Kamis, 28 Februari 2013

Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembiayaan Pendidikan

Upaya meningkatkan mutu pendidikan merupakan prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional di samping prioritas yang lainnya, yaitu penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan untuk memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan peningkatan relevansi melalui kebijaksanaan keterkaitan dan kesepadanan.

Ada dua hal penting yang dapat dikemukakan berkenaan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, yaitu: (1) program-program peningkatan mutu pendidikan seharusnya merupakan bagian rencana induk yang lebih besar dan jangka panjang didasarkan pada suatu konsepsi yang jelas dapat dipahami oleh seluruh jajaran Kemendikbud dan pihak-pihak yang berkepentingan, (2) dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan seharusnya diperhatikan situasi empiris dan kendala-kendala yang diperkirakan timbul, sehingga bersifat inovatif dan tidak mengulangi usaha yang sampai saat ini belum membawa keberhasilan. Oleh karena itu, program-program peningkatan mutu pendidkan supaya bersifat realistis dan tetap berdasarkan pada suatu konsep yang benar dan kuat.

Dalam rangka meningkatkan mutu semua jenis dan jenjang pendidikan, maka perhatian dipusatkan pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kecukupan sumberdaya pendidikan untuk menunjang proses pendidikan dalam arti kecukupan adalah tersedianya jumlah dan mutu guru, maupun tenaga kependidikan lainnya, buku teks, perpustakaan dan sarana prasarana belajar, (2) mutu proses pendidikan itu sendiri dalam arti kurikulum dan pelaksanaan pengajaran untuk mendorong para siswa belajar yang lebih efektif, dan (3) mutu output dari proses pendidikan dalam arti keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh oleh siswa.

Bertitik tolak dari uraian di atas, secara jelas disadari bahwa faktor utama penentu mutu pendidikan berkaitan erat dengan masalah biaya. Jadi, pembahasan masalah-masalah sumberdaya pendidikan, sarana dan prasarana itu tidak lepas dari masalah biaya. Dalam hubungan ini, semakin besar jumlah biaya pendidikan itu akan lebih dimungkinkan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, apabila kita ingin meningkatkan mutu supaya lebih tinggi, maka dana pendidikan itu haruslah berlipat ganda. Singkatnya, faktor biaya pendidikan adalah penting dan strategis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

Faktor biaya memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan pendidikan. Penyadaran akan pentingnya biaya pendidikan itu tidak saja dirasakan pada saat presiden atau pemerintah menetapkan besarnya biaya pembangunan pendidikan pada setiap tahun dalam APBN, tetapi sebenarnya pemikiran-pemikiran seperti itu akan muncul pada saat memikirkan bagaimana meningkatkan pembangunan bidang pendidikan, terutama yang terkait dengan masalah mutu, pemerataan, efisiensi dan relevansi pendidikan. Semua pemikiran ini akan selalu dikaitkan dengan aspek biaya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kuatnya keadaan ekonomi suatu negara akan berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap pengalokasian sumber biaya pendidikan maupun terhadap kebijakan yang akan diambil dan dilaksanakan oleh suatu negara dalam bidang pendidikannya. Dengan demikian, maka biaya pendidikan merupakan faktor masukan yang sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, dan menjalankan fungsi pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Biaya didefinisikan sebagai nilai besar dana yang diperkirakan perlu disediakan pada proyek kegiatan tertentu. Sehubungan dengan pengertian biaya tersebut, maka pembahasan biaya pendidikan akan mengacu kepada dimensi penerimaan dan dimensi alokasi dana. Dimensi penerimaan terkait dengan beberapa sumber biaya pendidikan dari pemerintah, masyarakat, dan orang tua murid. Dimensi alokasi menyangkut dimensi pendistribusian anggaran untuk menunjang berbagai program dan kegiatan pendidikan.
Berdasarkan ketentuan perindang-undangan yang berlaku, maka dapat diketahui bahwa biaya pendidikan di Indonesia bersumber dari pemerintah, badan-badan tertentu, dan perorangan sebab, pada dasarnya, pendidikan dilihat dari segi pelaksanaannya dan pembiayaannya, merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah ini, disebutkan bahwa biaya pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tanggungjawab pemerintah, ini bukan berarti bahwa peserta didik bebas dari kewajiban membayar biaya pendidikan, tetapi justru ikut menanggung biaya yang jumlahnya ditetapkan menurut kemampuan orang tua atau wali peserta didik.

Pandangan bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah itu, sesungguhnya tidak hanya menyangkut masalah biaya saja, tetapi termasuk aspek yang lainnya, seperti keluarga memasukkan anak ke lembaga pendidikan, membayar biaya pendidikan, memberikan dorongan, menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan jiwa raga. Yang dimaksudkan dengan iklim yang kondusif. adalah keluarga seharusnya memberikan istirahat yang cukup, rekreasi, memenuhi segala alat kebutuhan belajar, bimbingan belajar dan berprilaku yang baik kepada anak-anakmya. Sedangkan, yang dimaksudkan tentang masyarakat dalam hubungan ini adalah bisa perusahaan swasta, koperasi, yayasan sosial/pendidikan. Organisasi masyarakat memberikan bantuan untuk suatu pembangunan prasarana pendidikan, bantuan alat belajar, menyelenggarakan pendidikan, berbagai gagasan dalam media massa, berbagai kursus, bimbingan organisasi kemasyarakatan. Kemudian, pemerintah menyiapkan biaya rutin dan biaya pembangunan sektor pendidikan, pegawai negeri, kurikulum, peraturan-peraturan, kebijaksanaan dalam pembinaan, dan lain-lain.

Kemudian sisi lain dari biaya adalah dimensi alokasi, yaitu pendistribusian dana untuk menunjang program pendidikan. Dalam proses pelaksanan pendidikan dikenal biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung pendidikan adalah pengorbanan yang secara langsung berproses dalam produksi pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan, seperti gaji guru dan pegawai, pembelian buku, bahan-bahan perlengkapan seperti bangku kuliah, pembelian tanah, bangunan, laboratorium, dan hal-hal lain yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Biaya langsung ini terwujud dalam pengeluaran uang yang manfaatnya benar-benar dirasakan oleh murid atau siswa. Biaya langsung ini ada dua macam, yaitu biaya langsung standar apabila biaya itu inheren dengan hasil, kuantitatif dapat dihitung, dan tidak dapat dihindarkan. Kemudian biaya langsung yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yang disebut dengan biaya penunjang, seperti belanja barang, inventaris kantor, langganan listrik, gas, air, kendaraan dan perjalanan dinas. Sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya yang menunjang siswa untuk dapat hadir di sekolah, yang di dalamnya mencakup biaya hidup, transpotasi dan lain-lainnya yang sulit dihitung karena tidak ada catatan resmi, sehingga biasanya tidak turut dihitung dalam perencanaan oleh para administrator.

Jenis biaya pendidikan lainnya yang disebut dengan social cost dan private cost, dapat dijelaskan sebagai berikut. Social cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat secara langsung yang bisa berupa uang sekolah, uang buku, dan biaya yang lainnya, dan yang tidak langsung bisa berupa pajak dan restribusi. Private cost adalah biaya yang dikeluarkan langsung oleh keluarga untuk membiayai sekolah anaknya, seperti uang sekolah, pembelian buku, dan biaya insidental lainnya.
Jenis biaya pendidikan yang terakhir adalah monetary cost dan nonmonetary cost. Monetary cost adalah biaya langsung dan tidak langsung yang dibayar oleh masyarakat dan individu, sedangkan nonmonetary cost adalah nilai pengorbanan yang tidak diwujudkan dengan pengeluaran uang seperti biaya yang diperhitungkan ketika seorang siswa tidak mengambil kesempatan waktu senggangnya untuk bersenang-senang, tetapi digunakan untuk belajar atau membaca buku.

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa biaya pendidikan itu memiliki pengertian yang sangat luas, mencakup hampir segala pengeluaran yang bersangkutan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Dari sisi yang lain sebenarnya meningkatnya angka-angka pembiyaan pendidikan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dapat dimaknai bahwa pembiayaan pendidikan untuk masa yang akan datang tampaknya dapat lebih melibatkan peranserta masyarakat secara lebih sistematis dan terprogram. Hal ini perlu dilakukan karena: (1) beban keuangan pemerintah yang relatif semakin berat dalam membiayai pembangunan, (2) menguatnya sektor swasta dalam perekonomian nasional, (3) makin meningkatnya pendapatan masyarakat, dan (4) sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001.

Jerowaru LOmbok Timur, 28 Pebruari 2013.
Upaya meningkatkan mutu pendidikan merupakan prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional di samping prioritas yang lainnya, yaitu penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan untuk memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan peningkatan relevansi melalui kebijaksanaan keterkaitan dan kesepadanan.

Ada dua hal penting yang dapat dikemukakan berkenaan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, yaitu: (1) program-program peningkatan mutu pendidikan seharusnya merupakan bagian rencana induk yang lebih besar dan jangka panjang didasarkan pada suatu konsepsi yang jelas dapat dipahami oleh seluruh jajaran Kemendikbud dan pihak-pihak yang berkepentingan, (2) dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan seharusnya diperhatikan situasi empiris dan kendala-kendala yang diperkirakan timbul, sehingga bersifat inovatif dan tidak mengulangi usaha yang sampai saat ini belum membawa keberhasilan. Oleh karena itu, program-program peningkatan mutu pendidkan supaya bersifat realistis dan tetap berdasarkan pada suatu konsep yang benar dan kuat.

Dalam rangka meningkatkan mutu semua jenis dan jenjang pendidikan, maka perhatian dipusatkan pada tiga faktor utama, yaitu: (1) kecukupan sumberdaya pendidikan untuk menunjang proses pendidikan dalam arti kecukupan adalah tersedianya jumlah dan mutu guru, maupun tenaga kependidikan lainnya, buku teks, perpustakaan dan sarana prasarana belajar, (2) mutu proses pendidikan itu sendiri dalam arti kurikulum dan pelaksanaan pengajaran untuk mendorong para siswa belajar yang lebih efektif, dan (3) mutu output dari proses pendidikan dalam arti keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh oleh siswa.

Bertitik tolak dari uraian di atas, secara jelas disadari bahwa faktor utama penentu mutu pendidikan berkaitan erat dengan masalah biaya. Jadi, pembahasan masalah-masalah sumberdaya pendidikan, sarana dan prasarana itu tidak lepas dari masalah biaya. Dalam hubungan ini, semakin besar jumlah biaya pendidikan itu akan lebih dimungkinkan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, apabila kita ingin meningkatkan mutu supaya lebih tinggi, maka dana pendidikan itu haruslah berlipat ganda. Singkatnya, faktor biaya pendidikan adalah penting dan strategis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

Faktor biaya memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan pendidikan. Penyadaran akan pentingnya biaya pendidikan itu tidak saja dirasakan pada saat presiden atau pemerintah menetapkan besarnya biaya pembangunan pendidikan pada setiap tahun dalam APBN, tetapi sebenarnya pemikiran-pemikiran seperti itu akan muncul pada saat memikirkan bagaimana meningkatkan pembangunan bidang pendidikan, terutama yang terkait dengan masalah mutu, pemerataan, efisiensi dan relevansi pendidikan. Semua pemikiran ini akan selalu dikaitkan dengan aspek biaya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kuatnya keadaan ekonomi suatu negara akan berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap pengalokasian sumber biaya pendidikan maupun terhadap kebijakan yang akan diambil dan dilaksanakan oleh suatu negara dalam bidang pendidikannya. Dengan demikian, maka biaya pendidikan merupakan faktor masukan yang sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, dan menjalankan fungsi pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Biaya didefinisikan sebagai nilai besar dana yang diperkirakan perlu disediakan pada proyek kegiatan tertentu. Sehubungan dengan pengertian biaya tersebut, maka pembahasan biaya pendidikan akan mengacu kepada dimensi penerimaan dan dimensi alokasi dana. Dimensi penerimaan terkait dengan beberapa sumber biaya pendidikan dari pemerintah, masyarakat, dan orang tua murid. Dimensi alokasi menyangkut dimensi pendistribusian anggaran untuk menunjang berbagai program dan kegiatan pendidikan.
Berdasarkan ketentuan perindang-undangan yang berlaku, maka dapat diketahui bahwa biaya pendidikan di Indonesia bersumber dari pemerintah, badan-badan tertentu, dan perorangan sebab, pada dasarnya, pendidikan dilihat dari segi pelaksanaannya dan pembiayaannya, merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah ini, disebutkan bahwa biaya pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tanggungjawab pemerintah, ini bukan berarti bahwa peserta didik bebas dari kewajiban membayar biaya pendidikan, tetapi justru ikut menanggung biaya yang jumlahnya ditetapkan menurut kemampuan orang tua atau wali peserta didik.

Pandangan bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah itu, sesungguhnya tidak hanya menyangkut masalah biaya saja, tetapi termasuk aspek yang lainnya, seperti keluarga memasukkan anak ke lembaga pendidikan, membayar biaya pendidikan, memberikan dorongan, menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan jiwa raga. Yang dimaksudkan dengan iklim yang kondusif. adalah keluarga seharusnya memberikan istirahat yang cukup, rekreasi, memenuhi segala alat kebutuhan belajar, bimbingan belajar dan berprilaku yang baik kepada anak-anakmya. Sedangkan, yang dimaksudkan tentang masyarakat dalam hubungan ini adalah bisa perusahaan swasta, koperasi, yayasan sosial/pendidikan. Organisasi masyarakat memberikan bantuan untuk suatu pembangunan prasarana pendidikan, bantuan alat belajar, menyelenggarakan pendidikan, berbagai gagasan dalam media massa, berbagai kursus, bimbingan organisasi kemasyarakatan. Kemudian, pemerintah menyiapkan biaya rutin dan biaya pembangunan sektor pendidikan, pegawai negeri, kurikulum, peraturan-peraturan, kebijaksanaan dalam pembinaan, dan lain-lain.

Kemudian sisi lain dari biaya adalah dimensi alokasi, yaitu pendistribusian dana untuk menunjang program pendidikan. Dalam proses pelaksanan pendidikan dikenal biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung pendidikan adalah pengorbanan yang secara langsung berproses dalam produksi pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan, seperti gaji guru dan pegawai, pembelian buku, bahan-bahan perlengkapan seperti bangku kuliah, pembelian tanah, bangunan, laboratorium, dan hal-hal lain yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Biaya langsung ini terwujud dalam pengeluaran uang yang manfaatnya benar-benar dirasakan oleh murid atau siswa. Biaya langsung ini ada dua macam, yaitu biaya langsung standar apabila biaya itu inheren dengan hasil, kuantitatif dapat dihitung, dan tidak dapat dihindarkan. Kemudian biaya langsung yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yang disebut dengan biaya penunjang, seperti belanja barang, inventaris kantor, langganan listrik, gas, air, kendaraan dan perjalanan dinas. Sedangkan biaya tidak langsung adalah biaya yang menunjang siswa untuk dapat hadir di sekolah, yang di dalamnya mencakup biaya hidup, transpotasi dan lain-lainnya yang sulit dihitung karena tidak ada catatan resmi, sehingga biasanya tidak turut dihitung dalam perencanaan oleh para administrator.

