1.
Pendahuluan
Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Untuk mengetahui kejadian di masa lampau itu kita dapat dipelajari dari bukti-bukti yang
ditinggalkan, baik yang berupa bukti material (fisik) maupun non material (non
fisik), ataupun melalui sumber tertulis maupun tak tertulis. Sehingga kita
dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan manusia sebagai suatu
sitem sosial di kelampuan dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan di tempat
tertentu pula. Dengan demikian kejadian-kejadian di masa lampau itu menjadi
sejarah suatu kisah dan selanjutnya menjadi sejarah sebagai tulisan ilmiah.
Kejadian-kejadian di masa lampau itu, berhubungan erat dengan aktivitas manusia.
Dalam kaitannya dengan itu Gazalba, mengatakan “sejarah adalah cerita tentang
masa lalu. Inti cerita adalah nasib dari kesatuan sosial atau golongan manusia.
Cerita mengisahkan laku perbuatan dari tokoh-tokohnya. Tiap desa mempunyai
“sejarah” dari desanya, pahlawan-pahlawan, orang-orang besar atau dihormati
oleh desa” (Untaka,1993 : 21).
Dengan demikian, tokoh dalam peristiwa sejarah di
suatu tempat memiliki peranan yang penting dalam kehidupan kolektif
masyarakatnya. Misalnya dapat kita ketahui dari tokoh-tokoh Tuan Guru yang ada
di berbagai tempat (desa) di Pulau Lombok. Mereka menempati status sosial yang
tinggi dan sekaligus merupakan elemen sosial yang penting dalam kehidupan
masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok.
Oleh karena itu, penting artinya untuk mengkaji
peranan yang dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau dalam menyebar
luaskan ajaran agama Islam di Pulau Lombok. Dengan begitu dapat memberikan
makna dalam kehidupan kita. Arti
penting itu, tercermin dari pendapat Widja (1993 : 1), sebagai berikut.
Dengan
melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya akan bisa
memperkaya perbendaharaan sejarah nasional, tetapi lebih penting lagi
memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat
Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin
menyadari pula bahwa ada beberapa corak penghadapan manusia dengan
lingkungannya dan dengan sejarahnya.
Bukan itu
saja tempat nilai lebih dari pengungkapan dan penulisan suatu peristiwa yang
pernah terjadi di suatu daerah. Tetapi juga akan dapat memberi pengetahuan
secara lebih mendetail kepada masyarakat yang ada di daerah tempat
berlangsungnya peristiwa tersebut. Sehingga mereka dapat mengambil nilai-nilai
positif dari peristiwa di kelampauan itu untuk kemudian diintegrasikan ke dalam
kehidupannya yang sekarang, baik secara individu maupun kolektif. Hal ini
selaras dengan apa yang dikemukakan oleh AB. Lapian, berikut ini.
Pengembangan penulisan sejarah yang bersifat
nasional seperti sekarang ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang
tertentu, terutama yang menyangkut tentang sejarah wilayahnya sendiri. Banyak
bagian-bagian sejarah bangsa Indonesia, yang bukan saja tidak pernah
dibayangkan, tetapi kurang dihayati karena kurangnya pengetahuan detail tentang
latar belakang dari peristiwa-peristiwa yang hanya digambarkan dalam konteks
yang sangat umum (Widja, 1993 : 1) .
Dengan
demikian, melalui penulisan sejarah lokal akan dapat memberikan sumbangan yang
sangat berarti dalam pewarisan nilai-nilai sosial budaya terhadap masyarakat,
terutama generasi muda. Sehingga mereka menjadi arif dan bijaksana dalam
menjalani hidup dan kehidupannya serta dapat menghadapi tantangan zaman dan
pengaruh globalisasi yang semakin menggila.
Hasil
penulisan sejarah lokal itu akan sangat efektif untuk diwariskan melalui jalur
pendidikan. Di mana guru, terutama guru sejarah melalui proses pembelajaran
dapat mentransformasikan nilai-nilai masa lalu tersebut kepada anak didiknya.
Tentu saja hal ini akan menunjukkan hasil yang memuaskan bila mana disampaikan
dengan cara yang menyenangkan dan menarik perhatian peserta didik. Dengan
demikian mereka tidak akan tercerabut dari akar budayanya sendiri.
2.
Peranan Tuan Guru
Di Indonesia ada beberapa istilah untuk menyebut tokoh
agama, tergantung daerah masing-masing, misalnya Kiyai (Jawa), Tuan Guru
(Lombok) dan lain-lain. Dalam pengertian yang lebih luas, dikenal ada istilah
Ulama. “Antara Kiyai dan Ulama adalah dua spesialisasi keagamaan Islam yang
memiliki perbedaan mendasar. Dalam hubungannya dengan pesantren, Kiyai biasanya
dipakai untuk menunjukkan ulama dari kelompok tradisional” (Dhofier, 1994 : 55)
dan memiliki sifat kharismatik dan kelebihan soal ijtihad. Sedangkan Ulama
adalah “sekelompok sarjana hukum Islam yang lebih menekankan syariat Islam dan
umumnya berkedudukan sebagai fungsionaris agama” (Dahlan, 2006 : 1-6). Istilah Kiyai identik atau sama dengan
Tuan Guru. Pengertian inilah yang dipkai dalam tulisan ini.
Kiyai (Tuan
Guru) memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Bahkan ”merupakan bagian
dari kelompok elite dalam struktur sosial” (Dhofier, 1994 : 56). Posisi
strategis ini tidak serta merta begitu saja diperoleh oleh seseorang, melainkan
terlebih dahulu melalui proses penilaian oleh masyarakat setempat. Indikator
yang dipakai, antara lain seseorang harus memiliki pengetahuan mendalam dan
luas tentang Islam, tingkat kealimannya, berkpribadian yang mantap,
pengayomannya kepada masyarakat, dan kharisma dalam lingkungan masyarakat.
Manakala hal ini terpenuhi, maka masyarakat setempat dengan sendirinya dan
umumnya akan memberikan gelar tesebut, bahkan tanpa melihat garis keturunan
tokoh yang bersangkutan. Artinya, masyarakat dalam memberikan gelar tersebut
tidak mesti harus dari keturunan Tuan Guru (Kiyai) sebelumnya. Dengan demikian
gelar tersebut bukan diperoleh melalui jalur pendidikan.
Walaupun gelar
tersebut bukan hasil dari pendidikan, namun pendidikan merupakan aspek penting
bagi Tuan Guru. Proses ini akan ikut memberikan adil besar bagi pembentukan
karakter seorang Tuan Guru seprti di atas. Juga menjadi dasar untuk
mengembangkan atau mengajarkan ilmu-imu agama kepada pengikutnya di kemudian
hari. Sekaligus menjadi titik tekan para Tuan Guru kepada keluarga dan
murid-muridnya untuk selalalu menuntut ilmu. Lebih-lebih bagi Tuan Guru yang
memimpin suatu pesantren, akan memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya
dalam masalah pendidikan sebagai generasi penerus dalam estapet kepemimpinannya
pada pondok pesantren yang dipimpinnya atau dalam hal yang lainnya.
Pendidikan
juga berhubungan erat dengan pengaruh seorang Tuan Guru. Pada umumnya seorang
Tuan Guru yang telah selesai menempuh pendidikan, akan melakukan aktivitas dakwahnya
dan mendirikan pondok pesantren (pendidikan). Pada saat itulah pengaruh dan
pengikut dari tokoh tersebut akan dapat diketahui. Tokoh Tuan Guru yang ”memiliki
pengikut yang banyak juga didukung oleh kharisma yang dimilikinya sebagai
seorang pemimpin atau tokoh” (Lihat LAN RI, 1996 : 5). Namun demikian dalam
kehidupan sebuah pesantren yang berpusat pada Kyai (Tuan Guru), ”tidak jarang
terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor kehilangan santri ataupun mati
sama sekali berhubung dengan meninggalnya Kiyai yang bersangkutan. Hal ini
terutama terjadi bila pengganti Kiyai itu tidak sama keahlian dan
kepopulerannya dengan Kiyai yang ia gantikan” (Noer, 1980 : 18). Untuk itu
perlu dipersiapkan generasi penerus yang handal, terutama melalui pendidikan.
