, transparan dan responsive. Sehingga masyarakat tidak merasa kecewa kepada aparat dalam proses penegakan hukum. Ketidakpercayaan (kekecewaan) masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya berbagai aksi kekerasan, kerusuhan, bentrok antar kampung dan lainnya. Kalau aparat kemanan bisa menangani persoalan terorisme dengan cekatan dan tegas, masak tidak mampu mencegah dan menanggulangi terjadinya konflik komunal di masyarakat dengan baik. Dengan demikian, tidak perlu ada ungkapan di media, bahwa aparat dan pemerintah terkesan membiarkan terjadinya kasus-kasus kerusuhan di masyarakat. Konflik komunal yang terjadi secara berulang di wilayah NTB, menantang para pakar (ahli) antropologi dan sosiologi untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam dan tajam. Dengan begitu dapat diketahui akar persoalan yang sesungguhnya, dan mampu memberikan solusi yang tepat (komprehensif) dalam mencegah atau menanganinya, yang dapat dipedomani oleh pemerintah dan aparat dalam merumuskan (menetapkan) kebijakan dan tindakan (aksi). Keterlibatan lembaga pendidikan tidak kalah pentingnya untuk membantu mencegah terulangnya kembali konflik-konflik komunal di masa depan. Institusi pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk mampu menumbuhkan kesadaran akan perbedaan, kebersamaan, persaudaraan, dan kedamaian (keharmonisan) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejak awal, sejak dini pada gemerasi baru. Institusi pendidikan dituntut untuk mampu menyiapkan generasi yang berkarakter positif. Dengan demikian untuk dapat mencegah dan menangani konflik komunal di daerah ini, dibutuhkan pendekatan secara hukum, pendekatan sosio-kultural, dan antisipasi dengan melakukan penelitian, serta penyiapan generasi muda yang berkarakter melalui pendidikan. Upaya ini harus dilakukan secara terpadu, pihak-pihak yang berkepentingan (pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, para ahli, institusi pendidikan, dan lain-lainnya) tidak melakukannya secara terpisah. Masyarakat saat ini sedang tergerus oleh zaman sehingga diperlukan instrumen untuk mengatur irama masyarakat akar rumput. Masyarakat pada umumnya membutuhkan relaksasi sosial dan pemerintah perlu memfasilitasinya dengan melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Singkatnya, dibutuhkan adanya suatu sistem penanganan konflik yang integral dan terpadu. Marilah kita semua belajar dari sejarah dan memahami perbedaan sosial yang ada di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak terulang lagi kasus yang sama di masa yang akan datang. Damailah daerah ku, damailah negeri ku. Amin. Jerowaru, 28 Januari 2013. Sumber Bacaan : Berita media onlaine yang diakses pada tanggal, 27 Januari 2013. 1. Antara, 2013. Mahfud: Kerusuhan Sumbawa Terkait Lemahnya Penegakan Hukum. http://id.berita.yahoo.com/mahfud-kerusuhan-sumbawa-terkait-lemahnya-penegakan-hukum-060429516.html. 2. Forumwikwnntb.blogspot.com, 2011. Mengurai Sejuta Konflik di Negeri Seribu Masjid. http://forumwiken-ntb.blogspot.com/2011/12/mengurai-sejuta-konflik-di-negeri.html. 3. Jpnn.com, 2013. Konflik Sumbawa, Fungsi Dekteksi Dini Mati. http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155510. 4. Kompas.com, 2013. Rusuh Sumbawa, Kesalahan yang Berulang. http://nasional.kompas.com/read/2013/01/22/21462023/Rusuh.Sumbawa.Kesalahan.yang.Berulang. 5. Korankampung.com, 2011. Konflik Masih Hantui NTB. http://korankampung.com/laporan-utama/konflik-masih-hantui-ntb/ 6. LombokKita.com, 2013. Selesaikan Konflik tidak Cukup dengan Himbauan. http://www.lombokita.com/kabar-lombok/975-selesaikan-konflik-tidak-cukup-dengan-himbauan#.UQT8Z4HH7IU 7. Mohamad Baihaqi, 2011. NTB dan Konflik Sosial, Fotret Kebodohan. http://mohamadbaihaqi.blogspot.com/2011/11/konflik-ntb.html. 8. Republika.co.id, 2013. Ini Komentar Para Pejabat Bali Soal Kerusuhan Sumbawa. http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/01/25/mh6fxs-ini-komentar-para-pejabat-bali-soal-kerusuhan-sumbawa. 9. Ridwan HM Said, 2012. Bima Membara Lagi. http://formsurakartantb10.wordpress.com/2012. 10. Suara Publik, 2012. Lima Kasus Kekerasan Terparah di Indonesia. http://suarapublik.co.id/web/2012/12/27/lima-kasus-kekerasan-terparah-di-indonesia/. 11. Tempo.co, 2013. Rusuh Sumbawa, Tokoh Bali Lakukan Aksi Keprihatinan http://www.tempo.co/read/news/2013/01/25/058456942/Rusuh-Sumbawa-Tokoh-Bali-Lakukan-Aksi-Keprihatinan. 12. Tempo.co, 2013. Pemerintah Dinilai Membiarkan Kerusuhan Sumbawa. http://www.tempo.co/read/news/2013/01/26/058457072.
Klik Untuk melihat
Provinsi NTB, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralisme), sampai saat ini belum bisa terbebas dari konflik sosial (kerusuhan dan kekerasan). Daerah ini sarat dengan gejolak sosial. Provinsi yang merupakan wilayah dengan konflik yang cukup tinggi dan sangat variatif. Maraknya konflik yang terjadi merupakan hal yang ironis dan paradoks jika melihat identitas NTB sebagai daerah seribu masjid. Tempat ibadah yang menjadi simbol keramahan dan kedamaian masyarakat tidak mampu meredam perkelahian dan konflik yang berujung pada kekerasan. Masyarakat begitu cepat (mudah) terprofokasi, sehingga memicu terjadinya konflik komunal. Masih segar dalam ingatan kita tentang berbagai bentuk konflik (gejolak) sosial yang pernah terjadi di beberapa tempat di wilayah provinsi ini. Mulai dari kerusuhan antar kampung (desa), bentrok antara aparat dan masyarakat, konflik agraria, sampai dengan konflik yang berbau sara. Berbagai bentuk konflik sosial tersebut terkadang atau bahkan terulang kembali, baik di tempat yang sama maupun di wilayah (kampung, desa) yang lainnya dengan modus yang sama walaupun pelakunya berbeda. Terjadinya konflik-konflik sosial di daerah ini sempat menjadi headline berbagai media, baik bersekala lokal maupun nasional. Sehingga gemanya meluas, bahkan kerusuhan berbau sara tersebar ke hampir seluruh pelosok negeri. Bila kita cermati dan urai kembali, konflik komunal yang terjadi di daerah ini, dapat kita ketahui beberapa faktor penyebab yang menjadi pemicunya, antara lain : 1. Masalah personal yang melibatkan keluarga dan masyarakat setempat. Misalnya permusushan antar pemuda kampung atau desa, seperti tercermin dalam kasus-kasus kerusuhan yang pernah terjadi antar desa di Bima, Lombok Timur dan Lombok Tengah. 2. Masalah perbedaan faham (idiologi) keagamaan. Misalnya, yang banyak menjadi sorotan di tingkat lokal maupun nasional, adalah kasus Ahmadiyah di Gerung Lombok Barat. 3. Masalah penyebaran isu yang tidak sesuai dengan fakta atau belum terbukti kebenarannya. Misalnya merebaknya isu penculikan anak beberapa waktu yang lalu. Contoh lainnya, seperti kasus bentrok antara desa Godo dan Samili di Bima, yang berawal dari tersebarnya isu kematian seorang warga Godo karena di sihir oleh salah seorang warga Samili. Penyebaran isu sebagai faktor penyebab munculnya konflik sosial juga bisa kita peroleh dalam kerusuhan berbau sara yang baru-baru terjadi di Sumbawa (Selasa, 22 Januari 2013), yang bermula dari tersebarnya isu kekerasan melalui sms dan dari mulut ke mulut, yaitu isu tentang pemerkosaan dan kematian seorang mahasiswi yang dibunuh oleh pacarnya sendiri yang berbeda suku dan agama. 4. Masalah kebijakan pemerintah daerah yang tidak didukung oleh masyarakat setempat. Sehingga memicu terjadinya bentrok antara aparat dan warga masyarakat. Misalnya dalam kasus tragedi Treng Wilis di Lombok Timur. 5. Masalah agraria. Masalah ini hampir terjadi di seluruh wilayah NTB, yang juga memancing terjadinya bentrok antara warga masyarakat dan aparat. Contoh dalam masalah ini, yang banyak menyita perhatian berbagai pihak adalah kasus yang terjadi di Sekotong Lombok Barat, di Gili Terawangan Kabupaten Lombok Utara, dan kasus (kerusuhan) Sape (Lambu) di Bima. Dengan demikian konflik komunal di NTB sanga variatif dan sangat potensial terjadi, mulai dari persoalan personal, agama, etnis, suku, adat budaya, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi dan politik. Sehingga, faktor penyebab terjadinya konflik komunal secara garis besar dapat dirumuskan sebagai akibat dari rendahnya pengetahuan agama masyarakat, lemahnya mental masyarakat, sifat dan sikap curiga (iri) dari satu kelompok atau suku (etnis) terhadap kelompok atau suku (etnis) yang lainnya (dekradasi sikap saling menghargai), faktor ekonomi dan politik serta lingkungan. Apabila tidak dapat diselesaikan dengan baik dan tepat, maka akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat kembali meledak dengan dahsat. Terjadinya berbagai bentuk tindak kekerasan itu apapun lalar belakang dan modus atau motifnya, jelas mengejutkan kita semua. Para pelaku telah menunjukkan identitas diri dan kelompoknya dengan cara yang tidak sepantasnya. Mempertontonkan ego yang melukai hakekat diri sebagai manusia dan hamba Allah (Tuhan). Mengiris rasa kemanusiaan. Merobek dan mencabik rasa persaudaraan, kebersamaan dan toleransi antar ummat beragama. Menodai semangat bhineka tunggal ika yang telah menjadi konsensus bersama. Mengikis nilai-nilai (norma-norma) hidup bermasyarakat, dan nilai-nilai kebangsaan (nasionalisme). Rentetan kejadian konflik sosial, bagaimana pun besar kecil dan ragamnya, secara langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain. Kesemuanya itu secara langsung dapat mengakibatkan terjadinya korban jiwa, materiil, spiritual, dan perasaan takut atau mencekam (tekanan psikologis), serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Akibat lainnya, adalah semakin menguatkan opini daerah lain dan dunia luar, bahwa NTB sebagai daerah konflik. Opini berlebihan, jika tidak disikapi secara arif dan bijaksana, tentu akan merembet pada terhambatnya iklim investasi dan ekonomi di daerah ini. Maraknya kasus konflik sosial yang terjadi di NTB, menuntut kesadaran dan keberpihakan kita semua. Kita semua harus belajar kembali atas kejadian-kejadian tersebut. Setidaknya, pelajaran yang bisa kita petik dari konflik-konflik sosial yang terjadi di NTB adalah bahwa kita tidak bisa belajar dari sejarah dan tidak mampu memahami perbedaan sosial. Kekurangan dan kegagalan (ketidakmampuan) kita itu menyebabkan permusuhan, benterok dan kerusuhan selalu saja terjadi dan berulang kembali. Patut kita sadari dan pahami kembali, bahwa manusia dilahirkan ke dunia untuk mengemban amanah atau menjalankan misi kebaikan dan kedamaian, bukan untuk membuat permusuhan, kerusuhan, dan kerusakan. Tidak ada suku tertentu dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran agama mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan (kebencian) antar manusia atau antar etnik. Setiap agama mengajarkan tetang kebaikan dan kedamaian, persaudaraan (kebersamaan) dan keharmonisan. Para ulama (tuan guru, kiyai) dan tokoh-tokoh agama lainnya yang ada di daerah ini, dengan bercermin dari berbagai kasus kerusuhan yang telah terjadi, hendaknya mengevaluasi metode dakwah (ceramah) yang selama ini diterapkan. Dibutuhkan penyempurnaan pendekatan dalam berdakwah ke arah yang lebih mengena dengan realitas masyarakat. Disamping itu, ditinjau dari sisi penentu kebijakan, terjadinya berbagai bentuk konflik sosial merupakan cermin lemahnya perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah dituntut untuk mampu memberikan perhatian secara optimal, adil dan merata kepada seluruh masyarakat. Selain itu hendaknya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat, dilakukan sosialisasi secara tepat dan mendalam. Sehingga tidak menjadi pemicu timbulnya gejolak di masyarakat. Aparat keamanan (penegak hukum), juga dituntut untuk betul-betul mampu memberi rasa aman kepada masyarakat. Fungsi dekteksi dini harus mampu dijalankan dan dikembangkan dengan baik untuk mengidentifikasi potensi kerusuhan. Fungsi komunikasi aparat dengan warga jangan pula dilupakan dan dijalankan dengan optimal dalam rangka mengklarifikasi isu sesat ataupun untuk menetralisir suasana. Pengamanan yang diberikan harus betul-betul otimal dan mengena. Proses penegakan hukum harus mampu dilaksanakan secara tegas, transparan dan responsive. Sehingga masyarakat tidak merasa kecewa kepada aparat dalam proses penegakan hukum. Ketidakpercayaan (kekecewaan) masyarakat merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya berbagai aksi kekerasan, kerusuhan, bentrok antar kampung dan lainnya. Kalau aparat kemanan bisa menangani persoalan terorisme dengan cekatan dan tegas, masak tidak mampu mencegah dan menanggulangi terjadinya konflik komunal di masyarakat dengan baik. Dengan demikian, tidak perlu ada ungkapan di media, bahwa aparat dan pemerintah terkesan membiarkan terjadinya kasus-kasus kerusuhan di masyarakat. Konflik komunal yang terjadi secara berulang di wilayah NTB, menantang para pakar (ahli) antropologi dan sosiologi untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam dan tajam. Dengan begitu dapat diketahui akar persoalan yang sesungguhnya, dan mampu memberikan solusi yang tepat (komprehensif) dalam mencegah atau menanganinya, yang dapat dipedomani oleh pemerintah dan aparat dalam merumuskan (menetapkan) kebijakan dan tindakan (aksi). Keterlibatan lembaga pendidikan tidak kalah pentingnya untuk membantu mencegah terulangnya kembali konflik-konflik komunal di masa depan. Institusi pendidikan memiliki peran dan tanggung jawab besar untuk mampu menumbuhkan kesadaran akan perbedaan, kebersamaan, persaudaraan, dan kedamaian (keharmonisan) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejak awal, sejak dini pada gemerasi baru. Institusi pendidikan dituntut untuk mampu menyiapkan generasi yang berkarakter positif. Dengan demikian untuk dapat mencegah dan menangani konflik komunal di daerah ini, dibutuhkan pendekatan secara hukum, pendekatan sosio-kultural, dan antisipasi dengan melakukan penelitian, serta penyiapan generasi muda yang berkarakter melalui pendidikan. Upaya ini harus dilakukan secara terpadu, pihak-pihak yang berkepentingan (pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, para ahli, institusi pendidikan, dan lain-lainnya) tidak melakukannya secara terpisah. Masyarakat saat ini sedang tergerus oleh zaman sehingga diperlukan instrumen untuk mengatur irama masyarakat akar rumput. Masyarakat pada umumnya membutuhkan relaksasi sosial dan pemerintah perlu memfasilitasinya dengan melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan di dalamnya. Singkatnya, dibutuhkan adanya suatu sistem penanganan konflik yang integral dan terpadu. Marilah kita semua belajar dari sejarah dan memahami perbedaan sosial yang ada di masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak terulang lagi kasus yang sama di masa yang akan datang. Damailah daerah ku, damailah negeri ku. Amin. Jerowaru, 28 Januari 2013. Sumber Bacaan : Berita media onlaine yang diakses pada tanggal, 27 Januari 2013. 1. Antara, 2013. Mahfud: Kerusuhan Sumbawa Terkait Lemahnya Penegakan Hukum. http://id.berita.yahoo.com/mahfud-kerusuhan-sumbawa-terkait-lemahnya-penegakan-hukum-060429516.html. 2. Forumwikwnntb.blogspot.com, 2011. Mengurai Sejuta Konflik di Negeri Seribu Masjid. http://forumwiken-ntb.blogspot.com/2011/12/mengurai-sejuta-konflik-di-negeri.html. 3. Jpnn.com, 2013. Konflik Sumbawa, Fungsi Dekteksi Dini Mati. http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155510. 4. Kompas.com, 2013. Rusuh Sumbawa, Kesalahan yang Berulang. http://nasional.kompas.com/read/2013/01/22/21462023/Rusuh.Sumbawa.Kesalahan.yang.Berulang. 5. Korankampung.com, 2011. Konflik Masih Hantui NTB. http://korankampung.com/laporan-utama/konflik-masih-hantui-ntb/ 6. LombokKita.com, 2013. Selesaikan Konflik tidak Cukup dengan Himbauan. http://www.lombokita.com/kabar-lombok/975-selesaikan-konflik-tidak-cukup-dengan-himbauan#.UQT8Z4HH7IU 7. Mohamad Baihaqi, 2011. NTB dan Konflik Sosial, Fotret Kebodohan. http://mohamadbaihaqi.blogspot.com/2011/11/konflik-ntb.html. 8. Republika.co.id, 2013. Ini Komentar Para Pejabat Bali Soal Kerusuhan Sumbawa. http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/01/25/mh6fxs-ini-komentar-para-pejabat-bali-soal-kerusuhan-sumbawa. 9. Ridwan HM Said, 2012. Bima Membara Lagi. http://formsurakartantb10.wordpress.com/2012. 10. Suara Publik, 2012. Lima Kasus Kekerasan Terparah di Indonesia. http://suarapublik.co.id/web/2012/12/27/lima-kasus-kekerasan-terparah-di-indonesia/. 11. Tempo.co, 2013. Rusuh Sumbawa, Tokoh Bali Lakukan Aksi Keprihatinan http://www.tempo.co/read/news/2013/01/25/058456942/Rusuh-Sumbawa-Tokoh-Bali-Lakukan-Aksi-Keprihatinan. 12. Tempo.co, 2013. Pemerintah Dinilai Membiarkan Kerusuhan Sumbawa. http://www.tempo.co/read/news/2013/01/26/058457072.