Jenis biaya pendidikan lainnya yang disebut dengan social cost dan private cost, dapat dijelaskan sebagai berikut. Social cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat secara langsung yang bisa berupa uang sekolah, uang buku, dan biaya yang lainnya, dan yang tidak langsung bisa berupa pajak dan restribusi. Private cost adalah biaya yang dikeluarkan langsung oleh keluarga untuk membiayai sekolah anaknya, seperti uang sekolah, pembelian buku, dan biaya insidental lainnya.
Jenis biaya pendidikan yang terakhir adalah monetary cost dan nonmonetary cost. Monetary cost adalah biaya langsung dan tidak langsung yang dibayar oleh masyarakat dan individu, sedangkan nonmonetary cost adalah nilai pengorbanan yang tidak diwujudkan dengan pengeluaran uang seperti biaya yang diperhitungkan ketika seorang siswa tidak mengambil kesempatan waktu senggangnya untuk bersenang-senang, tetapi digunakan untuk belajar atau membaca buku.

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa biaya pendidikan itu memiliki pengertian yang sangat luas, mencakup hampir segala pengeluaran yang bersangkutan dengan penyelenggaraan pendidikan.

Dari sisi yang lain sebenarnya meningkatnya angka-angka pembiyaan pendidikan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dapat dimaknai bahwa pembiayaan pendidikan untuk masa yang akan datang tampaknya dapat lebih melibatkan peranserta masyarakat secara lebih sistematis dan terprogram. Hal ini perlu dilakukan karena: (1) beban keuangan pemerintah yang relatif semakin berat dalam membiayai pembangunan, (2) menguatnya sektor swasta dalam perekonomian nasional, (3) makin meningkatnya pendapatan masyarakat, dan (4) sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001.

Jerowaru LOmbok Timur, 28 Pebruari 2013.

Selasa, 26 Februari 2013

Menggugat Peran Bawaslu (Panwaslu) dalam Proses Pemilukada

Terlaksananya pemilukada yang demokratis di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tanggal 13 Mei 2013 nanti, baik untuk memilih gubernur dan wakil gubernur maupun untuk memilih bupati dan wakil bupati (Kabupaten Lombok Timur), dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Kota Bima), sangat tergantung dari berbagai faktor yang berperan di dalamnya. Salah satu faktor penentu adalah peran dari bawaslu di tingkat provinsi atau panwaslu di tingkat kabupaten/kota.

Sampai saat ini, masih dalam tahapan awal pemilukada, boleh dikatakan bawaslu atau panwaslu belum melaksanakan tugas dan fungsinya secara otimal. Indikasi mencolok yang dapat menggambarkan masih kurangnya peran aktif dari salah satu bagian dari organisasi politik (pemilukada) tersebut adalah adanya indikasi keterlibatan PNS dalam politik praktis, dan perusakan atribut kampanye para pasangan balon.

Mestinya hal tersebut tidak perlu terjadi apabila mereka dari sejak awal melakukan persiapan dan sosialisasi intensif dalam kepengawasan pemilukada. Seharusnya mereka dapat membangun komunikasi dan pendekatan yang bermakna dengan Sekda, BKD, SKPD, tokoh-tokoh masyarakat serta tim sukses para pasangan balon,dan pihak-pihak terkait lainnya. Sehingga mereka dapat mengenal gejala-gejala yang dapat memungkinkan terganggunya tahapan-tahapan pemilukada. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan pengawasan secara intensif dan melekat pada setiap tahapan pemilukada. Dengan demikian dapat diambil langkah-langkah yang strategis dan tepat sebagai upaya mencegah sekecil mungkin kemungkinan keterlibatan PNS dalam politik praktis, dan dapat menangkal sedini mungkin upaya-upaya dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dalam perusakan atribut kampanye.

Dengan alasan apa pun, keterlibatan PNS dalam politik praktis, dan perusakan atribut kampanye para balon, mencederai demokrasi dan melecehkan keberadaan bawaslu atau panwaslu. Memang sangat disayangkan dan memprihatinkan. Tindakan itu bukan merupakan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Oleh karena kasus telah terjadi, maka oknom-oknom PNS yang telah terindikasi tidak netral harus diproses dengan segera berdasarkan ketentuan yang berlaku. Mereka harus melakukan pengawasan secara aktif terhadap keberadaan atribut kampanye para balon. Itu sangat dibutuhkan karena akhir-akhir ini semakin marak terjadi perusakan atribut kampanye, seperti baleho pasangan balon tertentu di berbagai penjuru wilayah provinsi, dan kabupaten/kota. Misalnya, di berbagai tempat di wilayah Kabupaten Lombok Timur peruskan terhadap baleho pasangan balon bupati dan wakil bupati tertentu berlangsung terus-menerus, yang hampir merata terjadi di wilayah kabupaten ini. Baleho-baleho tersebut disobek-sobek, dicoret-coret, dan dirobohkan. Sementara baliho milik pasangan balon yang lain tetap berdiri tegak dan utuh. Kejadian serupa juga berlangsung di wilayah lainnya, baik untuk atribut kampanye pasangan balon gubernur dan wakil gubernur maupun terhadap atribut kampanye pansangan balon wali kota dan wakel wali kota.

Kejadian tersebut miris dan ironis dalam dunia demokrasi. Pilihan boleh berbeda, tetapi semanagat kebersamaan dan persatuan harus tetap dipelihara untuk mencegah terjadinya ekses negatif atau munculnya perselisihan di lingkungan bermasyarakat. Siapa pun orangnya jelas telah melakukan tindakan pengecut, tidak bertanggungjawab dan tidak manusiawi. Oknom-oknom PNS yang tidak netral, dan oknom-oknom atau kelompok yang melakukan peruskan terhadap atribut kampanye, jelas merupakan pihak yang belum siap untuk berdemokrasi, dan tidak siap kalah, serta lebih mengedepankan kepentingan diri atau kelompoknya.

Terjadinya kasus-kasus tersebut bukanlah masalah sepele, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena akan dapat mengganggu pelaksanaan proses pemilukada secara keseluruhan. Bahkan bisa memicu terjadinya konflik komunal di daerah ini. Sebagai mana telah kita ketahui, Provinsi NTB sampai saat ini belum mampu terbebas dari konflik komunal. Apabila muncul konflik baru yang dilatar belakangi oleh masalah dalam pemilukada, berarti akan menambah panjang daftar konflik komunal yang terjadi di daerah ini. Oleh karena itu, bawaslu atau panwaslu, tidak perlu menunggu laporan baru bertindak. Upaya menangkal setiap kemungkinan terjadinya kasus, itulah yang dibutuhkan. Mereka dituntut untuk dapat melakukan pengawasan secara optimal dan menyeluruh dalam rangka ikut memberi jaminan terlaksananya proses pemilukada yang bersih dan demokratis. Tunggas dan funggsi yang diemban harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan amanah. Itu sebabnya mereka mendapat bayaran dari anggaran (uang) rakyat (negara). Apabila tidak dapat menjalankannya dengan baik, maka tidak ubah seperti koruptor yang menggerogoti uang negara, dan mencari keuntungan pribadi sesaat mumpung ada kesempatan setelah terpilih menjadi anggota bawaslu atau panwaslu. Marilah kita kawal proses demokrasi dengan penuh kesungguhan demi kepentingan umum.

Jerowaru Lombok Timur, 26 Pebruari 2013.
Terlaksananya pemilukada yang demokratis di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tanggal 13 Mei 2013 nanti, baik untuk memilih gubernur dan wakil gubernur maupun untuk memilih bupati dan wakil bupati (Kabupaten Lombok Timur), dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Kota Bima), sangat tergantung dari berbagai faktor yang berperan di dalamnya. Salah satu faktor penentu adalah peran dari bawaslu di tingkat provinsi atau panwaslu di tingkat kabupaten/kota.

Sampai saat ini, masih dalam tahapan awal pemilukada, boleh dikatakan bawaslu atau panwaslu belum melaksanakan tugas dan fungsinya secara otimal. Indikasi mencolok yang dapat menggambarkan masih kurangnya peran aktif dari salah satu bagian dari organisasi politik (pemilukada) tersebut adalah adanya indikasi keterlibatan PNS dalam politik praktis, dan perusakan atribut kampanye para pasangan balon.

Mestinya hal tersebut tidak perlu terjadi apabila mereka dari sejak awal melakukan persiapan dan sosialisasi intensif dalam kepengawasan pemilukada. Seharusnya mereka dapat membangun komunikasi dan pendekatan yang bermakna dengan Sekda, BKD, SKPD, tokoh-tokoh masyarakat serta tim sukses para pasangan balon,dan pihak-pihak terkait lainnya. Sehingga mereka dapat mengenal gejala-gejala yang dapat memungkinkan terganggunya tahapan-tahapan pemilukada. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan pengawasan secara intensif dan melekat pada setiap tahapan pemilukada. Dengan demikian dapat diambil langkah-langkah yang strategis dan tepat sebagai upaya mencegah sekecil mungkin kemungkinan keterlibatan PNS dalam politik praktis, dan dapat menangkal sedini mungkin upaya-upaya dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dalam perusakan atribut kampanye.

Dengan alasan apa pun, keterlibatan PNS dalam politik praktis, dan perusakan atribut kampanye para balon, mencederai demokrasi dan melecehkan keberadaan bawaslu atau panwaslu. Memang sangat disayangkan dan memprihatinkan. Tindakan itu bukan merupakan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. Oleh karena kasus telah terjadi, maka oknom-oknom PNS yang telah terindikasi tidak netral harus diproses dengan segera berdasarkan ketentuan yang berlaku. Mereka harus melakukan pengawasan secara aktif terhadap keberadaan atribut kampanye para balon. Itu sangat dibutuhkan karena akhir-akhir ini semakin marak terjadi perusakan atribut kampanye, seperti baleho pasangan balon tertentu di berbagai penjuru wilayah provinsi, dan kabupaten/kota. Misalnya, di berbagai tempat di wilayah Kabupaten Lombok Timur peruskan terhadap baleho pasangan balon bupati dan wakil bupati tertentu berlangsung terus-menerus, yang hampir merata terjadi di wilayah kabupaten ini. Baleho-baleho tersebut disobek-sobek, dicoret-coret, dan dirobohkan. Sementara baliho milik pasangan balon yang lain tetap berdiri tegak dan utuh. Kejadian serupa juga berlangsung di wilayah lainnya, baik untuk atribut kampanye pasangan balon gubernur dan wakil gubernur maupun terhadap atribut kampanye pansangan balon wali kota dan wakel wali kota.

Kejadian tersebut miris dan ironis dalam dunia demokrasi. Pilihan boleh berbeda, tetapi semanagat kebersamaan dan persatuan harus tetap dipelihara untuk mencegah terjadinya ekses negatif atau munculnya perselisihan di lingkungan bermasyarakat. Siapa pun orangnya jelas telah melakukan tindakan pengecut, tidak bertanggungjawab dan tidak manusiawi. Oknom-oknom PNS yang tidak netral, dan oknom-oknom atau kelompok yang melakukan peruskan terhadap atribut kampanye, jelas merupakan pihak yang belum siap untuk berdemokrasi, dan tidak siap kalah, serta lebih mengedepankan kepentingan diri atau kelompoknya.

Terjadinya kasus-kasus tersebut bukanlah masalah sepele, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena akan dapat mengganggu pelaksanaan proses pemilukada secara keseluruhan. Bahkan bisa memicu terjadinya konflik komunal di daerah ini. Sebagai mana telah kita ketahui, Provinsi NTB sampai saat ini belum mampu terbebas dari konflik komunal. Apabila muncul konflik baru yang dilatar belakangi oleh masalah dalam pemilukada, berarti akan menambah panjang daftar konflik komunal yang terjadi di daerah ini. Oleh karena itu, bawaslu atau panwaslu, tidak perlu menunggu laporan baru bertindak. Upaya menangkal setiap kemungkinan terjadinya kasus, itulah yang dibutuhkan. Mereka dituntut untuk dapat melakukan pengawasan secara optimal dan menyeluruh dalam rangka ikut memberi jaminan terlaksananya proses pemilukada yang bersih dan demokratis. Tunggas dan funggsi yang diemban harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan amanah. Itu sebabnya mereka mendapat bayaran dari anggaran (uang) rakyat (negara). Apabila tidak dapat menjalankannya dengan baik, maka tidak ubah seperti koruptor yang menggerogoti uang negara, dan mencari keuntungan pribadi sesaat mumpung ada kesempatan setelah terpilih menjadi anggota bawaslu atau panwaslu. Marilah kita kawal proses demokrasi dengan penuh kesungguhan demi kepentingan umum.

Jerowaru Lombok Timur, 26 Pebruari 2013.

Minggu, 24 Februari 2013

Rencana Kenaikan Gaji Kepala Daerah Tidak Realistis dan Melukai Rasa Keadilan Masyarakat



Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-9 Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) pada tanggal 20 Pebruari 2013 lalu di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Selatan, menyampaikan tentang rencana kenaikan gaji kepala daerah. Recana muncul disebabkan oleh karena gaji yang diterima kepala daerah selama ini belum dirasa adil, layak, dan wajar bila dibandingkan dengan beban kerja yang diemban. Alasan lainnya yang dikemukakan adalah dengan menaikan gaji, para kepala daerah tidak melakukan tindakan korupsi.

Ternyata rencana kenaikan gaji tidak terbatas untuk kepala daerah saja, tetapi diperuntukan untuk seluruh pejabat negara. Termasuk di dalamnya Presiden, anggota DPR, anggota DPD, Menteri, Kapolri, Jaksa Agung, dan Hakim. Apabila gaji kepala daerah naik, otomatis gaji anggota DPRD juga akan ikut naik. Kenaikan gaji anggota DPRD mengikuti kenaikan gaji kepala daerah. Wacana tersebut bila ditelisik lebih jauh, justeru sebaliknya melukai rasa keadilan masyarakat secara umum.
 
Pejabat negara, termasuk kepala daerah, sesungguhnya telah memiliki pengahasilan yang jauh mencukupi. Mereka disamping mendapat gaji dan tunjangan, juga memperoleh insentif dan penhasilan lainnya. Pendapatan di luar gaji dan tunjangan jauh lebih besar. Hal ini bisa diketahui atau dikaji dari beberapa peraturan yang menyangkut penghasilan pejabat negara, seperti Peraturan Pemerintah (PP) nomor 59 tahun 2000, PP nomor 109 tahun 2000, PP nomor 69 tahun 2010, dan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 68 tahun 2001. Berdasarkan ketentuan tertulis itu, bisa diketahui tentang besarnya penghasilan yang diperoleh pejabat negara per bulan. Misalnya, gubernur dan wakil gubernur bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp. 400 juta per bulan, bahkan bisa melebihi dari angka itu. Sementara bupati/wali kota dan wakilnya bisa meraup penghasilan sekitar Rp. 120 – 150 juta atau lebih per bulan. Apalagi penjabat negara di atasnya, tentu penghasilannya lebih tinggi lagi.

Disamping itu, para pejabat negara juga menerima fasilitas rumah dinas. Mereka mendapatkan tunjangan biaya-biaya, seperti biaya rumah tangga, pembelian inventaris rumah jabatan, pemeliharaan rumah jabatan dan barang-barang inventaris, pemeliharaan kendaraan dinas, pemeliharaan kesehatan, perjalanan dinas dan pakaian dinas. Nah, kurang apalagi bila dibandingkan dengan tugas dan tanggungjawabnya atau beban kerja yang diembannya. Dengan demikian, sesungguhnya kenaikan gaji para pejabat negara tidak realistis.