Pada
umumnya, anak-anak dari keluarga Tuan Guru menerima pendidikan Islam tingkat dasar diawali dari
lingkungan keluarganya dalam hal mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik.
Kemudian dilanjutkan ke pondok pesantren yang sudah termashur atau kepada Tuan
Guru (Kiyai) yang memiliki tingkat pengetahuan Islam yang lebih tinggi. Tidak
sedikit pula yang memutusakan atau dikirim untuk melanjutkan studinya di
Mekkah. Mereka diasuh oleh ulama-ulama terkemuka dari Indonesia yang bermukim
di sana. Mekkah pada masa lampau merupakan pusat pendidikan Islam. Belajar di
Mekkah, sambil beribadah haji merupakan tradisi dan idola kaum muslimin kala
itu. Setelah kembali ke Indonesia, mereka kemudian membuka pengajian, yang
diawali dengan sistem khalaqoh (sorongan/badongan) dan majelis taklim. Materi
yang diajarkan berasal dari kitab-kitab klasik (kitab kuning). Setelah itu
dilanjutkan dengan berdakwah ke tempat-tempat lain yang jangkauan geografisnya
lebih luas.
Dalam proses Islamisasi, para Tuan Guru di masa lampau
menggunakan strategi dan metode yang tepat dan sesuai dengan keadaan setempat
dan selera orang yang diislaminya. Dengan kata lain, pata Tuan Guru dalam
menyebarkan agama Islam, sebagaimana para Kiyai (Wali) di Jawa, tidak serta
merta menghilangkan kebiasaan atau budaya lama dari masyarakat setempat, tetapi
secara bertahap dan disesuaikan dengan ajaran Islam (akulturasi). Proses
akulturasi inilah yang memberi andil besar dalam mempercepat tersebarnya Islam
di Pulau Lombok.
Ada kalanya juga untuk mempercepat atau mempermudah
penerimaan masyarakat terhadap Islam, para juru dakwah dengan beberapa
pertimbangan cenderung melakukan sinkritisme dengan kebiasaan penduduk pribumi.
Adakalanya juga terjadi sebaliknya, tokoh-tokoh agama dan budaya Hindu dan
Budha melakukan proses integrasi terhadap penduduk yang sudah memeluk agama
Islam untuk menjalin keharmonisan (toleransi) antar pemeluk agama. Proses
integrasi ini telah melahirkan kebudayaan Islam yang baru dengan mengadopsi
unsur-unsur budaya Hindu Budha. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparman (2004
: 132), berikut ini.
Sejak agama
dan kebudayaan Islam memasuki Indonesia, terjadilah proses Islamisasi terhadap
masyarakatnya. Bersamaan dengan proses Islamisasi, mulai terjadi prubahan
sosial budaya ke arah pembetukan budaya baru yang bernafaskan Islam. Sebelum
kedatangan agama dan kebudayan Islam, kebudayaan Indonesia bercorak Hindu dan
Budha. Dengan masuknya budaya Islam ke Indonesia terjadilah proses integrasi
kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Islam. Dalam proses intergrasi tidak
terjadi ketegangan di antara ketiga unsur agama dan kebudayaan tersebut. Hal
itu disebabkan tokoh-tokoh Islam pada masa itu tidak bersikap memusuhi agama
Hindu dan Budha, bahkan menggunakan unsur-unsur tersebut untuk mempermudah
dakwah Islam.
Di Pulau Lombok, sebelum Islam masuk juga merupakan
daerah yang mendapat pengaruh Hindu Budha, terutama dari daerah Jawa dan Bali.
Telah terjadi pula sinkritisme timbal balik. Hal ini terbukti dengan lahirnya
komunitas atau kelompok penganut Wetu Telu. “Wetu Telu merupakan sebuah sistem
agama yang mendasarkan diri pada tiga pokok konsepsi ajaran” (Dahlan, 2006 :
68). Para penganut Wetu Telu mengkalim diri sebagai pemeluk Islam, tetapi pada
dasarnya praktik ajaran yang dilaksanakan dalam ritual atau kesehariannya belum
sempurna sebagaimana tuntutan ajaran Islam itu sendiri, justru masih dominan
terlihat unsur-unsur Hindu dan animisme. Para penganut Wetu Telu inilah yang
kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran dakwah para Tuan Guru
di Pulau Lombok untuk mengislamisasi mereka atau memberikan pencerahan tentang
ajaran Islam sebenarnya.
Jejak-jejak
dakwah yang pernah dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau, dapat pula
dilihat secara lebih luas dan mendalam dari
aspek-aspek dahwah yang pernah dikembangkannya. Misalnya pendirian dan
perkembangan lembaga pendidikan formal, usahanya dalam memberdayakan
sosial kemasyarakatan melalui pengadaan dan pengembangan sarana sosial secara
gotong royong dan swadaya murni masyarakat, langkah-langkah yang pernah ditempuh
dalam rangka membangun perekonomian
masyarakat atau meningkatkan sumber pendapatan masyarakat, pandangan dan
keterlibatannya dalam politik praktis, serta keperduliannya terhadap seni budaya masyarakat dalam rangka
dakwah.
Pengkajian
terhadap aspek-aspek dakwah di atas, akan mengantarkan kita pada kesadaran
bahwa di masa lampau para Tuan Guru sangat mengedepankan dakwah dengan tindakan
(Lisan
al-Hal) melalui pemberian contoh dan tauladan kepada masyarakat, tanpa
mengabaikan dakwah secara lisan. Aspek-aspek yang ditonjolkan itu, bersentuhan
langsung dengan kebutuhan dasar dari masyarakat pada masa itu dan dapat
dirasakan langsung manfaat atau hasilnya dalam kehidupan ummat. Oleh karena
itu, tidak mengherankan kalau aktifitas dakwahnya cepat tersebar dan memiliki
pengikut yang besar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan
dakwah para tokoh Tuan Guru di masa lampau, tidak terlepas dari kharisma dan
karakter kepribadiannya, tingkat keilmuan yang dimiliki, kemampuan dan
kejeliannya dalam melihat latar belakang masyarakat yang menjadi sasaran
dakwahnya, serta dalam berdakwah tidak terbatas hanya sekedar retorika atau
menyampaikan doktrin keagamaan secara teoritis, tetapi diikuti oleh aplikasinya
dalam masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk kesalehan sosial di samping
kesalehan pribadinya.
3.
Implikasinya Bagi Pendidikan Sejarah
Penelitian ataupun penulisan sejarah tidaklah
semata-mata untuk memenuhi hasrat ingin tahu manusia terhadap
peristiwa-peristiwa di kelampauan, melainkan dilandasi pula oleh nilai guna,
yakni kemanfaatan yang diperoleh dari sejarah. Dalam hubungan inilah sejarah
merupakan salah satu mata ajar pada sekolah-sekolah, yakni “bernaung dalam satu
rumpun mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial” (Atmadja, 1992 : 16).
