Senin, 25 Maret 2013

Nomor Urut Pasangan Cabub dan Cawabub Lombok Timur dalam Pemilukada 2013

Pada hari ini, Senin, 25 Maret 2013 KPU Kabupaten Lombok Timur telah menetapkan nomor urut pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur dalam Pemilukada pada 13 Mei 2013.

Berikut ini nomor urut masing-masing pasangan sebagai berikut:
Pasangan Nomor Urut 1: H. Ali Bin Dachlan dan H. Haerul Warisin (ALKHAER), pasangan independen.
Pasangan Nomor Urut 2: H. Abdu Wahab dan Lale Yaqutunnafis (WALY) yang didukung Partai Hanura, PBB, PBR, PKPB dan Partai Patriot.
Pasangan Nomor Urut 3: HM Sukiman Azmy dan HM Syamsul Lutfi (SUFI) yang diusung Partai Demokrat, Golkar, PPP, PDIP, PKS, Gerindra, PKNU dan PAN.
Pasangan Nomor Urut 4: H. Usman Fauzi dan Muhammad Ihwan (MAFAN), dengan dukungan 16 Partai Politik antara lain PNI Marhaenisme, PNBKI, PKP, Partai Republiken.

Tentukan pilihan Anda !
Pada hari ini, Senin, 25 Maret 2013 KPU Kabupaten Lombok Timur telah menetapkan nomor urut pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur dalam Pemilukada pada 13 Mei 2013.

Berikut ini nomor urut masing-masing pasangan sebagai berikut:
Pasangan Nomor Urut 1: H. Ali Bin Dachlan dan H. Haerul Warisin (ALKHAER), pasangan independen.
Pasangan Nomor Urut 2: H. Abdu Wahab dan Lale Yaqutunnafis (WALY) yang didukung Partai Hanura, PBB, PBR, PKPB dan Partai Patriot.
Pasangan Nomor Urut 3: HM Sukiman Azmy dan HM Syamsul Lutfi (SUFI) yang diusung Partai Demokrat, Golkar, PPP, PDIP, PKS, Gerindra, PKNU dan PAN.
Pasangan Nomor Urut 4: H. Usman Fauzi dan Muhammad Ihwan (MAFAN), dengan dukungan 16 Partai Politik antara lain PNI Marhaenisme, PNBKI, PKP, Partai Republiken.

Tentukan pilihan Anda !

Jumat, 22 Maret 2013

Dapodik dan Guru “Salah Kamar”



Kemendiknas mulai tahun 2013 ini melakukan pendataan dengan sistem online. Sistem pendataan ini dikenal dengan istilah Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Sistem online Dapodik dilakukan melalui Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Direktorat P2TK). Dengan sistem online ini diharapkan data seluruh sekolah dapat tersimpan secara akurat dan valid, sehingga tidak terdapat data-data fiktif lagi. Dapodik menjadi basis data dan sumber informasi, serta sekaligus sangat berpengaruh terhadap berbagai kepentingan, seperti tunjangan, bantuan sekolah dan PTK.

Pemberlakuan kebijakan baru tersebut menyebabkan setiap sekolah, terutama operator komputer yang menangani Dapodik dibuat super sibuk. Sebagian besar guru yang datanya dimasukkan ke sistem online tersebut, dibuat bingungung karena datanya sampai saat ini belum valid. Memang sampai dengan sekarang, rata-rata sekolah belum sepenuhnya memiliki Dapodik yang valid. Banyak faktor yang menyebabkan belum validnya data guru dan sekolah. Salah satunya adalah terdapat guru  yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya.

Dengan adanya Dapodik, banyak guru yang diketahui mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, alias “salah kamar”. Terbongkarnya kasus tersebut, menyebabkan guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi, terancam tidak bisa lagi dibayar tunjangan profesinya. Misalnya, ditemukan banyak guru mata pelajaran di SD yang beralih menjadi guru kelas, dan guru mata pelajaran di SMP/SMA/SMK tidak mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya. Guru mata pelajaran di SD yang menyeberang menjadi guru kelas didorong oleh tunjangan profesi. Ketika menjadi guru kelas, mereka dapat lebih cepat (mudah) untuk mengikuti seleksi sertifikasi guru dan dinyatakan lulus. Hal ini dapat terjadi, bisa jadi disebabkan oleh faktor kedekatan oknom guru dengan kepala sekolah, atau karena titipan oknom pejabat. Praktek KKN ini tentu akan merugikan guru yang bersangkutan setelah diberlakukan kebijakan sistem Dapodik. Data yang dimasukkan tidak akan pernah valid, karena menjadi guru kelas bukan “kamar” guru yang bersangkutan. Dampaknya, tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima, terancam tidak dapat dibayar lagi. Akibat yang paling fatal adalah ada kemungkinan guru yang bersakutan diminta mengembalikan tunjangan profesi yang telah diterima.

Sementara bagi guru mata pelajaran di SMP/SMA/SMK yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya, tentu sangat merugikan bagi dirinya. Ketika mereka dimasukkan datanya ke Dapodik, atau disertifikasi akan mengalami kesulitan. Selamanya data yang dimasukkan ke Dapodik tidak akan menjadi valid, dan selamannya pula mereka tidak dapat mengikuti seleksi sertifikasi guru dalam jabatan. Kecuali mereka berbalik haluan, mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya. 

Dengan demikian, dengan adanya kebijakan Dapodik dengan sistem online telah banyak membongkar kasus “guru salah kamar”. Untuk mengatasi ini, Dinas Pendidikan perlu melakukan pemetaan tenaga guru sesuai dengan disiplin ilmunya, baik PNS maupun non PNS. Sehingga ke depan tidak ada lagi guru yang “salah kamar”, mengajar sesuai dengan jurusannya.

Jerowaru Lombok Timur, 22 Maret 2013.


Kemendiknas mulai tahun 2013 ini melakukan pendataan dengan sistem online. Sistem pendataan ini dikenal dengan istilah Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Sistem online Dapodik dilakukan melalui Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Direktorat P2TK). Dengan sistem online ini diharapkan data seluruh sekolah dapat tersimpan secara akurat dan valid, sehingga tidak terdapat data-data fiktif lagi. Dapodik menjadi basis data dan sumber informasi, serta sekaligus sangat berpengaruh terhadap berbagai kepentingan, seperti tunjangan, bantuan sekolah dan PTK.