Minggu, 27 Januari 2013

MEMBANGUN PERSEPSI GURU DALAM MENYONGSONG PENERAPAN KURIKULUM SMP 2013

Klik Untuk melihat
A.PENDAHULUAN

Menjelang berakhirnya tahun 2012, kembali ada suatu persoalan yang tiba-tiba menyeruak kepermukaan dan mencuri perhatian hampir seluruh bangsa Indonesia, karena masalah ini terkait dengan kepentingan yang paling dasar bagi setiap individu, yaitu masalah pendidikan. Pemerintah, melalui Kemdikbud kembali melakukan perombakan kurikulum mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Kurikulum baru ini akan mulai diterapkan pada Juni 2013.

Meskipun masih banyak pro dan kontra, pelaksanaan kurikulum baru sudah tidak ada lagi tawar-menawar. Mendikbud dengan tegas mengatakan, bahwa pelaksanaaan kurikulum 2013 yang direncanakan pemerintah mulai tahun ajaran baru nanti tidak bisa ditunda. Sebab, persoalan pendidikan Indonesia menghadapi masalah penting dan genting (kompas.com, 2013). Oleh karena, pelaksanaannya tidak bisa ditawar-tawar lagi, maka setiap guru dituntut untuk melek kurikulum. Memiliki persepsi positif dan mengambil sikap untuk merespon lebih awal terkait dengan perubahan kurikulum, memahami tujuan, mengetahui elemen perubahan, serta isu-isu terkait rancangan struktur kurikulum dapat memberikan bekal awal bagi guru dalam menyongsong penerapan kurikulum 2013. Pengembangan pemahaman (profesional) guru terhadap kurikulum baru, harus pula didukung secara penuh oleh pemerintah. Memfasilitasi para guru dalam pelatihan yang tepat dan bermakna, sudah menjadi kewajiban pemerintah.


B.KURIKULUM SMP 2013 : APA SAJA YANG BERUBAH ?

Perubahan kurikulum pendidikan nasional akan berimbas pada perubahan beberapa elemen yang terdapat dalam kurikulum. Elemen-elemen yang berubah dalam kurikulum 2013, yaitu kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, serta kegiatan ekstrakurikuler. Kelima elemen perubahan ini, diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA (Kemdikbud, 2012).

Perubahan kurikulum untuk jenjang pendidikan SMP, dapat dijabarkan berikut ini.

1.Perubahan SKL

Kompetensi lulusan jenjang pendidikan SMP, sama halnya dengan jenjang pendidikan SD dan SMA, adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills dengan mengasah tiga kompetensi anak (ranah), yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

2.Perubahan Standar Isi

Aspek-aspek standar isi untuk jenjang pendidikan SMP yang mengalami perubahan, adalah kedudukan mata pelajaran, serta struktur kurikulum (mata pelajaran dan alokasi waktu). Bentuk perubahan aspek kedudukan mata pelajaran adalah kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi tersebut sama dengan kurikulum 2006, dilakukan melalui mata pelajaran. Sedangkan struktur kurikulum yang mengalami perubahan, yaitu : a) TIK menjadi media semua mata pelajaran, dan tidak lagi berdiri sendiri menjadi mata pelejaran; b) pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler; c) jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10; d) mata pelajaran muatan lokal diintegrasikan (masuk) ke mata pelajaran seni budaya, penjaskes, dan prakarya; dan e) Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Jika sebelumnya siswa belajar selama 32 jam, maka nanti mereka akan belajar selama 38 jam di sekolah. Untuk lebih memperjelas tentang struktur kurikulum SMP 2013, berikut disajikan tabel struktur kurikulum yang akan diterapkan.
                                      Sumber : Kemdikbud, 2012.

Perubahan mendasar dalam struktur kurikulum SMP, adalah adanya pengurangan jumlah mata pelajaran, dan penambahan jam belajar. Terdapat beberapa permasalahan yang akan muncul dengan terjadinya perubahan ini. Misalnya, dalam hubungannya dengan TIK yang dijadikan sebagai media pelajaran untuk semua mata pelajaran, muncul persoalan bahwa belum semua sekolah memiliki sarana dan prsarana teknologi informasi yang lengkap dan memadai, dan belum semua guru telah mengusai teknologi informasi. Oleh karena itu, sebelum penerapan kurikulum 2013 secara menyeluruh, terlebih dahulu pemerintah melengkapi fasilitas pendidikan, dan penyiapan SDM. Hal ini tidak saja dalam kaitannya dengan teknologi informasi, tetapi juga dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan dalam arti yang lebih luas. Masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas sesuai dengan tuntutan dalam standar sarana dan prasarana. Selama ini, tidak sedikit pula guru yang belum pernah mendapat pelatihan, dan sebagian dari guru yang pernah mengikutinya belum merasakan manfaatnya secara optimal untuk menunjang pelaksanaan profesionalnya. Setiap guru tentu berkeinginan bisa seperti Ibu Guru Muslimah yang dapat membuat seorang Andrea Hirata berani untuk bermimpi dan mampu mewujudkan mimpi-mimpinya dan menjadi seorang ahli sastra yang mendapatkan banyak pujian dari berbagai penjuru dunia untuk semua karyanya. Tetapi zaman telah berubah jauh. Untuk mampu mencetak peserta didik seperti yang diharapkan dalam kurikulum, harus didukung oleh kelengkapan fasilitas, dan penyiapan SDM sesuai tuntutan zaman.

Permasalahan yang akan timbul dengan adanya penambahan jam pelajaran, antara lain menyangkut dana. Ini akan menyebabkan biaya operasional yang dibutuhkan sekolah untuk menjalankan program semakin besar. Harus ada solusi tepat terhadap persoalan ini. Apabila mengandalkan pembiayaan dari masyarakat (orang tua murid), sekolah akan mengalami kesulitan, mengingat segala bentuk pungutan terhadap peserta didik tidak diperbolehkan dalam aturan BOS, dan di era otonomi daerah “diharamkan” oleh Pemda. Konsekwensi lain dari penambahan jam adalah bertambahnya waktu belajar, kendala utama yang akan dihadapi adalah kebosanan siswa dalam belajar. Setiap guru harus memperhatikan hal ini, dengan kata lain siapkah guru berubah dengan pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan ?. Untuk menghadapi persoalan tersebut dapat dilakukan hal-hal berikut : a) menguasai metode pendekatan pembelajaran baik indoor maupun outdoor, agar pembelajaran dapat dilakukan selang-seling; b) melatih kemampuan dalam menerapkan strategi pembelajaran aktif. Untuk hal ini disarankan agar setiap guru membaca buku-buku terkait strategi pembelajaran aktif; dan c) melatih dalam meningkatkan metode dan teknik mengajar, agar guru dapat menjadi teman sekaligus pendidik di sekolah. Hal tersebut diharapkan dapat menghilangkan pembatas antara guru dengan siswa.

3.Perubahan Standar Proses

Cakupan standar proses ada yang menglami perubahan dan ada yang masih sama seperti dalam kurikulum 2006 tetapi lebih ditekankan lagi, terdiri dari : a) standar proses yang semua terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta; b) belajar tidak hanya terjadi di rung kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat; c) guru bukan satu-satunya sumber belajar; d) sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan; e) mata pelajaran IPA dan IPS tetap diajarkan secara terpadu; dan f) Bahasa Inggris sudah mulai diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa siswa.

Bagian yang perlu kita cermati dan diantisipasi dalam perubahan standar proses adalah menyangkut pendekatan proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan mengedepankan pendekatan pengalaman personal melalui observasi (mengamati), bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Menurut seorang pakar pendidikan, Ismunandar (2013), mengatakan : Dari berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10 -15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku kepentingan.

Berdasarkan pandangan pakar di atas, maka seyogyanya dari sebelum kurikulum 2013 benar-benar diterapkan di tingkat satuan pendidikan, pemerintah menempuh langkah strategis berupa penyiapan SDM guru secara serius dan berkesinambungan. Selain itu, guru dituntut untuk mampu mengembangkan sikap positif peserta didik melalui contoh dan teladan. Budaya menjadi contoh dan teladan harus mampu dikembangkan. Tuntutan ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi kembali ditekankan dan menjadi salah satu prioritas untuk dapat dicapai. Hal ini dilatar belakangi oleh semakin berkembangnya berbagai bentuk fenomena negatif di Indonesia. Untuk mengembangkan sikap positif siswa, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis (Ahmad Turmuzi, 2011).

Sedangkan pembelajaran terhadap dua mata pelajaran, IPA dan IPS masih sama dengan yang terdapat dalam kurikulum 2006 (KTSP), masing-masing diajarkan secara terpadu. Berarti keduanya ditetapkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah. Persoalan yang terasa mengganjal selama ini adalah tidak semua guru mau dan mampu membelajarkannya secara terpadu. Mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara terpisah, sesuai latar belakang pendidikan atau spesialisasi keilmuan yang diperolehnya di perguruan tinggi. Terhadap persoalan ini, seyogyanya pemerintah memfasilitasi untuk melakukan pembekalan secara serius dan menyeluruh bagi pengampu dua mata pelajaran ini.

4.Perubahan Standar Penilaian

Penilaian hasil belajar peserta didik dikembangkan dan diperoleh melalui lima cara, yaitu : a) penilaian berbasis kompetensi; b) pergeseran dari penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil); c) memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal); d) penilaian tidak hanya pada level KD, tetpi juga kompetensi inti dan SKL; dan e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian.

Komponen penilaian diyakini memberikan dampak nyata bagi keberhasilan pembelajaran kompetensi kepada peserta didik, maka penilaian ditempatkan pada posisi yang penting dalam rangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk dan cara penilaian dalam banyak hal memberikan pengaruh penting bagi proses pembelajaran, bagaimana guru harus membelajarkan dan bagaimana peserta didik harus belajar, dan karenanya menentukan capaian kompetensi. Penilaian otentik menekankan pengukuran hasil pembelajaran yang berupa kompetensi peserta didik untuk melakukan sesuatu, doing something, sesuai dengan mata pelajaran dan kompetensi yang dibelajarkan. Tekanan capaian kompetensi bukan pada pengetahuan yang dikuasai peserta didik, melainkan pada kemampuan peserta didik untuk menampilkan, mendemonstrasikan, atau melakukan sesuatu yang merupakan cerminan esensi pengetahuan dan kemampuan yang telah dikuasainya tersebut. Selain itu, pendemonstrasian kompetensi tersebut tidak semata-mata demi pengetahuan itu sendiri, melainkan harus sekaligus mencerminkan kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian otentik membutuhkan pembelajaran yang kontekstual, pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar yang dimaksudkan membantu guru mengaitkan bahan ajar yang dibelajarkan di kelas dengan situasi nyata di masyarakat dan sekaligus mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan perencanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian kondisi ideal guru pada penerapan penilain secara otentik dibutuhkan pengalaman pembelajaran kontekstual. Hal tersebut dapat diantisipasi sejak dini sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungan belajar masing-masing. Untuk mendukung penilaian otentik dan penilaian lainnya, setiap guru juga sejak awal perlu meyiapkan diri dengan bekal berupa pemahaman dan penerapan atau pengelolaan tentang portofolio. Karena peemanfaatan portofolio yang dibuat siswa dijadikan sebagai instrumen utama penilaian. Guru akan dihadapkan pada rutinitas penyiapan instrumen penilaian dan tumpukan-tumpukan portofolio peserta didik yang harus dinilai.

Masih dalam hubungannya dengan penilaian, penentu kebijakan sudah pada tempatnya untuk tidak merasa keberatan mengevaluasi sistem UN yang diberlakukan sekarang. Kurikulum baru menuntut penilaian pada semua ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor). Sistem UN yang diberlakukan saat ini tidak sejalan dengan tututan itu, dan perlu dirombak. Rasanya tidak perlu UN dijadikan penentu kelulusan, dan terasa aneh apabila hasil UN dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Janganlah UN “didewakan” dalam dunia pendidikan. Bila UN tetap dipertahankan, sepatutnya dicarikan formula (sistem) yang tidak lagi mengakomudir ke dua hal itu. Bila perlu penilaian sepenuhnya dikembalikan kepada guru. Merekalah yang memiliki hak utama dalam penilaian, karena lebih tahu tentang peserta didiknya. Dengan demikian para guru tidak perlu merasa dikebiri haknya dalam menilai peserta didiknya sendiri.

5.Perubahan Kegiatan Ekstrakurikuler

Perubahan lain yang mengemuka adalah menyangkut kegiatan ekstrakurikuler. Untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat memilih, seperti OSIS, UKS, PMR, dan berbagai kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah. Namun, yang wajib diikuti oleh semua siswa sebagai kegiatan ekstrakurikuler adalah Pramuka, bukan merupakan program kegiatan pilihan. Ini berarti setiap sekolah dituntut untuk menyiapkan lebih banyak tenaga pembina Pramuka untuk membina seluruh siswa, dan berarti pula dana operasional kegiatan meningkat drastis. Untuk itu, tiap-tiap satuan pendidikan harus mengantisipasi perubahan ini sejak dini.

C. MEMBANGUN PERSEPSI GURU DALAM PERUBAHAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM

Perubahan kurikulum dimaksudkan sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Perubahan tersebut merupakan konsekwensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat (Anonim, 2012). Tetapi, dalam implementasi kurikulum baru akan menibulkan perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dengan pelaku kebijakan. Pemegang kebijakan memiliki asumsi bahwa pelaku kebijakan (guru) kurang menyukai perubahan, sedangkan dari sisi guru juga meyakini bahwa pemegang kebijakan tidak memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya pembelajaran (Puskur, 2008).

Memang tidak bisa dihndari, setiap perubahan kurikulum selalu menghasilkan kontroversi di semua pihak, mulai dari praktisi sampai opini para pakar. Namun sebagai guru yang notabene hanya sebagai pelaksana, tentu tidak kuasa menolak kebijakan yang sudah menjadi ketetapan. Seperti yang diungkapkan dalam wacana koranpendidikan.com (2012), bahwa tidak berlaku pepatah, “nasi sudah menjadi bubur” dalam persoalan ini. Pemerintah sudah menetapkan pemberlakuan kurikulum 2013, sementara rakyat (para guru) adalah abdi yang sepertinya “mesti” sendiko dawuh gusti (mengabdi secara utuh). Namun di dunia demokrasi, seorang guru berhak mengkritisi dan mempertanyakannya. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tunjuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Dengan demikian perubahan kurikulum pendidikan Indonesia harus disikapi dengan bijak oleh setiap guru, terlepas dari anggapan-anggapan negatif yang berkembang di masyarakat maupun media. Anggapan bahwa perubahan kurikulum adalah pratik rutin tahunan, statemen ganti menteri ganti kurikulum, ungkapan bahwa peserta didik dijadikan sebagai kelinci percobaan kurikulum, serta besarnya biaya menjadi hal yang sering terungkap dalam perbincangan masyarakat dan media.

Untuk menghidari persepsi skeptis seperti itu di kalangan para guru terhadap kebijakan pemerintah tersebut, proses perubahan kurikulum semestinya bukan hanya persoalan sosialisasi namun juga mencakup kelengkapan sarana dan prasarana serta kesiapan SDM. Menyiapkan SDM guru harus dimulai dari upaya membangun persepsi bahwa perubahan kurikulum sebagai perbaikan mutu pendidikan. Mengingat bahwa perubahan itu biasanya menghasilkan “penolakan“ baik secara mental maupun sikap dan perilaku sehingga bisa berakhir menjadi tidak efektif dalam pelaksanaan. Maka kesan bahwa kurikulum yang baru itu sebagai upaya perbaikan mutu kurikulum yang sebelumnya, lebih mudah diterapkan, lebih gampang diingat, lebih singkat, jelas dan tidak ribet serta membela kepentingan terbaik peserta didik harus menjadi pilar utama dalam strategi penyampaian atau mempublikasikannya kepada para guru. Pola pikir menentukan situasi emosi dan perilaku dalam pelaksanaan tugas membangun persepsi positif atas perubahan kurikulum harus didahulukan dalam proses sosialisasi sebelum sosialisasi pelaksanaan teknis. Salah warisan penyakit mental adalah zona nyaman dan malas melakukan perubahan. Karena itu memotivasi, membangun persepsi serta keterampilan bahwa perubahan kurikulum adalah upaya efektivitas kegiatan pembelajaran harus dapat dihayati secara mendalam oleh para guru kita.

Pada umumnya mendengar kata penggantian, maka persepsi yang terbangun adalah mengganti semua yang ada dan mengabaikan semua hasil yang telah dicapai. Dengan menggunakan kata memperbaiki mutu maka persepsi yang terbangun adalah mempertahankan hasil baik yang telah dicapai dan menambah dengan sesuatu yang baru agar menjadi lebih baik. Disamping itu, setiap guru diarahkan untuk memahami perubahan kurikulum secara utuh, tidak dipahami secara parsial, dengan memperhatikan beberapa hal berikut : 1) proses belajar yang terjadi pada masa lalu juga terjadi pada masa sekarang walaupun dengan intensitas yang berbeda; 2) guru sebagai pengontrol dominan dalam pembelajaran dicerminkan oleh transformasi nilai pada siswanya; 3) setiap kurikulum memberikan bekas tertentu pada pembelajaran; 4) pembelajaran yang kompleks lebih umum daripada pembelajaran yang sederhana; 5) pembelajaran sekarang tidak akan berhasil baik jika tidak memperhatikan pembelajaran yang lalu; dan 6) perubahan-perubahan kurikulum di dunia diperlukan untuk mengetahui perbedaan pembelajaran.

Persepsi positif di kalangan para guru dalam implementasi kurikulum akan dapat lebih terbentuk lagi apabila menggunakan role model. Menggunakan contoh sekolah yang sudah memahami dan dapat melaksanakan dengan baik hingga berhasil atas pelaksanaan kurikulum akan memperkuat keyakinan bahwa tidak ada yang sulit dan perlu ditakuti akan adanya perubahan kurikulum. Sekaligus sekolah bersangkutan dapat belajar secara langsung terhadap keberhasilan sekolah yang telah melaksanakan kurikulum tersebut, sebagai transfer of knowledge and transfer of experiences. Meskipun tentu saja harus memperhitungkan diversity, antropologi budaya masyarakat setempat, kelengkapan sarana dan prasarana, mutu SDM dan tentu saja integrity dan citra role model tersebut harus kredibel. Dengan pendekatan role model berarti sebelum kurikulum baru tersebut diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas, terlebih dahulu diimplementasikan kepada para guru. Hal ini sejalan dengan penilaian seorang pengamat pendidikan, Prof. Soedijarto, bahwa hal terpenting dalam perubahan kurikulum adalah implementasi dalam kegiatan belajar mengajar. Pertanyaan besarnya adalah apakah guru yang mengajar sudah mengerti dengan kurikulum baru yang akan diterapkan atau tidak ? Selayaknya sebelum disosialisasikan kepada anak didik kurikulum baru tersebut nantinya diimplementasikan ke kalangan tenaga pengajar. Mereka pun harus benar-benar paham dengan kurikulum baru ini, agar kualitas guru semakin tinggi (okezone.com, 2012).