Pendidikan yang berlangsung di sekolah adalah suatu
proses atau kegiatan yang bertujuan, yaitu untuk pemanusian manusia muda. Dalam
kaitannya dengan inilah pendidikan sejarah memiliki peran, di antaranya untuk
menanamkam nilai-nilai kelampauan kepada peserta didik untuk dijadikan bekal
dalam menghadapi dan menatap masa depannya
Dalam rangka pewarisan nilai-nilai itu, tidaklah cukup
hanya bermodal dari hasil studi sejarah secara nasonal yang dijabarkan dalam
bentuk bahan ajar atau litelatur-litelatur sejarah nasional yang macam-macam
jenisnya, tetapi lebih dari itu kita harus dapat mengetahui dan memahami
hasil-hasil studi sejarah lokal atau menghasilkan penelitian (penulisan)
tentang sejarah lokal sutau daerah dalam rangka pengajaran sejarah nasional.
Dengan demikian, pendidikan sejarah di sekolah-sekolah akan menjadi bermakna
atau bernilai bagi peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartodirdjo
(1982 : 35), berikut ini.
Sering kali
peristiwa-peristiwa yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan
aik, apa bila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal.
Peristiwa-peristiwa di tingkat yang lebih luas itu biasanya hanya memberikan
gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasinya yang
lebih kongrit dan mendetail baru bisa diketahui melalui gambaran sejarah lokal.
Singkatnya tanpa memperhatikan implikasi dari
perkembangan studi sejarah lokal itu, akan kehilangan peranannya dalam
kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang ada di suatu daerah yang
memiliki sangkut paut dengan materi yang dibahas dengan bahan ajar sejarah
nasional. Apabila pelajaran sekolah dianggap tidak fungsional dalam kehidupan
masyarakat, maka tidak mengherankan kalau pengajaran sejarah dianggap
membosankan atau menjenuhkan bagi peserta didik.
Oleh karena itu, topik dan materi bahasan dalam
tulisan ini sangat relevan untuk dijadikan acuan atau materi pendamping pada
saat kita membelajarkan tentang perkembangan Islam di Indonesia, termasuk
peranan para ulama dalam proses perkembangan Islam, terutama di tingkat
pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Dengan menyelipkan atau memasukkan materi
tentang peranan para Tuan Guru dalam gerakan dakwah Islamiyah di Pulau Lombok
pada pokok bahasan (SK/KD) tersebut, maka peserta didik terutama yang
bersekolah di tempat-tempat para tokoh tersebut pernah berdakwah, tidak akan
terasing dengan masa lalu masyarakatnya. Karena mereka akan lebih mengetahui
dan menghayati dengan baik perkembangan masyarakatnya dari masa lampau sampai
kini yang terjadi di lingkungannya sendiri.
Kajian nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam
suatu peristiwa sejarah, termasuk yang pernah terjadi di suatu daerah, tentu
tidaklah mengabaikan aspek kondisi yang telah menyebabkan terjadinya suatu
peristiwa. Sebab menurut Sartono Kartodirdjo, sebagai berikut :
Nilai-nilai
atau faktor kultural hanya merupakan salah satu sisi yang menimbulkan peristiwa
sejarah. Kemudian yang tidak kalah penting, aspek proses dinamis dari suatu
peristiwa, tentu tidak pula diabaikan, baik yang menyangkut waktu, ruang maupun
nuasanya yang terdiri dari keberhasilan dan kegagalan, kesenangan dan
kebahagiaan, atau kebaikan dan keburukan. Hal ini penting karena dengan
demikian makna yang kongkrit dan sebenarnya dari suatu peristiwa tampak bagi
masyarakat (Atmadja,1992 : 19) .
Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek pembentukan
karakter, kemampuan memimpin dan mengelola lembaga, pengaruh yang dimilki,
latar belakang masyarakat yang dihadapi dalam berdakwah, aspek-aspek dakwah
yang dikembangkan, metode dan pendekatan dakwah yang dipakai, faktor-faktor
keberhasilan, dan lain-lainnya, merupakan sisi yang perlu dikaji dari ketokohan
para Tuan Guru di masa lampau untuk kemudian ditransformasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya kepada para peserta didik. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan di bawah ini.
Kajian kritis,
aktif dan kreatif akan nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam sejarah,
mengakibatkan peserta didik bisa berperan sebagai penemu nilai dan sekaligus
menempatkannya pada kesadaran pribadinya. Nilai-nilai itulah kemudian akan
berperan sebagai mekanisme kontrol atau sebagai resep, pedoman, petunjuk atau
asas moralitas bagi kekuatan mereka dalam lingkungan sosial dan lingkungan
hidupnya di mana mereka berada” (Atmadja, 1992 : 20).
Keseluruhan uraian di atas mengisyaratkan, “tidak saja
adanya perubahan kurikulum pendidikan sejarah, lebih dari itu ialah mengubah
paradigma pengajaran sejarah konvensional ke paradigma baru yang menekankan
sejarah kritis dan komprehensif dan melibatkan pada proses sosio-historis. Dari
sinilah sekiranya penyeimbangan ruang kelokalan akan terkondisikan” (Wijanarko,
2001 : 38). Dengan begitu peserta didik tidak mengalami keteraliansian dengan
sejarah masyarakat mereka. Berangkat dari pengenalan sejarah lokal diharapkan
mereka mencintai sejarah sebagai kajian pelajaran yang tidak cuma menghafal
tahun-tahun dan nama-nama belaka.
Pengenalan terhadap sejarah perjuangan dan pergerakan
dakwah Islamiyah para Tuan Guru di Pulau Lombok, juga bisa dijadikan refrensi
bagi para peserta didik untuk mengambil nilai-nilai moral di dalamnya untuk
dijadikan bekal dalam menghadapi tantangan nasa depan yang semakin bertumpu
pada Iptek, kekuatan ekonomi, individualisme dan materialisme. Misalnya nilai
kegotongroyongan dan keperdulian sosial, serta ajaran tasawuf (tarekat) yang
apa bila dikerjakan secara benar dapat menjadi penyejuk hati dan penerang jiwa
serta pengobar semangat beribadah atau sebagai mana diungkapkan oleh Umari
(1993 : 11) berikut ini.
Tasawuf ada
kalanya menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang putus asa menghadapi
hidup serta pesimis memandang hari depan, tetapi ada kalanya pula menjadi dasar
pengokoh kebathinan, pembersih jiwa serta pemupuk iman dan penyubur amal sholeh
semata-mata mencari keredhaan Allah SWT, dimana yang terakhir ini hasilnya
tasawuf memperkuat daya juang serta memperoleh kebahagian rasa.
Di samping
itu, pesan-pesan moral dari gerakan dakwah seperti di atas dan yang lainnya,
dapat dijadikan pedoman dan materi rujukan untuk mengatasi kemerosotan moral
bangsa Indonesia dewsa ini, khususnya masyarakat Sasak. Banyak pesan-pesan
moral yang terkandung di dalamnya, tinggal kemauan kita untuk mengkaji dan
melaksnakannya secara benar. Dalam hubungannya dengan pendidikan, nilai-nilai
atau pesan-pesan moral tersebut sangatlah cocok untuk ditransformasikan kepada
peserta didik, terutama melalui pengajaran sejarah, sehingga mereka memiliki
moral yang baik.
4.
Perana Guru Sejarah
Dalam pendidikan sejarah peran guru sangatlah penting
untuk menciptakan suasana belajar yng tidak membosankan bagi peserta didik dan
melaluli proses pembelajaran yang dilaksanakan siswa dapat mengambil makna dari
materi yang diberikan. Sejalan dengan ini, Nengah Bawa Atmadja (1992 : 20)
mengatakan sebagai berikut.
Guru sejarah
sudah selayaknya tidak semata-mata membebani peserta didiknya dengan keharusan
menghafalkan fakta-fakta, tetapi yang lebih penting adalah mampu mengembangkan
iklim belajar mengajar yang bersifat kritis, aktif dan kreatif serta mampu
membimbing peserta didik untuk berpikir interdisipliner dalam menelaah
kekompleskan ataupun kemultikausalitasan
suatu peristiwa sejarah, dan sekaligus berhasil pula membedah dan
mengintergrasikan nilai-nilai yang tersembunyi di balik suatu peristiwa
sejarah.