Pemberlakuan kebijakan baru tersebut menyebabkan setiap sekolah, terutama operator komputer yang menangani Dapodik dibuat super sibuk. Sebagian besar guru yang datanya dimasukkan ke sistem online tersebut, dibuat bingungung karena datanya sampai saat ini belum valid. Memang sampai dengan sekarang, rata-rata sekolah belum sepenuhnya memiliki Dapodik yang valid. Banyak faktor yang menyebabkan belum validnya data guru dan sekolah. Salah satunya adalah terdapat guru  yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya.

Dengan adanya Dapodik, banyak guru yang diketahui mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, alias “salah kamar”. Terbongkarnya kasus tersebut, menyebabkan guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi, terancam tidak bisa lagi dibayar tunjangan profesinya. Misalnya, ditemukan banyak guru mata pelajaran di SD yang beralih menjadi guru kelas, dan guru mata pelajaran di SMP/SMA/SMK tidak mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya. Guru mata pelajaran di SD yang menyeberang menjadi guru kelas didorong oleh tunjangan profesi. Ketika menjadi guru kelas, mereka dapat lebih cepat (mudah) untuk mengikuti seleksi sertifikasi guru dan dinyatakan lulus. Hal ini dapat terjadi, bisa jadi disebabkan oleh faktor kedekatan oknom guru dengan kepala sekolah, atau karena titipan oknom pejabat. Praktek KKN ini tentu akan merugikan guru yang bersangkutan setelah diberlakukan kebijakan sistem Dapodik. Data yang dimasukkan tidak akan pernah valid, karena menjadi guru kelas bukan “kamar” guru yang bersangkutan. Dampaknya, tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima, terancam tidak dapat dibayar lagi. Akibat yang paling fatal adalah ada kemungkinan guru yang bersakutan diminta mengembalikan tunjangan profesi yang telah diterima.

Sementara bagi guru mata pelajaran di SMP/SMA/SMK yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya, tentu sangat merugikan bagi dirinya. Ketika mereka dimasukkan datanya ke Dapodik, atau disertifikasi akan mengalami kesulitan. Selamanya data yang dimasukkan ke Dapodik tidak akan menjadi valid, dan selamannya pula mereka tidak dapat mengikuti seleksi sertifikasi guru dalam jabatan. Kecuali mereka berbalik haluan, mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya. 

Dengan demikian, dengan adanya kebijakan Dapodik dengan sistem online telah banyak membongkar kasus “guru salah kamar”. Untuk mengatasi ini, Dinas Pendidikan perlu melakukan pemetaan tenaga guru sesuai dengan disiplin ilmunya, baik PNS maupun non PNS. Sehingga ke depan tidak ada lagi guru yang “salah kamar”, mengajar sesuai dengan jurusannya.

Jerowaru Lombok Timur, 22 Maret 2013.

Rabu, 13 Maret 2013

Pengebiran Makna Loyalitas PNS



Makna umum dari loyalitas adalah kesetiaan atau kepatuhan. Dalam  organisasi modern, termasuk organisasi pemerintahan mengkondisikan loyalitas pada aturan, bukan person. Tetapi dalam praktiknya loyalitas selalu disimpangkan sebagai kesetiaan pada person.  Pemimpin dalam pemerintahan yang  ingin berkuasa kembali, sering kali menuntut bawahannya untuk loyal kepadanya. Ingin mempertahankan kekuasaannya dengan mengharap dukungan dari anak buahnya. Misalnya saja seorang presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota yang ingin terpilih kembali dalam pemilu atau pemilukada untuk melanjutkan kekuasaannya, menuntut agar PNS atau pegawai yang dipimpinnya untuk memilih diri dan pasangannya. Sering kali tuntutan itu dilakukan dengan cara biasa-biasa saja, sekedar harapan atau permohonan dukungan. Tetapi, acap kali juga disertai dengan cara yang luar biasa, misalnya diikuti dengan intimidasi atau memberikan “harapan-harapan” tertentu. 

Cara yang biasa dilakukan oleh pemimpin yang sedang berkuasa untuk menggalang dukungan dari kalangan PNS adalah dengan melibatkannya menjadi tim sukses, dan memerintahkan PNS tertentu untuk turut  mengkampanyekan diri dan pasangannya. Oknom-oknom PNS yang terlibat, ada yang termotivasi karena “dijanjikan” sesuatu, ada yang karena ditekan supaya tidak kehilangan jabatan yang sedang disandangnya, dan ada yang melakukannya dengan sukarela yang didasari oleh sifat fanatisme yang berlebihan. Mereka ini, secara aktif mencari dukungan di lapangan (masyarakat), baik terang-terangan atau secara tersembunyi. Mereka manfaatkan organisasi profesi untuk menggalang dukungan di kalangannya yang seprofesi. Ada juga yang memanfaatkan momen acara atau pertemuan kedinasan untuk kampanye (kegiatan kampanye yang dibungkus/numpang dalam kegiatan kedinasan). Yang terakhir ini yang sering penulis alami, mengingat saat ini di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sedang berlangsung tahapan-tahapan (proses) pemilukada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, serta Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur. Dalam beberapa pertemuan atau rapat dinas yang penulis ikuti, pejabat-pejabat dari SKPD tertentu selalu menyisipkan kampanye untuk pasangan calon yang sedang berkuasa (incamben) dalam pidato atau sambutannya, dengan mengatasnamakan (mengedepankan) loyalitas terhadap pimpinan.

Perlu kembali kita sadari, bahwa PNS terikat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, terutama isi yang terdapat pada pasal 4. Pasal ini berisi tentang larangan terhadap PNS untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dengan demikian, upaya mobilisasi dukungan dari kelangan PNS seperti itu, jelas merupakan cara ilegal, tidak dibenarkan menurut ketentuan yang ada  atau melawan hukum. Bagi pasangan calon yang menempuh cara tersebut, merupakan tindakan pengecut (tidak kesatria), merasa takut kalah dan tidak percaya diri. Sedangkan bagi oknom PNS yang tidak netral, berarti yang bersangkutan tidak bisa menahan “hawa nafsunya” dan tidak bisa mengendalikan rasa takutnya karena akan kihilangan jabatan atau tidak memperoleh jabatan tertentu. Singkatnya, mereka tidak bisa bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. 