Wacana menaikkan gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah semakin tidak realistis bila kita mengingat kondisi (fakta) yang ada saat ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain :
1.      Kondisi kehidupan masyarakat yang belum sejahtera.
Masyarakat masih banyak yang hidup dalam kesusahan, dan belum memperoleh pelayanan yang optimal dari negara atas hak-hak dasarnya. Artinya, dengan gaji yang cukup besar yang diterima saat ini, kinerja mayoritas pejabat negara, termasuk kepala daerah terbukti masih jauh dari memuaskan. Sehingga, kenaikan gaji tidak menjamin kinerja pejabat negara meningkat. Sesungguhnya, menjadi pejabat negara itu adalah pengabdian, bukan untuk mengejar gaji.
2.      Keadaan APBN atau keuangan negara sedang sedang sulit (terpuruk).
Saat ini lebih dari 50 % porsi APBN sudah tersedot untuk belanja rutin, termasuk untuk belanja pegawai. Bila gaji pejabat negara naik, itu berarti semakin membebani APBN. Sementara porsi APBN untuk mensejahterakan rakyat secara umum semakin berkurang prosentasenya, bila gaji gaji pejabat negara dinaikkan. Masih banyak daerah yang mengalokasikan 50 % lebih anggarannya untuk belanja pegawai, bahkan beberapa diantaranya mengalokasikan 70 % anggarannya untuk pegawai pada 2011-2012. Apabila gaji kepala daerah naik, maka ujung-ujungnya akan kembali menguras anggaran daerah untuk kepentingan elite dan birokrasi. Karena gaji anggota DPRD juga ikut naik. Pada gilirannya akan menyebabkan daerah tidak mampu melayani publik sesuai tujuan otonomi daerah.
3.   Tahun lalu pemerintah melakukan moratorium penerimaan PNS atas dasar pertimbangan besarnya belanja daerah untuk birokrasi yang membengkak. Sehingga, rencana kenaikan gaji tersebut terasa aneh, walaupun diikuti dengan adanya wacana untuk menghapus pendapatan lainnya (insentif).
4.      Masih maraknya praktik korupsi di kalangan pejabat negara.
Alasan pemerintah menaikan gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah untuk mengurangi korupsi, merupakan alasan yang tidak tepat. Tidak ada korelasi antara menaikan gaji pejabat negara dengan berkurangnya pejabat negara atau kepala daerah melakukan praktik korupsi. Banyak pejabat negara atau kepala daerah yang sudah memiliki kekayaan berlimpah, tapi tetap saja korup. Korupsi itu soal pribadinya, bukan soal gaji. Sumber korupsi bukan karena gaji pejabat negara kecil, tapi karena mental mereka yang bobrok. Singkatnya, kenaikan gaji belum jaminan pejabat negara bebas dari praktik korupsi.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya dapat ditarik benang merahnya, dapat dirumuskan suatu kesimpulan bahwa kenaikan gaji bukanlah hal substantif dan mendesak untuk pembenahan pemerintahan dan pencegahan praktik korupsi. Sebaliknya, renacana kenaikan tersebut melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan kondisi masyaarakat yang serba sulit saat ini jelas, bukan prioritas untuk menaikan gaji dari pejabat negara. Masih banyak yang harus diatasi dari kondisi ekonomi negara saat ini. Semestinya pemerintah lebih memberi perhatian pada cara mengelola anggaran dan aturan yang mendasarinya, menutup celah korupsi, serta mengorientasikan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila pejabat negara, termasuk kepala daerah sudah mampu meningkatkan harkat dan martabat rakyat secara signifikan, dapat mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata, maka kenaikan gajinya bukan menjadi persoalan.

Untuk dapat meningkatkan gaji pejabat negara, dibutuhkan adanya kriteria yang jelas dan terukur. Misalnya untuk kepala daerah, sebelum dinaikkan gajinya terlebih dahulu harus dipertimbangkan (dikaji, dianalisa) dari beberapa segi atau aspek, sebagai berikut.
1. Capaian kinerja dalam pembangunan daerah, yang ditandai dengan kemampuannya dalam mensejahterakan rakyat, dengan tolok ukur peningkatan indeks pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, perdagangan, wisata dan infrastruktur untuk pelayanan umum lainnya. Singkatnya, kinerja harus sesuai dengan standar indeks pembangunan manusia (IPM). Indikator utama untuk mengetahui capaian kinerja dalam IPM, adalah seberapa besar capaian yang mencakup perbaikan nilai indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat dalam masa kepemimpinan seorang kepala daerah. Sampai saat ini, masih banyak kepala daerah yang belum mampu meningkatkan IPM di daerah yang dipimpinnya, keadaannya masih terpuruk.
2.      Kemampuannya dalam mewujudkan pelayanan publik, dengan indikator utamanya adalah seberapa jauh kepala daerah mampu mengalokasikan APBD untuk meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik.
3.  Kemampuannya dalam mengelola konflik atau masalah dan pemberdayaan potensi daerah, dengan indikator utamanya adalah seberapa kuat dan inovatif seorang kepala daerah dalam menyelesaikan problem dan memanfaatkan potensi daerah.
4.   Kepuasan rakyat terhadap kepemimpinannya, dengan indikator utama adalah seberapa tinggi  tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan kepala daerah.
5.      Kemampuan keuangan daerah, dengan indikator utama adalah seberapa realitas keuangan daerah untuk dapat menaikkan gaji kepala daerah, karena setiap daerah memiliki potensi keuangan yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga, kenaikan gaji kepala daerah tidak perlu seragam.

Jerowaru Lombok Timur, 24 Pebruari 2013.


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-9 Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) pada tanggal 20 Pebruari 2013 lalu di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Selatan, menyampaikan tentang rencana kenaikan gaji kepala daerah. Recana muncul disebabkan oleh karena gaji yang diterima kepala daerah selama ini belum dirasa adil, layak, dan wajar bila dibandingkan dengan beban kerja yang diemban. Alasan lainnya yang dikemukakan adalah dengan menaikan gaji, para kepala daerah tidak melakukan tindakan korupsi.

Ternyata rencana kenaikan gaji tidak terbatas untuk kepala daerah saja, tetapi diperuntukan untuk seluruh pejabat negara. Termasuk di dalamnya Presiden, anggota DPR, anggota DPD, Menteri, Kapolri, Jaksa Agung, dan Hakim. Apabila gaji kepala daerah naik, otomatis gaji anggota DPRD juga akan ikut naik. Kenaikan gaji anggota DPRD mengikuti kenaikan gaji kepala daerah. Wacana tersebut bila ditelisik lebih jauh, justeru sebaliknya melukai rasa keadilan masyarakat secara umum.
 
Pejabat negara, termasuk kepala daerah, sesungguhnya telah memiliki pengahasilan yang jauh mencukupi. Mereka disamping mendapat gaji dan tunjangan, juga memperoleh insentif dan penhasilan lainnya. Pendapatan di luar gaji dan tunjangan jauh lebih besar. Hal ini bisa diketahui atau dikaji dari beberapa peraturan yang menyangkut penghasilan pejabat negara, seperti Peraturan Pemerintah (PP) nomor 59 tahun 2000, PP nomor 109 tahun 2000, PP nomor 69 tahun 2010, dan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 68 tahun 2001. Berdasarkan ketentuan tertulis itu, bisa diketahui tentang besarnya penghasilan yang diperoleh pejabat negara per bulan. Misalnya, gubernur dan wakil gubernur bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp. 400 juta per bulan, bahkan bisa melebihi dari angka itu. Sementara bupati/wali kota dan wakilnya bisa meraup penghasilan sekitar Rp. 120 – 150 juta atau lebih per bulan. Apalagi penjabat negara di atasnya, tentu penghasilannya lebih tinggi lagi.

Disamping itu, para pejabat negara juga menerima fasilitas rumah dinas. Mereka mendapatkan tunjangan biaya-biaya, seperti biaya rumah tangga, pembelian inventaris rumah jabatan, pemeliharaan rumah jabatan dan barang-barang inventaris, pemeliharaan kendaraan dinas, pemeliharaan kesehatan, perjalanan dinas dan pakaian dinas. Nah, kurang apalagi bila dibandingkan dengan tugas dan tanggungjawabnya atau beban kerja yang diembannya. Dengan demikian, sesungguhnya kenaikan gaji para pejabat negara tidak realistis.

Wacana menaikkan gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah semakin tidak realistis bila kita mengingat kondisi (fakta) yang ada saat ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain :
1.      Kondisi kehidupan masyarakat yang belum sejahtera.
Masyarakat masih banyak yang hidup dalam kesusahan, dan belum memperoleh pelayanan yang optimal dari negara atas hak-hak dasarnya. Artinya, dengan gaji yang cukup besar yang diterima saat ini, kinerja mayoritas pejabat negara, termasuk kepala daerah terbukti masih jauh dari memuaskan. Sehingga, kenaikan gaji tidak menjamin kinerja pejabat negara meningkat. Sesungguhnya, menjadi pejabat negara itu adalah pengabdian, bukan untuk mengejar gaji.
2.      Keadaan APBN atau keuangan negara sedang sedang sulit (terpuruk).
Saat ini lebih dari 50 % porsi APBN sudah tersedot untuk belanja rutin, termasuk untuk belanja pegawai. Bila gaji pejabat negara naik, itu berarti semakin membebani APBN. Sementara porsi APBN untuk mensejahterakan rakyat secara umum semakin berkurang prosentasenya, bila gaji gaji pejabat negara dinaikkan. Masih banyak daerah yang mengalokasikan 50 % lebih anggarannya untuk belanja pegawai, bahkan beberapa diantaranya mengalokasikan 70 % anggarannya untuk pegawai pada 2011-2012. Apabila gaji kepala daerah naik, maka ujung-ujungnya akan kembali menguras anggaran daerah untuk kepentingan elite dan birokrasi. Karena gaji anggota DPRD juga ikut naik. Pada gilirannya akan menyebabkan daerah tidak mampu melayani publik sesuai tujuan otonomi daerah.
3.   Tahun lalu pemerintah melakukan moratorium penerimaan PNS atas dasar pertimbangan besarnya belanja daerah untuk birokrasi yang membengkak. Sehingga, rencana kenaikan gaji tersebut terasa aneh, walaupun diikuti dengan adanya wacana untuk menghapus pendapatan lainnya (insentif).
4.      Masih maraknya praktik korupsi di kalangan pejabat negara.
Alasan pemerintah menaikan gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah untuk mengurangi korupsi, merupakan alasan yang tidak tepat. Tidak ada korelasi antara menaikan gaji pejabat negara dengan berkurangnya pejabat negara atau kepala daerah melakukan praktik korupsi. Banyak pejabat negara atau kepala daerah yang sudah memiliki kekayaan berlimpah, tapi tetap saja korup. Korupsi itu soal pribadinya, bukan soal gaji. Sumber korupsi bukan karena gaji pejabat negara kecil, tapi karena mental mereka yang bobrok. Singkatnya, kenaikan gaji belum jaminan pejabat negara bebas dari praktik korupsi.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya dapat ditarik benang merahnya, dapat dirumuskan suatu kesimpulan bahwa kenaikan gaji bukanlah hal substantif dan mendesak untuk pembenahan pemerintahan dan pencegahan praktik korupsi. Sebaliknya, renacana kenaikan tersebut melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan kondisi masyaarakat yang serba sulit saat ini jelas, bukan prioritas untuk menaikan gaji dari pejabat negara. Masih banyak yang harus diatasi dari kondisi ekonomi negara saat ini. Semestinya pemerintah lebih memberi perhatian pada cara mengelola anggaran dan aturan yang mendasarinya, menutup celah korupsi, serta mengorientasikan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila pejabat negara, termasuk kepala daerah sudah mampu meningkatkan harkat dan martabat rakyat secara signifikan, dapat mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata, maka kenaikan gajinya bukan menjadi persoalan.

Untuk dapat meningkatkan gaji pejabat negara, dibutuhkan adanya kriteria yang jelas dan terukur. Misalnya untuk kepala daerah, sebelum dinaikkan gajinya terlebih dahulu harus dipertimbangkan (dikaji, dianalisa) dari beberapa segi atau aspek, sebagai berikut.
1. Capaian kinerja dalam pembangunan daerah, yang ditandai dengan kemampuannya dalam mensejahterakan rakyat, dengan tolok ukur peningkatan indeks pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, perdagangan, wisata dan infrastruktur untuk pelayanan umum lainnya. Singkatnya, kinerja harus sesuai dengan standar indeks pembangunan manusia (IPM). Indikator utama untuk mengetahui capaian kinerja dalam IPM, adalah seberapa besar capaian yang mencakup perbaikan nilai indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat dalam masa kepemimpinan seorang kepala daerah. Sampai saat ini, masih banyak kepala daerah yang belum mampu meningkatkan IPM di daerah yang dipimpinnya, keadaannya masih terpuruk.
2.      Kemampuannya dalam mewujudkan pelayanan publik, dengan indikator utamanya adalah seberapa jauh kepala daerah mampu mengalokasikan APBD untuk meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik.
3.  Kemampuannya dalam mengelola konflik atau masalah dan pemberdayaan potensi daerah, dengan indikator utamanya adalah seberapa kuat dan inovatif seorang kepala daerah dalam menyelesaikan problem dan memanfaatkan potensi daerah.
4.   Kepuasan rakyat terhadap kepemimpinannya, dengan indikator utama adalah seberapa tinggi  tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan kepala daerah.
5.      Kemampuan keuangan daerah, dengan indikator utama adalah seberapa realitas keuangan daerah untuk dapat menaikkan gaji kepala daerah, karena setiap daerah memiliki potensi keuangan yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga, kenaikan gaji kepala daerah tidak perlu seragam.

Jerowaru Lombok Timur, 24 Pebruari 2013.

Sepak Terjang Para Kandidat dalam Pemilukada : Merebut Simpati Rayat Melalui Janji-janji Politik yang Usang dan Meragukan

Para pasangan bakal calon (balon) Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NTB, balon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur, balon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima, yang telah mendaftarkan diri ke KPU provinsi dan kabupaten/kota, mulai menebarkan janji-janji politik untuk menarik simpati masyarakat. Mereka berharap melalui janji-janji politik yang digelontorkan, penduduk yang telah memiliki hak pilih tertarik untuk memilih pasangannya.

Janji-jani politik dari pasangan balon tersebut semakin kencang di surakan dan gemanya semakin meluas. Hal ini tentu tidak terlepas dari berjalannya mesin politik dari para pasangan balon. Saat ini, hampir setiap hari dapat kita lihat atau baca berbagai bentuk janji politik para kandidat yang diobral di media massa. Janji-janji politik tersebut juga banyak bertebaran dan terpampang di selebaran, pamplet, dan baliho para pasangan kandidat, yang sudah menyebar luas, tertempel melekat, dan berdiri tegak di berbagai penjuru wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Berbagai macam janji politik yang diobral para pasangan kandidat, misalnya seputar tentang perbaikan IPM, pendidikan gratis dan perbaikan kesejahteraan guru, kesehatan gratis, perbaikan kesejahteraan penduduk, perbaikan nasib petani (tembakau) dan perbaikan infrastruktur, dan lain-lainnya. Apabila kita cermati, sesungguhnya janji-janji politik yang ditebarkan merupakan isu-isu lama yang diperkuat atau dipertajam kembali.