Dalam rangka pencapaian tujuan ini, maka guru sejarah
dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan
mengajar, tetapi juga memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang bidang
studi yang diajarkannya, serta mampu menggunakan konsep dan teori-teori
ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mendukung wawasan bidang studinya. Dalam
kaitannya dengan keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, “guru
sejarah dituntut untuk menguasai 10 (sepuluh) kompetensi guru sebagaimana
guru-guru secara umum” (Sendratari, 1992 : 67). Atau secara khusus, guru
sejarah dituntut untuk mampu menerapkan strategi dan metode pengajaran yang
memberi kemungkinan pengemabngan kemampuan murid untuk berpikir aktif kreatif.
Untuk itu perlu dikembangkan suasana belajar yang ditandai oleh prinsip-prinsip
seperti “prinsip motivasi,
keterarahan pada fokus tertentu,
hubungan sosial, learning by doing, memperhatikan perbedaan
perseorangan, menentukan, dan prinsip pemecahan masalah” (Semiawan, dkk, 1998 :
10).
Untuk menuju ke arah itu, maka guru sejarah harus
mampu memposisikan peserta didik untuk dapat berkenalan langsung dengan sejarah
masyarakatnya sendiri, dengan cara mereka perlu dilibatkan dalam riset
bersama-sama dengan guru sejarah untuk mengkaji dan mendalami suatu materi yang
akan diajarkan atau dibahas. Dengan metode seperti ini akan menantang
intelektualitas siswa. Sehingga dengan begitu, peserta didik tidak tercerabut
dan terasing begitu saja dari sejarah dan budayanya sendiri. Singkatnya, guru
sejarah dituntut untuk mampu memasukkan materi-materi atau hasil studi tentang
sejarah lokal dimana mereka bertugas. Untuk bisa seperti itu, “maka solusianya
adalah guru sejarah mesti memupuk kesenangan membaca, melihat dan menulis
(meneliti) peristiwa-peristiwa sejarah lokal dimana peserta didik berada”
(Sendratari, 1992 : 67). Misalnya, guru sejarah bisa memasukkan materi ke dalam
bahan ajar, mengkaji, melakukan riset dan menulis tentang gerakan dakwah
Islamiyah yang telah dilakukan para tokoh Tuan Guru di Pulau Lombok.
Namun apabila tidak ada semangat dan kemauan, maka
diperkenalkan dengan perubahan yang bagaimana pun guru tetap tidak akan
berubah. Perubahan baru akan terjadi bermula dari diri sendiri (guru). Semoga
ada perubahan yang signifikan dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan.
5.
Simpulan
Tokoh Tuan Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi
dalam struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat
atas pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan
kharismanya dalam masyarakat. Kedudukan dan gelar tersebut sangat ditentukan
juga oleh pembentukan karakter kepribadian, terutama melalui pendidikan.
Sehingga dengan kemampuan pribadi dan kharisma yang dimiliki oleh seorang Tuan Guru
merupakan elemen yang esensial dalam kehidupan kolektif masyarakatnya dan
memberikan kontribusi (peran) yang penting bagi kehidupan bangsa dan negara
dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Untuk mengetahui peranan para Tuan Guru di masa lampau
secara lebih mendalam dan detail, penting artinya untuk dilakukan pengkajian.
Sehingga kita dapat mengetahui secara jelas dan jernih tentang sosok/ketokohonnya, yang tidak saja saleh secara pribadi tetapi
juga saleh secara sosial. Bahkan peranan yang dimunculkan dan hasilnya, bisa
jadi sangat luas yaitu mencakup aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat
yang diayominya.
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa gerakan
dakwah para Tuan Guru di kelampauan, mengandung banyak nilai yang dapat
diwariskan kepada generasi muda, khususnya peserta didik di sekolah, terutama
masyarakat Sasak tempat beliau pernah berdakwah. Nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, dapat ditransformasikan melalui pokok bahasan dan sub pokok bahasan
yang cocok dengan topik pembahasan. Dengan begitu, maka peserta didik dapat
memahami sejarahnya sendiri yang berhubungan erat dengan peristiwa sejarah
secara nasional, karena mereka dapat secara langsung ikut mengkaji sejarah masyarakat
dan lingkungannya.
Keberhasilan dalam proses penanaman (transformasi)
nilai-nilai masa lalu itu, sangat tergantung dari peran guru sejarah dalam
mengelola pembelajaran. Guru dituntut untuk memahami dan melaksankan kompetensi
keguruannya dengan baik dan konsisten. Secara lebih khusus guru sejarah dituntut untuk mampu memilih strategi dan
metode pembelajaran yang cocok dengan topik yang dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Nengah Bawa, 1992
“Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel
dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.
Dahlan, Fahrurrozi, 2006,
Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Dakwah Islamiyah Tuan Guru Haji
Muhammad Mutawalli di Pulau Lombok (Pendekatan Kultural dan Sifistik dalam
Mengislamisasi Masyaraat Wetu Telu. Jakarta : Sentra Media.
Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan
Hidup Kiyai. Jakarta : LP3ES.
Kartodirdjo, Sartono, 1982,
Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta
: PT. Gramedia.
Lembaga Administrasi Negara
(LAN) Republik Indonesia, 1996, Bahan Materi Pelatihan dan Prajabatan
Pegawai Negeri Sipil Golongan III : Kepemimpinan. Jakarta : LAN RI.
Noer, Deiar, 1994, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES.
Semiawan, Cony, dkk, 1988, Pendekatan
Keterampilan Proses : Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta : PT. Gramedia.
Sendratari, Luh Putu, 1992,
“Wanita dalam Dimensi Sejarah Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel
dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.
Suparman, Drs, dkk, 2004, Pengetahuan
Sosial Sejarah untuk Kelas I SMP dan MTs. Solo : Tiga Serangkai.
Umari, Barmai,1993, Sistimatika Tasawuf. Solo : Penerbit Ramdhani.
Untaka, I Gst. Ngr. Bagus,
1993 ”Hubungan Patih Ularan dan Desa Ularan”, artikel dalam Media
Komunikasi Pencinta Sejarah Lokal Candra Sengkala. Singajara : Program Studi
Pendidikan Sejarah STKIP Negeri Singaraja.
Widja, I Gde,1991, “Pendidikan
Sejarah, Identitas Nasional dan Tantangan Masa Depan”, Orasi Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD Singaraja
: FKIP UNUD.
,1991,“Pendidikan
Sejarah dan Tantangan Masa Abad XXI”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja
: FKIP UNUD.
,1991,“Pengajaran
Sejarah Nasional Indonesia Suatu Dimensi Baru”, artikel dalam Aneka Widya,
Singaraja : FKIP UNUD.
,1993, “Pendidikan
Sejarah Nasional dalam Pembangunan Bangsa”, Makalah dalam Seminar Peranan
Ilmu Sejarah dalam Menyongsong Era Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.
Denpasar : Fakultas Sastra UNUD.
Wijanarko, 2001,“Persefektif Sejarah Lokal
terhadap Sejarah Nasional : Tinjauan atas Kurikulum Pengajaran IPS Sejarah”, artikel
dalam Bultin Pelangi Pendidikan Volume 4 No. 1. Jakarta : Depdiknas.
1.
Pendahuluan
Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau.
Untuk mengetahui kejadian di masa lampau itu kita dapat dipelajari dari bukti-bukti yang
ditinggalkan, baik yang berupa bukti material (fisik) maupun non material (non
fisik), ataupun melalui sumber tertulis maupun tak tertulis. Sehingga kita
dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan manusia sebagai suatu
sitem sosial di kelampuan dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan di tempat
tertentu pula. Dengan demikian kejadian-kejadian di masa lampau itu menjadi
sejarah suatu kisah dan selanjutnya menjadi sejarah sebagai tulisan ilmiah.