Langkah di atas jelas merupakan upaya untuk mengalihkan atau mengebiri makna sejati dari loyalitas PNS. Sesungguhnya sebagi bagian dari masyarakat, PNS juga memiliki hak pilih sendiri. Oleh karena itu setiap PNS bebas menentukan pilihannya dalam pemilu atau pemilukada. Berarti seorang PNS tidak perlu merasa takut untuk kehilangan atau tidak mendapat jabatan tertentu, tidak perlu takut dengan intimidasi. Sepanjang berada pada jalur (koridor) kebenaran, dan selalu bersikap profesional dalam menjalankan (mengemban) tugas dan fungsi, insyaalah jabatan akan didapatkan.

Jerowaru Lombok Timur, 13 Maret 2013.


Makna umum dari loyalitas adalah kesetiaan atau kepatuhan. Dalam  organisasi modern, termasuk organisasi pemerintahan mengkondisikan loyalitas pada aturan, bukan person. Tetapi dalam praktiknya loyalitas selalu disimpangkan sebagai kesetiaan pada person.  Pemimpin dalam pemerintahan yang  ingin berkuasa kembali, sering kali menuntut bawahannya untuk loyal kepadanya. Ingin mempertahankan kekuasaannya dengan mengharap dukungan dari anak buahnya. Misalnya saja seorang presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota yang ingin terpilih kembali dalam pemilu atau pemilukada untuk melanjutkan kekuasaannya, menuntut agar PNS atau pegawai yang dipimpinnya untuk memilih diri dan pasangannya. Sering kali tuntutan itu dilakukan dengan cara biasa-biasa saja, sekedar harapan atau permohonan dukungan. Tetapi, acap kali juga disertai dengan cara yang luar biasa, misalnya diikuti dengan intimidasi atau memberikan “harapan-harapan” tertentu. 

Cara yang biasa dilakukan oleh pemimpin yang sedang berkuasa untuk menggalang dukungan dari kalangan PNS adalah dengan melibatkannya menjadi tim sukses, dan memerintahkan PNS tertentu untuk turut  mengkampanyekan diri dan pasangannya. Oknom-oknom PNS yang terlibat, ada yang termotivasi karena “dijanjikan” sesuatu, ada yang karena ditekan supaya tidak kehilangan jabatan yang sedang disandangnya, dan ada yang melakukannya dengan sukarela yang didasari oleh sifat fanatisme yang berlebihan. Mereka ini, secara aktif mencari dukungan di lapangan (masyarakat), baik terang-terangan atau secara tersembunyi. Mereka manfaatkan organisasi profesi untuk menggalang dukungan di kalangannya yang seprofesi. Ada juga yang memanfaatkan momen acara atau pertemuan kedinasan untuk kampanye (kegiatan kampanye yang dibungkus/numpang dalam kegiatan kedinasan). Yang terakhir ini yang sering penulis alami, mengingat saat ini di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sedang berlangsung tahapan-tahapan (proses) pemilukada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, serta Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur. Dalam beberapa pertemuan atau rapat dinas yang penulis ikuti, pejabat-pejabat dari SKPD tertentu selalu menyisipkan kampanye untuk pasangan calon yang sedang berkuasa (incamben) dalam pidato atau sambutannya, dengan mengatasnamakan (mengedepankan) loyalitas terhadap pimpinan.

Perlu kembali kita sadari, bahwa PNS terikat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, terutama isi yang terdapat pada pasal 4. Pasal ini berisi tentang larangan terhadap PNS untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dengan demikian, upaya mobilisasi dukungan dari kelangan PNS seperti itu, jelas merupakan cara ilegal, tidak dibenarkan menurut ketentuan yang ada  atau melawan hukum. Bagi pasangan calon yang menempuh cara tersebut, merupakan tindakan pengecut (tidak kesatria), merasa takut kalah dan tidak percaya diri. Sedangkan bagi oknom PNS yang tidak netral, berarti yang bersangkutan tidak bisa menahan “hawa nafsunya” dan tidak bisa mengendalikan rasa takutnya karena akan kihilangan jabatan atau tidak memperoleh jabatan tertentu. Singkatnya, mereka tidak bisa bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. 

Langkah di atas jelas merupakan upaya untuk mengalihkan atau mengebiri makna sejati dari loyalitas PNS. Sesungguhnya sebagi bagian dari masyarakat, PNS juga memiliki hak pilih sendiri. Oleh karena itu setiap PNS bebas menentukan pilihannya dalam pemilu atau pemilukada. Berarti seorang PNS tidak perlu merasa takut untuk kehilangan atau tidak mendapat jabatan tertentu, tidak perlu takut dengan intimidasi. Sepanjang berada pada jalur (koridor) kebenaran, dan selalu bersikap profesional dalam menjalankan (mengemban) tugas dan fungsi, insyaalah jabatan akan didapatkan.

Jerowaru Lombok Timur, 13 Maret 2013.

Senin, 11 Maret 2013

Petani Tembakau Verginia Lombok, Nasib Mu Kini?



Budi daya tanaman tembakau verginia Lombok telah berlangsung sejak lama, dan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Nusa Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Sumbangan berharga itu tidak terlepas dari perkembangan budi daya tembakau yang semakin meluas dari tahun ke tahun, semakin diminati oleh penduduk, terutama di daerah Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Meningkatnya minat masyarakat di kedua daerah tersebut mengingat penghasilan yang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang normal, para petani bisa meraup keuntungan yang besar. Hasil menjanjikan itu tidak terlepas dari kualitas tembakau verginia Lombok yang sangat bagus. Bahkan kualitas tembakau tersebut menempati urutan ke dua terbaik di dunia, setelah tembakau di Brazil. Oleh karena itu, banyak pengusaha tembakau (rokok) yang memburunya. Sehingga sampai saat ini banyak perusahan yang telah menginvestasikan modalnya atau membuka usaha di Pulau Lombok. Perusahan-perusahan ini tidak saja menjadi mintra petani dalam budi daya tanaman tembakau dan membeli hasil panen mereka, tetapi juga membeli hasil panen tembakau petani swadaya, yang bukan binaan (mitra) dari perusahan-perusahan yang bersangkutan.

Namun demikian, perkembangan budi daya tanaman tembakau selalu diiringi dengan adanya persoalan, bahkan ada kecenderungan semakin komplek. Dari tahun ke tahun permasalahan petani tembakau tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan yang terjadi bersumber dari pemerintah, pengusaha (perusahaan), dan masalah langsung yang dihadapi petani di lapangan. 