Muncul suatu keraguan bahwa pasangan balon mampu melakukan peruabahan yang signifikan di daerah ini, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Jangan-jangan isu yang mereka lemparkan hanya sekedar, tidak lebih merupakan taktik untuk menarik simpati rakyat (pendukung) para pasangan kandidat. Isu-isu yang dikembangkan, hanya sekedar pemanis bibir belaka untuk menina bobokkan para penduduk, sehingga mereka terbuai untuk memilih pasangan balon penebar janji. Keraguan itu muncul mengingat apa yang diangkat merupakan isu lama yang sebelumnya tidak mampu mereka perbaiki secara signifikan. Pada umumnya para bakal calon yang akan berlaga di pemilukada pada tanggal 13 Mei 2013 nanti, merupakan tokoh yang pernah berkuasa atau berada di lingkaran pusat kekuasaan, baik di provinsi maupun kabupaten. Apabila mereka menjanjikan hal yang sama dalam pemilukada sekarang, menjadi tanda tanya besar, kenapa pada saat berkuasa atau berada di lingkaran pusat kekuasaan tidak mampu memberikan perubahan yang sangat berarti terhadap apa yang telah dijanjikan ?

Perbaikan IPM sudah lama diusahakan, tetapi Provinsi NTB tetap saja nangring di urutan buncit, nomor dua dari bawah. Pada hal di antara pasangan balon yang akan berlaga merupakan orang yang pernah berkuasa sebelumnya atau setidaknya berada di lingkaran pusat kekuasaan. Dengan demikian, kalau pola atau sistem perbaikan IPM yang akan diterapkan sama dengan sebelumnya, ketika pasangan atau bagian dari pasangan kandidat yang pernah berkuasa sebelumnya, maka artinya sama juga dengan bohong. Program kebijakan yang telah dijalankan pada masanya, justeru belum mampu meningkatkan IPM secara signifikan. Provinsi NTB atau kabupaten/kota, masih tetap bergelut dalam keterpurukan. Indikator-indikator perbaikan IPM, belum mampu dipenuhi secara menyeluruh (optimal).

Pendidikan gratis dan perbaikan kesejahteraan guru, kesehatan gratis, perbaikan kesejahteraan penduduk, perbaikan nasib petani dan perbaikan infrastruktur, dan lain-lainnya, mudah diucapkan tetapi sulit dalam tataran implementasinya. Pendidikan gratis yang selama ini berjalan, lebih disebabkan karena adanya dana batuan operasional sekolah (BOS) dari pusat, tidak diimbangi oleh dana dari daerah. Pemerintah provinsi dan pada umumnya pemerintah daerah tingkat II, tidak mengalokasikan dana operasional dari anggaran daerah (BOSDA). Kalau pun mengganggarkannya, jauh dari kebutuhan yang sebenarnya, tidak seimbang. Dana bantuan siswa miskin (BSM), terutama untuk sekolah negeri, justeru sumber utamanya berasal dari dana APBN, sementara dana yang digelontorkan dari daerah sangat kecil dan tidak semua menerima (belum adil dan merata). Siswa yang dapat menikmati dana BSM hanya sebagian kecil dari jumlah yang membutuhkannya. Sehingga cenderung menimbulkan masalah di lapangan, sekolah dan masyarakat berselisih, serta sekolah diobok-obok oleh insfektorat. Begutu juga dengan dana kesejahteraan guru, lebih condong mengandalkan dana yang berasal dari pusat (dana fungsional). Guru tidak tetap (GTT), hanya sebagian kecil yang dapat mencicipi kesejahteraan dari alokasi dana pemda, baik provinsi maupun umumnya daerah tingkat II. Bagi mereka yang mengabdi di sekolah negeri boleh dikatakan tidak tersentuh sama sekali. Pengandalan dana dari pusat juga tercermin dari pengadaan fasilitas (sarana dan prasarana) pendidikan. Kondisinya belum sepenuhnya memadai, serta pengadaannya belum menyentuh rasa keadilan dan merata untuk semua sekolah.

Kesehatan dan kesejahteraan penduduk juga belum berajak lebih baik secara signifikan dan menyeluruh. Penduduk belum dapat sepenuhnya menerima pelayanan kesehatan gratis seperti yang pernah dijanjikan, dan kenyataan di lapangan menunjukkan masih cukup banyak penduduk yang tergolong belum sejahtera, masih miskin. Fasilitas dan tenaga kesehatan belum memadai untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Rumah-rumah kurang layak huni masih banyak bertebaran di berbagai tempat (wilayah). Pengangguran masih tinggi (lapangan kerja kurang), serta angka pencari kerja keluar negeri (TKI/TKW) masih tinggi dan masih kurang mendapat perhatian atau penanganan secara serius. Perbaikan sektor kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, bernasib sama dengan sektor pendidikan, yang lebih mengandalkan dana pusat.

Pengandalan dana dari pusat juga terlihat dari kebijakan memperbaiki nasib petani dan perbaikan infrastruktur, seperti dalam pembangunan bendungan, dan jalan raya. Untuk pembebasan lahan saja, alokasi dana dari APBD berbelit-belit dan tersendat-sendat. Jalan-jalan raya, terutama di wilayah kabupaten, kondisinya masih banyak memperihatinkan dan belum dapat menunjang kegiatan ekonomi dan kegiatan penduduk lainnya secara memadai. Para petani pun masih menghadapi persoalan yang sama dengan waktu-waktu sebelumnya, seperti persoalan langkanya pupuk, mahalnya barang-barang kebutuhan pertanian, dan harga hasil panen yang masih rendah (dihargai murah), belum seimbang dengan biaya operasional yang dikeluarkan petani. Jadi, menjanjikan perbaikan nasib petani dan perbaikan infrastruktur masih perlu peningkatan dan pengelolaan secara serius. 

Khusus terhadap janji untuk memperbaiki nasib petani tembakau, menimbulkan keraguan besar. Selama ini, para petani tembakau dihadapkan pada persoalan yang sama dan berulang. Selama pengusaha tembakau yang dominan menentukan kebijakan dan harga, maka jangan terlalu berharap nasib petani tembakau akan terangkat naik. Nasib mereka akan tetap terobang-ambing, naik dan turun pendapatannya sesuai dengan selera (kemauan) para pengusaha dan hukum ekonomi (pasar).

Berdasarkan uraian di atas, wajar muncul keraguan bahwa para pasangan balon akan dapat memberikan peruabhan di daerah ini (di provinsi atau kabupaten/kota). APBD I dan APBD II belum mampu membiayai semua kebutuhan di daerah ini (provinsi dan kabupaten), belum dapat mengimbangi dana dari pusat. Masih terdapat kecenderungan untuk mengandalkan pusat untuk membiayai program kebijakan yang dijalankan di daerah. Provinsi dan daerah kabupaten/kota yang ada, umumnya masih lebih condong untuk menggantungkan diri pada pendanaan yang dialokasikan dari pusat. Sementara pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim, belum sebanding antara pendapatan dengan pengeluaran. Keraguan itu semakin terasa, apabila kita kaji lebih jauh dan mendalam tentang apa yang dijanjikan oleh para balon. Janji-janji politik tersebut masih bersifat normatif. Wujud kongret dari apa yang mereka janjikan masih samar-samar (tidak jelas). Oleh karena itu, janji-janji politik yang ditebarkan, tidak ubahnya seperti pepatah “lebih besar pasak daripada tiang”. Para pasangan balon sesungguhnya sedang menebarkan atau mempertontonkan hawa nafsu (kemauan) yang lebih besar daripada kemampuan untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Para pasangan balon sesungguhnya sedang membangun citra diri untuk meraih kepentingan diri dan kelompoknya. Bisa jadi mereka dapat melakukan perubahan setelah dapat berkuasa, tetapi tidak akan pernah optimal seperti janji-janji yang digembar-gemborkan.

Membangun Provinsi NTB dan kabupaten/kota yang masih dalam keadaan terpuruk, dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh dan serius. Tidak bisa menciptakan perubahan secara instan. Dibutuhkan program kebijakan yang tidak hanya mengakomudir kepentingan jangka pendek, dan mengedepankan formalitas semata, serta bukan semata sebagai upaya membangun citra pemerintahan. Program kebijakan yang dibutuhkan, dirumuskan dalam visi dan misi yang jelas dan terarah, yang menjangkau tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan ini akan terlihat gambaran perubahan daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang diharapkan di masa depan. Oleh karena itu, janji-jani politik para pasangan balon hendaknya dirumuskan sebagai upaya untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Janji-janji itu merupakan kebutuhan rakyat, yang akan dicapai dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, yang dirumuskan secara jelas dan kongkrit dalam visi, misi, tujuan, dan sasaran pembangunan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Jerowaru, Lombok Timur, 24 Pebruari 2013.
Para pasangan bakal calon (balon) Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi NTB, balon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur, balon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima, yang telah mendaftarkan diri ke KPU provinsi dan kabupaten/kota, mulai menebarkan janji-janji politik untuk menarik simpati masyarakat. Mereka berharap melalui janji-janji politik yang digelontorkan, penduduk yang telah memiliki hak pilih tertarik untuk memilih pasangannya.

Janji-jani politik dari pasangan balon tersebut semakin kencang di surakan dan gemanya semakin meluas. Hal ini tentu tidak terlepas dari berjalannya mesin politik dari para pasangan balon. Saat ini, hampir setiap hari dapat kita lihat atau baca berbagai bentuk janji politik para kandidat yang diobral di media massa. Janji-janji politik tersebut juga banyak bertebaran dan terpampang di selebaran, pamplet, dan baliho para pasangan kandidat, yang sudah menyebar luas, tertempel melekat, dan berdiri tegak di berbagai penjuru wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Berbagai macam janji politik yang diobral para pasangan kandidat, misalnya seputar tentang perbaikan IPM, pendidikan gratis dan perbaikan kesejahteraan guru, kesehatan gratis, perbaikan kesejahteraan penduduk, perbaikan nasib petani (tembakau) dan perbaikan infrastruktur, dan lain-lainnya. Apabila kita cermati, sesungguhnya janji-janji politik yang ditebarkan merupakan isu-isu lama yang diperkuat atau dipertajam kembali.

Muncul suatu keraguan bahwa pasangan balon mampu melakukan peruabahan yang signifikan di daerah ini, baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Jangan-jangan isu yang mereka lemparkan hanya sekedar, tidak lebih merupakan taktik untuk menarik simpati rakyat (pendukung) para pasangan kandidat. Isu-isu yang dikembangkan, hanya sekedar pemanis bibir belaka untuk menina bobokkan para penduduk, sehingga mereka terbuai untuk memilih pasangan balon penebar janji. Keraguan itu muncul mengingat apa yang diangkat merupakan isu lama yang sebelumnya tidak mampu mereka perbaiki secara signifikan. Pada umumnya para bakal calon yang akan berlaga di pemilukada pada tanggal 13 Mei 2013 nanti, merupakan tokoh yang pernah berkuasa atau berada di lingkaran pusat kekuasaan, baik di provinsi maupun kabupaten. Apabila mereka menjanjikan hal yang sama dalam pemilukada sekarang, menjadi tanda tanya besar, kenapa pada saat berkuasa atau berada di lingkaran pusat kekuasaan tidak mampu memberikan perubahan yang sangat berarti terhadap apa yang telah dijanjikan ?

Perbaikan IPM sudah lama diusahakan, tetapi Provinsi NTB tetap saja nangring di urutan buncit, nomor dua dari bawah. Pada hal di antara pasangan balon yang akan berlaga merupakan orang yang pernah berkuasa sebelumnya atau setidaknya berada di lingkaran pusat kekuasaan. Dengan demikian, kalau pola atau sistem perbaikan IPM yang akan diterapkan sama dengan sebelumnya, ketika pasangan atau bagian dari pasangan kandidat yang pernah berkuasa sebelumnya, maka artinya sama juga dengan bohong. Program kebijakan yang telah dijalankan pada masanya, justeru belum mampu meningkatkan IPM secara signifikan. Provinsi NTB atau kabupaten/kota, masih tetap bergelut dalam keterpurukan. Indikator-indikator perbaikan IPM, belum mampu dipenuhi secara menyeluruh (optimal).

Pendidikan gratis dan perbaikan kesejahteraan guru, kesehatan gratis, perbaikan kesejahteraan penduduk, perbaikan nasib petani dan perbaikan infrastruktur, dan lain-lainnya, mudah diucapkan tetapi sulit dalam tataran implementasinya. Pendidikan gratis yang selama ini berjalan, lebih disebabkan karena adanya dana batuan operasional sekolah (BOS) dari pusat, tidak diimbangi oleh dana dari daerah. Pemerintah provinsi dan pada umumnya pemerintah daerah tingkat II, tidak mengalokasikan dana operasional dari anggaran daerah (BOSDA). Kalau pun mengganggarkannya, jauh dari kebutuhan yang sebenarnya, tidak seimbang. Dana bantuan siswa miskin (BSM), terutama untuk sekolah negeri, justeru sumber utamanya berasal dari dana APBN, sementara dana yang digelontorkan dari daerah sangat kecil dan tidak semua menerima (belum adil dan merata). Siswa yang dapat menikmati dana BSM hanya sebagian kecil dari jumlah yang membutuhkannya. Sehingga cenderung menimbulkan masalah di lapangan, sekolah dan masyarakat berselisih, serta sekolah diobok-obok oleh insfektorat. Begutu juga dengan dana kesejahteraan guru, lebih condong mengandalkan dana yang berasal dari pusat (dana fungsional). Guru tidak tetap (GTT), hanya sebagian kecil yang dapat mencicipi kesejahteraan dari alokasi dana pemda, baik provinsi maupun umumnya daerah tingkat II. Bagi mereka yang mengabdi di sekolah negeri boleh dikatakan tidak tersentuh sama sekali. Pengandalan dana dari pusat juga tercermin dari pengadaan fasilitas (sarana dan prasarana) pendidikan. Kondisinya belum sepenuhnya memadai, serta pengadaannya belum menyentuh rasa keadilan dan merata untuk semua sekolah.

Kesehatan dan kesejahteraan penduduk juga belum berajak lebih baik secara signifikan dan menyeluruh. Penduduk belum dapat sepenuhnya menerima pelayanan kesehatan gratis seperti yang pernah dijanjikan, dan kenyataan di lapangan menunjukkan masih cukup banyak penduduk yang tergolong belum sejahtera, masih miskin. Fasilitas dan tenaga kesehatan belum memadai untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Rumah-rumah kurang layak huni masih banyak bertebaran di berbagai tempat (wilayah). Pengangguran masih tinggi (lapangan kerja kurang), serta angka pencari kerja keluar negeri (TKI/TKW) masih tinggi dan masih kurang mendapat perhatian atau penanganan secara serius. Perbaikan sektor kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, bernasib sama dengan sektor pendidikan, yang lebih mengandalkan dana pusat.