Kejadian-kejadian di masa lampau itu, berhubungan erat dengan aktivitas manusia.
Dalam kaitannya dengan itu Gazalba, mengatakan “sejarah adalah cerita tentang
masa lalu. Inti cerita adalah nasib dari kesatuan sosial atau golongan manusia.
Cerita mengisahkan laku perbuatan dari tokoh-tokohnya. Tiap desa mempunyai
“sejarah” dari desanya, pahlawan-pahlawan, orang-orang besar atau dihormati
oleh desa” (Untaka,1993 : 21).
Dengan demikian, tokoh dalam peristiwa sejarah di
suatu tempat memiliki peranan yang penting dalam kehidupan kolektif
masyarakatnya. Misalnya dapat kita ketahui dari tokoh-tokoh Tuan Guru yang ada
di berbagai tempat (desa) di Pulau Lombok. Mereka menempati status sosial yang
tinggi dan sekaligus merupakan elemen sosial yang penting dalam kehidupan
masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok.
Oleh karena itu, penting artinya untuk mengkaji
peranan yang dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau dalam menyebar
luaskan ajaran agama Islam di Pulau Lombok. Dengan begitu dapat memberikan
makna dalam kehidupan kita. Arti
penting itu, tercermin dari pendapat Widja (1993 : 1), sebagai berikut.
Dengan
melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya akan bisa
memperkaya perbendaharaan sejarah nasional, tetapi lebih penting lagi
memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat
Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin
menyadari pula bahwa ada beberapa corak penghadapan manusia dengan
lingkungannya dan dengan sejarahnya.
Bukan itu
saja tempat nilai lebih dari pengungkapan dan penulisan suatu peristiwa yang
pernah terjadi di suatu daerah. Tetapi juga akan dapat memberi pengetahuan
secara lebih mendetail kepada masyarakat yang ada di daerah tempat
berlangsungnya peristiwa tersebut. Sehingga mereka dapat mengambil nilai-nilai
positif dari peristiwa di kelampauan itu untuk kemudian diintegrasikan ke dalam
kehidupannya yang sekarang, baik secara individu maupun kolektif. Hal ini
selaras dengan apa yang dikemukakan oleh AB. Lapian, berikut ini.
Pengembangan penulisan sejarah yang bersifat
nasional seperti sekarang ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang
tertentu, terutama yang menyangkut tentang sejarah wilayahnya sendiri. Banyak
bagian-bagian sejarah bangsa Indonesia, yang bukan saja tidak pernah
dibayangkan, tetapi kurang dihayati karena kurangnya pengetahuan detail tentang
latar belakang dari peristiwa-peristiwa yang hanya digambarkan dalam konteks
yang sangat umum (Widja, 1993 : 1) .
Dengan
demikian, melalui penulisan sejarah lokal akan dapat memberikan sumbangan yang
sangat berarti dalam pewarisan nilai-nilai sosial budaya terhadap masyarakat,
terutama generasi muda. Sehingga mereka menjadi arif dan bijaksana dalam
menjalani hidup dan kehidupannya serta dapat menghadapi tantangan zaman dan
pengaruh globalisasi yang semakin menggila.
Hasil
penulisan sejarah lokal itu akan sangat efektif untuk diwariskan melalui jalur
pendidikan. Di mana guru, terutama guru sejarah melalui proses pembelajaran
dapat mentransformasikan nilai-nilai masa lalu tersebut kepada anak didiknya.
Tentu saja hal ini akan menunjukkan hasil yang memuaskan bila mana disampaikan
dengan cara yang menyenangkan dan menarik perhatian peserta didik. Dengan
demikian mereka tidak akan tercerabut dari akar budayanya sendiri.
2.
Peranan Tuan Guru
Di Indonesia ada beberapa istilah untuk menyebut tokoh
agama, tergantung daerah masing-masing, misalnya Kiyai (Jawa), Tuan Guru
(Lombok) dan lain-lain. Dalam pengertian yang lebih luas, dikenal ada istilah
Ulama. “Antara Kiyai dan Ulama adalah dua spesialisasi keagamaan Islam yang
memiliki perbedaan mendasar. Dalam hubungannya dengan pesantren, Kiyai biasanya
dipakai untuk menunjukkan ulama dari kelompok tradisional” (Dhofier, 1994 : 55)
dan memiliki sifat kharismatik dan kelebihan soal ijtihad. Sedangkan Ulama
adalah “sekelompok sarjana hukum Islam yang lebih menekankan syariat Islam dan
umumnya berkedudukan sebagai fungsionaris agama” (Dahlan, 2006 : 1-6). Istilah Kiyai identik atau sama dengan
Tuan Guru. Pengertian inilah yang dipkai dalam tulisan ini.
Kiyai (Tuan
Guru) memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Bahkan ”merupakan bagian
dari kelompok elite dalam struktur sosial” (Dhofier, 1994 : 56). Posisi
strategis ini tidak serta merta begitu saja diperoleh oleh seseorang, melainkan
terlebih dahulu melalui proses penilaian oleh masyarakat setempat. Indikator
yang dipakai, antara lain seseorang harus memiliki pengetahuan mendalam dan
luas tentang Islam, tingkat kealimannya, berkpribadian yang mantap,
pengayomannya kepada masyarakat, dan kharisma dalam lingkungan masyarakat.
Manakala hal ini terpenuhi, maka masyarakat setempat dengan sendirinya dan
umumnya akan memberikan gelar tesebut, bahkan tanpa melihat garis keturunan
tokoh yang bersangkutan. Artinya, masyarakat dalam memberikan gelar tersebut
tidak mesti harus dari keturunan Tuan Guru (Kiyai) sebelumnya. Dengan demikian
gelar tersebut bukan diperoleh melalui jalur pendidikan.
Walaupun gelar
tersebut bukan hasil dari pendidikan, namun pendidikan merupakan aspek penting
bagi Tuan Guru. Proses ini akan ikut memberikan adil besar bagi pembentukan
karakter seorang Tuan Guru seprti di atas. Juga menjadi dasar untuk
mengembangkan atau mengajarkan ilmu-imu agama kepada pengikutnya di kemudian
hari. Sekaligus menjadi titik tekan para Tuan Guru kepada keluarga dan
murid-muridnya untuk selalalu menuntut ilmu. Lebih-lebih bagi Tuan Guru yang
memimpin suatu pesantren, akan memberikan perhatian lebih kepada anak-anaknya
dalam masalah pendidikan sebagai generasi penerus dalam estapet kepemimpinannya
pada pondok pesantren yang dipimpinnya atau dalam hal yang lainnya.
Pendidikan
juga berhubungan erat dengan pengaruh seorang Tuan Guru. Pada umumnya seorang
Tuan Guru yang telah selesai menempuh pendidikan, akan melakukan aktivitas dakwahnya
dan mendirikan pondok pesantren (pendidikan). Pada saat itulah pengaruh dan
pengikut dari tokoh tersebut akan dapat diketahui. Tokoh Tuan Guru yang ”memiliki
pengikut yang banyak juga didukung oleh kharisma yang dimilikinya sebagai
seorang pemimpin atau tokoh” (Lihat LAN RI, 1996 : 5). Namun demikian dalam
kehidupan sebuah pesantren yang berpusat pada Kyai (Tuan Guru), ”tidak jarang
terjadi bahwa sebuah pesantren yang tersohor kehilangan santri ataupun mati
sama sekali berhubung dengan meninggalnya Kiyai yang bersangkutan. Hal ini
terutama terjadi bila pengganti Kiyai itu tidak sama keahlian dan
kepopulerannya dengan Kiyai yang ia gantikan” (Noer, 1980 : 18). Untuk itu
perlu dipersiapkan generasi penerus yang handal, terutama melalui pendidikan.