Salah satu masalah yang setiap tahun selalu dihadapi petani tembakau adalah bahan bakar untunk omprongan. Problem ini mulai dihadapi oleh petani sejak musim tanam tahun 2010 lalu. Saat itu subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau dicabut oleh pemerintah. Akibatnya, petani yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah sejak puluhan tahun lalu menjadi kelimpungan (kelabakan). Kondisi ini semakin diperparah oleh lambat dan kurang tepatnya antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengarahkan petani untuk menggunakan batubara sebagai bahan bakar pengganti, dan petani diberikan tungku bahan bakar batubara dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Tetapi usaha ini sia-sia, karena kualitas batubara yang didatangkan jelek, dan jenis tungku yang diberikan kurang cocok. Dengan memakai tunggu dan batubara itu, waktu pengopenan tembakau menjadi bertambah, menghabiskan waktu lebih dari satu minggu. Sehingga tembakau yang diopen rusak dan kualitasnya menurun. Akibatnya, petani rugi.

Untuk menghindari kerugian, petani tetap memburu minyak tanah yang dijual untuk kebutuhan rumah tangga, dan sebagian di antaranya mengarahkan pilihan menggunakan kayu. Seiring dengan pemeberlakuan kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas (LPG) untuk rumah tangga, subsidi minyak tanah untuk rumah tangga dicabut oleh pemerintah, petani tidak dapat lagi memperoleh minyak tanah sebagai bahan bakar omprongan tembakau. Sehingga sebagian besar dari mereka menggunakan kayu, dan sisanya menggunakan solar yang dicampur dengan premium, yang diperoleh di SPBU.  Sebelumnya, ketika minyak tanah untuk rumah tangga masih beredar di pasaran, petani mencampur solar dengan minyak tanah. Kreativitas petani tembakau ini memang menimbulkan dampak negatif. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar dalam jumlah besar, memicu terjadinya penebangan hutan secara liar, dan penggunaan solar dan premium menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar tersebut, khususnya bagi kendaraan bermotor. Tetapi, mestinya kesalahan tidak semata-mata ditimpakan kepada para petani. Pemerintah juga harus instrosfeksi diri. Kegagalan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten memfasilitasi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah yang tepat guna, menjadi faktor pendorong para petani melakukan kreativitas, mencari solusi cepat dan tampa banyak berpikir akibat negatif yang ditimbulkannya.

Pemerinrah daerah saat ini, telah melarang petani untuk menggunakan kayu sebagai bahan bakar omprongan tembakau, kecuali pohon turi. Jenis pohon ini tersedia dalam jumlah yang tidak mencukupi kebutuhan untuk seluruh petani yang ada. Pohon turi tidak banyak yang ditanam, sedikit sekali. Kualitasnya sebagai bahan bakar, tidak sama dengan jenis kayu keras, seperti pohon asam, dan lainnya. Dengan demikian, hal ini bukan solusi yang tepat. Solusi lain yang ditawarkan adalah dianjurkannya kembali penggunaan gas sebagai alternatif pengganti minyak tanah, kayu dan solar. Namun sayang sekali, para petani tidak begitu tertarik menggunakannya. Dari beberapa kali uji coba, ternyata penggunaan gas sebagai bahan bakar dapat merugikan petani. Terjadi pembengkakan biaya operasional yang tinggi. Gas lebih boros bila dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, kayu atau solar yang dicampur premium. 

Disamping itu, saat ini berkembang wacana penggunaan alternatif bahan bakar lainnya. Pemerintah daerah meminta perusahan tembakau yang ada di Pulau Lombok untuk menyiapkan cangkang sawit dan kemiri sebagai bahan bakar untuk petani binaan atau mitranya. Rencananya akan didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan. Namun sampai sekarang belum ada sosialisasi (uji coba) secara luas tentang penggunaan bahan bakar ini. Sehingga petani belum secara menyeluruh mengetahui kualitas bahan bakar tersebut. Apabila biaya yang dihabiskan lebih besar dari penggunaan bahan bakar minyak tanah subsidi, kayu atau soalar, berarti belum dapat memberi solusi yang terbaik, malah akan menambah beban bagi petani. Petani pun masih ragu, apakah bahan bakar tersebut dapat disediakan dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan semua petani? Persoalan lain yang akan timbul, apabila pengadannya diserahkan pada perusahaan dan diperuntukkan untuk petani binaan saja, bagaimana dengan petani swadaya yang jumlahnya tidak sedikit? Mereka akan menggunakan bahan bakar apa? Atau jangan-jangan disknariokan agar mereka membeli jenis bahan bakar itu didistributor tertentu dengan harga yang melambung tinggi, berbeda dengan harga yang diberikan untuk petani binaan. Semestinya disamping perusahaan mitra yang menyiapkan bahan bakar, pemerintah daerah juga harus mencari cara untuk menyiapkan bahan bakar untuk kebutuhan petani tembakau swadaya. Pemerintah daerah, berkerja sama dengan perusahaan mitra dan pihak lainnya, jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, sudah melakukan sosialisasi secara intensif dan efektif tentang penggunaan bahan bakar alternatif. Sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan para petani.

Selain persoalan bahan bakar, petani tembakau juga dihadapkan pada persoalan yang lainnya. Keberadaan undang-undang menyangkut tembakau dan rokok, menjadi persoalan tersendiri bagi petani tembakau. Kemudiaan, semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan, merupakan masalah yang selalu dihadapi petani. Memang pemerintah daerah telah membantu biaya operasional petani melalui pembagian DBHCHT, tetapi jumlahnya sangat kecil dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah pemasaran dan harga jual hasil oven tembakau, menjadi momok yang menghantui para petani. Pada tahun lalu, terdapat beberapa perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuka gudang untuk membeli tembakau petani. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang membuka gudang, menerapkan hukum ekonomi (hukum pasar) dengan ketat (saklek). Mereka bertindak sewenang-wenang dan secara sepihak. Mereka membeli dengan harga di bawah kewajaran (di bawah standar), dan jumlah yang dibeli disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, bahkan terjadi pengurangan, serta hanya mau membeli dari petani binaan masing-masing. Sehingga, hasil open tembakau petani swadaya tidak semuanya dapat dibeli. Tahun lalu merupakan tahun kelam bagi petani tembakau. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Walaupun ada penurunan harga beli, tetapi tidak sedrastis tahun lalu, masih pada batas-batas kewajaran. Kejadian seperti ini membuktikan lemahnya kontrol pemerintah daerah terhadap perusahan, dan sekaligus menunjukkan ketidakberanian perintah daerah bertindak tegas kepada perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka sesungguhnya pemerintah daerah sampai saat ini belum melakukan langkah-alangkah yang optimal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani tembakau. Mereka selalu mengklaim diri telah melakukan langkah-langkah secara serius dan sungguh-sungguh. Tetapi kenyataannya, masalah terus terjadi, bahkan semakin komplek. Langkah-langkah yang diambil, hanya sebagai upaya untuk menggugurkan kewajiban, tetapi tidak dapat memberi solusi terbaik.