Pengandalan dana dari pusat juga terlihat dari kebijakan memperbaiki nasib petani dan perbaikan infrastruktur, seperti dalam pembangunan bendungan, dan jalan raya. Untuk pembebasan lahan saja, alokasi dana dari APBD berbelit-belit dan tersendat-sendat. Jalan-jalan raya, terutama di wilayah kabupaten, kondisinya masih banyak memperihatinkan dan belum dapat menunjang kegiatan ekonomi dan kegiatan penduduk lainnya secara memadai. Para petani pun masih menghadapi persoalan yang sama dengan waktu-waktu sebelumnya, seperti persoalan langkanya pupuk, mahalnya barang-barang kebutuhan pertanian, dan harga hasil panen yang masih rendah (dihargai murah), belum seimbang dengan biaya operasional yang dikeluarkan petani. Jadi, menjanjikan perbaikan nasib petani dan perbaikan infrastruktur masih perlu peningkatan dan pengelolaan secara serius. 

Khusus terhadap janji untuk memperbaiki nasib petani tembakau, menimbulkan keraguan besar. Selama ini, para petani tembakau dihadapkan pada persoalan yang sama dan berulang. Selama pengusaha tembakau yang dominan menentukan kebijakan dan harga, maka jangan terlalu berharap nasib petani tembakau akan terangkat naik. Nasib mereka akan tetap terobang-ambing, naik dan turun pendapatannya sesuai dengan selera (kemauan) para pengusaha dan hukum ekonomi (pasar).

Berdasarkan uraian di atas, wajar muncul keraguan bahwa para pasangan balon akan dapat memberikan peruabhan di daerah ini (di provinsi atau kabupaten/kota). APBD I dan APBD II belum mampu membiayai semua kebutuhan di daerah ini (provinsi dan kabupaten), belum dapat mengimbangi dana dari pusat. Masih terdapat kecenderungan untuk mengandalkan pusat untuk membiayai program kebijakan yang dijalankan di daerah. Provinsi dan daerah kabupaten/kota yang ada, umumnya masih lebih condong untuk menggantungkan diri pada pendanaan yang dialokasikan dari pusat. Sementara pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim, belum sebanding antara pendapatan dengan pengeluaran. Keraguan itu semakin terasa, apabila kita kaji lebih jauh dan mendalam tentang apa yang dijanjikan oleh para balon. Janji-janji politik tersebut masih bersifat normatif. Wujud kongret dari apa yang mereka janjikan masih samar-samar (tidak jelas). Oleh karena itu, janji-janji politik yang ditebarkan, tidak ubahnya seperti pepatah “lebih besar pasak daripada tiang”. Para pasangan balon sesungguhnya sedang menebarkan atau mempertontonkan hawa nafsu (kemauan) yang lebih besar daripada kemampuan untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Para pasangan balon sesungguhnya sedang membangun citra diri untuk meraih kepentingan diri dan kelompoknya. Bisa jadi mereka dapat melakukan perubahan setelah dapat berkuasa, tetapi tidak akan pernah optimal seperti janji-janji yang digembar-gemborkan.

Membangun Provinsi NTB dan kabupaten/kota yang masih dalam keadaan terpuruk, dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh dan serius. Tidak bisa menciptakan perubahan secara instan. Dibutuhkan program kebijakan yang tidak hanya mengakomudir kepentingan jangka pendek, dan mengedepankan formalitas semata, serta bukan semata sebagai upaya membangun citra pemerintahan. Program kebijakan yang dibutuhkan, dirumuskan dalam visi dan misi yang jelas dan terarah, yang menjangkau tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan ini akan terlihat gambaran perubahan daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang diharapkan di masa depan. Oleh karena itu, janji-jani politik para pasangan balon hendaknya dirumuskan sebagai upaya untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Janji-janji itu merupakan kebutuhan rakyat, yang akan dicapai dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, yang dirumuskan secara jelas dan kongkrit dalam visi, misi, tujuan, dan sasaran pembangunan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Jerowaru, Lombok Timur, 24 Pebruari 2013.

Sabtu, 23 Februari 2013

Cara Mendatangkan Ribuan Pengunjung Ke Blog

Panduan yang akan membahas tentang bagaimana caranya untuk mendatangkan ribuan pengunjung ke Blog.Blog kedatangan Ribuan Pengunjung tentu mendatangkan kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Siapa pun pemilik blog,so pasti menginginkan banyak pengunjungnya. Berbagai usaha dan trik dilakukan untuk menarik minat pengunjung, satu cara diantarnya lewat artikel ini. Yang blognya masih sepi pengunjung seperti blog saya ini yuk ikuti trik ini. Artikel ini saya salin dari teman yang juga sedang berusaha manaikkan jumlah pengunjung ke blognya. Trik ini sangat bagus, karena itu baca terus sampai ke bawah dan terapkan juga ya di blog mu.

Trik ini bukan saja dapat mendatangkan ribuan pengunjung tetapi juga dapat menaikkan Page rank dan Backlink. Ini tentu akan sangat bermanfaat bagi para pemilik blog, jadi suatu saat kemungkinan blog bisa mendatangkan uang lho.
Trik ini saya baca ketika iseng – iseng berkunjung di blog sahabat, kemudian saya lihat isi dari widget alexa yang terpampang di sidebar blognya. Woowww….ternyata backlinknya banyak sekali, hingga puluhan ribu.Sudah lama sebenarnya saya menemukan posting seperti ini, namun dulu saya pernah sanksi apakah benar cara ini bisa berhasil menaikkan PR dan backlink.

Setelah saya membacanya kembali dan masih kurang yakin atas backlink yang saya lihat di alexa-nya sayapun kembali lagi mengunjungi blog-blog yang telah mengikuti cara ini. Dan ternyata benar, blog-blog yang menerapkan cara ini PR meningkat namun yang paling menonjol adalah backlink yang dimiliki blog-blog tersebut sungguh banyak sekali.Jika kita memiliki PR yang bagus dan backlink yang banyak, maka sangat cocok jika kita ikut program semacam paid reviews. Saya sungguh menyesal tidak menerapkan cara ini sejak dulu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.


Caranya sangat gampang kok, Anda hanya tinggal copy link yang berada di bawah ini dengan syarat Anda harus menghapus link pada peringkat 1 dari daftar, lalu pindahkan yang tadinya nomor 2 menjadi nomor 1, nomor 3 menjadi nomor 2, nomor 4 menjadi nomor 3, dst. Kemudian masukkan link blog Anda sendiri pada urutan paling bawah ( nomor 10). Dan silahkan ajak teman anda untuk mengikuti cara ini serta sebarkan cara ini ke banyak teman-teman Anda melalui Social Bookmark atau cara lainnya.

1. bootingskoBlog
2. A Zev Lee Bond
3. Kangisa Co CC
4. Kangisa WordPress
5. fh4djh4r
6. Tips & Trik
7. Mitos dan Fakta
8. Suka - suka
9. Trafik blog
10.http://ahmadturmuzi.blogspot.com/

Keterangan:

Jika Anda mampu mengajak lima orang saja untuk mengcopy artikel ini maka jumlah backlink yang akan didapat adalah:


1.Posisi 10, jumlah backlink = 1
2.Posisi 9, jumlah backlink = 5
3.Posisi 8, jumlah backlink = 25
4.Posisi 7, jumlah backlink = 125
5.Posisi 6, jumlah backlink = 625
6. Posisi 5, jumlah backlink = 3,125
7. Posisi 4, jumlah backlink =15,625
8. Posisi 3, jumlah backlink = 78,125
9. Posisi 2, jumlah backlink = 390,625
10Posisi 1, jumlah backlink = 1,953,125

Dan nama dari alamat blog dapat dimasukan kata kunci yang anda inginkan yang juga dapat menarik perhatian untuk segera diklik. Dari sisi SEO Anda sudah mendapatkan 1,953,125 backlink dan efek sampingnya jika pengunjung downline mengklik link Anda maka anda juga mendapat traffic tambahan.
Penulis sarankan Anda mencoba cara ini dan silakan copy sebarkan artikel ini ke teman-teman Anda. Hilangkan link nomor 1 dan masukan alamat blog Anda pada nomor 10. Buktikan sendiri hasilnya setelah itu baru komentar.

Peringatan:
*Artikel ini harus permanen selamanya di blog Anda, Anda tidak boleh menghapusnya.
Anda mau kan kedatangan ribuan pengunjung, ikuti cara ini mudah kok copas aja artikel ini. OK.

Selamat mencoba.............
Jangan Lupa Like Nya Ya :) Jika Tertarik Dan Mau Meng Copy Paste Artikel Ini Harap Cantumkanlah Sumbernya Jadilah Blogger Yang Ber Etika, Trima Kasih
Sumber :  http://blogzafar.blogspot.com/2012/09/cara-mendatangkan-ribuan-pengunjung-ke.html
Panduan yang akan membahas tentang bagaimana caranya untuk mendatangkan ribuan pengunjung ke Blog.Blog kedatangan Ribuan Pengunjung tentu mendatangkan kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Siapa pun pemilik blog,so pasti menginginkan banyak pengunjungnya. Berbagai usaha dan trik dilakukan untuk menarik minat pengunjung, satu cara diantarnya lewat artikel ini. Yang blognya masih sepi pengunjung seperti blog saya ini yuk ikuti trik ini. Artikel ini saya salin dari teman yang juga sedang berusaha manaikkan jumlah pengunjung ke blognya. Trik ini sangat bagus, karena itu baca terus sampai ke bawah dan terapkan juga ya di blog mu.

Trik ini bukan saja dapat mendatangkan ribuan pengunjung tetapi juga dapat menaikkan Page rank dan Backlink. Ini tentu akan sangat bermanfaat bagi para pemilik blog, jadi suatu saat kemungkinan blog bisa mendatangkan uang lho.
Trik ini saya baca ketika iseng – iseng berkunjung di blog sahabat, kemudian saya lihat isi dari widget alexa yang terpampang di sidebar blognya. Woowww….ternyata backlinknya banyak sekali, hingga puluhan ribu.Sudah lama sebenarnya saya menemukan posting seperti ini, namun dulu saya pernah sanksi apakah benar cara ini bisa berhasil menaikkan PR dan backlink.

Setelah saya membacanya kembali dan masih kurang yakin atas backlink yang saya lihat di alexa-nya sayapun kembali lagi mengunjungi blog-blog yang telah mengikuti cara ini. Dan ternyata benar, blog-blog yang menerapkan cara ini PR meningkat namun yang paling menonjol adalah backlink yang dimiliki blog-blog tersebut sungguh banyak sekali.Jika kita memiliki PR yang bagus dan backlink yang banyak, maka sangat cocok jika kita ikut program semacam paid reviews. Saya sungguh menyesal tidak menerapkan cara ini sejak dulu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.


Caranya sangat gampang kok, Anda hanya tinggal copy link yang berada di bawah ini dengan syarat Anda harus menghapus link pada peringkat 1 dari daftar, lalu pindahkan yang tadinya nomor 2 menjadi nomor 1, nomor 3 menjadi nomor 2, nomor 4 menjadi nomor 3, dst. Kemudian masukkan link blog Anda sendiri pada urutan paling bawah ( nomor 10). Dan silahkan ajak teman anda untuk mengikuti cara ini serta sebarkan cara ini ke banyak teman-teman Anda melalui Social Bookmark atau cara lainnya.

1. bootingskoBlog
2. A Zev Lee Bond
3. Kangisa Co CC
4. Kangisa WordPress
5. fh4djh4r
6. Tips & Trik
7. Mitos dan Fakta
8. Suka - suka
9. Trafik blog
10.http://ahmadturmuzi.blogspot.com/

Keterangan:

Jika Anda mampu mengajak lima orang saja untuk mengcopy artikel ini maka jumlah backlink yang akan didapat adalah:


1.Posisi 10, jumlah backlink = 1
2.Posisi 9, jumlah backlink = 5
3.Posisi 8, jumlah backlink = 25
4.Posisi 7, jumlah backlink = 125
5.Posisi 6, jumlah backlink = 625
6. Posisi 5, jumlah backlink = 3,125
7. Posisi 4, jumlah backlink =15,625
8. Posisi 3, jumlah backlink = 78,125
9. Posisi 2, jumlah backlink = 390,625
10Posisi 1, jumlah backlink = 1,953,125

Dan nama dari alamat blog dapat dimasukan kata kunci yang anda inginkan yang juga dapat menarik perhatian untuk segera diklik. Dari sisi SEO Anda sudah mendapatkan 1,953,125 backlink dan efek sampingnya jika pengunjung downline mengklik link Anda maka anda juga mendapat traffic tambahan.
Penulis sarankan Anda mencoba cara ini dan silakan copy sebarkan artikel ini ke teman-teman Anda. Hilangkan link nomor 1 dan masukan alamat blog Anda pada nomor 10. Buktikan sendiri hasilnya setelah itu baru komentar.

Peringatan:
*Artikel ini harus permanen selamanya di blog Anda, Anda tidak boleh menghapusnya.
Anda mau kan kedatangan ribuan pengunjung, ikuti cara ini mudah kok copas aja artikel ini. OK.

Selamat mencoba.............
Jangan Lupa Like Nya Ya :) Jika Tertarik Dan Mau Meng Copy Paste Artikel Ini Harap Cantumkanlah Sumbernya Jadilah Blogger Yang Ber Etika, Trima Kasih
Sumber :  http://blogzafar.blogspot.com/2012/09/cara-mendatangkan-ribuan-pengunjung-ke.html

Selasa, 19 Februari 2013

Pemilukada dan Visi Pendidikan Para Kandidat

Klik Untuk melihat


Klik Untuk melihat


Senin, 18 Februari 2013

Prilaku Nagatif Anggota Dewan dan Sikap Apatis Masyarakat dalam Pemilu Legislatif

Klik Untuk melihat


Prilaku Anggota Dewan dan Sikap Apatis Masyarakat dalam Pemilu Legislatif


Para oknom anggota dewan yang terhormat terus saja bikin sensasi, dan mungkin tidak akan pernah berhenti. Tidak ubahnya seperti sebagian artis, kalau tidak tidak dapat dikatakan seluruhnya. Suka menebar pesona kebaikan, menunjukkan citra positif (suka membantu, simpatik, ramah, anti korupsi, menentang kejahatan/kezaliman, dll). Ternyata itu semua hanyalah bualan dan akal-akalan semata, serta tampak di permukaan saja. Tidak ikhlas memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat.  Semua itu mereka pertontonkan untuk menutupi niat jahat atau tujuan jeleknya menjadi anggota dewan.  Ulah dan tingkah lakunya di panggung politik negeri ini semakin menggelikan saja dan memuakkan. Semakin banyak saja yang suka menilep uang negara, tidak sedikit pula yang doyan perempuan dan narkoba, serta ternyata masih ada yang suka lompat pagar ke partai lain bila partai sebelumnya tidak menguntungkan bagi dirinya dengan mencari-cari alasan.
Prilaku negatif para oknom anggota dewan ternyata merata (terdapat) di hampir semua partai politik (kalau tidak dapat dikatakan semuanya), baik partai besar maupun partai kecil, partai yang menklaim diri “bersih (suci)” maupun tidak. Mereka seakan-akan berlomba dalam kejelekan. Rela mengorbankan agama untuk tujuan politik. Rela mengorbankan harga diri demi kepentingan sesaat, dan jelas mengorbankan kepentingan rakyat negeri ini. 
Mereka sesungguhnya sudah mendapat fasilitas mewah, tidur dengan nyenyak sekalipun waktu rapat/sidang tentang rakyat, tidur di hotel berbintang-bintang tanpa perlu kepanasan, gaji dan tunjangan berlipat-lipat, jalan-jalan geratis ke luar negeri bersama istri (keluarga) dengan uang negara. Mereka merupakan kelompok elit dan sangat terhotmat. Sesungguhnya tidak ada lagi yang perlu disusahkan, mereka tidak kekurangan. Kenyataan ini jauh berbeda, bertolak belakang dengan keadaan rakyat yang memilihnya. Rakyat di pedalaman, pelosok, pinggiran kota, dan bahkan di dalam kota masih tetap hidup dalam kesusahan. Faslitas yang dimiliki seadanya dan berusaha untuk sekedar dapat menyambung hidup. Tidur di gubuk reot, emperan toko atau di bawah kolong jembatan, dan sudah pasti kepanasan dan kedinginan. Mereka bermandikan keringat untuk mendapatkan nafkah hidup, kadang makan  kadang tidak. Mereka tidak mendapat pelayanan yang semestinya, pelayanan publik masih buruk. Banyak warga negara yang belum mendapat pendidikan yang layak. Tidak sedikit pula penduduk yang menjerit karena kekurangan air bersih dan langkanya kebutuhan pokok lainnya (makanan, bahan bakar, pupuk). Masih banyak juga di antara mereka yang menjadi korban kejahatan (pemerkosaan di transportasi umum, perampokan.pencurian dengan kekerasan, dll). Kalau menyadari akan hal itu, la kok tega-teganya para oknom anggota dewan melakukan tidakan korupsi dan perbuatan negatif lainnya. Aneh bin ajaib kalau ada anggota dewan yang sebelumnya getol memperjuangkan kepentingan rakyat mengundurkan diri di tengah jalan, dan berpindah ke partai lain demi memenuhi hasrat dirinya (kepentingan pribadi).