Pada
umumnya, anak-anak dari keluarga Tuan Guru menerima pendidikan Islam tingkat dasar diawali dari
lingkungan keluarganya dalam hal mengaji Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik.
Kemudian dilanjutkan ke pondok pesantren yang sudah termashur atau kepada Tuan
Guru (Kiyai) yang memiliki tingkat pengetahuan Islam yang lebih tinggi. Tidak
sedikit pula yang memutusakan atau dikirim untuk melanjutkan studinya di
Mekkah. Mereka diasuh oleh ulama-ulama terkemuka dari Indonesia yang bermukim
di sana. Mekkah pada masa lampau merupakan pusat pendidikan Islam. Belajar di
Mekkah, sambil beribadah haji merupakan tradisi dan idola kaum muslimin kala
itu. Setelah kembali ke Indonesia, mereka kemudian membuka pengajian, yang
diawali dengan sistem khalaqoh (sorongan/badongan) dan majelis taklim. Materi
yang diajarkan berasal dari kitab-kitab klasik (kitab kuning). Setelah itu
dilanjutkan dengan berdakwah ke tempat-tempat lain yang jangkauan geografisnya
lebih luas.
Dalam proses Islamisasi, para Tuan Guru di masa lampau
menggunakan strategi dan metode yang tepat dan sesuai dengan keadaan setempat
dan selera orang yang diislaminya. Dengan kata lain, pata Tuan Guru dalam
menyebarkan agama Islam, sebagaimana para Kiyai (Wali) di Jawa, tidak serta
merta menghilangkan kebiasaan atau budaya lama dari masyarakat setempat, tetapi
secara bertahap dan disesuaikan dengan ajaran Islam (akulturasi). Proses
akulturasi inilah yang memberi andil besar dalam mempercepat tersebarnya Islam
di Pulau Lombok.
Ada kalanya juga untuk mempercepat atau mempermudah
penerimaan masyarakat terhadap Islam, para juru dakwah dengan beberapa
pertimbangan cenderung melakukan sinkritisme dengan kebiasaan penduduk pribumi.
Adakalanya juga terjadi sebaliknya, tokoh-tokoh agama dan budaya Hindu dan
Budha melakukan proses integrasi terhadap penduduk yang sudah memeluk agama
Islam untuk menjalin keharmonisan (toleransi) antar pemeluk agama. Proses
integrasi ini telah melahirkan kebudayaan Islam yang baru dengan mengadopsi
unsur-unsur budaya Hindu Budha. Hal ini sejalan dengan pendapat Suparman (2004
: 132), berikut ini.
Sejak agama
dan kebudayaan Islam memasuki Indonesia, terjadilah proses Islamisasi terhadap
masyarakatnya. Bersamaan dengan proses Islamisasi, mulai terjadi prubahan
sosial budaya ke arah pembetukan budaya baru yang bernafaskan Islam. Sebelum
kedatangan agama dan kebudayan Islam, kebudayaan Indonesia bercorak Hindu dan
Budha. Dengan masuknya budaya Islam ke Indonesia terjadilah proses integrasi
kebudayaan Hindu Budha dengan kebudayaan Islam. Dalam proses intergrasi tidak
terjadi ketegangan di antara ketiga unsur agama dan kebudayaan tersebut. Hal
itu disebabkan tokoh-tokoh Islam pada masa itu tidak bersikap memusuhi agama
Hindu dan Budha, bahkan menggunakan unsur-unsur tersebut untuk mempermudah
dakwah Islam.
Di Pulau Lombok, sebelum Islam masuk juga merupakan
daerah yang mendapat pengaruh Hindu Budha, terutama dari daerah Jawa dan Bali.
Telah terjadi pula sinkritisme timbal balik. Hal ini terbukti dengan lahirnya
komunitas atau kelompok penganut Wetu Telu. “Wetu Telu merupakan sebuah sistem
agama yang mendasarkan diri pada tiga pokok konsepsi ajaran” (Dahlan, 2006 :
68). Para penganut Wetu Telu mengkalim diri sebagai pemeluk Islam, tetapi pada
dasarnya praktik ajaran yang dilaksanakan dalam ritual atau kesehariannya belum
sempurna sebagaimana tuntutan ajaran Islam itu sendiri, justru masih dominan
terlihat unsur-unsur Hindu dan animisme. Para penganut Wetu Telu inilah yang
kemudian dalam perkembangan selanjutnya menjadi sasaran dakwah para Tuan Guru
di Pulau Lombok untuk mengislamisasi mereka atau memberikan pencerahan tentang
ajaran Islam sebenarnya.
Jejak-jejak
dakwah yang pernah dilakukan oleh para Tuan Guru di masa lampau, dapat pula
dilihat secara lebih luas dan mendalam dari
aspek-aspek dahwah yang pernah dikembangkannya. Misalnya pendirian dan
perkembangan lembaga pendidikan formal, usahanya dalam memberdayakan
sosial kemasyarakatan melalui pengadaan dan pengembangan sarana sosial secara
gotong royong dan swadaya murni masyarakat, langkah-langkah yang pernah ditempuh
dalam rangka membangun perekonomian
masyarakat atau meningkatkan sumber pendapatan masyarakat, pandangan dan
keterlibatannya dalam politik praktis, serta keperduliannya terhadap seni budaya masyarakat dalam rangka
dakwah.
Pengkajian
terhadap aspek-aspek dakwah di atas, akan mengantarkan kita pada kesadaran
bahwa di masa lampau para Tuan Guru sangat mengedepankan dakwah dengan tindakan
(Lisan
al-Hal) melalui pemberian contoh dan tauladan kepada masyarakat, tanpa
mengabaikan dakwah secara lisan. Aspek-aspek yang ditonjolkan itu, bersentuhan
langsung dengan kebutuhan dasar dari masyarakat pada masa itu dan dapat
dirasakan langsung manfaat atau hasilnya dalam kehidupan ummat. Oleh karena
itu, tidak mengherankan kalau aktifitas dakwahnya cepat tersebar dan memiliki
pengikut yang besar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan
dakwah para tokoh Tuan Guru di masa lampau, tidak terlepas dari kharisma dan
karakter kepribadiannya, tingkat keilmuan yang dimiliki, kemampuan dan
kejeliannya dalam melihat latar belakang masyarakat yang menjadi sasaran
dakwahnya, serta dalam berdakwah tidak terbatas hanya sekedar retorika atau
menyampaikan doktrin keagamaan secara teoritis, tetapi diikuti oleh aplikasinya
dalam masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk kesalehan sosial di samping
kesalehan pribadinya.
3.
Implikasinya Bagi Pendidikan Sejarah
Penelitian ataupun penulisan sejarah tidaklah
semata-mata untuk memenuhi hasrat ingin tahu manusia terhadap
peristiwa-peristiwa di kelampauan, melainkan dilandasi pula oleh nilai guna,
yakni kemanfaatan yang diperoleh dari sejarah. Dalam hubungan inilah sejarah
merupakan salah satu mata ajar pada sekolah-sekolah, yakni “bernaung dalam satu
rumpun mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial” (Atmadja, 1992 : 16).