Berdasrkan paparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Perubuhan kurikulum berkait dengan perubahan pradigma pembelajaran. Perubahan pradigma baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru, dimana mereka perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran bagi guru yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi dimaksud apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal (Puskur, 2008).

Untuk itu setiap guru perlu ditingkatkan kemampuan atau profesionalnya dalam rangka mengimplementasikan kurikulum 2013. Dalam dokumen uji publik kurikulum 2013, telah ditetapkan bahwa untuk menyiapkan implementasi akan dilakukan training pada para guru. Tetapi belum ditetapkan model (bentuk) pelaksanaannya. Pelatihan yang harus diberikan kapada guru agar dapat mengimplementasikan pembelajaran yang diharapkan, adalah pelatihan yang menggunakan pendekatan yang sama dengan cara pembelajaran yang diharapkan akan terjadi di kelas nantinya. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan inkuiri, sesuai dengan tuntutan kurikulum baru. Dalam pelatihan model ini, setiap guru minimal dibekali dengan pengalaman yang memungkinkannya untuk : (i) melakukan sendiri kegiatan inkuiri, (ii) mendapatkan pengalaman langsung bagaimana pembelajaran terjadi (how people learn) dan peran guru dalam pembelajaran inkuiri. Selain itu dalam pelatihan harus dimasukkan juga berbagai metoda assessment yang tepat untuk memonitor kemampuan siswa dalam kemampuan-kemampuan inkuiri. Kegiatan lanjutan pasca pelatihan dapat berupa dukungan dan kunjungan tim ahli, penyediaan sumber belajar online (Ismunandar, 2013). Namun perlu diingat dan ditekankan, agar pelatihan yang dilakukan melibatkan seluruh guru, bukan sebagian kecil saja. Pelatihan dirancang dengan sebaik-baiknya, dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan berkesinambungan. Sehingga mampu merangsang peningkatan profesional guru secara optimal. Intinya agar pembelajaran yang diharapkan dapat berlangsung berkelanjutan diperlukan perubahan budaya dari pelatihan yang bersifat top down menjadi kebutuhan para guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya (bottom up) (Ismunandar, 2013).

D.KESIMPULAN

Kurikulum baru berbasis sains yang akan mulai diterapkan pada Juni 2013 nanti, melalui pengembangan SKL yang meningkat dan seimbang antara soft skills dan hard skills, bertujuan untuk mengasah tiga kompetensi anak, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Perubahan kurikulum 2013 untuk tingkat satuan pendidikan SMP yang mendasar terdapat dalam standar isi, terutama pada struktur kurikulum, yang ditandai dengan pengurangan jumlah mata pelajaran dan pengintegrasiannya ke mata pelajaran lain, serta penambahan jam belajar. Dalam aspek perubahan ini, terdapat persoalan yang dihadapi oleh sekolah, yang harus diantisipasi dan dicarikan solusinya, antara lain menyakut masih kurangnya fasilitas pendukung, pendanaan, SDM guru, dan kesiapan peserta didik.

Perubahan mencolok lainnya juga terdapat pada standar proses, yaitu berkaitan dengan pendekatan proses pembelajaran, dan adanya penekanan pengembangan sikap peserta didik. Pendekatan proses pembelajaran dalam kurikulum baru lebih mengedepankan pengalaman personal. Sementara pengembangan sikap positif peserta didik, ditekankan pada pengembangan dan pemberian contoh dan teladan dari guru terhadap peserta didik. Perubahan ini menuntut adanya kesiapan guru. Kesiapan guru juga dituntut terhadap pengampu mata pelajaran IPA dan IPS untuk mampu membelajarkannya secara terpadu, bukan terpisah berdasarkan disiplin ilmu. Kurikulum 2013 juga menuntut adanya keseimbangan penilaian antara penilain melalui tes dan portofolio. Penilaian harus dilakukan secara otentik untuk mengukur semua kompetensi peserta didik, dengan menggunakan instrumen utama penilaian adalah portofolio yang dibuat oleh siswa. Berarti dituntut adanya keseimbangan antara proses dan hasil.

Disamping itu, dalam kurikulum 2013 ditetapkan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib bagi semua peserta didik, yang dimaksudkan untuk dapat mengenmbangkan karakter atau sikap positif mereka. Dalam setiap perubahan kurikulum, termasuk kurikulum 2013, selalu terdapat sikap pro dan kontra dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam situasi dan konsisi seperti itu, pemerintah hendaknya mampu membangun persepsi positif guru dalam perubahan dan implementasi kurikulum baru ini. Karena berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh guru. Setiap guru hendaknya mampu digerakkan untuk bersikap terbuka terhadap perubahan dan melek kurikulum, baik melalui sosialisasi yang intensif maupun menggunakan pendekatan role model.

Guru juga harus dibekali melalui pelatihan yang baik, berdaya dan berhasil guna, dengan menggunakan pendekatan inkuiri yang dilengkapi metode assessment dan tindak lanjutnya. Dengan demikian, kurikulum 2013 tidak hanya sekedar bagus dalam tataran konsep, tetapi juga tidak rapuh dalam implementasinya di sekolah. Bagaimana pun tidak ada kepentingan yang lebih utama atas perubahan kurikulum kecuali kepentingan terbaik anak bangsa.

Jerowaru, 23 Januari 2013

Aku bukanlah siapa-siapa, hanyalah setetes embun dari padang rumput yang tandus. “Selamat menyongsong kurikulum 2013, semoga Anda sukses”.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Turmuzi, 2011. Peranan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/28/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikan-karakter-di-sekolah-405139.html. Diakses 17 Januari 2013.

Anonim, 2012. Sejarah Perkembangan Kurikulum Di Indonesia. http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Revisi_Bahan_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD/UNIT-_PERKEMBANGAN_KURIKULUM_.pdf. Di akses 20 Januari 2013.

Ismunandar, 2013, Pelatihan Guru Menyiapkan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-pelatihan-guru. Di akses 17 Januari 2013.

Kemdikbud, 2012. Pengembangan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2. Di akses 17 Januari 2013.

Kompas.com. Mendikbud : Kurikulum 2013 Tidak Bisa Ditunda. http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/13/16154770/Mendikbud.Kurikulum.2013.Tidak.Bisa.Ditunda. Di akses 19 Januari 2013.

Koranpendidikan.com, 2012. Menatap Asa Kurikulum 2013. http://wacana.koranpendidikan.com/view/2522/menatap-asa-kurikulum-2013.html. Diakses 17 Januari 2013.

Okezone.com, 2012. Guru Harus Pahami Kurikulum Baru. http://kampus.okezone.com/read/2012/11/26/373/723366/guru-harus pahami-kurikulum-baru. Di akses 20 Januari 2013.

Puskur, 2008. Laporan Kajian Penididikan Menengah. Balitbang Departemen Pendidikan Nasional.
Klik Untuk melihat
A.PENDAHULUAN

Menjelang berakhirnya tahun 2012, kembali ada suatu persoalan yang tiba-tiba menyeruak kepermukaan dan mencuri perhatian hampir seluruh bangsa Indonesia, karena masalah ini terkait dengan kepentingan yang paling dasar bagi setiap individu, yaitu masalah pendidikan. Pemerintah, melalui Kemdikbud kembali melakukan perombakan kurikulum mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Kurikulum baru ini akan mulai diterapkan pada Juni 2013.

Meskipun masih banyak pro dan kontra, pelaksanaan kurikulum baru sudah tidak ada lagi tawar-menawar. Mendikbud dengan tegas mengatakan, bahwa pelaksanaaan kurikulum 2013 yang direncanakan pemerintah mulai tahun ajaran baru nanti tidak bisa ditunda. Sebab, persoalan pendidikan Indonesia menghadapi masalah penting dan genting (kompas.com, 2013). Oleh karena, pelaksanaannya tidak bisa ditawar-tawar lagi, maka setiap guru dituntut untuk melek kurikulum. Memiliki persepsi positif dan mengambil sikap untuk merespon lebih awal terkait dengan perubahan kurikulum, memahami tujuan, mengetahui elemen perubahan, serta isu-isu terkait rancangan struktur kurikulum dapat memberikan bekal awal bagi guru dalam menyongsong penerapan kurikulum 2013. Pengembangan pemahaman (profesional) guru terhadap kurikulum baru, harus pula didukung secara penuh oleh pemerintah. Memfasilitasi para guru dalam pelatihan yang tepat dan bermakna, sudah menjadi kewajiban pemerintah.


B.KURIKULUM SMP 2013 : APA SAJA YANG BERUBAH ?

Perubahan kurikulum pendidikan nasional akan berimbas pada perubahan beberapa elemen yang terdapat dalam kurikulum. Elemen-elemen yang berubah dalam kurikulum 2013, yaitu kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, serta kegiatan ekstrakurikuler. Kelima elemen perubahan ini, diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA (Kemdikbud, 2012).

Perubahan kurikulum untuk jenjang pendidikan SMP, dapat dijabarkan berikut ini.

1.Perubahan SKL

Kompetensi lulusan jenjang pendidikan SMP, sama halnya dengan jenjang pendidikan SD dan SMA, adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills dengan mengasah tiga kompetensi anak (ranah), yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

2.Perubahan Standar Isi

Aspek-aspek standar isi untuk jenjang pendidikan SMP yang mengalami perubahan, adalah kedudukan mata pelajaran, serta struktur kurikulum (mata pelajaran dan alokasi waktu). Bentuk perubahan aspek kedudukan mata pelajaran adalah kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi tersebut sama dengan kurikulum 2006, dilakukan melalui mata pelajaran. Sedangkan struktur kurikulum yang mengalami perubahan, yaitu : a) TIK menjadi media semua mata pelajaran, dan tidak lagi berdiri sendiri menjadi mata pelejaran; b) pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler; c) jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10; d) mata pelajaran muatan lokal diintegrasikan (masuk) ke mata pelajaran seni budaya, penjaskes, dan prakarya; dan e) Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Jika sebelumnya siswa belajar selama 32 jam, maka nanti mereka akan belajar selama 38 jam di sekolah. Untuk lebih memperjelas tentang struktur kurikulum SMP 2013, berikut disajikan tabel struktur kurikulum yang akan diterapkan.
                                      Sumber : Kemdikbud, 2012.

Perubahan mendasar dalam struktur kurikulum SMP, adalah adanya pengurangan jumlah mata pelajaran, dan penambahan jam belajar. Terdapat beberapa permasalahan yang akan muncul dengan terjadinya perubahan ini. Misalnya, dalam hubungannya dengan TIK yang dijadikan sebagai media pelajaran untuk semua mata pelajaran, muncul persoalan bahwa belum semua sekolah memiliki sarana dan prsarana teknologi informasi yang lengkap dan memadai, dan belum semua guru telah mengusai teknologi informasi. Oleh karena itu, sebelum penerapan kurikulum 2013 secara menyeluruh, terlebih dahulu pemerintah melengkapi fasilitas pendidikan, dan penyiapan SDM. Hal ini tidak saja dalam kaitannya dengan teknologi informasi, tetapi juga dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan dalam arti yang lebih luas. Masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas sesuai dengan tuntutan dalam standar sarana dan prasarana. Selama ini, tidak sedikit pula guru yang belum pernah mendapat pelatihan, dan sebagian dari guru yang pernah mengikutinya belum merasakan manfaatnya secara optimal untuk menunjang pelaksanaan profesionalnya. Setiap guru tentu berkeinginan bisa seperti Ibu Guru Muslimah yang dapat membuat seorang Andrea Hirata berani untuk bermimpi dan mampu mewujudkan mimpi-mimpinya dan menjadi seorang ahli sastra yang mendapatkan banyak pujian dari berbagai penjuru dunia untuk semua karyanya. Tetapi zaman telah berubah jauh. Untuk mampu mencetak peserta didik seperti yang diharapkan dalam kurikulum, harus didukung oleh kelengkapan fasilitas, dan penyiapan SDM sesuai tuntutan zaman.

Permasalahan yang akan timbul dengan adanya penambahan jam pelajaran, antara lain menyangkut dana. Ini akan menyebabkan biaya operasional yang dibutuhkan sekolah untuk menjalankan program semakin besar. Harus ada solusi tepat terhadap persoalan ini. Apabila mengandalkan pembiayaan dari masyarakat (orang tua murid), sekolah akan mengalami kesulitan, mengingat segala bentuk pungutan terhadap peserta didik tidak diperbolehkan dalam aturan BOS, dan di era otonomi daerah “diharamkan” oleh Pemda. Konsekwensi lain dari penambahan jam adalah bertambahnya waktu belajar, kendala utama yang akan dihadapi adalah kebosanan siswa dalam belajar. Setiap guru harus memperhatikan hal ini, dengan kata lain siapkah guru berubah dengan pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan ?. Untuk menghadapi persoalan tersebut dapat dilakukan hal-hal berikut : a) menguasai metode pendekatan pembelajaran baik indoor maupun outdoor, agar pembelajaran dapat dilakukan selang-seling; b) melatih kemampuan dalam menerapkan strategi pembelajaran aktif. Untuk hal ini disarankan agar setiap guru membaca buku-buku terkait strategi pembelajaran aktif; dan c) melatih dalam meningkatkan metode dan teknik mengajar, agar guru dapat menjadi teman sekaligus pendidik di sekolah. Hal tersebut diharapkan dapat menghilangkan pembatas antara guru dengan siswa.

3.Perubahan Standar Proses

Cakupan standar proses ada yang menglami perubahan dan ada yang masih sama seperti dalam kurikulum 2006 tetapi lebih ditekankan lagi, terdiri dari : a) standar proses yang semua terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta; b) belajar tidak hanya terjadi di rung kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat; c) guru bukan satu-satunya sumber belajar; d) sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan; e) mata pelajaran IPA dan IPS tetap diajarkan secara terpadu; dan f) Bahasa Inggris sudah mulai diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa siswa.

Bagian yang perlu kita cermati dan diantisipasi dalam perubahan standar proses adalah menyangkut pendekatan proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan mengedepankan pendekatan pengalaman personal melalui observasi (mengamati), bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Menurut seorang pakar pendidikan, Ismunandar (2013), mengatakan : Dari berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10 -15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku kepentingan.

Berdasarkan pandangan pakar di atas, maka seyogyanya dari sebelum kurikulum 2013 benar-benar diterapkan di tingkat satuan pendidikan, pemerintah menempuh langkah strategis berupa penyiapan SDM guru secara serius dan berkesinambungan. Selain itu, guru dituntut untuk mampu mengembangkan sikap positif peserta didik melalui contoh dan teladan. Budaya menjadi contoh dan teladan harus mampu dikembangkan. Tuntutan ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi kembali ditekankan dan menjadi salah satu prioritas untuk dapat dicapai. Hal ini dilatar belakangi oleh semakin berkembangnya berbagai bentuk fenomena negatif di Indonesia. Untuk mengembangkan sikap positif siswa, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis (Ahmad Turmuzi, 2011).

Sedangkan pembelajaran terhadap dua mata pelajaran, IPA dan IPS masih sama dengan yang terdapat dalam kurikulum 2006 (KTSP), masing-masing diajarkan secara terpadu. Berarti keduanya ditetapkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah. Persoalan yang terasa mengganjal selama ini adalah tidak semua guru mau dan mampu membelajarkannya secara terpadu. Mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara terpisah, sesuai latar belakang pendidikan atau spesialisasi keilmuan yang diperolehnya di perguruan tinggi. Terhadap persoalan ini, seyogyanya pemerintah memfasilitasi untuk melakukan pembekalan secara serius dan menyeluruh bagi pengampu dua mata pelajaran ini.

4.Perubahan Standar Penilaian

Penilaian hasil belajar peserta didik dikembangkan dan diperoleh melalui lima cara, yaitu : a) penilaian berbasis kompetensi; b) pergeseran dari penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil); c) memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal); d) penilaian tidak hanya pada level KD, tetpi juga kompetensi inti dan SKL; dan e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian.

Komponen penilaian diyakini memberikan dampak nyata bagi keberhasilan pembelajaran kompetensi kepada peserta didik, maka penilaian ditempatkan pada posisi yang penting dalam rangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk dan cara penilaian dalam banyak hal memberikan pengaruh penting bagi proses pembelajaran, bagaimana guru harus membelajarkan dan bagaimana peserta didik harus belajar, dan karenanya menentukan capaian kompetensi. Penilaian otentik menekankan pengukuran hasil pembelajaran yang berupa kompetensi peserta didik untuk melakukan sesuatu, doing something, sesuai dengan mata pelajaran dan kompetensi yang dibelajarkan. Tekanan capaian kompetensi bukan pada pengetahuan yang dikuasai peserta didik, melainkan pada kemampuan peserta didik untuk menampilkan, mendemonstrasikan, atau melakukan sesuatu yang merupakan cerminan esensi pengetahuan dan kemampuan yang telah dikuasainya tersebut. Selain itu, pendemonstrasian kompetensi tersebut tidak semata-mata demi pengetahuan itu sendiri, melainkan harus sekaligus mencerminkan kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian otentik membutuhkan pembelajaran yang kontekstual, pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar yang dimaksudkan membantu guru mengaitkan bahan ajar yang dibelajarkan di kelas dengan situasi nyata di masyarakat dan sekaligus mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan perencanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian kondisi ideal guru pada penerapan penilain secara otentik dibutuhkan pengalaman pembelajaran kontekstual. Hal tersebut dapat diantisipasi sejak dini sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungan belajar masing-masing. Untuk mendukung penilaian otentik dan penilaian lainnya, setiap guru juga sejak awal perlu meyiapkan diri dengan bekal berupa pemahaman dan penerapan atau pengelolaan tentang portofolio. Karena peemanfaatan portofolio yang dibuat siswa dijadikan sebagai instrumen utama penilaian. Guru akan dihadapkan pada rutinitas penyiapan instrumen penilaian dan tumpukan-tumpukan portofolio peserta didik yang harus dinilai.

Masih dalam hubungannya dengan penilaian, penentu kebijakan sudah pada tempatnya untuk tidak merasa keberatan mengevaluasi sistem UN yang diberlakukan sekarang. Kurikulum baru menuntut penilaian pada semua ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor). Sistem UN yang diberlakukan saat ini tidak sejalan dengan tututan itu, dan perlu dirombak. Rasanya tidak perlu UN dijadikan penentu kelulusan, dan terasa aneh apabila hasil UN dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Janganlah UN “didewakan” dalam dunia pendidikan. Bila UN tetap dipertahankan, sepatutnya dicarikan formula (sistem) yang tidak lagi mengakomudir ke dua hal itu. Bila perlu penilaian sepenuhnya dikembalikan kepada guru. Merekalah yang memiliki hak utama dalam penilaian, karena lebih tahu tentang peserta didiknya. Dengan demikian para guru tidak perlu merasa dikebiri haknya dalam menilai peserta didiknya sendiri.