Anggota dewan yang terhormat yang berwenang (berhak) menetapkan sebuah RUU menjadi UU, dan mengawasi pelaksanaannya. Pelaksana di tingkat bawah dengan susah payah melaksanakan UU yang telah ditetapkan. Tetapi kok mengherankan, yang menetapkan UU justeru melanggarnya juga. Apa memang UU ditetapkan dengan terlebih dahulu merumuskan bagian-bagian yang dapat menjadi celah untuk melakukan pelanggaran?. Mereka juga sangat menekankan agar UU beserta peraturan yang menjadi turunannya untuk dapat dilaksanakan dengan semestinya, sebaik-baiknya. Misalnya UU tentang pendidikan nasional dan peraturan tentang pengembangan budaya dan karakter bangsa di satuan pendidikan. Para guru berjuang keras untuk dapat melaksanakan hal itu agar dapat membentuk anak bangsa yang berbudaya dan berkarakter. Usaha ini jelas tidak akan berhasil dengan optimal manakala setiap hari peserta didik melihat dan membaca berita tentang prilaku bejad para oknom anggota dewan. Lingkungan jelas sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir, persepsi dan prilaku anak bangsa. Kenyataan ini tentu merupakan keheranan dan membingungkan. Lebih mengherankan dan membingungkan lagi, kalau pelaksana UU yang melakukan kesalahan, dengan kewenangannya anggota dewan yang terhormat begitu cepat bereaksi, memanggil, mengobok-obok, dan memvonis pelaku. Kalau begitu, mana yang lebih terhormat, anggota dewan atau rakyat.
Dengan semakin maraknya prilaku negatif di kalangan anggota dewan, maka tidak mengherankan kalau rakyat bersikap apatis, skeptis, dan tidak mendukung penuh terhadap penyelenggraan pemilu. Mereka tidak bisa dipersalahkan kalau pada akhirnya dalam pemilu untuk memilih anggota legeslatif (dewan), mereka memilih untuk tidak memilih (golput). Karena itu pula kita tidak perlu merasa tersinggung ataupun marah, apabila di kalangan masyarakat di negeri ini terungkap kalaimat (terlontar ucapan) seperti ini : “Anggota DPR Indonesia..... Benar-benar menunaikan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat dengan baik. Contohnya... : Mereka mewakili kita jalan-jalan keluar negeri. Mereka mewakili kita naik mobil mewah. Mereka mewakili kita punya duit banyak.  Mereka mewakili kita tinggal di rumah mewah.... Segala sesuatu yang diinginkan rakyat, sudah diwakili oleh mereka.... Para wakil rakyat...  Para Wakil Rakyat yang RAKUS dan KEMARUK”.

 

Untuk dapat merubah sikap apatis dan persepsi masyarakat seperti itu, tidak ada jalan lain semua partai politik harus memperbaiki citranya. Sehingga iklim demokrasi di negeri ini, yang mengakui banyak partai ini menjadi kondusif dan berjalan sesuai tujuan berbangsa dan bernegara. Memperbaiki citra negatif menjadi positif jelas bukan usaha yang mudah. Tetapi harus dilakukan secara terus-menerus, sungguh-sungguh, berniat tulus ikhlas. Walaupun dalam melakukan usaha sampai terngah-ngah, pusing tujuh keliling, terseok-seok (mungkin juga sampai tersungkur), dan babak belur oleh pandangan atau pendapat (argumentasi) dari berbagai pihak (masyarakat).

Jerowaru, 18 Pebruari 2013.
Klik Untuk melihat


Prilaku Anggota Dewan dan Sikap Apatis Masyarakat dalam Pemilu Legislatif


Para oknom anggota dewan yang terhormat terus saja bikin sensasi, dan mungkin tidak akan pernah berhenti. Tidak ubahnya seperti sebagian artis, kalau tidak tidak dapat dikatakan seluruhnya. Suka menebar pesona kebaikan, menunjukkan citra positif (suka membantu, simpatik, ramah, anti korupsi, menentang kejahatan/kezaliman, dll). Ternyata itu semua hanyalah bualan dan akal-akalan semata, serta tampak di permukaan saja. Tidak ikhlas memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat.  Semua itu mereka pertontonkan untuk menutupi niat jahat atau tujuan jeleknya menjadi anggota dewan.  Ulah dan tingkah lakunya di panggung politik negeri ini semakin menggelikan saja dan memuakkan. Semakin banyak saja yang suka menilep uang negara, tidak sedikit pula yang doyan perempuan dan narkoba, serta ternyata masih ada yang suka lompat pagar ke partai lain bila partai sebelumnya tidak menguntungkan bagi dirinya dengan mencari-cari alasan.
Prilaku negatif para oknom anggota dewan ternyata merata (terdapat) di hampir semua partai politik (kalau tidak dapat dikatakan semuanya), baik partai besar maupun partai kecil, partai yang menklaim diri “bersih (suci)” maupun tidak. Mereka seakan-akan berlomba dalam kejelekan. Rela mengorbankan agama untuk tujuan politik. Rela mengorbankan harga diri demi kepentingan sesaat, dan jelas mengorbankan kepentingan rakyat negeri ini. 
Mereka sesungguhnya sudah mendapat fasilitas mewah, tidur dengan nyenyak sekalipun waktu rapat/sidang tentang rakyat, tidur di hotel berbintang-bintang tanpa perlu kepanasan, gaji dan tunjangan berlipat-lipat, jalan-jalan geratis ke luar negeri bersama istri (keluarga) dengan uang negara. Mereka merupakan kelompok elit dan sangat terhotmat. Sesungguhnya tidak ada lagi yang perlu disusahkan, mereka tidak kekurangan. Kenyataan ini jauh berbeda, bertolak belakang dengan keadaan rakyat yang memilihnya. Rakyat di pedalaman, pelosok, pinggiran kota, dan bahkan di dalam kota masih tetap hidup dalam kesusahan. Faslitas yang dimiliki seadanya dan berusaha untuk sekedar dapat menyambung hidup. Tidur di gubuk reot, emperan toko atau di bawah kolong jembatan, dan sudah pasti kepanasan dan kedinginan. Mereka bermandikan keringat untuk mendapatkan nafkah hidup, kadang makan  kadang tidak. Mereka tidak mendapat pelayanan yang semestinya, pelayanan publik masih buruk. Banyak warga negara yang belum mendapat pendidikan yang layak. Tidak sedikit pula penduduk yang menjerit karena kekurangan air bersih dan langkanya kebutuhan pokok lainnya (makanan, bahan bakar, pupuk). Masih banyak juga di antara mereka yang menjadi korban kejahatan (pemerkosaan di transportasi umum, perampokan.pencurian dengan kekerasan, dll). Kalau menyadari akan hal itu, la kok tega-teganya para oknom anggota dewan melakukan tidakan korupsi dan perbuatan negatif lainnya. Aneh bin ajaib kalau ada anggota dewan yang sebelumnya getol memperjuangkan kepentingan rakyat mengundurkan diri di tengah jalan, dan berpindah ke partai lain demi memenuhi hasrat dirinya (kepentingan pribadi).


Anggota dewan yang terhormat yang berwenang (berhak) menetapkan sebuah RUU menjadi UU, dan mengawasi pelaksanaannya. Pelaksana di tingkat bawah dengan susah payah melaksanakan UU yang telah ditetapkan. Tetapi kok mengherankan, yang menetapkan UU justeru melanggarnya juga. Apa memang UU ditetapkan dengan terlebih dahulu merumuskan bagian-bagian yang dapat menjadi celah untuk melakukan pelanggaran?. Mereka juga sangat menekankan agar UU beserta peraturan yang menjadi turunannya untuk dapat dilaksanakan dengan semestinya, sebaik-baiknya. Misalnya UU tentang pendidikan nasional dan peraturan tentang pengembangan budaya dan karakter bangsa di satuan pendidikan. Para guru berjuang keras untuk dapat melaksanakan hal itu agar dapat membentuk anak bangsa yang berbudaya dan berkarakter. Usaha ini jelas tidak akan berhasil dengan optimal manakala setiap hari peserta didik melihat dan membaca berita tentang prilaku bejad para oknom anggota dewan. Lingkungan jelas sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir, persepsi dan prilaku anak bangsa. Kenyataan ini tentu merupakan keheranan dan membingungkan. Lebih mengherankan dan membingungkan lagi, kalau pelaksana UU yang melakukan kesalahan, dengan kewenangannya anggota dewan yang terhormat begitu cepat bereaksi, memanggil, mengobok-obok, dan memvonis pelaku. Kalau begitu, mana yang lebih terhormat, anggota dewan atau rakyat.
Dengan semakin maraknya prilaku negatif di kalangan anggota dewan, maka tidak mengherankan kalau rakyat bersikap apatis, skeptis, dan tidak mendukung penuh terhadap penyelenggraan pemilu. Mereka tidak bisa dipersalahkan kalau pada akhirnya dalam pemilu untuk memilih anggota legeslatif (dewan), mereka memilih untuk tidak memilih (golput). Karena itu pula kita tidak perlu merasa tersinggung ataupun marah, apabila di kalangan masyarakat di negeri ini terungkap kalaimat (terlontar ucapan) seperti ini : “Anggota DPR Indonesia..... Benar-benar menunaikan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat dengan baik. Contohnya... : Mereka mewakili kita jalan-jalan keluar negeri. Mereka mewakili kita naik mobil mewah. Mereka mewakili kita punya duit banyak.  Mereka mewakili kita tinggal di rumah mewah.... Segala sesuatu yang diinginkan rakyat, sudah diwakili oleh mereka.... Para wakil rakyat...  Para Wakil Rakyat yang RAKUS dan KEMARUK”.

 

Untuk dapat merubah sikap apatis dan persepsi masyarakat seperti itu, tidak ada jalan lain semua partai politik harus memperbaiki citranya. Sehingga iklim demokrasi di negeri ini, yang mengakui banyak partai ini menjadi kondusif dan berjalan sesuai tujuan berbangsa dan bernegara. Memperbaiki citra negatif menjadi positif jelas bukan usaha yang mudah. Tetapi harus dilakukan secara terus-menerus, sungguh-sungguh, berniat tulus ikhlas. Walaupun dalam melakukan usaha sampai terngah-ngah, pusing tujuh keliling, terseok-seok (mungkin juga sampai tersungkur), dan babak belur oleh pandangan atau pendapat (argumentasi) dari berbagai pihak (masyarakat).

Jerowaru, 18 Pebruari 2013.

Kamis, 14 Februari 2013

Merindukan Tumbuhnya Mental Baja dari “Pecundang dan Penumpang Politik”

Klik Untuk melihat

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah melahirkan berbagai bentuk perubahan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam bidang politik. Salah satu produk politik yang lahir dari “rahim” reformasi adalah diselenggarakannya pemilu dan pilkada secara langsung. Perhelatan pesta demokrasi tersebut tentu bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang terbaik dari yang baik, yang merupakan pilihan rakyat. Bangsa Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, telah cukup berpengalaman menyelenggarakan sistem politik ini. Namun demikian, tidak semua pihak yang terlibat di dalamnya mampu bersikap dewasa. Tentu saja kekurangan atau ketidakmampuan tersebut akan memberikan dampak negatif bagi rakyat, baik berskala kecil maupun besar.

Para calon pemimpin dari jauh sebelum pemilu atau pilkada dilaksanakan, telah menampakkan aktivitas politiknya. Mereka semakin “tancap gas” menjelang hari pelaksanaan. Kampanye secara terang-terangan dilancarkan secara intensif. Tetapi, kampanye terselubung pun mereka lakukan. Bentuk kampanye yang terakhir ini sulit dihapus dan tidak dapat dihindari. Bagi siapapun yang merasa berkepentingan terhadap sesuatu tentu akan melakukan tindakan-tindakan, termasuk yang mungkin “haram secara politik” untuk meraih kepentingannya.

Pada masa pemilu atau pilkada berbagai kepentingan akan muncul dan hampir bisa dipastikan, kepentingan tersebut saling bertolak belakang. Selain kepentingan para kandidat, juga terdapat kepentingan dari pihak-pihak yang ada di sekitar (lingkaran) kandidat yang bersangkutan. Para “penumpang politik” ini, terdiri dari dua macam. Pertama, kelompok oportunis, yang muncul sebelum dan ketika kampanye berlangsung. Mereka hanya menginginkan keuntungan pribadi. Biasanya mereka adalah orang-orang yang dipakai sesaat untuk kepentingan kampanye dan pengerahan massa. Kedua, kelompok atau pihak yang menginginkan keuntungan dalam jangka panjang. Pada umumnya kelompok ini terdiri dari kolega dan pihak-pihak yang dijanjikan sesuatu bila sang calon menang. Oleh karena itu mereka dari sejak dini melakukan langkah-langkah politik (bergaining politik). Sangat dimungkinkan kelompok ini melakukan berbagai cara untuk memenangkan calonnya, termasuk cara-cara yang “kotor”. Sudah dapat dipastikan pula mereka sangat kecewa apabila kandidatnya kalah, karena sudah mencurahkan berbagai potensi yang dimilikinya, termasuk pengorbanan uang.
Kekecewaan kandidat dan para pendukungnya karena terkalahkan, sering sekali dilampiaskan dalam aksi-aksi negatif, seperti provokasi massa dan lainnya. Menyikapi kemungkinan ini maka diperlukan kewaspadaan semua pihak. Dengan demikian, pendidikan politik massa perlu ditingkatkan, sehingga tidak mudah terprovokasi. Pada konteks ini menuntut pula kesadaran dari kandidat yang maju ke “medan tempur” dan kelompoknya. Setiap calon harus menyadarkan diri dan kelompoknya, bahwa berani maju “berperang” berarti harus berani pula menerima kekalahan. Penyiapan mental kalah harus dipersiapkan sejak awal. Sehingga begitu menjadi “pecundang” tidak menyalahkan pihak lain, apalagi disertai dengan tindakan anarkis. Ikrar siap kalah siap menang tidak sekedar ungkapan semata, harus diwujudkan secara nyata.