Pendidikan yang berlangsung di sekolah adalah suatu
proses atau kegiatan yang bertujuan, yaitu untuk pemanusian manusia muda. Dalam
kaitannya dengan inilah pendidikan sejarah memiliki peran, di antaranya untuk
menanamkam nilai-nilai kelampauan kepada peserta didik untuk dijadikan bekal
dalam menghadapi dan menatap masa depannya
Dalam rangka pewarisan nilai-nilai itu, tidaklah cukup
hanya bermodal dari hasil studi sejarah secara nasonal yang dijabarkan dalam
bentuk bahan ajar atau litelatur-litelatur sejarah nasional yang macam-macam
jenisnya, tetapi lebih dari itu kita harus dapat mengetahui dan memahami
hasil-hasil studi sejarah lokal atau menghasilkan penelitian (penulisan)
tentang sejarah lokal sutau daerah dalam rangka pengajaran sejarah nasional.
Dengan demikian, pendidikan sejarah di sekolah-sekolah akan menjadi bermakna
atau bernilai bagi peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartodirdjo
(1982 : 35), berikut ini.
Sering kali
peristiwa-peristiwa yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan
aik, apa bila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal.
Peristiwa-peristiwa di tingkat yang lebih luas itu biasanya hanya memberikan
gambaran dari pola-pola serta masalah-masalah umum, sedangkan situasinya yang
lebih kongrit dan mendetail baru bisa diketahui melalui gambaran sejarah lokal.
Singkatnya tanpa memperhatikan implikasi dari
perkembangan studi sejarah lokal itu, akan kehilangan peranannya dalam
kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang ada di suatu daerah yang
memiliki sangkut paut dengan materi yang dibahas dengan bahan ajar sejarah
nasional. Apabila pelajaran sekolah dianggap tidak fungsional dalam kehidupan
masyarakat, maka tidak mengherankan kalau pengajaran sejarah dianggap
membosankan atau menjenuhkan bagi peserta didik.
Oleh karena itu, topik dan materi bahasan dalam
tulisan ini sangat relevan untuk dijadikan acuan atau materi pendamping pada
saat kita membelajarkan tentang perkembangan Islam di Indonesia, termasuk
peranan para ulama dalam proses perkembangan Islam, terutama di tingkat
pendidikan SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Dengan menyelipkan atau memasukkan materi
tentang peranan para Tuan Guru dalam gerakan dakwah Islamiyah di Pulau Lombok
pada pokok bahasan (SK/KD) tersebut, maka peserta didik terutama yang
bersekolah di tempat-tempat para tokoh tersebut pernah berdakwah, tidak akan
terasing dengan masa lalu masyarakatnya. Karena mereka akan lebih mengetahui
dan menghayati dengan baik perkembangan masyarakatnya dari masa lampau sampai
kini yang terjadi di lingkungannya sendiri.
Kajian nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam
suatu peristiwa sejarah, termasuk yang pernah terjadi di suatu daerah, tentu
tidaklah mengabaikan aspek kondisi yang telah menyebabkan terjadinya suatu
peristiwa. Sebab menurut Sartono Kartodirdjo, sebagai berikut :
Nilai-nilai
atau faktor kultural hanya merupakan salah satu sisi yang menimbulkan peristiwa
sejarah. Kemudian yang tidak kalah penting, aspek proses dinamis dari suatu
peristiwa, tentu tidak pula diabaikan, baik yang menyangkut waktu, ruang maupun
nuasanya yang terdiri dari keberhasilan dan kegagalan, kesenangan dan
kebahagiaan, atau kebaikan dan keburukan. Hal ini penting karena dengan
demikian makna yang kongkrit dan sebenarnya dari suatu peristiwa tampak bagi
masyarakat (Atmadja,1992 : 19) .
Berdasarkan uraian tersebut, maka aspek pembentukan
karakter, kemampuan memimpin dan mengelola lembaga, pengaruh yang dimilki,
latar belakang masyarakat yang dihadapi dalam berdakwah, aspek-aspek dakwah
yang dikembangkan, metode dan pendekatan dakwah yang dipakai, faktor-faktor
keberhasilan, dan lain-lainnya, merupakan sisi yang perlu dikaji dari ketokohan
para Tuan Guru di masa lampau untuk kemudian ditransformasikan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya kepada para peserta didik. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan di bawah ini.
Kajian kritis,
aktif dan kreatif akan nilai-nilai atau makna yang terkandung dalam sejarah,
mengakibatkan peserta didik bisa berperan sebagai penemu nilai dan sekaligus
menempatkannya pada kesadaran pribadinya. Nilai-nilai itulah kemudian akan
berperan sebagai mekanisme kontrol atau sebagai resep, pedoman, petunjuk atau
asas moralitas bagi kekuatan mereka dalam lingkungan sosial dan lingkungan
hidupnya di mana mereka berada” (Atmadja, 1992 : 20).
Keseluruhan uraian di atas mengisyaratkan, “tidak saja
adanya perubahan kurikulum pendidikan sejarah, lebih dari itu ialah mengubah
paradigma pengajaran sejarah konvensional ke paradigma baru yang menekankan
sejarah kritis dan komprehensif dan melibatkan pada proses sosio-historis. Dari
sinilah sekiranya penyeimbangan ruang kelokalan akan terkondisikan” (Wijanarko,
2001 : 38). Dengan begitu peserta didik tidak mengalami keteraliansian dengan
sejarah masyarakat mereka. Berangkat dari pengenalan sejarah lokal diharapkan
mereka mencintai sejarah sebagai kajian pelajaran yang tidak cuma menghafal
tahun-tahun dan nama-nama belaka.
Pengenalan terhadap sejarah perjuangan dan pergerakan
dakwah Islamiyah para Tuan Guru di Pulau Lombok, juga bisa dijadikan refrensi
bagi para peserta didik untuk mengambil nilai-nilai moral di dalamnya untuk
dijadikan bekal dalam menghadapi tantangan nasa depan yang semakin bertumpu
pada Iptek, kekuatan ekonomi, individualisme dan materialisme. Misalnya nilai
kegotongroyongan dan keperdulian sosial, serta ajaran tasawuf (tarekat) yang
apa bila dikerjakan secara benar dapat menjadi penyejuk hati dan penerang jiwa
serta pengobar semangat beribadah atau sebagai mana diungkapkan oleh Umari
(1993 : 11) berikut ini.
Tasawuf ada
kalanya menjadi tempat persembunyian bagi mereka yang putus asa menghadapi
hidup serta pesimis memandang hari depan, tetapi ada kalanya pula menjadi dasar
pengokoh kebathinan, pembersih jiwa serta pemupuk iman dan penyubur amal sholeh
semata-mata mencari keredhaan Allah SWT, dimana yang terakhir ini hasilnya
tasawuf memperkuat daya juang serta memperoleh kebahagian rasa.
Di samping
itu, pesan-pesan moral dari gerakan dakwah seperti di atas dan yang lainnya,
dapat dijadikan pedoman dan materi rujukan untuk mengatasi kemerosotan moral
bangsa Indonesia dewsa ini, khususnya masyarakat Sasak. Banyak pesan-pesan
moral yang terkandung di dalamnya, tinggal kemauan kita untuk mengkaji dan
melaksnakannya secara benar. Dalam hubungannya dengan pendidikan, nilai-nilai
atau pesan-pesan moral tersebut sangatlah cocok untuk ditransformasikan kepada
peserta didik, terutama melalui pengajaran sejarah, sehingga mereka memiliki
moral yang baik.
4.
Perana Guru Sejarah
Dalam pendidikan sejarah peran guru sangatlah penting
untuk menciptakan suasana belajar yng tidak membosankan bagi peserta didik dan
melaluli proses pembelajaran yang dilaksanakan siswa dapat mengambil makna dari
materi yang diberikan. Sejalan dengan ini, Nengah Bawa Atmadja (1992 : 20)
mengatakan sebagai berikut.