5.Perubahan Kegiatan Ekstrakurikuler

Perubahan lain yang mengemuka adalah menyangkut kegiatan ekstrakurikuler. Untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat memilih, seperti OSIS, UKS, PMR, dan berbagai kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah. Namun, yang wajib diikuti oleh semua siswa sebagai kegiatan ekstrakurikuler adalah Pramuka, bukan merupakan program kegiatan pilihan. Ini berarti setiap sekolah dituntut untuk menyiapkan lebih banyak tenaga pembina Pramuka untuk membina seluruh siswa, dan berarti pula dana operasional kegiatan meningkat drastis. Untuk itu, tiap-tiap satuan pendidikan harus mengantisipasi perubahan ini sejak dini.

C. MEMBANGUN PERSEPSI GURU DALAM PERUBAHAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM

Perubahan kurikulum dimaksudkan sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Perubahan tersebut merupakan konsekwensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat (Anonim, 2012). Tetapi, dalam implementasi kurikulum baru akan menibulkan perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dengan pelaku kebijakan. Pemegang kebijakan memiliki asumsi bahwa pelaku kebijakan (guru) kurang menyukai perubahan, sedangkan dari sisi guru juga meyakini bahwa pemegang kebijakan tidak memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya pembelajaran (Puskur, 2008).

Memang tidak bisa dihndari, setiap perubahan kurikulum selalu menghasilkan kontroversi di semua pihak, mulai dari praktisi sampai opini para pakar. Namun sebagai guru yang notabene hanya sebagai pelaksana, tentu tidak kuasa menolak kebijakan yang sudah menjadi ketetapan. Seperti yang diungkapkan dalam wacana koranpendidikan.com (2012), bahwa tidak berlaku pepatah, “nasi sudah menjadi bubur” dalam persoalan ini. Pemerintah sudah menetapkan pemberlakuan kurikulum 2013, sementara rakyat (para guru) adalah abdi yang sepertinya “mesti” sendiko dawuh gusti (mengabdi secara utuh). Namun di dunia demokrasi, seorang guru berhak mengkritisi dan mempertanyakannya. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tunjuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Dengan demikian perubahan kurikulum pendidikan Indonesia harus disikapi dengan bijak oleh setiap guru, terlepas dari anggapan-anggapan negatif yang berkembang di masyarakat maupun media. Anggapan bahwa perubahan kurikulum adalah pratik rutin tahunan, statemen ganti menteri ganti kurikulum, ungkapan bahwa peserta didik dijadikan sebagai kelinci percobaan kurikulum, serta besarnya biaya menjadi hal yang sering terungkap dalam perbincangan masyarakat dan media.

Untuk menghidari persepsi skeptis seperti itu di kalangan para guru terhadap kebijakan pemerintah tersebut, proses perubahan kurikulum semestinya bukan hanya persoalan sosialisasi namun juga mencakup kelengkapan sarana dan prasarana serta kesiapan SDM. Menyiapkan SDM guru harus dimulai dari upaya membangun persepsi bahwa perubahan kurikulum sebagai perbaikan mutu pendidikan. Mengingat bahwa perubahan itu biasanya menghasilkan “penolakan“ baik secara mental maupun sikap dan perilaku sehingga bisa berakhir menjadi tidak efektif dalam pelaksanaan. Maka kesan bahwa kurikulum yang baru itu sebagai upaya perbaikan mutu kurikulum yang sebelumnya, lebih mudah diterapkan, lebih gampang diingat, lebih singkat, jelas dan tidak ribet serta membela kepentingan terbaik peserta didik harus menjadi pilar utama dalam strategi penyampaian atau mempublikasikannya kepada para guru. Pola pikir menentukan situasi emosi dan perilaku dalam pelaksanaan tugas membangun persepsi positif atas perubahan kurikulum harus didahulukan dalam proses sosialisasi sebelum sosialisasi pelaksanaan teknis. Salah warisan penyakit mental adalah zona nyaman dan malas melakukan perubahan. Karena itu memotivasi, membangun persepsi serta keterampilan bahwa perubahan kurikulum adalah upaya efektivitas kegiatan pembelajaran harus dapat dihayati secara mendalam oleh para guru kita.

Pada umumnya mendengar kata penggantian, maka persepsi yang terbangun adalah mengganti semua yang ada dan mengabaikan semua hasil yang telah dicapai. Dengan menggunakan kata memperbaiki mutu maka persepsi yang terbangun adalah mempertahankan hasil baik yang telah dicapai dan menambah dengan sesuatu yang baru agar menjadi lebih baik. Disamping itu, setiap guru diarahkan untuk memahami perubahan kurikulum secara utuh, tidak dipahami secara parsial, dengan memperhatikan beberapa hal berikut : 1) proses belajar yang terjadi pada masa lalu juga terjadi pada masa sekarang walaupun dengan intensitas yang berbeda; 2) guru sebagai pengontrol dominan dalam pembelajaran dicerminkan oleh transformasi nilai pada siswanya; 3) setiap kurikulum memberikan bekas tertentu pada pembelajaran; 4) pembelajaran yang kompleks lebih umum daripada pembelajaran yang sederhana; 5) pembelajaran sekarang tidak akan berhasil baik jika tidak memperhatikan pembelajaran yang lalu; dan 6) perubahan-perubahan kurikulum di dunia diperlukan untuk mengetahui perbedaan pembelajaran.

Persepsi positif di kalangan para guru dalam implementasi kurikulum akan dapat lebih terbentuk lagi apabila menggunakan role model. Menggunakan contoh sekolah yang sudah memahami dan dapat melaksanakan dengan baik hingga berhasil atas pelaksanaan kurikulum akan memperkuat keyakinan bahwa tidak ada yang sulit dan perlu ditakuti akan adanya perubahan kurikulum. Sekaligus sekolah bersangkutan dapat belajar secara langsung terhadap keberhasilan sekolah yang telah melaksanakan kurikulum tersebut, sebagai transfer of knowledge and transfer of experiences. Meskipun tentu saja harus memperhitungkan diversity, antropologi budaya masyarakat setempat, kelengkapan sarana dan prasarana, mutu SDM dan tentu saja integrity dan citra role model tersebut harus kredibel. Dengan pendekatan role model berarti sebelum kurikulum baru tersebut diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas, terlebih dahulu diimplementasikan kepada para guru. Hal ini sejalan dengan penilaian seorang pengamat pendidikan, Prof. Soedijarto, bahwa hal terpenting dalam perubahan kurikulum adalah implementasi dalam kegiatan belajar mengajar. Pertanyaan besarnya adalah apakah guru yang mengajar sudah mengerti dengan kurikulum baru yang akan diterapkan atau tidak ? Selayaknya sebelum disosialisasikan kepada anak didik kurikulum baru tersebut nantinya diimplementasikan ke kalangan tenaga pengajar. Mereka pun harus benar-benar paham dengan kurikulum baru ini, agar kualitas guru semakin tinggi (okezone.com, 2012).

Berdasrkan paparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Perubuhan kurikulum berkait dengan perubahan pradigma pembelajaran. Perubahan pradigma baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru, dimana mereka perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran bagi guru yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi dimaksud apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal (Puskur, 2008).

Untuk itu setiap guru perlu ditingkatkan kemampuan atau profesionalnya dalam rangka mengimplementasikan kurikulum 2013. Dalam dokumen uji publik kurikulum 2013, telah ditetapkan bahwa untuk menyiapkan implementasi akan dilakukan training pada para guru. Tetapi belum ditetapkan model (bentuk) pelaksanaannya. Pelatihan yang harus diberikan kapada guru agar dapat mengimplementasikan pembelajaran yang diharapkan, adalah pelatihan yang menggunakan pendekatan yang sama dengan cara pembelajaran yang diharapkan akan terjadi di kelas nantinya. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan inkuiri, sesuai dengan tuntutan kurikulum baru. Dalam pelatihan model ini, setiap guru minimal dibekali dengan pengalaman yang memungkinkannya untuk : (i) melakukan sendiri kegiatan inkuiri, (ii) mendapatkan pengalaman langsung bagaimana pembelajaran terjadi (how people learn) dan peran guru dalam pembelajaran inkuiri. Selain itu dalam pelatihan harus dimasukkan juga berbagai metoda assessment yang tepat untuk memonitor kemampuan siswa dalam kemampuan-kemampuan inkuiri. Kegiatan lanjutan pasca pelatihan dapat berupa dukungan dan kunjungan tim ahli, penyediaan sumber belajar online (Ismunandar, 2013). Namun perlu diingat dan ditekankan, agar pelatihan yang dilakukan melibatkan seluruh guru, bukan sebagian kecil saja. Pelatihan dirancang dengan sebaik-baiknya, dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan berkesinambungan. Sehingga mampu merangsang peningkatan profesional guru secara optimal. Intinya agar pembelajaran yang diharapkan dapat berlangsung berkelanjutan diperlukan perubahan budaya dari pelatihan yang bersifat top down menjadi kebutuhan para guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya (bottom up) (Ismunandar, 2013).

D.KESIMPULAN

Kurikulum baru berbasis sains yang akan mulai diterapkan pada Juni 2013 nanti, melalui pengembangan SKL yang meningkat dan seimbang antara soft skills dan hard skills, bertujuan untuk mengasah tiga kompetensi anak, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Perubahan kurikulum 2013 untuk tingkat satuan pendidikan SMP yang mendasar terdapat dalam standar isi, terutama pada struktur kurikulum, yang ditandai dengan pengurangan jumlah mata pelajaran dan pengintegrasiannya ke mata pelajaran lain, serta penambahan jam belajar. Dalam aspek perubahan ini, terdapat persoalan yang dihadapi oleh sekolah, yang harus diantisipasi dan dicarikan solusinya, antara lain menyakut masih kurangnya fasilitas pendukung, pendanaan, SDM guru, dan kesiapan peserta didik.

Perubahan mencolok lainnya juga terdapat pada standar proses, yaitu berkaitan dengan pendekatan proses pembelajaran, dan adanya penekanan pengembangan sikap peserta didik. Pendekatan proses pembelajaran dalam kurikulum baru lebih mengedepankan pengalaman personal. Sementara pengembangan sikap positif peserta didik, ditekankan pada pengembangan dan pemberian contoh dan teladan dari guru terhadap peserta didik. Perubahan ini menuntut adanya kesiapan guru. Kesiapan guru juga dituntut terhadap pengampu mata pelajaran IPA dan IPS untuk mampu membelajarkannya secara terpadu, bukan terpisah berdasarkan disiplin ilmu. Kurikulum 2013 juga menuntut adanya keseimbangan penilaian antara penilain melalui tes dan portofolio. Penilaian harus dilakukan secara otentik untuk mengukur semua kompetensi peserta didik, dengan menggunakan instrumen utama penilaian adalah portofolio yang dibuat oleh siswa. Berarti dituntut adanya keseimbangan antara proses dan hasil.

Disamping itu, dalam kurikulum 2013 ditetapkan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib bagi semua peserta didik, yang dimaksudkan untuk dapat mengenmbangkan karakter atau sikap positif mereka. Dalam setiap perubahan kurikulum, termasuk kurikulum 2013, selalu terdapat sikap pro dan kontra dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam situasi dan konsisi seperti itu, pemerintah hendaknya mampu membangun persepsi positif guru dalam perubahan dan implementasi kurikulum baru ini. Karena berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh guru. Setiap guru hendaknya mampu digerakkan untuk bersikap terbuka terhadap perubahan dan melek kurikulum, baik melalui sosialisasi yang intensif maupun menggunakan pendekatan role model.

Guru juga harus dibekali melalui pelatihan yang baik, berdaya dan berhasil guna, dengan menggunakan pendekatan inkuiri yang dilengkapi metode assessment dan tindak lanjutnya. Dengan demikian, kurikulum 2013 tidak hanya sekedar bagus dalam tataran konsep, tetapi juga tidak rapuh dalam implementasinya di sekolah. Bagaimana pun tidak ada kepentingan yang lebih utama atas perubahan kurikulum kecuali kepentingan terbaik anak bangsa.

Jerowaru, 23 Januari 2013

Aku bukanlah siapa-siapa, hanyalah setetes embun dari padang rumput yang tandus. “Selamat menyongsong kurikulum 2013, semoga Anda sukses”.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Turmuzi, 2011. Peranan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/28/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikan-karakter-di-sekolah-405139.html. Diakses 17 Januari 2013.

Anonim, 2012. Sejarah Perkembangan Kurikulum Di Indonesia. http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Revisi_Bahan_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD/UNIT-_PERKEMBANGAN_KURIKULUM_.pdf. Di akses 20 Januari 2013.

Ismunandar, 2013, Pelatihan Guru Menyiapkan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-pelatihan-guru. Di akses 17 Januari 2013.

Kemdikbud, 2012. Pengembangan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2. Di akses 17 Januari 2013.

Kompas.com. Mendikbud : Kurikulum 2013 Tidak Bisa Ditunda. http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/13/16154770/Mendikbud.Kurikulum.2013.Tidak.Bisa.Ditunda. Di akses 19 Januari 2013.

Koranpendidikan.com, 2012. Menatap Asa Kurikulum 2013. http://wacana.koranpendidikan.com/view/2522/menatap-asa-kurikulum-2013.html. Diakses 17 Januari 2013.

Okezone.com, 2012. Guru Harus Pahami Kurikulum Baru. http://kampus.okezone.com/read/2012/11/26/373/723366/guru-harus pahami-kurikulum-baru. Di akses 20 Januari 2013.

Puskur, 2008. Laporan Kajian Penididikan Menengah. Balitbang Departemen Pendidikan Nasional.

Relevansi Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengaktualisasikan Visi Pendidikan di Era Otonomi Daerah

Klik Untuk melihat
Kepemimpinan kepala sekolah di satuan pendidikan memiliki fungsi yang strategis untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan program yang telah ditetapkan. Kepala sekolah harus mampu bersikap manusiawi untuk mempersatukan kelompok yang ada di satuan pendidikan yang dipimpinnya, dan menggerakkannya ke arah pencapaian tujuan yang diharapkan. Kepemimpinan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat mengubah potensi menjadi kenyataan. Tindakan yang dilakukan oleh kepala sekolah harus mampu membawa keberhasilan semua potensi yang ada pada satuan pendidikan dan untuk unsur-unsur manusiawi (orang) yang ada di dalamnya, bukan sebaliknya. Seorang kepala sekolah yang manusiawi memiliki kesempatan yang tidak terbatas untuk mengelola potensi-potensi yang dapat mendatangkan keuntungan bagi satuan pendidikannya, dan/atau sebaliknya kepala sekolah yang kurang manusiawi membiarkan potensi-potensi yang mestinya dapat mendukung keberhasilan menjadi sumber kegagalan di sekolah yang dipimpinnya.

Dengan kata lain bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang kondusif, penuh kearifan, dan bernuansa manusiawi, setiap kejelekan akan dapat dirubah menjadi kebaikan, sedangkan otoritas kepemimpinan kepala sekolah yang tidak refresentatif akan cederung memunculkan hal-hal yang baik atau buruk menjadi sebuah bencana. Kegagalan dan keberhasilan suatu sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah selaku pemimpin, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh satuan pendidikan menuju tujuan secara sedemikian rupa dengan mengoptimalkan sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. Perumus serta penentu strategi dan taktik adalah kepala sekolah sebagai pemimpinan di sekolah tersebut. Pada hakekatnya proses kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan atau perilaku orang lain. Dengan demikian, proses kepemimpinan kepala sekolah yang ada di satuan pendidikan akan selalu bersumber pada satu penalaran yaitu pencapaian tujuan, dimana dengan pola kepemimpinan kepala sekolah yang ada akan selalu diiringi dengan adanya mekanisme. Sehubungan dengan nilai strategis kepemimpinan kepala sekolah, maka sebagai pemimpin di sekolah harus memiliki visi yang jelas dalam mengaktualisasikan amanah kepemimpinannya.

Visi merupakan daya pandang jauh ke depan, mendalam, dan luas yang merupakan daya piker abstrak yang memiliki kekuatan dan dapat menerobos segala batas fisik, waktu, dan tempat. Dengan kata lain, visi adalah kristalisasi dan intisari dari suatu kemampuan, kebolehan, dan kebiasaan dalam melihat, menganalisis dan menafsirkan. Berdasarkan makna yang terkandung dalam visi tersebut, visi kepemimpinan yang relevan, termasuk kepemimpinan kepala sekolah, adalah : 1. Visi yang mampu merangsang kreativitas dan bermakna secara fisik-psikologis bagi semua. 2. Visi yang dapat menumbuhkan kebersamaan dan pencarian kolektif bagi semua. 3. Visi yang mampu mereduksi sikap egoistic-individual atau egoistic-unit ke format berpikir kolegalitas, komprehensif, dan bekerja dengan cara-cara yang dapat diterima oleh semua. 4. Visi yang mampu merangsang kesamaan sikap dan sifat dalam aneka perbedaan dan menjadikan perbedaan itu sebagai potensi untuk maju secara senergis. 5. Visi yang mampu merangsang semua, dari hanya bekerja secara proporna ke kinerja rill yang bermaslahat, efektif, efesien dan akuntabilitas tertentu.

Seorang pemimpin (kepala sekolah) yang memiliki visi yang jelas dalam kepemimpinannya akan dapat mengestimasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, serta tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan untuk saat ini dan pada masa mendatang yang sangat berat seiring dengan kemajuan di bidang-bidang lainnya. Seorang kepala sekolah harus dapat membawa warga sekolah yang dipimpinnya sehingga mampu mengantisipasi beberapa kecenderungan tantangan dalam pendidikan, seperti berikut ini : 1. Pendidikan akan dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan sumber manusia, yaitu manusia yang memiliki kemampuan, kepribadian, dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pembangunan. 2. Di dalam dunia kerja, orientasi kepada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan makin kuat. 3. Aspirasi dan harapan masyarakat kepada dunia pendidikan akan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. 4. Bersamaan dengan tuntutan yang semakin kuat akan mutu, semakin kuat pula tuntutan akan perlunya pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan kebutuhan, dan untuk mengembangkan pendidikan yang lebih bermutu dan berdaya saing, dibutuhkan adanya dukungan dari semua pihak, baik pemerintah (pusat dan daerah), warga sekolah, maupun orang tua peserta didik dan masyarakat secara umum. Stakehoder pendidikan tersebut, memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam pendidikan anak bangsa, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Namun seiring dengan adanya kebijakan politik tentang otonomi daerah, unsur-unsur (stakeholder) tersebut, tidak bisa melaksankan tanggung jawab atau kewajibannya secara optimal.