Penting untuk kita semua kembali sadari bahwa dalam negara demokrasi, serta dalam situasi dan kondisi politik yang normal rakyat merupakan penentu sejati (sesungguhnya) dan pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu biarlah “seleksi alam” menemukan dan menentukan pemimpin terbaik dari sejumlah calon pemimpin baik lainnya. Rasanya tidak mungkin “alam” memilih yang keliru secara alamiah. Dengan demikian kehidupan berdemokrasi tidak perlu “dikotori” oleh perbuatan-perbuatan (tindakan) yang tidak sepantasnya.

Kesadaran diri dan kelompok seperti di atas, sangat diharapkan dapat muncul pada pilkada langsung di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang akan dilaksanakan pada bulan Mei 2013, baik untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur maupun dalam pemilihan Bupati/Wali Kota dan Wakil Buapati/Wakil Wali Kota di Kabupaten Lombok Timur dan Kota Bima. Harapan berkembangnya sifat seperti itu juga sangat dirindukan dalam pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2014 nanti. Bagaimanapun juga tidak ada kepentingan yang paling utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selain kepentingan umum atau rakyat banyak, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Jerowaru, 14 Pebruari 2014.
Klik Untuk melihat

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah melahirkan berbagai bentuk perubahan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam bidang politik. Salah satu produk politik yang lahir dari “rahim” reformasi adalah diselenggarakannya pemilu dan pilkada secara langsung. Perhelatan pesta demokrasi tersebut tentu bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang terbaik dari yang baik, yang merupakan pilihan rakyat. Bangsa Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, telah cukup berpengalaman menyelenggarakan sistem politik ini. Namun demikian, tidak semua pihak yang terlibat di dalamnya mampu bersikap dewasa. Tentu saja kekurangan atau ketidakmampuan tersebut akan memberikan dampak negatif bagi rakyat, baik berskala kecil maupun besar.

Para calon pemimpin dari jauh sebelum pemilu atau pilkada dilaksanakan, telah menampakkan aktivitas politiknya. Mereka semakin “tancap gas” menjelang hari pelaksanaan. Kampanye secara terang-terangan dilancarkan secara intensif. Tetapi, kampanye terselubung pun mereka lakukan. Bentuk kampanye yang terakhir ini sulit dihapus dan tidak dapat dihindari. Bagi siapapun yang merasa berkepentingan terhadap sesuatu tentu akan melakukan tindakan-tindakan, termasuk yang mungkin “haram secara politik” untuk meraih kepentingannya.

Pada masa pemilu atau pilkada berbagai kepentingan akan muncul dan hampir bisa dipastikan, kepentingan tersebut saling bertolak belakang. Selain kepentingan para kandidat, juga terdapat kepentingan dari pihak-pihak yang ada di sekitar (lingkaran) kandidat yang bersangkutan. Para “penumpang politik” ini, terdiri dari dua macam. Pertama, kelompok oportunis, yang muncul sebelum dan ketika kampanye berlangsung. Mereka hanya menginginkan keuntungan pribadi. Biasanya mereka adalah orang-orang yang dipakai sesaat untuk kepentingan kampanye dan pengerahan massa. Kedua, kelompok atau pihak yang menginginkan keuntungan dalam jangka panjang. Pada umumnya kelompok ini terdiri dari kolega dan pihak-pihak yang dijanjikan sesuatu bila sang calon menang. Oleh karena itu mereka dari sejak dini melakukan langkah-langkah politik (bergaining politik). Sangat dimungkinkan kelompok ini melakukan berbagai cara untuk memenangkan calonnya, termasuk cara-cara yang “kotor”. Sudah dapat dipastikan pula mereka sangat kecewa apabila kandidatnya kalah, karena sudah mencurahkan berbagai potensi yang dimilikinya, termasuk pengorbanan uang.
Kekecewaan kandidat dan para pendukungnya karena terkalahkan, sering sekali dilampiaskan dalam aksi-aksi negatif, seperti provokasi massa dan lainnya. Menyikapi kemungkinan ini maka diperlukan kewaspadaan semua pihak. Dengan demikian, pendidikan politik massa perlu ditingkatkan, sehingga tidak mudah terprovokasi. Pada konteks ini menuntut pula kesadaran dari kandidat yang maju ke “medan tempur” dan kelompoknya. Setiap calon harus menyadarkan diri dan kelompoknya, bahwa berani maju “berperang” berarti harus berani pula menerima kekalahan. Penyiapan mental kalah harus dipersiapkan sejak awal. Sehingga begitu menjadi “pecundang” tidak menyalahkan pihak lain, apalagi disertai dengan tindakan anarkis. Ikrar siap kalah siap menang tidak sekedar ungkapan semata, harus diwujudkan secara nyata.

Penting untuk kita semua kembali sadari bahwa dalam negara demokrasi, serta dalam situasi dan kondisi politik yang normal rakyat merupakan penentu sejati (sesungguhnya) dan pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu biarlah “seleksi alam” menemukan dan menentukan pemimpin terbaik dari sejumlah calon pemimpin baik lainnya. Rasanya tidak mungkin “alam” memilih yang keliru secara alamiah. Dengan demikian kehidupan berdemokrasi tidak perlu “dikotori” oleh perbuatan-perbuatan (tindakan) yang tidak sepantasnya.

Kesadaran diri dan kelompok seperti di atas, sangat diharapkan dapat muncul pada pilkada langsung di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang akan dilaksanakan pada bulan Mei 2013, baik untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur maupun dalam pemilihan Bupati/Wali Kota dan Wakil Buapati/Wakil Wali Kota di Kabupaten Lombok Timur dan Kota Bima. Harapan berkembangnya sifat seperti itu juga sangat dirindukan dalam pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2014 nanti. Bagaimanapun juga tidak ada kepentingan yang paling utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selain kepentingan umum atau rakyat banyak, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Jerowaru, 14 Pebruari 2014.

Rabu, 13 Februari 2013

Perubahan Kurikulum SMP 2013, dan Permasalahannya

Klik Untuk melihat
Perubahan kurikulum pendidikan nasional akan berimbas pada perubahan beberapa elemen yang terdapat dalam kurikulum. Elemen-elemen yang berubah dalam kurikulum 2013, yaitu kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, serta kegiatan ekstrakurikuler. Kelima elemen perubahan ini, diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA (Kemdikbud, 2012). Perubahan kurikulum untuk jenjang pendidikan SMP, dapat dijabarkan berikut ini.

1. Perubahan SKL

Kompetensi lulusan jenjang pendidikan SMP, sama halnya dengan jenjang pendidikan SD dan SMA, adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills dengan mengasah tiga kompetensi anak (ranah), yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. 

2. Perubahan Standar Isi

Aspek-aspek standar isi untuk jenjang pendidikan SMP yang mengalami perubahan, adalah kedudukan mata pelajaran, serta struktur kurikulum (mata pelajaran dan alokasi waktu). Bentuk perubahan aspek kedudukan mata pelajaran adalah kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi tersebut sama dengan kurikulum 2006, dilakukan melalui mata pelajaran. Sedangkan struktur kurikulum yang mengalami perubahan, yaitu : a) TIK menjadi media semua mata pelajaran, dan tidak lagi berdiri sendiri menjadi mata pelejaran; b) pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler; c) jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10; d) mata pelajaran muatan lokal diintegrasikan (masuk) ke mata pelajaran seni budaya, penjaskes, dan prakarya; dan e) Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Jika sebelumnya siswa belajar selama 32 jam, maka nanti mereka akan belajar selama 38 jam di sekolah.
Untuk lebih memperjelas tentang struktur kurikulum SMP 2013, berikut disajikan tabel struktur kurikulum yang akan diterapkan.



                                Sumber : Kemdikbud, 2012.

Perubahan mendasar dalam struktur kurikulum SMP, adalah adanya pengurangan jumlah mata pelajaran, dan penambahan jam belajar. Terdapat beberapa permasalahan yang akan muncul dengan terjadinya perubahan ini. Misalnya, dalam hubungannya dengan TIK yang dijadikan sebagai media pelajaran untuk semua mata pelajaran, muncul persoalan bahwa belum semua sekolah memiliki sarana dan prsarana teknologi informasi yang lengkap dan memadai, dan belum semua guru telah mengusai teknologi informasi. Oleh karena itu, sebelum penerapan kurikulum 2013 secara menyeluruh, terlebih dahulu pemerintah melengkapi fasilitas pendidikan, dan penyiapan SDM. Hal ini tidak saja dalam kaitannya dengan teknologi informasi, tetapi juga dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan dalam arti yang lebih luas. Masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas sesuai dengan tuntutan dalam standar sarana dan prasarana. Selama ini, tidak sedikit pula guru yang belum pernah mendapat pelatihan, dan sebagian dari guru yang pernah mengikutinya belum merasakan manfaatnya secara optimal untuk menunjang pelaksanaan profesionalnya. Setiap guru tentu berkeinginan bisa seperti Ibu Guru Muslimah yang dapat membuat seorang Andrea Hirata berani untuk bermimpi dan mampu mewujudkan mimpi-mimpinya dan menjadi seorang ahli sastra yang mendapatkan banyak pujian dari berbagai penjuru dunia untuk semua karyanya. Tetapi zaman telah berubah jauh. Untuk mampu mencetak peserta didik seperti yang diharapkan dalam kurikulum, harus didukung oleh kelengkapan fasilitas, dan penyiapan SDM sesuai tuntutan zaman. 

Permasalahan yang akan timbul dengan adanya penambahan jam pelajaran, antara lain menyangkut dana. Ini akan menyebabkan biaya operasional yang dibutuhkan sekolah untuk menjalankan program semakin besar. Harus ada solusi tepat terhadap persoalan ini. Apabila mengandalkan pembiayaan dari masyarakat (orang tua murid), sekolah akan mengalami kesulitan, mengingat segala bentuk pungutan terhadap peserta didik tidak diperbolehkan dalam aturan BOS, dan di era otonomi daerah “diharamkan” oleh Pemda.
Konsekwensi lain dari penambahan jam adalah bertambahnya waktu belajar, kendala utama yang akan dihadapi adalah kebosanan siswa dalam belajar. Setiap guru harus memperhatikan hal ini, dengan kata lain siapkah guru berubah dengan pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan ?. Untuk menghadapi persoalan tersebut dapat dilakukan hal-hal berikut : a) menguasai metode pendekatan pembelajaran baik indoor maupun outdoor, agar pembelajaran dapat dilakukan selang-seling; b) melatih kemampuan dalam menerapkan strategi pembelajaran aktif. Untuk hal ini disarankan agar setiap guru membaca buku-buku terkait strategi pembelajaran aktif; dan c) melatih dalam meningkatkan metode dan teknik mengajar, agar guru dapat menjadi teman sekaligus pendidik di sekolah. Hal tersebut diharapkan dapat menghilangkan pembatas antara guru dengan siswa.

3. Perubahan Standar Proses

Cakupan standar proses ada yang menglami perubahan dan ada yang masih sama seperti dalam kurikulum 2006 tetapi lebih ditekankan lagi, terdiri dari : a) standar proses yang semua terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta; b) belajar tidak hanya terjadi di rung kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat; c) guru bukan satu-satunya sumber belajar; d) sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan; e) mata pelajaran IPA dan IPS tetap diajarkan secara terpadu; dan f) Bahasa Inggris sudah mulai diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa siswa. 

Bagian yang perlu kita cermati dan diantisipasi dalam perubahan standar proses adalah menyangkut pendekatan proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan mengedepankan pendekatan pengalaman personal melalui observasi (mengamati), bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Menurut seorang pakar pendidikan, Ismunandar (2013), mengatakan : Dari berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10 -15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku kepentingan.

Berdasarkan pandangan pakar di atas, maka seyogyanya dari sebelum kurikulum 2013 benar-benar diterapkan di tingkat satuan pendidikan, pemerintah menempuh langkah strategis berupa penyiapan SDM guru secara serius dan berkesinambungan. Memang saat ini pemerintah telah mulai merencanakan pelatihan kurikulum baru ini. Tetapi dari daftar peserta pelatihan yang beredar dapat kita ketahui perencanaan awal ini kurang maksimal. Banyak sekolah yang ditunjuk sebagai pengelola pelatihan kurikulum, belum siap dari segi SDM dan fasilitas (asal tunjuk saja). Peserta dari masing-masing sekolah dibatasi hanya 11 orang, termasuk kepala sekolah. Sedangkan wakil kepala sekolah dan urusan kurikulum atau urusan lainnya, banyak yang tidak terakomudir (tidak terdaftar). Apabila ingin berhasil dengan baik, hendaknya perencanaan awal ini ditinjau kembali.

Selain itu, guru dituntut untuk mampu mengembangkan sikap positif peserta didik melalui contoh dan teladan. Budaya menjadi contoh dan teladan harus mampu dikembangkan. Tuntutan ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi kembali ditekankan dan menjadi salah satu prioritas untuk dapat dicapai. Hal ini dilatar belakangi oleh semakin berkembangnya berbagai bentuk fenomena negatif di Indonesia. Untuk mengembangkan sikap positif siswa, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis (Ahmad Turmuzi, 2011).

Sedangkan pembelajaran terhadap dua mata pelajaran, IPA dan IPS masih sama dengan yang terdapat dalam kurikulum 2006 (KTSP), masing-masing diajarkan secara terpadu. Berarti keduanya ditetapkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah. Persoalan yang terasa mengganjal selama ini adalah tidak semua guru mau dan mampu membelajarkannya secara terpadu. Mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara terpisah, sesuai latar belakang pendidikan atau spesialisasi keilmuan yang diperolehnya di perguruan tinggi. Terhadap persoalan ini, seyogyanya pemerintah memfasilitasi untuk melakukan pembekalan secara serius dan menyeluruh bagi pengampu dua mata pelajaran ini.

4. Perubahan Standar Penilaian

Penilaian hasil belajar peserta didik dikembangkan dan diperoleh melalui lima cara, yaitu : a) penilaian berbasis kompetensi; b) pergeseran dari penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil); c) memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal); d) penilaian tidak hanya pada level KD, tetpi juga kompetensi inti dan SKL; dan e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian.

Komponen penilaian diyakini memberikan dampak nyata bagi keberhasilan pembelajaran kompetensi kepada peserta didik, maka penilaian ditempatkan pada posisi yang penting dalam rangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk dan cara penilaian dalam banyak hal memberikan pengaruh penting bagi proses pembelajaran, bagaimana guru harus membelajarkan dan bagaimana peserta didik harus belajar, dan karenanya menentukan capaian kompetensi. 

Penilaian otentik menekankan pengukuran hasil pembelajaran yang berupa kompetensi peserta didik untuk melakukan sesuatu, doing something, sesuai dengan mata pelajaran dan kompetensi yang dibelajarkan. Tekanan capaian kompetensi bukan pada pengetahuan yang dikuasai peserta didik, melainkan pada kemampuan peserta didik untuk menampilkan, mendemonstrasikan, atau melakukan sesuatu yang merupakan cerminan esensi pengetahuan dan kemampuan yang telah dikuasainya tersebut. Selain itu, pendemonstrasian kompetensi tersebut tidak semata-mata demi pengetahuan itu sendiri, melainkan harus sekaligus mencerminkan kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Penilaian otentik membutuhkan pembelajaran yang kontekstual, pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar yang dimaksudkan membantu guru mengaitkan bahan ajar yang dibelajarkan di kelas dengan situasi nyata di masyarakat dan sekaligus mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan perencanaan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kondisi ideal guru pada penerapan penilain secara otentik dibutuhkan pengalaman pembelajaran kontekstual. Hal tersebut dapat diantisipasi sejak dini sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungan belajar masing-masing.