Oleh karena itu, tampaknya kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah daerah yang sekarang untuk dapat membantu petani keluar dari persoalan yang membelitnya. Bahkan peristiwa seperti di atas (kejadian tahun lalu), bisa berulang pada musim tanam (musim panen) tahun ini. Perusahan-perushaan yang beroperasi sudah memberikan isyarat (peringatan), bahwa mereka akan mengurangi jumlah pembelian hasil open tembakau petani, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnnya. Belum adanya solusi yang terbaik untuk bahan bakar, serta lemah dan tidak tegasnya pemerintah daerah terhadap perusahaan akan memperparah keadaan. Lalu muncul pertanyaan mendasar, apakah nasib petani tembakau akan sama dengan nasib petani budi daya tanaman bawang putih di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur?. Setelah sebelumnya berjaya, kemudian para petani bawang putih tidak berdaya mengahadapi gempuran berbagai persoalan yang membelitnya, dan tidak ada alternatif yang diberikan pemerintah daerah untuk melakukan budi daya tanaman lain dan terbaik yang penghasilannya sama dengan bawang putih. Jawaban dari pertanyaan di atas, sangat tergantung dari etikad baik dari pemerintah (pemerintah daerah) untuk berupaya mensejahterakan rakyatnya. Sesungguhnya pemerintah yang baik adalah yang bisa berbuat adil dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Jerowaru Lombok Timur, 11 Maret 2013.


Budi daya tanaman tembakau verginia Lombok telah berlangsung sejak lama, dan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Nusa Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Sumbangan berharga itu tidak terlepas dari perkembangan budi daya tembakau yang semakin meluas dari tahun ke tahun, semakin diminati oleh penduduk, terutama di daerah Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Meningkatnya minat masyarakat di kedua daerah tersebut mengingat penghasilan yang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang normal, para petani bisa meraup keuntungan yang besar. Hasil menjanjikan itu tidak terlepas dari kualitas tembakau verginia Lombok yang sangat bagus. Bahkan kualitas tembakau tersebut menempati urutan ke dua terbaik di dunia, setelah tembakau di Brazil. Oleh karena itu, banyak pengusaha tembakau (rokok) yang memburunya. Sehingga sampai saat ini banyak perusahan yang telah menginvestasikan modalnya atau membuka usaha di Pulau Lombok. Perusahan-perusahan ini tidak saja menjadi mintra petani dalam budi daya tanaman tembakau dan membeli hasil panen mereka, tetapi juga membeli hasil panen tembakau petani swadaya, yang bukan binaan (mitra) dari perusahan-perusahan yang bersangkutan.

Namun demikian, perkembangan budi daya tanaman tembakau selalu diiringi dengan adanya persoalan, bahkan ada kecenderungan semakin komplek. Dari tahun ke tahun permasalahan petani tembakau tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan yang terjadi bersumber dari pemerintah, pengusaha (perusahaan), dan masalah langsung yang dihadapi petani di lapangan. 

Salah satu masalah yang setiap tahun selalu dihadapi petani tembakau adalah bahan bakar untunk omprongan. Problem ini mulai dihadapi oleh petani sejak musim tanam tahun 2010 lalu. Saat itu subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau dicabut oleh pemerintah. Akibatnya, petani yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah sejak puluhan tahun lalu menjadi kelimpungan (kelabakan). Kondisi ini semakin diperparah oleh lambat dan kurang tepatnya antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengarahkan petani untuk menggunakan batubara sebagai bahan bakar pengganti, dan petani diberikan tungku bahan bakar batubara dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Tetapi usaha ini sia-sia, karena kualitas batubara yang didatangkan jelek, dan jenis tungku yang diberikan kurang cocok. Dengan memakai tunggu dan batubara itu, waktu pengopenan tembakau menjadi bertambah, menghabiskan waktu lebih dari satu minggu. Sehingga tembakau yang diopen rusak dan kualitasnya menurun. Akibatnya, petani rugi.

Untuk menghindari kerugian, petani tetap memburu minyak tanah yang dijual untuk kebutuhan rumah tangga, dan sebagian di antaranya mengarahkan pilihan menggunakan kayu. Seiring dengan pemeberlakuan kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas (LPG) untuk rumah tangga, subsidi minyak tanah untuk rumah tangga dicabut oleh pemerintah, petani tidak dapat lagi memperoleh minyak tanah sebagai bahan bakar omprongan tembakau. Sehingga sebagian besar dari mereka menggunakan kayu, dan sisanya menggunakan solar yang dicampur dengan premium, yang diperoleh di SPBU.  Sebelumnya, ketika minyak tanah untuk rumah tangga masih beredar di pasaran, petani mencampur solar dengan minyak tanah. Kreativitas petani tembakau ini memang menimbulkan dampak negatif. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar dalam jumlah besar, memicu terjadinya penebangan hutan secara liar, dan penggunaan solar dan premium menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar tersebut, khususnya bagi kendaraan bermotor. Tetapi, mestinya kesalahan tidak semata-mata ditimpakan kepada para petani. Pemerintah juga harus instrosfeksi diri. Kegagalan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten memfasilitasi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah yang tepat guna, menjadi faktor pendorong para petani melakukan kreativitas, mencari solusi cepat dan tampa banyak berpikir akibat negatif yang ditimbulkannya.

Pemerinrah daerah saat ini, telah melarang petani untuk menggunakan kayu sebagai bahan bakar omprongan tembakau, kecuali pohon turi. Jenis pohon ini tersedia dalam jumlah yang tidak mencukupi kebutuhan untuk seluruh petani yang ada. Pohon turi tidak banyak yang ditanam, sedikit sekali. Kualitasnya sebagai bahan bakar, tidak sama dengan jenis kayu keras, seperti pohon asam, dan lainnya. Dengan demikian, hal ini bukan solusi yang tepat. Solusi lain yang ditawarkan adalah dianjurkannya kembali penggunaan gas sebagai alternatif pengganti minyak tanah, kayu dan solar. Namun sayang sekali, para petani tidak begitu tertarik menggunakannya. Dari beberapa kali uji coba, ternyata penggunaan gas sebagai bahan bakar dapat merugikan petani. Terjadi pembengkakan biaya operasional yang tinggi. Gas lebih boros bila dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, kayu atau solar yang dicampur premium. 