Di era reformasi dan otonomi daerah, telah dikeluarkan kebijakan tentang sekolah gratis dan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM). Kebijakan pemerintah pusat dan derah tersebut, disadari atau tidak dan diakui atau tidak, telah menurutkan partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas. Kebijakan tersebut juga mempengaruhi kepala sekolah dalam menentukan tindakan, merasa risih dan khawatir. Ternyata dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tidak dapat dilaksankan secara merata dan berkeadilan. Disamping itu, pemerintah pusat dan daerah tidak mengikuti kebijakannya dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya mendapat bantuan dana pendidikan. Hal ini semakin dibutuhkan, terutama bagi sekolah-sekolah di wilayah tertinggal dan pinggiran, karena sektor dunia usaha/dunia industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan.

Berangkat dari kerangka berpikir di atas, kepemimpinan kepala sekolah di era otonomi daeran untuk dapat melaksanakan visi yang telah dirumuskan dalam meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan yang dipimpinnya, tetap menempatkan PSM sebagai alternatif pencapaiannya. Pilihan ini mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sekolah secara menyeluruh. Oleh karena satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS. Tetapi satuan pendidikan dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan, serta langkah yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, kepemimpinan kepala sekolah akan dapat mencapai pelaksanaan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, yang tingkatannya tergantung dari kondisi dan daya dukung yang ada, serta visi yang telah ditetapkan. Untuk mengaktualisasikan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, visi kepemimpinan kepala sekolah yang jelas untuk menjawab berbagai tantangan yang ada dalam kependidikan meruapakan pondasi untamanya untuk mencapai empat pilar visi pendidikan dunia yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nation Educational, Scienific and Cultural Organization (UNISCO), yakni learning to think (belajar bagaimana berpikir), learning to do (belajar bagaimana berbuat), learning to be (belajar bagaimana tetap hidup), dan learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Dengan penjabaran visi dasar inilah masyarakat akan mampu menghadapi dan mengantisipasi berbagai bentuk tantangan kehidupan di era sekarang ini dan di masa yang akan datang.

BAHAN BACAAN

Deddy Jacobus (2001), Kepemimpinan. Yogyakarta : Andi.

Depdiknas (2004), Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas (2006). Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

E. Mulyana (2004), Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Sudarwan Danim (2010), Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Alfabeta.

Syaiful Sagala (2005), Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta.

Wahjosumidjo (2001), Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta : Rajagrafindo Persada. Wahjosumidjo (2010), Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI :

a. Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

b. Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);

c. Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Undang-Udang Republik Indonesia :
a. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;

b. Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jerowaru Lombok Timur, 1 Nopember 2011.
Klik Untuk melihat
Kepemimpinan kepala sekolah di satuan pendidikan memiliki fungsi yang strategis untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan program yang telah ditetapkan. Kepala sekolah harus mampu bersikap manusiawi untuk mempersatukan kelompok yang ada di satuan pendidikan yang dipimpinnya, dan menggerakkannya ke arah pencapaian tujuan yang diharapkan. Kepemimpinan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat mengubah potensi menjadi kenyataan. Tindakan yang dilakukan oleh kepala sekolah harus mampu membawa keberhasilan semua potensi yang ada pada satuan pendidikan dan untuk unsur-unsur manusiawi (orang) yang ada di dalamnya, bukan sebaliknya. Seorang kepala sekolah yang manusiawi memiliki kesempatan yang tidak terbatas untuk mengelola potensi-potensi yang dapat mendatangkan keuntungan bagi satuan pendidikannya, dan/atau sebaliknya kepala sekolah yang kurang manusiawi membiarkan potensi-potensi yang mestinya dapat mendukung keberhasilan menjadi sumber kegagalan di sekolah yang dipimpinnya.

Dengan kata lain bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang kondusif, penuh kearifan, dan bernuansa manusiawi, setiap kejelekan akan dapat dirubah menjadi kebaikan, sedangkan otoritas kepemimpinan kepala sekolah yang tidak refresentatif akan cederung memunculkan hal-hal yang baik atau buruk menjadi sebuah bencana. Kegagalan dan keberhasilan suatu sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah selaku pemimpin, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh satuan pendidikan menuju tujuan secara sedemikian rupa dengan mengoptimalkan sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. Perumus serta penentu strategi dan taktik adalah kepala sekolah sebagai pemimpinan di sekolah tersebut. Pada hakekatnya proses kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan atau perilaku orang lain. Dengan demikian, proses kepemimpinan kepala sekolah yang ada di satuan pendidikan akan selalu bersumber pada satu penalaran yaitu pencapaian tujuan, dimana dengan pola kepemimpinan kepala sekolah yang ada akan selalu diiringi dengan adanya mekanisme. Sehubungan dengan nilai strategis kepemimpinan kepala sekolah, maka sebagai pemimpin di sekolah harus memiliki visi yang jelas dalam mengaktualisasikan amanah kepemimpinannya.

Visi merupakan daya pandang jauh ke depan, mendalam, dan luas yang merupakan daya piker abstrak yang memiliki kekuatan dan dapat menerobos segala batas fisik, waktu, dan tempat. Dengan kata lain, visi adalah kristalisasi dan intisari dari suatu kemampuan, kebolehan, dan kebiasaan dalam melihat, menganalisis dan menafsirkan. Berdasarkan makna yang terkandung dalam visi tersebut, visi kepemimpinan yang relevan, termasuk kepemimpinan kepala sekolah, adalah : 1. Visi yang mampu merangsang kreativitas dan bermakna secara fisik-psikologis bagi semua. 2. Visi yang dapat menumbuhkan kebersamaan dan pencarian kolektif bagi semua. 3. Visi yang mampu mereduksi sikap egoistic-individual atau egoistic-unit ke format berpikir kolegalitas, komprehensif, dan bekerja dengan cara-cara yang dapat diterima oleh semua. 4. Visi yang mampu merangsang kesamaan sikap dan sifat dalam aneka perbedaan dan menjadikan perbedaan itu sebagai potensi untuk maju secara senergis. 5. Visi yang mampu merangsang semua, dari hanya bekerja secara proporna ke kinerja rill yang bermaslahat, efektif, efesien dan akuntabilitas tertentu.

Seorang pemimpin (kepala sekolah) yang memiliki visi yang jelas dalam kepemimpinannya akan dapat mengestimasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, serta tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan untuk saat ini dan pada masa mendatang yang sangat berat seiring dengan kemajuan di bidang-bidang lainnya. Seorang kepala sekolah harus dapat membawa warga sekolah yang dipimpinnya sehingga mampu mengantisipasi beberapa kecenderungan tantangan dalam pendidikan, seperti berikut ini : 1. Pendidikan akan dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan sumber manusia, yaitu manusia yang memiliki kemampuan, kepribadian, dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pembangunan. 2. Di dalam dunia kerja, orientasi kepada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan makin kuat. 3. Aspirasi dan harapan masyarakat kepada dunia pendidikan akan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. 4. Bersamaan dengan tuntutan yang semakin kuat akan mutu, semakin kuat pula tuntutan akan perlunya pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan kebutuhan, dan untuk mengembangkan pendidikan yang lebih bermutu dan berdaya saing, dibutuhkan adanya dukungan dari semua pihak, baik pemerintah (pusat dan daerah), warga sekolah, maupun orang tua peserta didik dan masyarakat secara umum. Stakehoder pendidikan tersebut, memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam pendidikan anak bangsa, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Namun seiring dengan adanya kebijakan politik tentang otonomi daerah, unsur-unsur (stakeholder) tersebut, tidak bisa melaksankan tanggung jawab atau kewajibannya secara optimal.

Di era reformasi dan otonomi daerah, telah dikeluarkan kebijakan tentang sekolah gratis dan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM). Kebijakan pemerintah pusat dan derah tersebut, disadari atau tidak dan diakui atau tidak, telah menurutkan partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas. Kebijakan tersebut juga mempengaruhi kepala sekolah dalam menentukan tindakan, merasa risih dan khawatir. Ternyata dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tidak dapat dilaksankan secara merata dan berkeadilan. Disamping itu, pemerintah pusat dan daerah tidak mengikuti kebijakannya dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya mendapat bantuan dana pendidikan. Hal ini semakin dibutuhkan, terutama bagi sekolah-sekolah di wilayah tertinggal dan pinggiran, karena sektor dunia usaha/dunia industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan.

Berangkat dari kerangka berpikir di atas, kepemimpinan kepala sekolah di era otonomi daeran untuk dapat melaksanakan visi yang telah dirumuskan dalam meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan yang dipimpinnya, tetap menempatkan PSM sebagai alternatif pencapaiannya. Pilihan ini mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sekolah secara menyeluruh. Oleh karena satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS. Tetapi satuan pendidikan dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan, serta langkah yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, kepemimpinan kepala sekolah akan dapat mencapai pelaksanaan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, yang tingkatannya tergantung dari kondisi dan daya dukung yang ada, serta visi yang telah ditetapkan. Untuk mengaktualisasikan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, visi kepemimpinan kepala sekolah yang jelas untuk menjawab berbagai tantangan yang ada dalam kependidikan meruapakan pondasi untamanya untuk mencapai empat pilar visi pendidikan dunia yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nation Educational, Scienific and Cultural Organization (UNISCO), yakni learning to think (belajar bagaimana berpikir), learning to do (belajar bagaimana berbuat), learning to be (belajar bagaimana tetap hidup), dan learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Dengan penjabaran visi dasar inilah masyarakat akan mampu menghadapi dan mengantisipasi berbagai bentuk tantangan kehidupan di era sekarang ini dan di masa yang akan datang.

BAHAN BACAAN

Deddy Jacobus (2001), Kepemimpinan. Yogyakarta : Andi.

Depdiknas (2004), Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas (2006). Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

E. Mulyana (2004), Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Sudarwan Danim (2010), Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Alfabeta.

Syaiful Sagala (2005), Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta.

Wahjosumidjo (2001), Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta : Rajagrafindo Persada. Wahjosumidjo (2010), Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI :

a. Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

b. Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);

c. Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Undang-Udang Republik Indonesia :
a. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;

b. Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jerowaru Lombok Timur, 1 Nopember 2011.

Peranan Motivasi dalam Praktik Kepemimpinan Kepala Sekolah

Klik Untuk melihat
Sekolah merupakan organisasi yang bersifat kompleks. Di dalamnya memiliki berbagai dimensi, yang satu sama lainnya saling berhubungan dalam suatu sistem sosial. Sebagai sistem sosial dalam suatu organisasi, sekolah memerlukan pemimpin yang dapat berperan aktif. Kepemimpinan tertinggi di sekolah dijabat oleh kepala sekolah. Berarti di sekolah, kepemimpinan seorang kepala sekolah akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, karena menurut Wahjosumidjo (2010), bahwa : “Kata ‘memimpin’ …. mengandung makna luas, yaitu kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktiknorganisasi kata memimpin, mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya”. 

Bertolak dari pengertian di atas, berarti memberikan dorongan (motivasi) merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan kepala sekolah dalam memimpin sekolahnya. Satuan pendidikan yang merupakan sistem sosial, yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang memiliki karakteristik berbeda-beda, dan saling berhubungan (melayani) satu sama lainnya. Dalam kondisi seperti itu, motivasi dari kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya organisasi (sekolah). Menurut Sudarwan Danim (2010), “Motivasi merupakan dorongan pemimpin, termasuk kepala sekolah, untuk bertindak dengan cara tertentu. Motivasi pada dasarnya merupakan kondisi mental yang mendorong pemimpin melakukan suatu tindakan atau aktivitas (actions or activities) dan memberikan kekuatan yang mengarah kepada pencapaian pemenuhan keinginan, member kepuasan, ataupun mengurangi ketidakseimbangan”. 

Dengan kata lain, motivasi adalah energi yang mendorong orang (pemimpin) untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Seorang kepala sekolah, dituntunt untuk memiliki motivasi diri yang kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di satuan pendidikan yang dipimpinya. Hal ini akan mendrong kepala sekolah tampil sebagai pemimpin yang luar biasa. Menurut Sudarwan Danim (2010), “Pemimpin luar biasa mengerjakan tugas pokok dan fungsi melebihi dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar minimal”. 

Motivasi diri yang ada pada setiap kepala sekolah, juga menjadi sumber semangat yang mendorongnya untuk melakukan tindakan (motivasi eksternal) terhadap warga sekolah lainnya (guru, pegawai dan peserta didik) untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Cara-cara yang bisa ditempuh oleh seorang pemimpin (kepala sekolah) dalam rangka menfasilitasi motivasi dan semangat kerja ke tingkat yang lebih tinggi, menurut Sudarwan Danim (2010), terdiri dari 8 (delapan) cara, yaitu : “a. Pengetahuan dan keyakinan; b). Menjadi Pembelajar; c). Menciptakan budaya kerja; d). Akuntabilitas timbale balik; e). Membangun kolegialitas; f). Meniru tindakan pelatih; g). Keterampilan kepemimpinan; dan h). Pengembangan profesionalisme”. 

Dengan demikian, motivasi berperan sangat penting untuk meningkatkan semangat dan prestasi kerja. Tetapi hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. 

Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? 

Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat (sekolah). Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Tepe-tipe orang seperti di atas, banyak kita temukan di lingkungan organisasi pendidikan (satuan pendidikan). 

Dengan mngenali (mengidentifikasi) tipe-tipe warga sekolah (guru, pegawai, pesertadidik) sejak awal, akan dapat membantu kepala sekolah dalam menentukan tindakan atau menetapkan bentuk motivasi yang dibutuhkan. Dalam rangka memberikan motivasi, kepala sekolah hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. 

DAFTAR PUSTAKA 

Sudarwan Danim, 2010 Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Penerbit Alfabeta. 

Wahjosumidjo, 2010 Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jerowaru Lombok Timur, 28 Oktober 2011.
Klik Untuk melihat
Sekolah merupakan organisasi yang bersifat kompleks. Di dalamnya memiliki berbagai dimensi, yang satu sama lainnya saling berhubungan dalam suatu sistem sosial. Sebagai sistem sosial dalam suatu organisasi, sekolah memerlukan pemimpin yang dapat berperan aktif. Kepemimpinan tertinggi di sekolah dijabat oleh kepala sekolah. Berarti di sekolah, kepemimpinan seorang kepala sekolah akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, karena menurut Wahjosumidjo (2010), bahwa : “Kata ‘memimpin’ …. mengandung makna luas, yaitu kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktiknorganisasi kata memimpin, mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya”. 

Bertolak dari pengertian di atas, berarti memberikan dorongan (motivasi) merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan kepala sekolah dalam memimpin sekolahnya. Satuan pendidikan yang merupakan sistem sosial, yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang memiliki karakteristik berbeda-beda, dan saling berhubungan (melayani) satu sama lainnya. Dalam kondisi seperti itu, motivasi dari kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya organisasi (sekolah). Menurut Sudarwan Danim (2010), “Motivasi merupakan dorongan pemimpin, termasuk kepala sekolah, untuk bertindak dengan cara tertentu. Motivasi pada dasarnya merupakan kondisi mental yang mendorong pemimpin melakukan suatu tindakan atau aktivitas (actions or activities) dan memberikan kekuatan yang mengarah kepada pencapaian pemenuhan keinginan, member kepuasan, ataupun mengurangi ketidakseimbangan”. 

Dengan kata lain, motivasi adalah energi yang mendorong orang (pemimpin) untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Seorang kepala sekolah, dituntunt untuk memiliki motivasi diri yang kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di satuan pendidikan yang dipimpinya. Hal ini akan mendrong kepala sekolah tampil sebagai pemimpin yang luar biasa. Menurut Sudarwan Danim (2010), “Pemimpin luar biasa mengerjakan tugas pokok dan fungsi melebihi dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar minimal”. 

Motivasi diri yang ada pada setiap kepala sekolah, juga menjadi sumber semangat yang mendorongnya untuk melakukan tindakan (motivasi eksternal) terhadap warga sekolah lainnya (guru, pegawai dan peserta didik) untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Cara-cara yang bisa ditempuh oleh seorang pemimpin (kepala sekolah) dalam rangka menfasilitasi motivasi dan semangat kerja ke tingkat yang lebih tinggi, menurut Sudarwan Danim (2010), terdiri dari 8 (delapan) cara, yaitu : “a. Pengetahuan dan keyakinan; b). Menjadi Pembelajar; c). Menciptakan budaya kerja; d). Akuntabilitas timbale balik; e). Membangun kolegialitas; f). Meniru tindakan pelatih; g). Keterampilan kepemimpinan; dan h). Pengembangan profesionalisme”. 

Dengan demikian, motivasi berperan sangat penting untuk meningkatkan semangat dan prestasi kerja. Tetapi hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. 

Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? 

Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat (sekolah). Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Tepe-tipe orang seperti di atas, banyak kita temukan di lingkungan organisasi pendidikan (satuan pendidikan). 

Dengan mngenali (mengidentifikasi) tipe-tipe warga sekolah (guru, pegawai, pesertadidik) sejak awal, akan dapat membantu kepala sekolah dalam menentukan tindakan atau menetapkan bentuk motivasi yang dibutuhkan. Dalam rangka memberikan motivasi, kepala sekolah hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. 

DAFTAR PUSTAKA 

Sudarwan Danim, 2010 Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Penerbit Alfabeta. 

Wahjosumidjo, 2010 Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jerowaru Lombok Timur, 28 Oktober 2011.

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Kegiatan Supervisi

Klik Untuk melihat
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Suatu realita sehari-hari, di dalam suatu ruang kelas ketika sesi kegitan proses pembelajaran berlansung, nampak beberapa atau sebagian besar siswa belum belajar sewaktu guru mengajar. Selama proses pembelajaran berlansung guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya, sehingga peserta didik belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran lanjutan. Peserta didik belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa baru mampu mempelajari (baca : menghapal) fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum dapat menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual. Jika masalah ini dibiarkan dan berlanjut terus, siswa sebagai generasi penerus bangsa akan sulit bersaing di masa depan. Peserta didik yang diperlukan tidak sekedar yang mampu mengingat dan memahami informasi, tetapi juga yang mampu menerapkannya secara kontekstual melalui beragam kompetensi. Di era pembangunan yang berbasis ekonomi dan globalisasi sekarang ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan. 