Untuk mendukung penilaian otentik dan penilaian lainnya, setiap guru juga sejak awal perlu meyiapkan diri dengan bekal berupa pemahaman dan penerapan atau pengelolaan tentang portofolio. Karena peemanfaatan portofolio yang dibuat siswa dijadikan sebagai instrumen utama penilaian. Guru akan dihadapkan pada rutinitas penyiapan instrumen penilaian dan tumpukan-tumpukan portofolio peserta didik yang harus dinilai.
Masih dalam hubungannya dengan penilaian, penentu kebijakan sudah pada tempatnya untuk tidak merasa keberatan mengevaluasi sistem UN yang diberlakukan sekarang. Kurikulum baru menuntut penilaian pada semua ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor). Sistem UN yang diberlakukan saat ini tidak sejalan dengan tututan itu, dan perlu dirombak. Rasanya tidak perlu UN dijadikan penentu kelulusan, dan terasa aneh apabila hasil UN dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Janganlah UN “didewakan” dalam dunia pendidikan. Bila UN tetap dipertahankan, sepatutnya dicarikan formula (sistem) yang tidak lagi mengakomudir ke dua hal itu. Bila perlu penilaian sepenuhnya dikembalikan kepada guru. Merekalah yang memiliki hak utama dalam penilaian, karena lebih tahu tentang peserta didiknya. Dengan demikian para guru tidak perlu merasa dikebiri haknya dalam menilai peserta didiknya sendiri.

5. Perubahan Kegiatan Ekstrakurikuler

Perubahan lain yang mengemuka adalah menyangkut kegiatan ekstrakurikuler. Untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat memilih, seperti OSIS, UKS, PMR, dan berbagai kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah. Namun, yang wajib diikuti oleh semua siswa sebagai kegiatan ekstrakurikuler adalah Pramuka, bukan merupakan program kegiatan pilihan. Ini berarti setiap sekolah dituntut untuk menyiapkan lebih banyak tenaga pembina Pramuka untuk membina seluruh siswa, dan berarti pula dana operasional kegiatan meningkat drastis. Untuk itu, tiap-tiap satuan pendidikan harus mengantisipasi perubahan ini sejak dini.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Turmuzi, 2011. Peranan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/28/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikan-karakter-di-sekolah-405139.html. Diakses 17 Januari 2013.


Ismunandar, 2013, Pelatihan Guru Menyiapkan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-pelatihan-guru. Di akses 17 Januari 2013.

Kemdikbud, 2012. Pengembangan Kurikulum 2013.  http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2. Di akses 17 Januari 2013.



Klik Untuk melihat
Perubahan kurikulum pendidikan nasional akan berimbas pada perubahan beberapa elemen yang terdapat dalam kurikulum. Elemen-elemen yang berubah dalam kurikulum 2013, yaitu kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, serta kegiatan ekstrakurikuler. Kelima elemen perubahan ini, diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA (Kemdikbud, 2012). Perubahan kurikulum untuk jenjang pendidikan SMP, dapat dijabarkan berikut ini.

1. Perubahan SKL

Kompetensi lulusan jenjang pendidikan SMP, sama halnya dengan jenjang pendidikan SD dan SMA, adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills dengan mengasah tiga kompetensi anak (ranah), yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. 

2. Perubahan Standar Isi

Aspek-aspek standar isi untuk jenjang pendidikan SMP yang mengalami perubahan, adalah kedudukan mata pelajaran, serta struktur kurikulum (mata pelajaran dan alokasi waktu). Bentuk perubahan aspek kedudukan mata pelajaran adalah kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi tersebut sama dengan kurikulum 2006, dilakukan melalui mata pelajaran. Sedangkan struktur kurikulum yang mengalami perubahan, yaitu : a) TIK menjadi media semua mata pelajaran, dan tidak lagi berdiri sendiri menjadi mata pelejaran; b) pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler; c) jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10; d) mata pelajaran muatan lokal diintegrasikan (masuk) ke mata pelajaran seni budaya, penjaskes, dan prakarya; dan e) Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Jika sebelumnya siswa belajar selama 32 jam, maka nanti mereka akan belajar selama 38 jam di sekolah.
Untuk lebih memperjelas tentang struktur kurikulum SMP 2013, berikut disajikan tabel struktur kurikulum yang akan diterapkan.



                                Sumber : Kemdikbud, 2012.

Perubahan mendasar dalam struktur kurikulum SMP, adalah adanya pengurangan jumlah mata pelajaran, dan penambahan jam belajar. Terdapat beberapa permasalahan yang akan muncul dengan terjadinya perubahan ini. Misalnya, dalam hubungannya dengan TIK yang dijadikan sebagai media pelajaran untuk semua mata pelajaran, muncul persoalan bahwa belum semua sekolah memiliki sarana dan prsarana teknologi informasi yang lengkap dan memadai, dan belum semua guru telah mengusai teknologi informasi. Oleh karena itu, sebelum penerapan kurikulum 2013 secara menyeluruh, terlebih dahulu pemerintah melengkapi fasilitas pendidikan, dan penyiapan SDM. Hal ini tidak saja dalam kaitannya dengan teknologi informasi, tetapi juga dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan dalam arti yang lebih luas. Masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas sesuai dengan tuntutan dalam standar sarana dan prasarana. Selama ini, tidak sedikit pula guru yang belum pernah mendapat pelatihan, dan sebagian dari guru yang pernah mengikutinya belum merasakan manfaatnya secara optimal untuk menunjang pelaksanaan profesionalnya. Setiap guru tentu berkeinginan bisa seperti Ibu Guru Muslimah yang dapat membuat seorang Andrea Hirata berani untuk bermimpi dan mampu mewujudkan mimpi-mimpinya dan menjadi seorang ahli sastra yang mendapatkan banyak pujian dari berbagai penjuru dunia untuk semua karyanya. Tetapi zaman telah berubah jauh. Untuk mampu mencetak peserta didik seperti yang diharapkan dalam kurikulum, harus didukung oleh kelengkapan fasilitas, dan penyiapan SDM sesuai tuntutan zaman. 

Permasalahan yang akan timbul dengan adanya penambahan jam pelajaran, antara lain menyangkut dana. Ini akan menyebabkan biaya operasional yang dibutuhkan sekolah untuk menjalankan program semakin besar. Harus ada solusi tepat terhadap persoalan ini. Apabila mengandalkan pembiayaan dari masyarakat (orang tua murid), sekolah akan mengalami kesulitan, mengingat segala bentuk pungutan terhadap peserta didik tidak diperbolehkan dalam aturan BOS, dan di era otonomi daerah “diharamkan” oleh Pemda.
Konsekwensi lain dari penambahan jam adalah bertambahnya waktu belajar, kendala utama yang akan dihadapi adalah kebosanan siswa dalam belajar. Setiap guru harus memperhatikan hal ini, dengan kata lain siapkah guru berubah dengan pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan ?. Untuk menghadapi persoalan tersebut dapat dilakukan hal-hal berikut : a) menguasai metode pendekatan pembelajaran baik indoor maupun outdoor, agar pembelajaran dapat dilakukan selang-seling; b) melatih kemampuan dalam menerapkan strategi pembelajaran aktif. Untuk hal ini disarankan agar setiap guru membaca buku-buku terkait strategi pembelajaran aktif; dan c) melatih dalam meningkatkan metode dan teknik mengajar, agar guru dapat menjadi teman sekaligus pendidik di sekolah. Hal tersebut diharapkan dapat menghilangkan pembatas antara guru dengan siswa.

3. Perubahan Standar Proses

Cakupan standar proses ada yang menglami perubahan dan ada yang masih sama seperti dalam kurikulum 2006 tetapi lebih ditekankan lagi, terdiri dari : a) standar proses yang semua terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta; b) belajar tidak hanya terjadi di rung kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat; c) guru bukan satu-satunya sumber belajar; d) sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan; e) mata pelajaran IPA dan IPS tetap diajarkan secara terpadu; dan f) Bahasa Inggris sudah mulai diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa siswa. 

Bagian yang perlu kita cermati dan diantisipasi dalam perubahan standar proses adalah menyangkut pendekatan proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan mengedepankan pendekatan pengalaman personal melalui observasi (mengamati), bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Menurut seorang pakar pendidikan, Ismunandar (2013), mengatakan : Dari berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10 -15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku kepentingan.

Berdasarkan pandangan pakar di atas, maka seyogyanya dari sebelum kurikulum 2013 benar-benar diterapkan di tingkat satuan pendidikan, pemerintah menempuh langkah strategis berupa penyiapan SDM guru secara serius dan berkesinambungan. Memang saat ini pemerintah telah mulai merencanakan pelatihan kurikulum baru ini. Tetapi dari daftar peserta pelatihan yang beredar dapat kita ketahui perencanaan awal ini kurang maksimal. Banyak sekolah yang ditunjuk sebagai pengelola pelatihan kurikulum, belum siap dari segi SDM dan fasilitas (asal tunjuk saja). Peserta dari masing-masing sekolah dibatasi hanya 11 orang, termasuk kepala sekolah. Sedangkan wakil kepala sekolah dan urusan kurikulum atau urusan lainnya, banyak yang tidak terakomudir (tidak terdaftar). Apabila ingin berhasil dengan baik, hendaknya perencanaan awal ini ditinjau kembali.

Selain itu, guru dituntut untuk mampu mengembangkan sikap positif peserta didik melalui contoh dan teladan. Budaya menjadi contoh dan teladan harus mampu dikembangkan. Tuntutan ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi kembali ditekankan dan menjadi salah satu prioritas untuk dapat dicapai. Hal ini dilatar belakangi oleh semakin berkembangnya berbagai bentuk fenomena negatif di Indonesia. Untuk mengembangkan sikap positif siswa, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis (Ahmad Turmuzi, 2011).

Sedangkan pembelajaran terhadap dua mata pelajaran, IPA dan IPS masih sama dengan yang terdapat dalam kurikulum 2006 (KTSP), masing-masing diajarkan secara terpadu. Berarti keduanya ditetapkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah. Persoalan yang terasa mengganjal selama ini adalah tidak semua guru mau dan mampu membelajarkannya secara terpadu. Mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara terpisah, sesuai latar belakang pendidikan atau spesialisasi keilmuan yang diperolehnya di perguruan tinggi. Terhadap persoalan ini, seyogyanya pemerintah memfasilitasi untuk melakukan pembekalan secara serius dan menyeluruh bagi pengampu dua mata pelajaran ini.

4. Perubahan Standar Penilaian

Penilaian hasil belajar peserta didik dikembangkan dan diperoleh melalui lima cara, yaitu : a) penilaian berbasis kompetensi; b) pergeseran dari penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil); c) memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal); d) penilaian tidak hanya pada level KD, tetpi juga kompetensi inti dan SKL; dan e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian.

Komponen penilaian diyakini memberikan dampak nyata bagi keberhasilan pembelajaran kompetensi kepada peserta didik, maka penilaian ditempatkan pada posisi yang penting dalam rangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk dan cara penilaian dalam banyak hal memberikan pengaruh penting bagi proses pembelajaran, bagaimana guru harus membelajarkan dan bagaimana peserta didik harus belajar, dan karenanya menentukan capaian kompetensi. 

Penilaian otentik menekankan pengukuran hasil pembelajaran yang berupa kompetensi peserta didik untuk melakukan sesuatu, doing something, sesuai dengan mata pelajaran dan kompetensi yang dibelajarkan. Tekanan capaian kompetensi bukan pada pengetahuan yang dikuasai peserta didik, melainkan pada kemampuan peserta didik untuk menampilkan, mendemonstrasikan, atau melakukan sesuatu yang merupakan cerminan esensi pengetahuan dan kemampuan yang telah dikuasainya tersebut. Selain itu, pendemonstrasian kompetensi tersebut tidak semata-mata demi pengetahuan itu sendiri, melainkan harus sekaligus mencerminkan kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Penilaian otentik membutuhkan pembelajaran yang kontekstual, pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar yang dimaksudkan membantu guru mengaitkan bahan ajar yang dibelajarkan di kelas dengan situasi nyata di masyarakat dan sekaligus mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan perencanaan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kondisi ideal guru pada penerapan penilain secara otentik dibutuhkan pengalaman pembelajaran kontekstual. Hal tersebut dapat diantisipasi sejak dini sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungan belajar masing-masing.

Untuk mendukung penilaian otentik dan penilaian lainnya, setiap guru juga sejak awal perlu meyiapkan diri dengan bekal berupa pemahaman dan penerapan atau pengelolaan tentang portofolio. Karena peemanfaatan portofolio yang dibuat siswa dijadikan sebagai instrumen utama penilaian. Guru akan dihadapkan pada rutinitas penyiapan instrumen penilaian dan tumpukan-tumpukan portofolio peserta didik yang harus dinilai.
Masih dalam hubungannya dengan penilaian, penentu kebijakan sudah pada tempatnya untuk tidak merasa keberatan mengevaluasi sistem UN yang diberlakukan sekarang. Kurikulum baru menuntut penilaian pada semua ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor). Sistem UN yang diberlakukan saat ini tidak sejalan dengan tututan itu, dan perlu dirombak. Rasanya tidak perlu UN dijadikan penentu kelulusan, dan terasa aneh apabila hasil UN dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Janganlah UN “didewakan” dalam dunia pendidikan. Bila UN tetap dipertahankan, sepatutnya dicarikan formula (sistem) yang tidak lagi mengakomudir ke dua hal itu. Bila perlu penilaian sepenuhnya dikembalikan kepada guru. Merekalah yang memiliki hak utama dalam penilaian, karena lebih tahu tentang peserta didiknya. Dengan demikian para guru tidak perlu merasa dikebiri haknya dalam menilai peserta didiknya sendiri.

5. Perubahan Kegiatan Ekstrakurikuler

Perubahan lain yang mengemuka adalah menyangkut kegiatan ekstrakurikuler. Untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat memilih, seperti OSIS, UKS, PMR, dan berbagai kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah. Namun, yang wajib diikuti oleh semua siswa sebagai kegiatan ekstrakurikuler adalah Pramuka, bukan merupakan program kegiatan pilihan. Ini berarti setiap sekolah dituntut untuk menyiapkan lebih banyak tenaga pembina Pramuka untuk membina seluruh siswa, dan berarti pula dana operasional kegiatan meningkat drastis. Untuk itu, tiap-tiap satuan pendidikan harus mengantisipasi perubahan ini sejak dini.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Turmuzi, 2011. Peranan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/28/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikan-karakter-di-sekolah-405139.html. Diakses 17 Januari 2013.


Ismunandar, 2013, Pelatihan Guru Menyiapkan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-pelatihan-guru. Di akses 17 Januari 2013.

Kemdikbud, 2012. Pengembangan Kurikulum 2013.  http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2. Di akses 17 Januari 2013.