Disamping itu, saat ini berkembang wacana penggunaan alternatif bahan bakar lainnya. Pemerintah daerah meminta perusahan tembakau yang ada di Pulau Lombok untuk menyiapkan cangkang sawit dan kemiri sebagai bahan bakar untuk petani binaan atau mitranya. Rencananya akan didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan. Namun sampai sekarang belum ada sosialisasi (uji coba) secara luas tentang penggunaan bahan bakar ini. Sehingga petani belum secara menyeluruh mengetahui kualitas bahan bakar tersebut. Apabila biaya yang dihabiskan lebih besar dari penggunaan bahan bakar minyak tanah subsidi, kayu atau soalar, berarti belum dapat memberi solusi yang terbaik, malah akan menambah beban bagi petani. Petani pun masih ragu, apakah bahan bakar tersebut dapat disediakan dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan semua petani? Persoalan lain yang akan timbul, apabila pengadannya diserahkan pada perusahaan dan diperuntukkan untuk petani binaan saja, bagaimana dengan petani swadaya yang jumlahnya tidak sedikit? Mereka akan menggunakan bahan bakar apa? Atau jangan-jangan disknariokan agar mereka membeli jenis bahan bakar itu didistributor tertentu dengan harga yang melambung tinggi, berbeda dengan harga yang diberikan untuk petani binaan. Semestinya disamping perusahaan mitra yang menyiapkan bahan bakar, pemerintah daerah juga harus mencari cara untuk menyiapkan bahan bakar untuk kebutuhan petani tembakau swadaya. Pemerintah daerah, berkerja sama dengan perusahaan mitra dan pihak lainnya, jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, sudah melakukan sosialisasi secara intensif dan efektif tentang penggunaan bahan bakar alternatif. Sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan para petani.

Selain persoalan bahan bakar, petani tembakau juga dihadapkan pada persoalan yang lainnya. Keberadaan undang-undang menyangkut tembakau dan rokok, menjadi persoalan tersendiri bagi petani tembakau. Kemudiaan, semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan, merupakan masalah yang selalu dihadapi petani. Memang pemerintah daerah telah membantu biaya operasional petani melalui pembagian DBHCHT, tetapi jumlahnya sangat kecil dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah pemasaran dan harga jual hasil oven tembakau, menjadi momok yang menghantui para petani. Pada tahun lalu, terdapat beberapa perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuka gudang untuk membeli tembakau petani. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang membuka gudang, menerapkan hukum ekonomi (hukum pasar) dengan ketat (saklek). Mereka bertindak sewenang-wenang dan secara sepihak. Mereka membeli dengan harga di bawah kewajaran (di bawah standar), dan jumlah yang dibeli disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, bahkan terjadi pengurangan, serta hanya mau membeli dari petani binaan masing-masing. Sehingga, hasil open tembakau petani swadaya tidak semuanya dapat dibeli. Tahun lalu merupakan tahun kelam bagi petani tembakau. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Walaupun ada penurunan harga beli, tetapi tidak sedrastis tahun lalu, masih pada batas-batas kewajaran. Kejadian seperti ini membuktikan lemahnya kontrol pemerintah daerah terhadap perusahan, dan sekaligus menunjukkan ketidakberanian perintah daerah bertindak tegas kepada perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka sesungguhnya pemerintah daerah sampai saat ini belum melakukan langkah-alangkah yang optimal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani tembakau. Mereka selalu mengklaim diri telah melakukan langkah-langkah secara serius dan sungguh-sungguh. Tetapi kenyataannya, masalah terus terjadi, bahkan semakin komplek. Langkah-langkah yang diambil, hanya sebagai upaya untuk menggugurkan kewajiban, tetapi tidak dapat memberi solusi terbaik.

Oleh karena itu, tampaknya kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah daerah yang sekarang untuk dapat membantu petani keluar dari persoalan yang membelitnya. Bahkan peristiwa seperti di atas (kejadian tahun lalu), bisa berulang pada musim tanam (musim panen) tahun ini. Perusahan-perushaan yang beroperasi sudah memberikan isyarat (peringatan), bahwa mereka akan mengurangi jumlah pembelian hasil open tembakau petani, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnnya. Belum adanya solusi yang terbaik untuk bahan bakar, serta lemah dan tidak tegasnya pemerintah daerah terhadap perusahaan akan memperparah keadaan. Lalu muncul pertanyaan mendasar, apakah nasib petani tembakau akan sama dengan nasib petani budi daya tanaman bawang putih di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur?. Setelah sebelumnya berjaya, kemudian para petani bawang putih tidak berdaya mengahadapi gempuran berbagai persoalan yang membelitnya, dan tidak ada alternatif yang diberikan pemerintah daerah untuk melakukan budi daya tanaman lain dan terbaik yang penghasilannya sama dengan bawang putih. Jawaban dari pertanyaan di atas, sangat tergantung dari etikad baik dari pemerintah (pemerintah daerah) untuk berupaya mensejahterakan rakyatnya. Sesungguhnya pemerintah yang baik adalah yang bisa berbuat adil dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Jerowaru Lombok Timur, 11 Maret 2013.

Mobil Tua vs Mobil Baru



Sebentar lagi Pemilukada di NTB akan berlangsung, suasana semakin menghangat. Dalam bulan Mei 2013, di provinsi ini akan berlangsung (dilaksanakan) tiga pesta demokrasi secara serentak, dan dilakukan secara langsung. Ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur, dan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima. Ketiga pemilihan ini untuk yang ke dua kali dilakukan secara langsung (Pemilukadasung). Dilihat dari usia untuk bakal calon (balon) gubernur, bupati dan wali kota yang akan beradu, ada yang sudah berusia lanjut / “uzur” (60 tahun ke atas), dan ada juga yang masih tergolong muda (di bawah 60 tahun). Sedangkan pasangannya, bakal calon wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota rata-rata masih tergolong muda. Di antara mereka, terdapat wajah-wajah lama, dan ada pula pendatang baru. Sehingga, kalau diibaratkan, dalam Pemilukada nanti akan beradu antara mobil tua melawan mobil baru atau mobil setengah baru. Usia lanjut, yang ibaratnya seperti mobil tua serimg kali kita jumpai dalam Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta untuk memilih anggota legislatif. 