Proses pembelajaran adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang memadukan secara sistematis dan berkesinambungan kegiatan pendidikan di dalam lingkungan sekolah dengan kegiatan pendidikan yang dilakukan di luar lingkungan sekolah dalam wujud penyediaan beragam pengalaman belajar untuk semua peserta didik. Ini berarti, diversifikasi kurikulum tidak terbatas pada diversifikasi materi, tetapi juga terjadi pada diversifikasi pengalaman belajar, tempat dan waktu belajar, alat belajar, bentuk organisasi kelas, dan cara penilaian. Pandangan ini memberikan dampak pada penyelenggaraan proses pembelajaran. Bila selama ini proses pembelajaran hanya ditandai kegiatan satu arah penuangan informasi dari guru ke siswa serta hanya dilaksanakan dan berlansung di sekolah, maka proses pembelajaran dengan nuansa kurikulum berbasis kompetensi (KBK) diindikasikan dengan keterlibatan siswa secara aktif dalam membangun gagasan/pengetahuan oleh masing-masing individu dan lazimnya dapat diselenggarakan di manapun tanpa adanya pembatasan. Agar tidak terjadi ketimpangan dan kekeliruan dalam kegiatan belajar mengajar diharuskan adanya supervisi yang berfungsi sebagai media yang bertujuan untuk membina organisasi pendidikan beserta anggotanya dan sebagai pengontrol yang diharapkan merupakan cara jitu untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. 
Istilah supervisi baru muncul kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini. dahulu istilah yang banyak digunakan untuk kegiatan serupa ini adalah inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Dalam konteks sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, supervisi merupakan bagian dari proses administrasi dan manajemen. Kegiatan supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah sebagai fungsi terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam mencapai tujuan. Supervisi mempunyai peran mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi bersangkut paut dengan semua upaya penelitian yang tenrtuju pada semua aspek yang merupakan faktor penentu keberhasilan. Dengan mengetahui kondisi aspek-aspek tersebut secara rinci dan akurat, dapat diketahui dengan tepat pula apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas organisasi yang bersangkutan. 

Didalam kegiatan supervisi yang melihat hal-hal negatif untuk diupayakan menjadi positif dan melihat mana yang positif untuk dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi, dalam pelaksanaannya bukan mencari-mencari kesalahan tetapi lebih terfokus pada unsur pembinaan, agar kondisi pekerjaan yang sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, supervisi yang dilakukan baik oleh kepala sekolah maupun pengawas pendidikan selaku supervisor, dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran sehingga bermakna begi peserta didik. 

Jerowaru Lombok Timur, 19 Desember 2011.
Klik Untuk melihat
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Suatu realita sehari-hari, di dalam suatu ruang kelas ketika sesi kegitan proses pembelajaran berlansung, nampak beberapa atau sebagian besar siswa belum belajar sewaktu guru mengajar. Selama proses pembelajaran berlansung guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya, sehingga peserta didik belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran lanjutan. Peserta didik belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa baru mampu mempelajari (baca : menghapal) fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum dapat menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual. Jika masalah ini dibiarkan dan berlanjut terus, siswa sebagai generasi penerus bangsa akan sulit bersaing di masa depan. Peserta didik yang diperlukan tidak sekedar yang mampu mengingat dan memahami informasi, tetapi juga yang mampu menerapkannya secara kontekstual melalui beragam kompetensi. Di era pembangunan yang berbasis ekonomi dan globalisasi sekarang ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan informasi serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan. 

Proses pembelajaran adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang memadukan secara sistematis dan berkesinambungan kegiatan pendidikan di dalam lingkungan sekolah dengan kegiatan pendidikan yang dilakukan di luar lingkungan sekolah dalam wujud penyediaan beragam pengalaman belajar untuk semua peserta didik. Ini berarti, diversifikasi kurikulum tidak terbatas pada diversifikasi materi, tetapi juga terjadi pada diversifikasi pengalaman belajar, tempat dan waktu belajar, alat belajar, bentuk organisasi kelas, dan cara penilaian. Pandangan ini memberikan dampak pada penyelenggaraan proses pembelajaran. Bila selama ini proses pembelajaran hanya ditandai kegiatan satu arah penuangan informasi dari guru ke siswa serta hanya dilaksanakan dan berlansung di sekolah, maka proses pembelajaran dengan nuansa kurikulum berbasis kompetensi (KBK) diindikasikan dengan keterlibatan siswa secara aktif dalam membangun gagasan/pengetahuan oleh masing-masing individu dan lazimnya dapat diselenggarakan di manapun tanpa adanya pembatasan. Agar tidak terjadi ketimpangan dan kekeliruan dalam kegiatan belajar mengajar diharuskan adanya supervisi yang berfungsi sebagai media yang bertujuan untuk membina organisasi pendidikan beserta anggotanya dan sebagai pengontrol yang diharapkan merupakan cara jitu untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. 
Istilah supervisi baru muncul kurang lebih tiga dasawarsa terakhir ini. dahulu istilah yang banyak digunakan untuk kegiatan serupa ini adalah inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau penilikan. Dalam konteks sekolah sebagai sebuah organisasi pendidikan, supervisi merupakan bagian dari proses administrasi dan manajemen. Kegiatan supervisi melengkapi fungsi-fungsi administrasi yang ada di sekolah sebagai fungsi terakhir, yaitu penilaian terhadap semua kegiatan dalam mencapai tujuan. Supervisi mempunyai peran mengoptimalkan tanggung jawab dari semua program. Supervisi bersangkut paut dengan semua upaya penelitian yang tenrtuju pada semua aspek yang merupakan faktor penentu keberhasilan. Dengan mengetahui kondisi aspek-aspek tersebut secara rinci dan akurat, dapat diketahui dengan tepat pula apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas organisasi yang bersangkutan. 

Didalam kegiatan supervisi yang melihat hal-hal negatif untuk diupayakan menjadi positif dan melihat mana yang positif untuk dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi, dalam pelaksanaannya bukan mencari-mencari kesalahan tetapi lebih terfokus pada unsur pembinaan, agar kondisi pekerjaan yang sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, supervisi yang dilakukan baik oleh kepala sekolah maupun pengawas pendidikan selaku supervisor, dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran sehingga bermakna begi peserta didik. 

Jerowaru Lombok Timur, 19 Desember 2011.

Kegiatan Penilaian Proses Pembelajaran

Klik Untuk melihat
Salah satu tugas dalam profesi keguruan adalah melakukan penilaian terhadap setiap kegiatan yang terselenggara dalam proses pembelajaran. Hal ini berpangkal dari suatu fakta yang bersifat kondrati tentang keingintahuan dari setiap manusia mengenai wujud dari hasil aktivitas yang telah diselenggarakannya, baik yang berdimensi kuantitas maupun yang mengarah pada aspek kualitas. Dengan demikian, penilaian dalam proses pembelajaran merupakan sebuah komponen yang tidak dapat disangsikan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain bahwa kegiatan penilaian adalah sebuah bagian yang integral dalam proses pembelajaran itu sendiri. Aktivitas penilaian memiliki signifikansi dengan proses pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan kegiatan pembelajaran. Tanpa ada komitmen dan kemampuan yang relevan dengan proses penilaian itu, maka pendidikan yang diharapkan untuk memanusiakan manusia memungkinkan dapat beralih fungsi menjadi sebuah prosedur yang menafikan aspirasi dan kreatifitas peserta didik.

Oleh karena itu, guru selaku pelaksana pendidikan dan pengajaran di sekolah dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuannya agar sejalan dengan kemajuan yang ada dalam masyarakatnya. Pembaharuan yang harus dilakukan guru tidak saja yang bersifat intern, seperti tuntutan profesionalitas selaku pengemban profesi keguruan. Tetapi juga pembaharuan yang bersifat ekstren, seperti memiliki gerak yang dinamis dalam masyarakatnya. Dengan demikian seorang guru adalah inovator di dalam lembaganya juga motivator bagi masyarakatnya. Penilaian merupakan tuntutan kemampuan yang bersifat intern dalam profesi keguruan, yakni kemampuan seorang guru untuk mengukur dan menilai sejauh mana ia telah mampu memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.

Kiranya perlu dicatat bahwa dalam usaha pencapaian tujuan selalu terdapat jurang pemisah (gap) antara tujuan dan hasil yang dicapai. Karena itu, usaha-usaha yang serius harus dilakukan untuk : 1. Menentukan tujuan yang realistis dan pragmatis. 2. Menentukan standard kualitas pekerjaan yang diharapkan. 3. Meneliti sampai pada tingkat apa standard yang telah ditentukan itu dapat dicapai. 4. Mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, baik penyesuaian rencana, pelaksanaan maupun cara memotivasi serta pengawasan. Penyesuaian dapat pula ditujukan terhadap tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1981 : 141).

Kriteria di atas merupakan komponen-komponen yang perlu mendapatkan perhatian dalam setiap aktivitas proses penilaian. Artinya bahwa setiap kegiatan penilaian harus selalu tertuju pada ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam pendidikan, orang mengadakan evaluasi (penilaian) dapat memenuhi dua tujuan, yaitu : (a) Untuk mengetahui kemajuan anak, atau orang yang didik setelah si terdidik tadi menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu. (b) Untuk mengetahui tingkat efesiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu (Buchari, 1983 : 7).

Berpangkal dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penilaian dalam lembaga-lembaga pendidikan formal pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai jarak antara situasi yang ada dengan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh data yang akan memberikan gambaran tentang harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan pembelajaran seperti yang ditetapkan sebelumnya. Tanpa ada kegiatan penilaian tidak akan mungkin seorang guru dapat mengembangkan atau memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan karena tidak tersedianya informasi yang akurat tentang kelebihan/keuntungan maupun kekurangan/kelemahan dari berbagai praktik-praktik yang telah dilakukannya di dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Demikian pula bahwa dengan kegiatan penilaian akan diperoleh data tentang sejauhmana penguasaan peserta didik terhadap bahan yang telah tersaji dalam interaksi belajar mengajar dan sekaligus juga dapat diketahui efektifitas dan efesiensi program pengajaran yang telah dilakukan. Penilaian dalam proses belajar bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Karena tujuan pendidikan pada umumnya bersifat kompleks, maka penilaiannya pun tidak mungkin sederhana.

Dalam menilai tujuan yang hendak dicapai perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut. a. Hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengertian. b. Hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan. c. Hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan. d. Hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari (Rusyan, 1989 : 2010 – 2011).

Apabila diperhatikan beberapa aspek yang perlu dicermati dalam proses penilaian sebagai bidang garapan guru di sekolah, maka dapat dinyatakan pula bahwa pada hakekatnya kegiatan penilaian itu harus berorientasi pada ketiga aspek tujuan pendidikan, yakni aspek kongnitif, afektif dan psikomotor. Di dalam perkembangan lembaga-lembaga pendidikan formal, di mana sampai saat ini masih harus diakui bahwa terdapat ketimpangan yang sangat mendasar yang dilakukan oleh para guru di sekolah tentang pelaksanaan penilaian, dimana guru-guru pada umumnya tidak memahami kualitas tes atau alat yang disusunnya. Umumnya guru-guru yang melaksanakan tugas-tugas keguruan, pada setiap jenjang pendidikan dapat dikatakan memiliki berbagai keterbatasan kemampuan, baik yang disebabkan katena faktor intern dari guru-guru yang bersangkutan maupun yang disebabkan oleh keterbatasan fasilitas untuk berbuat secara optimal sesuai dengan tuntutan dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Oleh karena itu, tidak sedikit para ahli pendidikan yang memiliki asumsi bahwa guru-guru di lapangan masih belum mampu mengoptimalkan antara potensi yang dimilikinya dengan kenyataan-kenyataan yang semestinya dikerjakan. Salah satu di antaranya, sebagaimana dipaparkan di bawah ini. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, praktik penilaian pendidikan yang berkembang sampai saat ini masih banyak mengalami kendala, hal ini bersumber dari ketidakmampuan akademis dari guru yang bersangkutan untuk melaksanakan proses penilaian di bidang tersebut. Dengan kata lain, guru kurang memahami penilaian secara mendalam.

Kebanyakan guru tidak memiliki latar belakang pendidikan formal secara khusus dalam penilaian pendidikan. Di sebagian perguruan tinggi atau lembaga penghasil tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kajian tentang penilaian pendidikan hanya diperoleh melalui beberapa mata kuliah saja atau bahkan satu mata kuliah saja. Sehingga bukanlah hal yang mengejutkan jika sebagian guru menggunakan tes yang sama dari tahun ke tahun. Sebagian guru bahkan berendapat bahwa mereka memberikan tes sebagaimana tes yang mereka terima. Hal ini dapat dibenarkan sepanjang guru menggunakan tes yang benar-benar baku dan dilakukan dengan cara yang baku pula. Namun terkadang guru menggunakan tes yang tidak dapat dijamin standarisasinya, dan tes yang cenderung sama digunakan dari tahun ke tahun (Supranata, 2004 : 70).

Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Makna dari kedua cara penilaian tentang kemajuan belajar tersebut, seperti terurai berikut ini. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Sedangkan penilaian secara struktural-objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa. Sungguhpun masih banyak kekurangan dan kelemahan, penilaian cara yang kedua (struktural-objektif) telah biasa digunakan oleh para guru. Namun penilaian cara yang pertama (iluminatif-observatif) masih belum biasa digunakan guru disebabkan kemampuan dan kesadaran akan pentingnya penilaian tersebut belum membudaya (Sudjana, 1989 : 21 – 22).

Dengan pendapat tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya kemampuan akademik dari para guru di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal merupakan suatu kendala yang pasti untuk menuju pada kualitas pembelajaran yang relevan. Di samping itu, masih ada kecenderungan-kecenderungan negatif pada diri guru. Tidak ada usaha yang lebih baik selain usaha untuk meningkatkan mutu tes atau non-tes yang disusunnya. Namun hal ini tidak dilaksanakan karena kecenderungan seseorang untuk beranggapan bahwa yang menjadi hasil karyanya adalah yang terbaik atau setidak-tidaknya sudah cukup. Guru yang sudah banyak pengalaman, mengajar dan menyusun soal-soal tes/non-tes, juga masih sukar menyadari bahwa tesnya masih belum sempurna (Arikunto, 1987 : 199).

Gejala-gejala yang digambarkan di atas, pada dasarnya meliputi hampir semua pengemban profesi guru, sehingga pada akhirnya berdampak langsung pada semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, terutama dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang berorientasi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bertitik tolak dari fakta-fakta teori yang ada, maka perlu adanya suatu kegiatan penalaran yang dapat menjelaskan secara sistematis tentang kemampuan guru mata pelajaran dalam penilaian ranah kognitif, afektif dan psikomotor, baik yang dilakukan oleh guru itu sendiri maupun pihak lainnya.


BAHAN BACAAN 

Arikunto, Suharsimi, 1987, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Buchari, M, 1983, Teknik-teknik Evaluasi dalam Pendidikan, Jemmars, Bandung.

Rusyan, A. Tabrani; Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Remadja Karya CV, Bandung.

Siagian, P. Sondang, 1981, Filsafat Administrasi, Gunung, Agung, Jakarta.

Sudjana, Nana, 1989, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

Supranata, Sumarna dan Muhammad Hatta, 2004, Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004, Remaja Rosdakarya, Bandung. Jerowaru Lombok Timur, 20 Desember 2011.
Klik Untuk melihat
Salah satu tugas dalam profesi keguruan adalah melakukan penilaian terhadap setiap kegiatan yang terselenggara dalam proses pembelajaran. Hal ini berpangkal dari suatu fakta yang bersifat kondrati tentang keingintahuan dari setiap manusia mengenai wujud dari hasil aktivitas yang telah diselenggarakannya, baik yang berdimensi kuantitas maupun yang mengarah pada aspek kualitas. Dengan demikian, penilaian dalam proses pembelajaran merupakan sebuah komponen yang tidak dapat disangsikan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain bahwa kegiatan penilaian adalah sebuah bagian yang integral dalam proses pembelajaran itu sendiri. Aktivitas penilaian memiliki signifikansi dengan proses pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan kegiatan pembelajaran. Tanpa ada komitmen dan kemampuan yang relevan dengan proses penilaian itu, maka pendidikan yang diharapkan untuk memanusiakan manusia memungkinkan dapat beralih fungsi menjadi sebuah prosedur yang menafikan aspirasi dan kreatifitas peserta didik.

Oleh karena itu, guru selaku pelaksana pendidikan dan pengajaran di sekolah dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuannya agar sejalan dengan kemajuan yang ada dalam masyarakatnya. Pembaharuan yang harus dilakukan guru tidak saja yang bersifat intern, seperti tuntutan profesionalitas selaku pengemban profesi keguruan. Tetapi juga pembaharuan yang bersifat ekstren, seperti memiliki gerak yang dinamis dalam masyarakatnya. Dengan demikian seorang guru adalah inovator di dalam lembaganya juga motivator bagi masyarakatnya. Penilaian merupakan tuntutan kemampuan yang bersifat intern dalam profesi keguruan, yakni kemampuan seorang guru untuk mengukur dan menilai sejauh mana ia telah mampu memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.

Kiranya perlu dicatat bahwa dalam usaha pencapaian tujuan selalu terdapat jurang pemisah (gap) antara tujuan dan hasil yang dicapai. Karena itu, usaha-usaha yang serius harus dilakukan untuk : 1. Menentukan tujuan yang realistis dan pragmatis. 2. Menentukan standard kualitas pekerjaan yang diharapkan. 3. Meneliti sampai pada tingkat apa standard yang telah ditentukan itu dapat dicapai. 4. Mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, baik penyesuaian rencana, pelaksanaan maupun cara memotivasi serta pengawasan. Penyesuaian dapat pula ditujukan terhadap tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1981 : 141).

Kriteria di atas merupakan komponen-komponen yang perlu mendapatkan perhatian dalam setiap aktivitas proses penilaian. Artinya bahwa setiap kegiatan penilaian harus selalu tertuju pada ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam pendidikan, orang mengadakan evaluasi (penilaian) dapat memenuhi dua tujuan, yaitu : (a) Untuk mengetahui kemajuan anak, atau orang yang didik setelah si terdidik tadi menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu. (b) Untuk mengetahui tingkat efesiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu (Buchari, 1983 : 7).

Berpangkal dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penilaian dalam lembaga-lembaga pendidikan formal pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai jarak antara situasi yang ada dengan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh data yang akan memberikan gambaran tentang harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan pembelajaran seperti yang ditetapkan sebelumnya. Tanpa ada kegiatan penilaian tidak akan mungkin seorang guru dapat mengembangkan atau memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan karena tidak tersedianya informasi yang akurat tentang kelebihan/keuntungan maupun kekurangan/kelemahan dari berbagai praktik-praktik yang telah dilakukannya di dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Demikian pula bahwa dengan kegiatan penilaian akan diperoleh data tentang sejauhmana penguasaan peserta didik terhadap bahan yang telah tersaji dalam interaksi belajar mengajar dan sekaligus juga dapat diketahui efektifitas dan efesiensi program pengajaran yang telah dilakukan. Penilaian dalam proses belajar bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Karena tujuan pendidikan pada umumnya bersifat kompleks, maka penilaiannya pun tidak mungkin sederhana.

Dalam menilai tujuan yang hendak dicapai perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut. a. Hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengertian. b. Hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan. c. Hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan. d. Hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari (Rusyan, 1989 : 2010 – 2011).