Guru sejarah
sudah selayaknya tidak semata-mata membebani peserta didiknya dengan keharusan
menghafalkan fakta-fakta, tetapi yang lebih penting adalah mampu mengembangkan
iklim belajar mengajar yang bersifat kritis, aktif dan kreatif serta mampu
membimbing peserta didik untuk berpikir interdisipliner dalam menelaah
kekompleskan ataupun kemultikausalitasan
suatu peristiwa sejarah, dan sekaligus berhasil pula membedah dan
mengintergrasikan nilai-nilai yang tersembunyi di balik suatu peristiwa
sejarah.
Dalam rangka pencapaian tujuan ini, maka guru sejarah
dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan
mengajar, tetapi juga memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang bidang
studi yang diajarkannya, serta mampu menggunakan konsep dan teori-teori
ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mendukung wawasan bidang studinya. Dalam
kaitannya dengan keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, “guru
sejarah dituntut untuk menguasai 10 (sepuluh) kompetensi guru sebagaimana
guru-guru secara umum” (Sendratari, 1992 : 67). Atau secara khusus, guru
sejarah dituntut untuk mampu menerapkan strategi dan metode pengajaran yang
memberi kemungkinan pengemabngan kemampuan murid untuk berpikir aktif kreatif.
Untuk itu perlu dikembangkan suasana belajar yang ditandai oleh prinsip-prinsip
seperti “prinsip motivasi,
keterarahan pada fokus tertentu,
hubungan sosial, learning by doing, memperhatikan perbedaan
perseorangan, menentukan, dan prinsip pemecahan masalah” (Semiawan, dkk, 1998 :
10).
Untuk menuju ke arah itu, maka guru sejarah harus
mampu memposisikan peserta didik untuk dapat berkenalan langsung dengan sejarah
masyarakatnya sendiri, dengan cara mereka perlu dilibatkan dalam riset
bersama-sama dengan guru sejarah untuk mengkaji dan mendalami suatu materi yang
akan diajarkan atau dibahas. Dengan metode seperti ini akan menantang
intelektualitas siswa. Sehingga dengan begitu, peserta didik tidak tercerabut
dan terasing begitu saja dari sejarah dan budayanya sendiri. Singkatnya, guru
sejarah dituntut untuk mampu memasukkan materi-materi atau hasil studi tentang
sejarah lokal dimana mereka bertugas. Untuk bisa seperti itu, “maka solusianya
adalah guru sejarah mesti memupuk kesenangan membaca, melihat dan menulis
(meneliti) peristiwa-peristiwa sejarah lokal dimana peserta didik berada”
(Sendratari, 1992 : 67). Misalnya, guru sejarah bisa memasukkan materi ke dalam
bahan ajar, mengkaji, melakukan riset dan menulis tentang gerakan dakwah
Islamiyah yang telah dilakukan para tokoh Tuan Guru di Pulau Lombok.
Namun apabila tidak ada semangat dan kemauan, maka
diperkenalkan dengan perubahan yang bagaimana pun guru tetap tidak akan
berubah. Perubahan baru akan terjadi bermula dari diri sendiri (guru). Semoga
ada perubahan yang signifikan dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan.
5.
Simpulan
Tokoh Tuan Guru memiliki kedudukan sosial yang tinggi
dalam struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat
atas pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan
kharismanya dalam masyarakat. Kedudukan dan gelar tersebut sangat ditentukan
juga oleh pembentukan karakter kepribadian, terutama melalui pendidikan.
Sehingga dengan kemampuan pribadi dan kharisma yang dimiliki oleh seorang Tuan Guru
merupakan elemen yang esensial dalam kehidupan kolektif masyarakatnya dan
memberikan kontribusi (peran) yang penting bagi kehidupan bangsa dan negara
dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Untuk mengetahui peranan para Tuan Guru di masa lampau
secara lebih mendalam dan detail, penting artinya untuk dilakukan pengkajian.
Sehingga kita dapat mengetahui secara jelas dan jernih tentang sosok/ketokohonnya, yang tidak saja saleh secara pribadi tetapi
juga saleh secara sosial. Bahkan peranan yang dimunculkan dan hasilnya, bisa
jadi sangat luas yaitu mencakup aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat
yang diayominya.
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa gerakan
dakwah para Tuan Guru di kelampauan, mengandung banyak nilai yang dapat
diwariskan kepada generasi muda, khususnya peserta didik di sekolah, terutama
masyarakat Sasak tempat beliau pernah berdakwah. Nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, dapat ditransformasikan melalui pokok bahasan dan sub pokok bahasan
yang cocok dengan topik pembahasan. Dengan begitu, maka peserta didik dapat
memahami sejarahnya sendiri yang berhubungan erat dengan peristiwa sejarah
secara nasional, karena mereka dapat secara langsung ikut mengkaji sejarah masyarakat
dan lingkungannya.
Keberhasilan dalam proses penanaman (transformasi)
nilai-nilai masa lalu itu, sangat tergantung dari peran guru sejarah dalam
mengelola pembelajaran. Guru dituntut untuk memahami dan melaksankan kompetensi
keguruannya dengan baik dan konsisten. Secara lebih khusus guru sejarah dituntut untuk mampu memilih strategi dan
metode pembelajaran yang cocok dengan topik yang dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, Nengah Bawa, 1992
“Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel
dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.
Dahlan, Fahrurrozi, 2006,
Sejarah Perjuangan dan Pergerakan Dakwah Islamiyah Tuan Guru Haji
Muhammad Mutawalli di Pulau Lombok (Pendekatan Kultural dan Sifistik dalam
Mengislamisasi Masyaraat Wetu Telu. Jakarta : Sentra Media.
Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan
Hidup Kiyai. Jakarta : LP3ES.
Kartodirdjo, Sartono, 1982,
Pemikiran Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta
: PT. Gramedia.
Lembaga Administrasi Negara
(LAN) Republik Indonesia, 1996, Bahan Materi Pelatihan dan Prajabatan
Pegawai Negeri Sipil Golongan III : Kepemimpinan. Jakarta : LAN RI.
Noer, Deiar, 1994, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta : LP3ES.
Semiawan, Cony, dkk, 1988, Pendekatan
Keterampilan Proses : Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta : PT. Gramedia.
Sendratari, Luh Putu, 1992,
“Wanita dalam Dimensi Sejarah Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, artikel
dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP UNUD.
Suparman, Drs, dkk, 2004, Pengetahuan
Sosial Sejarah untuk Kelas I SMP dan MTs. Solo : Tiga Serangkai.
Umari, Barmai,1993, Sistimatika Tasawuf. Solo : Penerbit Ramdhani.
Untaka, I Gst. Ngr. Bagus,
1993 ”Hubungan Patih Ularan dan Desa Ularan”, artikel dalam Media
Komunikasi Pencinta Sejarah Lokal Candra Sengkala. Singajara : Program Studi
Pendidikan Sejarah STKIP Negeri Singaraja.
Widja, I Gde,1991, “Pendidikan
Sejarah, Identitas Nasional dan Tantangan Masa Depan”, Orasi Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD Singaraja
: FKIP UNUD.
,1991,“Pendidikan
Sejarah dan Tantangan Masa Abad XXI”, artikel dalam Aneka Widya, Singaraja
: FKIP UNUD.
,1991,“Pengajaran
Sejarah Nasional Indonesia Suatu Dimensi Baru”, artikel dalam Aneka Widya,
Singaraja : FKIP UNUD.
,1993, “Pendidikan
Sejarah Nasional dalam Pembangunan Bangsa”, Makalah dalam Seminar Peranan
Ilmu Sejarah dalam Menyongsong Era Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.
Denpasar : Fakultas Sastra UNUD.
Wijanarko, 2001,“Persefektif Sejarah Lokal
terhadap Sejarah Nasional : Tinjauan atas Kurikulum Pengajaran IPS Sejarah”, artikel
dalam Bultin Pelangi Pendidikan Volume 4 No. 1. Jakarta : Depdiknas.