Secara teoritis, usia 60 tahun ke atas sudah tidak lagi produktif. Apalagi untuk berfikir kreatif, inovatif, dan berani melakukan perubahan mendasar yang drastis. Sedangkan usia di bawah 60 tahun sebaliknya. Pemimpin tua ibarat mobil tua, dan pemimpin muda ibarat mobil baru atau setengah baru. Apabila keduanya beradu dalam sebuah balapan di jalan raya atau sirkuit, jelas akan kalah mobil tua dari mobil baru atau sentengah baru. Disamping itu, mobil tua membutuhkan biaya operasional atau perawatan yang jauh lebih tinggi, bila dibandingkan dengan mobil baru atau setengah baru. Mobil tua sering berkunjung ke bengkel atau ke luar masuk bengkel untuk mengganti onderdil atau turun mesin. Kalau onderdil yang dibutuhkan tersedia, maka baru bisa melanjutkan perjalanannya setelah diperbaiki dalam waktu beberapa hari. Tetapi kalau belum ada, mobil tua tidak bisa melanjutkan perjalanan, dan asyik menunggu onderdil pesanannya yang akan tiba seminggu lagi, bahkan lebih. Sementara mobil baru atau sentengah baru, dalam perjalanannya terus melaju, melang-lang buana, menyeberangi lautan, bahkan mencapai tujuan dengan cepat. Kalau pun masuk bengkel, paling untuk servis ringan yang membutuhkan waktu tidak lama, setengah hari atau satu hari.

Oleh karena itu, kita harus cerdas memilih mobil baru atau setengah baru yang siap tancap gas, berlari jauh dan gesit menjawab dan menerjang hambatan-hambatan di jalanan. Jangan sampai masyarakat (rakyat) dalam Pemilu atau Pemilukada memilih mobil tua yang mogok terus di tengah jalan, lantaran memang sudah tua. Seperti kata Iwan Fals dalam sebuah lagunya, “pak tua, sudahlah”. Orang tua mesti tahu diri, berilah kesempatan kaum muda.

Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.


Sebentar lagi Pemilukada di NTB akan berlangsung, suasana semakin menghangat. Dalam bulan Mei 2013, di provinsi ini akan berlangsung (dilaksanakan) tiga pesta demokrasi secara serentak, dan dilakukan secara langsung. Ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur, dan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima. Ketiga pemilihan ini untuk yang ke dua kali dilakukan secara langsung (Pemilukadasung). Dilihat dari usia untuk bakal calon (balon) gubernur, bupati dan wali kota yang akan beradu, ada yang sudah berusia lanjut / “uzur” (60 tahun ke atas), dan ada juga yang masih tergolong muda (di bawah 60 tahun). Sedangkan pasangannya, bakal calon wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota rata-rata masih tergolong muda. Di antara mereka, terdapat wajah-wajah lama, dan ada pula pendatang baru. Sehingga, kalau diibaratkan, dalam Pemilukada nanti akan beradu antara mobil tua melawan mobil baru atau mobil setengah baru. Usia lanjut, yang ibaratnya seperti mobil tua serimg kali kita jumpai dalam Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta untuk memilih anggota legislatif. 

Secara teoritis, usia 60 tahun ke atas sudah tidak lagi produktif. Apalagi untuk berfikir kreatif, inovatif, dan berani melakukan perubahan mendasar yang drastis. Sedangkan usia di bawah 60 tahun sebaliknya. Pemimpin tua ibarat mobil tua, dan pemimpin muda ibarat mobil baru atau setengah baru. Apabila keduanya beradu dalam sebuah balapan di jalan raya atau sirkuit, jelas akan kalah mobil tua dari mobil baru atau sentengah baru. Disamping itu, mobil tua membutuhkan biaya operasional atau perawatan yang jauh lebih tinggi, bila dibandingkan dengan mobil baru atau setengah baru. Mobil tua sering berkunjung ke bengkel atau ke luar masuk bengkel untuk mengganti onderdil atau turun mesin. Kalau onderdil yang dibutuhkan tersedia, maka baru bisa melanjutkan perjalanannya setelah diperbaiki dalam waktu beberapa hari. Tetapi kalau belum ada, mobil tua tidak bisa melanjutkan perjalanan, dan asyik menunggu onderdil pesanannya yang akan tiba seminggu lagi, bahkan lebih. Sementara mobil baru atau sentengah baru, dalam perjalanannya terus melaju, melang-lang buana, menyeberangi lautan, bahkan mencapai tujuan dengan cepat. Kalau pun masuk bengkel, paling untuk servis ringan yang membutuhkan waktu tidak lama, setengah hari atau satu hari.

Oleh karena itu, kita harus cerdas memilih mobil baru atau setengah baru yang siap tancap gas, berlari jauh dan gesit menjawab dan menerjang hambatan-hambatan di jalanan. Jangan sampai masyarakat (rakyat) dalam Pemilu atau Pemilukada memilih mobil tua yang mogok terus di tengah jalan, lantaran memang sudah tua. Seperti kata Iwan Fals dalam sebuah lagunya, “pak tua, sudahlah”. Orang tua mesti tahu diri, berilah kesempatan kaum muda.

Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.

Minggu, 10 Maret 2013

Pura Lingsar, Simbol Kerukunan Umat Beragama



Sebelum saya paparkan isi tulisan yang berkaitan dengan judul di atas, terlebih dahulu saya ucapkan :
“Selamat Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu di Mana Saja Berada, Semoga Berjalan Lancar, dan Khusuk serta Tujuan Hari Raya Tercapai”

**********.
Pura Lingsar berlokasi di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, sekitar 9 km ke arah timur dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pura (pure) ini adalah salah satu pura tertua, terbesar dan terunik di Pulau Lombok. Pure Lingsar merupakan tempat suci yang dikeramatkan oleh dua suku adat dari agama yang berbeda, yaitu Suku Bali yang beragama Hindu, dan masyarakat Suku Sasak yang beragama Islam (penganut Wetu Telu).