Apabila diperhatikan beberapa aspek yang perlu dicermati dalam proses penilaian sebagai bidang garapan guru di sekolah, maka dapat dinyatakan pula bahwa pada hakekatnya kegiatan penilaian itu harus berorientasi pada ketiga aspek tujuan pendidikan, yakni aspek kongnitif, afektif dan psikomotor. Di dalam perkembangan lembaga-lembaga pendidikan formal, di mana sampai saat ini masih harus diakui bahwa terdapat ketimpangan yang sangat mendasar yang dilakukan oleh para guru di sekolah tentang pelaksanaan penilaian, dimana guru-guru pada umumnya tidak memahami kualitas tes atau alat yang disusunnya. Umumnya guru-guru yang melaksanakan tugas-tugas keguruan, pada setiap jenjang pendidikan dapat dikatakan memiliki berbagai keterbatasan kemampuan, baik yang disebabkan katena faktor intern dari guru-guru yang bersangkutan maupun yang disebabkan oleh keterbatasan fasilitas untuk berbuat secara optimal sesuai dengan tuntutan dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Oleh karena itu, tidak sedikit para ahli pendidikan yang memiliki asumsi bahwa guru-guru di lapangan masih belum mampu mengoptimalkan antara potensi yang dimilikinya dengan kenyataan-kenyataan yang semestinya dikerjakan. Salah satu di antaranya, sebagaimana dipaparkan di bawah ini. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, praktik penilaian pendidikan yang berkembang sampai saat ini masih banyak mengalami kendala, hal ini bersumber dari ketidakmampuan akademis dari guru yang bersangkutan untuk melaksanakan proses penilaian di bidang tersebut. Dengan kata lain, guru kurang memahami penilaian secara mendalam.

Kebanyakan guru tidak memiliki latar belakang pendidikan formal secara khusus dalam penilaian pendidikan. Di sebagian perguruan tinggi atau lembaga penghasil tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kajian tentang penilaian pendidikan hanya diperoleh melalui beberapa mata kuliah saja atau bahkan satu mata kuliah saja. Sehingga bukanlah hal yang mengejutkan jika sebagian guru menggunakan tes yang sama dari tahun ke tahun. Sebagian guru bahkan berendapat bahwa mereka memberikan tes sebagaimana tes yang mereka terima. Hal ini dapat dibenarkan sepanjang guru menggunakan tes yang benar-benar baku dan dilakukan dengan cara yang baku pula. Namun terkadang guru menggunakan tes yang tidak dapat dijamin standarisasinya, dan tes yang cenderung sama digunakan dari tahun ke tahun (Supranata, 2004 : 70).

Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Makna dari kedua cara penilaian tentang kemajuan belajar tersebut, seperti terurai berikut ini. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Sedangkan penilaian secara struktural-objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa. Sungguhpun masih banyak kekurangan dan kelemahan, penilaian cara yang kedua (struktural-objektif) telah biasa digunakan oleh para guru. Namun penilaian cara yang pertama (iluminatif-observatif) masih belum biasa digunakan guru disebabkan kemampuan dan kesadaran akan pentingnya penilaian tersebut belum membudaya (Sudjana, 1989 : 21 – 22).

Dengan pendapat tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya kemampuan akademik dari para guru di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal merupakan suatu kendala yang pasti untuk menuju pada kualitas pembelajaran yang relevan. Di samping itu, masih ada kecenderungan-kecenderungan negatif pada diri guru. Tidak ada usaha yang lebih baik selain usaha untuk meningkatkan mutu tes atau non-tes yang disusunnya. Namun hal ini tidak dilaksanakan karena kecenderungan seseorang untuk beranggapan bahwa yang menjadi hasil karyanya adalah yang terbaik atau setidak-tidaknya sudah cukup. Guru yang sudah banyak pengalaman, mengajar dan menyusun soal-soal tes/non-tes, juga masih sukar menyadari bahwa tesnya masih belum sempurna (Arikunto, 1987 : 199).

Gejala-gejala yang digambarkan di atas, pada dasarnya meliputi hampir semua pengemban profesi guru, sehingga pada akhirnya berdampak langsung pada semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, terutama dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang berorientasi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bertitik tolak dari fakta-fakta teori yang ada, maka perlu adanya suatu kegiatan penalaran yang dapat menjelaskan secara sistematis tentang kemampuan guru mata pelajaran dalam penilaian ranah kognitif, afektif dan psikomotor, baik yang dilakukan oleh guru itu sendiri maupun pihak lainnya.


BAHAN BACAAN 

Arikunto, Suharsimi, 1987, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Buchari, M, 1983, Teknik-teknik Evaluasi dalam Pendidikan, Jemmars, Bandung.

Rusyan, A. Tabrani; Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Remadja Karya CV, Bandung.

Siagian, P. Sondang, 1981, Filsafat Administrasi, Gunung, Agung, Jakarta.

Sudjana, Nana, 1989, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

Supranata, Sumarna dan Muhammad Hatta, 2004, Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004, Remaja Rosdakarya, Bandung. Jerowaru Lombok Timur, 20 Desember 2011.

Manajemen Berbasis Sekolah dan Kendala Pelaksanaannya

Untuk mencari model yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, seiring dengan reformasi politik, dilakukan reformasi pendidikan atau perubahan pengelolaan pendidikan. Upaya perubahan tersebut telah melahirkan konsep dasar pengeloalaan pendidikan yang diberi nama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha dan sebagainya), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah dan masyarakat atau stakeholder yang ada. Dengan demikian sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan beserta uraiannya termasuk kinerja sekolah. Karaktristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikatagorikan menjadi input, proses, dan output. Dalam tinjauan yang lebih luas, konsep dasar pola MBS memandang sekolah sebagai sistem yang terdiri/tersusun dari komponen konteks, input, proses, output dan outcome. Pada tataran konsep (teori) MBS, sebagaimana telah dipaparkan di atas, memberikan harapan yang tinggi bagi satuan pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui otonomi yang dimilikinya. Tetapi dalam pelaksanaannya, kemandirian yang telah dihajatkan dalam teori tersebut menuai banyak kendala, tidak semulus yang dibayangkan. Faktor penyebab tersumbatnya saluran menuju peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah adanya kebijakan pemerintah tentang sekolah gratis dan kebijakan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah. Kedua hal ini menyebabkan elemen-elemen dan komponen-komponen MBS tidak mampu diterapkan secara optimal. Dengan adanya slogan sekolah gratis yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik, telah menyebabkan terbangunnya konsep pada diri masyarakat (orangtua peserta didik) bahwa semua pelaksanaan atau pengelolaan pendidikan dari A sampai Z harus gratis dan tidak boleh membebani orangtua peserta didik dengan biaya atau pungutan apapun. Kondisi ini semakin mengakar dan menguat dalam pikiran masyarakat, yang dipicu oleh adanya pandangan (lisan maupun tulisan) dan kebijakan dari pemerintah daerah dengan menjadikan kebijakan sekolah gratis sebagai “konsumsi politik”, dan penerapan kebijakan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM) yang ternyata tidak dapat diberikan secara merata, tidak sesuai dengan jumlah peserta didik miskin yang membutuhkan atau siswa yang dapat dana bantuan selalu lebih kecil dari yang seharusnya. Kenyataan ini tentu saja semakin mengaburkan makna dari sekolah gratis yang sesungguhnya. Sehingga pengelola satuan pendidikan menjadi “takut” dan merasa “risih” untuk berbuat dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang dikelolanya. Seakan-akan meminta sumbangan kepada orangtua siswa atau masyarakat menjadi suatu hal yang “tabu” dan “haram”. Oleh karena itu, menggerakkan partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas, mengalami banyak kendala atau tantangan. Kendala ini semakin terasa berat bagi sekolah yang berada di daerah tertinggal dan pinggiran, dengan kondisi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan tingkat perekonomian yang rata-rata rendah. Pada hal pengalaman sekolah-sekolah yang maju, menempatkan PSM yang tinggi sebagai salah satu point penting dalam memajukan dan meningkatkan mutu layanan satuan pendidikannya. Dampak lain yang timbul dari adanya kebijakkan tersebut, sekolah tidak atau kurang mampu melaksanakan aspek kewirausahaan yang dipersyaratkan. Karena adanya pembatasan, koperasi sekolah tidak dapat melakukan fungsi sebagaimana mestinya, dan kondisinya berada pada tingkat “mati suri”. Ketidak mampuan melakukan kegiatan kewirausahaan, banyak ditemukan pada satuan pendidikan yang berada di wilayah tertinggal dan pinggiran, dimana sektor dunia usaha/dunia industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah tersebut, tidak diikuti dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Keadaan di atas apabila dibiarkan berlangsung terus-menerus tanpa ada penyelesaian yang semestinya, tentu akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pendidikan di masa depan. Persepsi masyarakat yang keliru dalam memaknai kebijakan tentang sekolah gratis, tidak kalah penting dan mendesak untuk segera diluruskan, tidak dibiarkan mendarah daging dalam diri masyarakat. Tidak akan ada dan tidak mungkin pendidikan yang bermutu diperoleh dengan biaya seadanya dan serba gratis. Menjadi sangat tidak mungkin lagi mana kala kita menyadari bahwa kita telah hidup diera gelobalisasi dan persaingan, yang tentu saja tantangan dan tingkatannya akan semakin besar dan sulit di masa depan. Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya mendapat bantuan dana pendidikan. Berangkat dari kerangka berpikir di atas, untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan secara signifikan dan optimal, maka konsep tentang sekolah gratis perlu dikaji ulang, pemerintah pusat dan daerah tidak setengah-setengah dalam menerapkan kebijakan, disamping memenuhi kewajibannya untuk memberikan dana dan fasilitas secara merata (penuh) dan berkeadilan kepada semua satuan pendidikan. Sepangjang kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi sebagaimana mestinya, PSM dalam rangka pelaksanaan MBS tetap menjadi pilihan alternatif. Pilihan ini bahkan semakin dibutuhkan, mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan. Sehingga untuk dapat memenuhi kewajibannya tersebut, terasa sulit untuk dapat dipenuhi. Oleh karena satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS secara optimal. Tetapi satuan pendidikan dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan. Dengan kata lain, langkah yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan. BAHAN BACAAN 1. Dr. E. Mulyana, M.Pd. : Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasinya. Penerbit Remaja Rosda Karya, Bandung, 2006. 2. Dr. Syaiful Sagala, M.Pd. : Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Penerbit PT. Rakastra Samasta, Jakarta, 2005. 3. Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta 2004. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 5. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2006. 6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI : a. Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; b. Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA); c. Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. 7. Undang-Udang Republik Indonesia : a. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; b. Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jerowaru Lombok Timur, 4 Desember 2011.
Untuk mencari model yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, seiring dengan reformasi politik, dilakukan reformasi pendidikan atau perubahan pengelolaan pendidikan. Upaya perubahan tersebut telah melahirkan konsep dasar pengeloalaan pendidikan yang diberi nama Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha dan sebagainya), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah dan masyarakat atau stakeholder yang ada. Dengan demikian sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan beserta uraiannya termasuk kinerja sekolah. Karaktristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikatagorikan menjadi input, proses, dan output. Dalam tinjauan yang lebih luas, konsep dasar pola MBS memandang sekolah sebagai sistem yang terdiri/tersusun dari komponen konteks, input, proses, output dan outcome. Pada tataran konsep (teori) MBS, sebagaimana telah dipaparkan di atas, memberikan harapan yang tinggi bagi satuan pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui otonomi yang dimilikinya. Tetapi dalam pelaksanaannya, kemandirian yang telah dihajatkan dalam teori tersebut menuai banyak kendala, tidak semulus yang dibayangkan. Faktor penyebab tersumbatnya saluran menuju peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah adanya kebijakan pemerintah tentang sekolah gratis dan kebijakan politik tentang pemberlakuan otonomi daerah. Kedua hal ini menyebabkan elemen-elemen dan komponen-komponen MBS tidak mampu diterapkan secara optimal. Dengan adanya slogan sekolah gratis yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik, telah menyebabkan terbangunnya konsep pada diri masyarakat (orangtua peserta didik) bahwa semua pelaksanaan atau pengelolaan pendidikan dari A sampai Z harus gratis dan tidak boleh membebani orangtua peserta didik dengan biaya atau pungutan apapun. Kondisi ini semakin mengakar dan menguat dalam pikiran masyarakat, yang dipicu oleh adanya pandangan (lisan maupun tulisan) dan kebijakan dari pemerintah daerah dengan menjadikan kebijakan sekolah gratis sebagai “konsumsi politik”, dan penerapan kebijakan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM) yang ternyata tidak dapat diberikan secara merata, tidak sesuai dengan jumlah peserta didik miskin yang membutuhkan atau siswa yang dapat dana bantuan selalu lebih kecil dari yang seharusnya. Kenyataan ini tentu saja semakin mengaburkan makna dari sekolah gratis yang sesungguhnya. Sehingga pengelola satuan pendidikan menjadi “takut” dan merasa “risih” untuk berbuat dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang dikelolanya. Seakan-akan meminta sumbangan kepada orangtua siswa atau masyarakat menjadi suatu hal yang “tabu” dan “haram”. Oleh karena itu, menggerakkan partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas, mengalami banyak kendala atau tantangan. Kendala ini semakin terasa berat bagi sekolah yang berada di daerah tertinggal dan pinggiran, dengan kondisi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan tingkat perekonomian yang rata-rata rendah. Pada hal pengalaman sekolah-sekolah yang maju, menempatkan PSM yang tinggi sebagai salah satu point penting dalam memajukan dan meningkatkan mutu layanan satuan pendidikannya. Dampak lain yang timbul dari adanya kebijakkan tersebut, sekolah tidak atau kurang mampu melaksanakan aspek kewirausahaan yang dipersyaratkan. Karena adanya pembatasan, koperasi sekolah tidak dapat melakukan fungsi sebagaimana mestinya, dan kondisinya berada pada tingkat “mati suri”. Ketidak mampuan melakukan kegiatan kewirausahaan, banyak ditemukan pada satuan pendidikan yang berada di wilayah tertinggal dan pinggiran, dimana sektor dunia usaha/dunia industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah tersebut, tidak diikuti dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Keadaan di atas apabila dibiarkan berlangsung terus-menerus tanpa ada penyelesaian yang semestinya, tentu akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pendidikan di masa depan. Persepsi masyarakat yang keliru dalam memaknai kebijakan tentang sekolah gratis, tidak kalah penting dan mendesak untuk segera diluruskan, tidak dibiarkan mendarah daging dalam diri masyarakat. Tidak akan ada dan tidak mungkin pendidikan yang bermutu diperoleh dengan biaya seadanya dan serba gratis. Menjadi sangat tidak mungkin lagi mana kala kita menyadari bahwa kita telah hidup diera gelobalisasi dan persaingan, yang tentu saja tantangan dan tingkatannya akan semakin besar dan sulit di masa depan. Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya mendapat bantuan dana pendidikan. Berangkat dari kerangka berpikir di atas, untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan secara signifikan dan optimal, maka konsep tentang sekolah gratis perlu dikaji ulang, pemerintah pusat dan daerah tidak setengah-setengah dalam menerapkan kebijakan, disamping memenuhi kewajibannya untuk memberikan dana dan fasilitas secara merata (penuh) dan berkeadilan kepada semua satuan pendidikan. Sepangjang kewajiban tersebut tidak dapat dipenuhi sebagaimana mestinya, PSM dalam rangka pelaksanaan MBS tetap menjadi pilihan alternatif. Pilihan ini bahkan semakin dibutuhkan, mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan. Sehingga untuk dapat memenuhi kewajibannya tersebut, terasa sulit untuk dapat dipenuhi. Oleh karena satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS secara optimal. Tetapi satuan pendidikan dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan. Dengan kata lain, langkah yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan. BAHAN BACAAN 1. Dr. E. Mulyana, M.Pd. : Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasinya. Penerbit Remaja Rosda Karya, Bandung, 2006. 2. Dr. Syaiful Sagala, M.Pd. : Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Penerbit PT. Rakastra Samasta, Jakarta, 2005. 3. Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta 2004. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 5. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2006. 6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI : a. Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; b. Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA); c. Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. 7. Undang-Udang Republik Indonesia : a. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; b. Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jerowaru Lombok Timur, 4 Desember 2011.

Budaya Kerja dan Kepemimpinan di Sekolah

Sekolah merupakan organisasi (institusi) pelaksana teknis penyelenggaraan pendidikan, yang jati dirinya akan tebentuk oleh budaya kerja. Bentuk budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di sekolah, dipengaruhi oleh pola dan gaya kepemimpinan yang ada di dalamnya, yang sekaligus merupakan bagian dari budaya kerja itu sendiri. Dengan demikian hidup atau matinya suatu sekolah akan sangat ditentukan oleh budaya kerja manusia di dalamnya. Sesuai dengan semangat manajemen berbasis sekolah (MBS), yang mempersyaratkan adanya partisipasi, fleksibilitas dan keterbukaan (transparansi dan akuntabilitas), maka budaya sekolah bukan berkiblat kepada kekuasaan pribadi, tetapi pada struktur dan fungsi sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah, dituntut untuk tidak bekerja sendiri, tetapi mendelegasikan sebagian tugasnya kepada aparat yang lain dengan membentuk team work, yang dituntut harus kompak, cerdas dan dinamis. Sehingga diharapkan adanya jaminan keluwesan struktur dan penyelesaian tugas yang diemban. Untuk menuju ke arah itu, harus diatur dan dimantapkan pembagian tugas secara jelas dan tegas. Sehingga semua warga sekolah dapat berpartisipasi aktif sesuai dengan tugasnya masing-masing dan harus ditopang oleh adanya kemauan yang kuat untuk melaksanakan tugas yang diemban. Pada hakekatnya praktek kepemimpinan terletak pada pengambilan keputusan terhadap berbagai kebijakan dan masalah yang dihadapi. Bagaimana antisipasi, persepsi dan cara pengambilan keputusan pimpinan akan mewarnai jalannya organisasi, termasuk di dalamnya apakah pengambilan keputusan itu cepat dan tepat. Untuk memenuhi kreteria itu, diterapkan pola kepemimpinan konsultatif dan partisipatif (demokratis). Hal ini mempersyaratkan bahwa keputusan pimpinan senantiasa didasarkan atas persetujuan dari mitra kerja di dalamnya (guru, pegawai, komite sekolah, orangtua peserta didik), dengan tetap berpegang atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, petunjuk pelaksanaan dan kebijakan tertulis dari atasan, dan kearifan (wisdom) bersumber pada Pancasila dan agama (Islam). Tidak semua hal diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk pelaksanaan atau kebijakan tertulis dari atasan. Untuk mencapai itu, diperlukan adanya keputusan rapat, bahkan ada kalanya berdasarkan kesepakatan di antara pengelola sekolah. Dalam hal ini diperlukan adanya kearifan (wisdom) untuk menimbang-nimbang keputusan mana yang akan diambil. Dalam rangka mengarah ke hal itu, diatur wadahnya melalui mekanisme atau jalur (layanan) informasi dan komunikasi. Praktek kepemimpin di sekolah diarahkan tidak lain untuk mencapai tugas pokok sekolah itu sendiri. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan efesien untuk mencapai mutu pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas tersebut, sangat tergantung pada guru di sekolah, yang merupakan pelaksana utama dalam proses pembelajaran. Untuk itu, pimpinan dituntut untuk mambu menumbuhkan kesadaran kepada guru tentang tugasnya, bahwa tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan membimbing. Oleh karena itu, guru perlu terus dibimbing dan dimotivasi untuk dapat secara berkesinambungan mengarahkan dan menekatkan sifat (proses) pembelajaran pada pemberdayaan peserta didik. Dimana guru dituntut untuk menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran yang pro-perubahan, yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, misalnya dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan lain-lainnya. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi guru dengan baik dalam proses pembelajaran, pemimpin sekolah (kepala sekolah) harus memperhatikan peningkatan kompetensi guru, disamping peningkatan kompetensinya sendiri. Sehingga guru mampu memelihara ilmunya dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir. Proses pembelajaran dan penyelenggaran pendidikan secara umum akan berjalan dengan efektif, apabila didukung oleh pelaksanaan atau penegakan hukum. Bagi orang Islam yang taat, melaksanakan hukum adalah suatu kewajiban. Sebab hukum diadakan untuk menjamin ketertiban dan keteraturan demi kepentingan bersama, dan merupakan syarat mutelak untuk kesejahteraan dan kedamaian. Apabila hukum tidak ditegakkan, maka yang terjadi adalah suatu anomie, di mana norma-norma menjadi kabur, bahkan mungkin akan terjadi suatu kekacaauan (chaos) atau ketidakteraturan (disoder), bukan keteraturan (cosmos) dan ketertiban (order). Jika alam mempunyai keteraturan dan ketertiban, maka dalam kehidupan manusia dengan semua pranata sosialnya, semestinya juga mempunyai keteraturan dan ketertiban. Untuk memberi jaminan penegakan hukum, maka pimpinan sekolah secara partisipatif bersama warga sekolah lainnya, menyusun dan menyempurnakan tata tertib guru, pegawai dan siswa (peraturan akademik dan kode etik) sesuai dengan kebutuhan. Dalam hubungannya dengan ini, pimpinan sekolah seyogyanya mampu mengajak semua elemen warga sekolah untuk merenungkan dan menghayati beberapa pokok pikiran berikut ini : 1. Sejauh mana komitmen untuk melaksanakan tugas mulia sebagai pengelola sekolah (pimpinan), guru dan pegawai; 2. Semua guru dan pegawai, termasuk di dalamnya yang terlibat selaku pimpinan sekolah pada mulanya adalah melamar pekerjaan, yang berarti bersedia dan mengikat diri untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Hal ini berlaku juga bagi guru atau pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 3. Kewajiban harus dilaksanakan lebih dahulu, baru diikuti oleh hak, bukan sebaliknya; 4. Setiap organisasi atau instansi, lebih-lebih organisasi pemerintahan diatur oleh seperangkat norma hukum, demi tercapainya tujuan organisasi itu; 5. Penegakan norma hukum, memerlukan dukungan norma moral dari pelaksananya; 6. Pembinaan kepegawaian di Indonesia, khususnya PNS didasarkan atas kombinasi antara sistem karir dan sistem prestasi; 7. Pelanggaran terhadap aturan kepegawaian bisa dikenakan sanksi sesuai undang-undang dan peraturan pemerintah tentang PNS dan tenaga bantu/kontrak, serta peraturan sekolah tentang tenaga guru dan pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 8. Apa yang menjadi kewajiban dan hak PNS/GT/PT, guru/pegawai bantu/kontrak dan guru/pegawai tidak tetap (GTT/PTT) ?; 9. Apa fungsi atasan dan bawahan ?; 10. Apa yang menjadi tugas Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Urusan-urusan, KTU dan para pengelola/pembina kegiatan ?; 11. Apakah kita telah memenuhi ketentuan disiplin kerja (kehadiran, izin, sakit, absen, cuti dan tugas dinas lainnya) ?. Perenungan dan penghayatan terhadap pokok-pokok pikiran di atas, yang dilakukan secara positif akan mendatangkan inspirasi positif, yang akan membawa dan mengantarkan kita kepada perbuatan/pelaksanaan kegiatan yang positif pula. Agar keputusan bisa berjalan sebagaimana diharapkan diperlukan adanya komunikasi dan motivasi. Kedua hal ini sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Dalam era informasi dewasa ini, informasi begitu deras dari seluruh penjuru dengan berbagai media, dan dalam intraksi sosial informasi cepat menyebar dari mulut ke mulut, dari orang ke orang lain, dari suatu kelompok ke kelompok yang lain. Sering kali terjadi arus atau penyampaian informasi itu tidak sampai secara utuh, bahkan ada kalanya berkembang isu-isu yang tidak proporsional, sehingga mudah terjadi distorsi dan kesimpulan yang tidak tepat. Untuk menghindari penyampaian informasi yang tidak utuh dan dalam rangka membagi informasi ke semua warga sekolah, perlu diatur jalur informasi dan komunikasi di sekolah. Jalur informasi dan komunikasi dikemas dalam forum pertemuan atau rapat, baik rapat rutin, rapat berkala, rapat koordinasi (antar pengelola sekolah, dan dengan komite sekolah/orang tua peserta didik/masyarakat), maupun rapat yang sifatnya mendesak (sepontan). Rapat mempunyai tujuan untuk : 1. Memberikan petunjuk pelaksanaan tugas; 2. Pemantauan pelaksanaan tugas 3. Pembinaan tenaga guru dan tenaga kependidikan (peningkatan kemampuan kerja, semangat dan gaerah kerja); 4. Mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan; 5. Berbagi ilmu atau pengalaman; 6. Membahas usul atau saran yang relevan; 7. Menyampaikan informasi; 8. Tindak lanjut hasil pengawasan atau evaluasi pelaksanaan tugas. Motivasi diakui berperan sangat penting untuk meningkatkan prestasi kerja. Motivasi adalah energi yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Dalam rangka memberikan motivasi, pimpinan sekolah (kepala sekolah) hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. Apabila budaya kerja dan partisipasi aktif aparat atau warga sekolah dapat terbentuk dan terlaksana dengan baik, yang orientasi utamanya adalah melaksanakan dan menyukseskan proses pembelajaran, maka peran serta aktif siswa dalam manajemen sekolah akan ikut terdongkrak dan terlibat langsung di dalamnya. Seiring dengan pelaksanaan budaya kerja dan partisipasi aktif warga sekolah, pihak sekolah juga hendaknya berusaha untuk mendorong partisipasi masyarakat, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat, sehingga terdapat jalinan dan suasana yang harmonis antara sekolah dan masyarakat. Dalam rangka memberi jaminan terhadap transparansi dan akuntabilitas, pihak sekolah harus memberikan layanan informasi manajemen atau sistem informasi manajemen (SIM) sekolah, terutama terkait tentang pelaksanaan proses pembelajaran, laporan hasil belajar dan manajemen keuangan, dengan mempertimbangkan keefektifan dan keefesienan. Informasi manajemen diupayakan melalui penyediaan papan informasi untuk memudahkan warga sekolah membacanya, pengiriman hasil perkembangan nilai peserta didik secara langsung kepada orang tua/wali murid (selain raport), mengupayakan tersedianya fasilitas internet untuk memudahkan pengaksesan informasi, dan lain-lainnya. Dengan praktek kepemimpinan di atas, dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif, penuh rasa tanggung jawab, dan penuh rasa kekeluargaan (harmonis) untuk memperoleh hasil kerja atau prestasi yang ideal, sesuai dengan yang telah ditetapkan, yang menjadi cita-cita bersama warga sekolah. BAHAN BACAAN : 1. Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2. Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. 2004. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 3. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah. 2006. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 4. Peraturan Pemerintah Tentang PNS. 2006. Bandung : Penerbit Citra Umbara, Bandung. 5. Syaiful Sagala. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta. Jerowaru Lombok Timur, 21 Desember 2011.
Sekolah merupakan organisasi (institusi) pelaksana teknis penyelenggaraan pendidikan, yang jati dirinya akan tebentuk oleh budaya kerja. Bentuk budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di sekolah, dipengaruhi oleh pola dan gaya kepemimpinan yang ada di dalamnya, yang sekaligus merupakan bagian dari budaya kerja itu sendiri. Dengan demikian hidup atau matinya suatu sekolah akan sangat ditentukan oleh budaya kerja manusia di dalamnya. Sesuai dengan semangat manajemen berbasis sekolah (MBS), yang mempersyaratkan adanya partisipasi, fleksibilitas dan keterbukaan (transparansi dan akuntabilitas), maka budaya sekolah bukan berkiblat kepada kekuasaan pribadi, tetapi pada struktur dan fungsi sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah, dituntut untuk tidak bekerja sendiri, tetapi mendelegasikan sebagian tugasnya kepada aparat yang lain dengan membentuk team work, yang dituntut harus kompak, cerdas dan dinamis. Sehingga diharapkan adanya jaminan keluwesan struktur dan penyelesaian tugas yang diemban. Untuk menuju ke arah itu, harus diatur dan dimantapkan pembagian tugas secara jelas dan tegas. Sehingga semua warga sekolah dapat berpartisipasi aktif sesuai dengan tugasnya masing-masing dan harus ditopang oleh adanya kemauan yang kuat untuk melaksanakan tugas yang diemban. Pada hakekatnya praktek kepemimpinan terletak pada pengambilan keputusan terhadap berbagai kebijakan dan masalah yang dihadapi. Bagaimana antisipasi, persepsi dan cara pengambilan keputusan pimpinan akan mewarnai jalannya organisasi, termasuk di dalamnya apakah pengambilan keputusan itu cepat dan tepat. Untuk memenuhi kreteria itu, diterapkan pola kepemimpinan konsultatif dan partisipatif (demokratis). Hal ini mempersyaratkan bahwa keputusan pimpinan senantiasa didasarkan atas persetujuan dari mitra kerja di dalamnya (guru, pegawai, komite sekolah, orangtua peserta didik), dengan tetap berpegang atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, petunjuk pelaksanaan dan kebijakan tertulis dari atasan, dan kearifan (wisdom) bersumber pada Pancasila dan agama (Islam). Tidak semua hal diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk pelaksanaan atau kebijakan tertulis dari atasan. Untuk mencapai itu, diperlukan adanya keputusan rapat, bahkan ada kalanya berdasarkan kesepakatan di antara pengelola sekolah. Dalam hal ini diperlukan adanya kearifan (wisdom) untuk menimbang-nimbang keputusan mana yang akan diambil. Dalam rangka mengarah ke hal itu, diatur wadahnya melalui mekanisme atau jalur (layanan) informasi dan komunikasi. Praktek kepemimpin di sekolah diarahkan tidak lain untuk mencapai tugas pokok sekolah itu sendiri. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan efesien untuk mencapai mutu pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas tersebut, sangat tergantung pada guru di sekolah, yang merupakan pelaksana utama dalam proses pembelajaran. Untuk itu, pimpinan dituntut untuk mambu menumbuhkan kesadaran kepada guru tentang tugasnya, bahwa tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan membimbing. Oleh karena itu, guru perlu terus dibimbing dan dimotivasi untuk dapat secara berkesinambungan mengarahkan dan menekatkan sifat (proses) pembelajaran pada pemberdayaan peserta didik. Dimana guru dituntut untuk menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran yang pro-perubahan, yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, misalnya dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan lain-lainnya. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi guru dengan baik dalam proses pembelajaran, pemimpin sekolah (kepala sekolah) harus memperhatikan peningkatan kompetensi guru, disamping peningkatan kompetensinya sendiri. Sehingga guru mampu memelihara ilmunya dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir. Proses pembelajaran dan penyelenggaran pendidikan secara umum akan berjalan dengan efektif, apabila didukung oleh pelaksanaan atau penegakan hukum. Bagi orang Islam yang taat, melaksanakan hukum adalah suatu kewajiban. Sebab hukum diadakan untuk menjamin ketertiban dan keteraturan demi kepentingan bersama, dan merupakan syarat mutelak untuk kesejahteraan dan kedamaian. Apabila hukum tidak ditegakkan, maka yang terjadi adalah suatu anomie, di mana norma-norma menjadi kabur, bahkan mungkin akan terjadi suatu kekacaauan (chaos) atau ketidakteraturan (disoder), bukan keteraturan (cosmos) dan ketertiban (order). Jika alam mempunyai keteraturan dan ketertiban, maka dalam kehidupan manusia dengan semua pranata sosialnya, semestinya juga mempunyai keteraturan dan ketertiban. Untuk memberi jaminan penegakan hukum, maka pimpinan sekolah secara partisipatif bersama warga sekolah lainnya, menyusun dan menyempurnakan tata tertib guru, pegawai dan siswa (peraturan akademik dan kode etik) sesuai dengan kebutuhan. Dalam hubungannya dengan ini, pimpinan sekolah seyogyanya mampu mengajak semua elemen warga sekolah untuk merenungkan dan menghayati beberapa pokok pikiran berikut ini : 1. Sejauh mana komitmen untuk melaksanakan tugas mulia sebagai pengelola sekolah (pimpinan), guru dan pegawai; 2. Semua guru dan pegawai, termasuk di dalamnya yang terlibat selaku pimpinan sekolah pada mulanya adalah melamar pekerjaan, yang berarti bersedia dan mengikat diri untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Hal ini berlaku juga bagi guru atau pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 3. Kewajiban harus dilaksanakan lebih dahulu, baru diikuti oleh hak, bukan sebaliknya; 4. Setiap organisasi atau instansi, lebih-lebih organisasi pemerintahan diatur oleh seperangkat norma hukum, demi tercapainya tujuan organisasi itu; 5. Penegakan norma hukum, memerlukan dukungan norma moral dari pelaksananya; 6. Pembinaan kepegawaian di Indonesia, khususnya PNS didasarkan atas kombinasi antara sistem karir dan sistem prestasi; 7. Pelanggaran terhadap aturan kepegawaian bisa dikenakan sanksi sesuai undang-undang dan peraturan pemerintah tentang PNS dan tenaga bantu/kontrak, serta peraturan sekolah tentang tenaga guru dan pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 8. Apa yang menjadi kewajiban dan hak PNS/GT/PT, guru/pegawai bantu/kontrak dan guru/pegawai tidak tetap (GTT/PTT) ?; 9. Apa fungsi atasan dan bawahan ?; 10. Apa yang menjadi tugas Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Urusan-urusan, KTU dan para pengelola/pembina kegiatan ?; 11. Apakah kita telah memenuhi ketentuan disiplin kerja (kehadiran, izin, sakit, absen, cuti dan tugas dinas lainnya) ?. Perenungan dan penghayatan terhadap pokok-pokok pikiran di atas, yang dilakukan secara positif akan mendatangkan inspirasi positif, yang akan membawa dan mengantarkan kita kepada perbuatan/pelaksanaan kegiatan yang positif pula. Agar keputusan bisa berjalan sebagaimana diharapkan diperlukan adanya komunikasi dan motivasi. Kedua hal ini sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Dalam era informasi dewasa ini, informasi begitu deras dari seluruh penjuru dengan berbagai media, dan dalam intraksi sosial informasi cepat menyebar dari mulut ke mulut, dari orang ke orang lain, dari suatu kelompok ke kelompok yang lain. Sering kali terjadi arus atau penyampaian informasi itu tidak sampai secara utuh, bahkan ada kalanya berkembang isu-isu yang tidak proporsional, sehingga mudah terjadi distorsi dan kesimpulan yang tidak tepat. Untuk menghindari penyampaian informasi yang tidak utuh dan dalam rangka membagi informasi ke semua warga sekolah, perlu diatur jalur informasi dan komunikasi di sekolah. Jalur informasi dan komunikasi dikemas dalam forum pertemuan atau rapat, baik rapat rutin, rapat berkala, rapat koordinasi (antar pengelola sekolah, dan dengan komite sekolah/orang tua peserta didik/masyarakat), maupun rapat yang sifatnya mendesak (sepontan). Rapat mempunyai tujuan untuk : 1. Memberikan petunjuk pelaksanaan tugas; 2. Pemantauan pelaksanaan tugas 3. Pembinaan tenaga guru dan tenaga kependidikan (peningkatan kemampuan kerja, semangat dan gaerah kerja); 4. Mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan; 5. Berbagi ilmu atau pengalaman; 6. Membahas usul atau saran yang relevan; 7. Menyampaikan informasi; 8. Tindak lanjut hasil pengawasan atau evaluasi pelaksanaan tugas. Motivasi diakui berperan sangat penting untuk meningkatkan prestasi kerja. Motivasi adalah energi yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Dalam rangka memberikan motivasi, pimpinan sekolah (kepala sekolah) hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. Apabila budaya kerja dan partisipasi aktif aparat atau warga sekolah dapat terbentuk dan terlaksana dengan baik, yang orientasi utamanya adalah melaksanakan dan menyukseskan proses pembelajaran, maka peran serta aktif siswa dalam manajemen sekolah akan ikut terdongkrak dan terlibat langsung di dalamnya. Seiring dengan pelaksanaan budaya kerja dan partisipasi aktif warga sekolah, pihak sekolah juga hendaknya berusaha untuk mendorong partisipasi masyarakat, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat, sehingga terdapat jalinan dan suasana yang harmonis antara sekolah dan masyarakat. Dalam rangka memberi jaminan terhadap transparansi dan akuntabilitas, pihak sekolah harus memberikan layanan informasi manajemen atau sistem informasi manajemen (SIM) sekolah, terutama terkait tentang pelaksanaan proses pembelajaran, laporan hasil belajar dan manajemen keuangan, dengan mempertimbangkan keefektifan dan keefesienan. Informasi manajemen diupayakan melalui penyediaan papan informasi untuk memudahkan warga sekolah membacanya, pengiriman hasil perkembangan nilai peserta didik secara langsung kepada orang tua/wali murid (selain raport), mengupayakan tersedianya fasilitas internet untuk memudahkan pengaksesan informasi, dan lain-lainnya. Dengan praktek kepemimpinan di atas, dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif, penuh rasa tanggung jawab, dan penuh rasa kekeluargaan (harmonis) untuk memperoleh hasil kerja atau prestasi yang ideal, sesuai dengan yang telah ditetapkan, yang menjadi cita-cita bersama warga sekolah. BAHAN BACAAN : 1. Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2. Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. 2004. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 3. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah. 2006. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 4. Peraturan Pemerintah Tentang PNS. 2006. Bandung : Penerbit Citra Umbara, Bandung. 5. Syaiful Sagala. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta. Jerowaru Lombok Timur, 21 Desember 2011.