Bentuk bangunan pura tersebut biasa saja, seperti umumnya pura lainnya. Namun pada bangunan pura itu terdapat dua bangunan utama, yaitu Pura Gaduh dan Kemaliq. Pura Gaduh digunakan oleh Suku Bali yang beragama Hindu untuk melaksanakan persembahyangan atau pemujaan kepada Tuhannya. Menurut kepercayaan mereka, batu-batu yang terdapat di dalam pura tersebut merupakan bebatuan suci yang bisa menjadi perantara untuk memohon (berdoa) kepada Sang Yang Widhi Wase (Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan Kemaliq, yang berada di samping Pura Gaduh, adalah bangunan suci umat Islam Wetu Telu. Kemaliq ini digunakan sebagai tempat untuk berziarah dan untuk melaksanakan upacara (ritual) adat. Kemaliq berasal dari bahasa Sasak yang berarti suci dan keramat. Kemaliq merupakan perkembangan dari kata Al-Maliq dalam Kitab Al-Qur’an, yang berarti kembali. Kemaliq adalah kata simbol untuk kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tempat kembali (kemaliq) seluruh mahluk. Sedangkan untuk nama Lingsar sendiri diambil dari Kitab Sansekerta, yaitu “Ling” berarti suara, dan “Sar” berarti air. Tempat ini dibangun di wilayah yang banyak terdapat sumber airnya, dan dikelilingi oleh hamparan sawah yang sangat subur.

Kedua bangunan tersebut, Pura Gaduh dan Kemaliq, memiliki arsitektur khas Bali. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Gede Ngurah yang berasal dari Karang Asem Bali. Dengan demikian, sejak masa pemerintahan raja ini kerukunan antarumat beragama. Jejaknya masih dapat dijumpai sampai sekarang. Dengan kata lain, kerukunan antarumat beragama tetap dijaga (dipelihara) sampai saat ini. Pada Sasih (bulan) ke-7 dalam kalender tradisional Sasak, sekitar bulan Desember dalam kalender Masehi, di Pura Lingsar digelar upacara adat Pujawali. Upacara Pujawali ini dilaksanakan secara bersama-sama oleh masing-masing umat beragama (suku) pada tempat yang berdampingan. Umat Hindu sendiri dipimpin oleh Pemangku dan melaksanakan persembahyangan di dalam pura. Sedangkan upacara umat Islam Wetu Telu dipimpin oleh Amangku dan melaksanakan ritual di Kemaliq. Bagi umat muslim Wetu Telu, upacara Pujawali ini bertujuan untuk memperingati hari Wali Songo (sembilan wali) yang dahulunya memimpin umat Islam di Indonesia.

Selain kedua bangunan itu, di dalam komplek Pura Lingsar juga terdapat beberapa kolam renang, area taman yang indah, dan juga beberapa tempat  untuk beristirahat  bagi pengunjung. Wilayah Lingsar memiliki panorama alam yang indah, sejuk, dan air yang mengalir di sepanjang sungai yang ada di sana begitu jernih. Sehingga tempat ini, disamping memiliki nilai historis, juga menjadi salah satu tujuan (obyek) wisata di Pulau Lombok.

Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.


Sebelum saya paparkan isi tulisan yang berkaitan dengan judul di atas, terlebih dahulu saya ucapkan :
“Selamat Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu di Mana Saja Berada, Semoga Berjalan Lancar, dan Khusuk serta Tujuan Hari Raya Tercapai”

**********.
Pura Lingsar berlokasi di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, sekitar 9 km ke arah timur dari Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pura (pure) ini adalah salah satu pura tertua, terbesar dan terunik di Pulau Lombok. Pure Lingsar merupakan tempat suci yang dikeramatkan oleh dua suku adat dari agama yang berbeda, yaitu Suku Bali yang beragama Hindu, dan masyarakat Suku Sasak yang beragama Islam (penganut Wetu Telu).

Bentuk bangunan pura tersebut biasa saja, seperti umumnya pura lainnya. Namun pada bangunan pura itu terdapat dua bangunan utama, yaitu Pura Gaduh dan Kemaliq. Pura Gaduh digunakan oleh Suku Bali yang beragama Hindu untuk melaksanakan persembahyangan atau pemujaan kepada Tuhannya. Menurut kepercayaan mereka, batu-batu yang terdapat di dalam pura tersebut merupakan bebatuan suci yang bisa menjadi perantara untuk memohon (berdoa) kepada Sang Yang Widhi Wase (Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan Kemaliq, yang berada di samping Pura Gaduh, adalah bangunan suci umat Islam Wetu Telu. Kemaliq ini digunakan sebagai tempat untuk berziarah dan untuk melaksanakan upacara (ritual) adat. Kemaliq berasal dari bahasa Sasak yang berarti suci dan keramat. Kemaliq merupakan perkembangan dari kata Al-Maliq dalam Kitab Al-Qur’an, yang berarti kembali. Kemaliq adalah kata simbol untuk kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tempat kembali (kemaliq) seluruh mahluk. Sedangkan untuk nama Lingsar sendiri diambil dari Kitab Sansekerta, yaitu “Ling” berarti suara, dan “Sar” berarti air. Tempat ini dibangun di wilayah yang banyak terdapat sumber airnya, dan dikelilingi oleh hamparan sawah yang sangat subur.

Kedua bangunan tersebut, Pura Gaduh dan Kemaliq, memiliki arsitektur khas Bali. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Gede Ngurah yang berasal dari Karang Asem Bali. Dengan demikian, sejak masa pemerintahan raja ini kerukunan antarumat beragama. Jejaknya masih dapat dijumpai sampai sekarang. Dengan kata lain, kerukunan antarumat beragama tetap dijaga (dipelihara) sampai saat ini. Pada Sasih (bulan) ke-7 dalam kalender tradisional Sasak, sekitar bulan Desember dalam kalender Masehi, di Pura Lingsar digelar upacara adat Pujawali. Upacara Pujawali ini dilaksanakan secara bersama-sama oleh masing-masing umat beragama (suku) pada tempat yang berdampingan. Umat Hindu sendiri dipimpin oleh Pemangku dan melaksanakan persembahyangan di dalam pura. Sedangkan upacara umat Islam Wetu Telu dipimpin oleh Amangku dan melaksanakan ritual di Kemaliq. Bagi umat muslim Wetu Telu, upacara Pujawali ini bertujuan untuk memperingati hari Wali Songo (sembilan wali) yang dahulunya memimpin umat Islam di Indonesia.

Selain kedua bangunan itu, di dalam komplek Pura Lingsar juga terdapat beberapa kolam renang, area taman yang indah, dan juga beberapa tempat  untuk beristirahat  bagi pengunjung. Wilayah Lingsar memiliki panorama alam yang indah, sejuk, dan air yang mengalir di sepanjang sungai yang ada di sana begitu jernih. Sehingga tempat ini, disamping memiliki nilai historis, juga menjadi salah satu tujuan (obyek) wisata di Pulau Lombok.

Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.