Sekolah
merupakan organisasi (institusi) pelaksana teknis penyelenggaraan pendidikan, yang jati dirinya akan tebentuk
oleh budaya kerja. Bentuk budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di sekolah,
dipengaruhi oleh pola dan gaya kepemimpinan yang ada di dalamnya, yang
sekaligus merupakan bagian dari budaya kerja itu sendiri. Dengan demikian hidup
atau matinya suatu sekolah akan sangat ditentukan oleh budaya kerja manusia di
dalamnya.
Sesuai dengan semangat manajemen
berbasis sekolah (MBS),
yang mempersyaratkan adanya partisipasi, fleksibilitas dan keterbukaan
(transparansi dan akuntabilitas), maka budaya sekolah bukan berkiblat kepada
kekuasaan pribadi, tetapi pada struktur dan fungsi sekolah. Dalam hal ini
kepala sekolah
sebagai pemimpin tertinggi di sekolah, dituntut untuk tidak bekerja sendiri, tetapi
mendelegasikan sebagian tugasnya kepada aparat yang lain dengan membentuk team work, yang dituntut harus kompak,
cerdas dan dinamis. Sehingga diharapkan adanya jaminan keluwesan struktur dan
penyelesaian tugas yang diemban.
Untuk menuju ke
arah itu, harus diatur dan dimantapkan pembagian tugas secara jelas dan tegas. Sehingga
semua warga sekolah dapat berpartisipasi aktif sesuai dengan tugasnya
masing-masing dan harus ditopang oleh adanya kemauan yang kuat untuk
melaksanakan tugas yang diemban.
Pada hakekatnya praktek
kepemimpinan terletak pada pengambilan keputusan terhadap berbagai kebijakan
dan masalah yang dihadapi. Bagaimana antisipasi, persepsi dan cara pengambilan
keputusan pimpinan akan mewarnai jalannya organisasi, termasuk di dalamnya
apakah pengambilan keputusan itu cepat dan tepat. Untuk memenuhi kreteria itu,
diterapkan pola kepemimpinan konsultatif dan partisipatif (demokratis). Hal ini
mempersyaratkan bahwa keputusan pimpinan
senantiasa didasarkan atas persetujuan dari mitra kerja di dalamnya
(guru, pegawai, komite sekolah,
orangtua peserta didik), dengan tetap berpegang atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, petunjuk pelaksanaan dan kebijakan tertulis dari atasan, dan kearifan (wisdom)
bersumber pada Pancasila dan agama (Islam). Tidak semua hal diatur secara tegas
dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk pelaksanaan atau kebijakan
tertulis dari atasan. Untuk mencapai itu, diperlukan adanya keputusan rapat,
bahkan ada kalanya berdasarkan kesepakatan di antara pengelola sekolah. Dalam
hal ini diperlukan adanya kearifan (wisdom) untuk
menimbang-nimbang keputusan mana yang akan diambil. Dalam rangka mengarah ke
hal itu, diatur wadahnya melalui mekanisme atau jalur (layanan) informasi dan komunikasi.
Praktek kepemimpin di
sekolah diarahkan tidak lain untuk mencapai tugas pokok sekolah itu sendiri. Tugas
pokok sekolah adalah menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan
efesien untuk mencapai mutu pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Keberhasilan
dalam melaksanakan tugas tersebut, sangat tergantung pada guru di sekolah, yang
merupakan pelaksana utama dalam proses pembelajaran. Untuk itu, pimpinan
dituntut untuk mambu menumbuhkan kesadaran kepada guru tentang tugasnya, bahwa
tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan membimbing. Oleh
karena itu, guru
perlu terus dibimbing dan dimotivasi untuk dapat secara
berkesinambungan mengarahkan dan menekatkan sifat (proses)
pembelajaran pada pemberdayaan peserta didik. Dimana guru dituntut untuk
menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran yang pro-perubahan, yaitu yang
mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi
peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, misalnya dengan menggunakan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan
lain-lainnya. Dalam
rangka pelaksanaan tugas dan fungsi guru dengan baik dalam proses pembelajaran,
pemimpin sekolah (kepala sekolah) harus memperhatikan peningkatan kompetensi guru, disamping
peningkatan kompetensinya sendiri. Sehingga guru mampu memelihara ilmunya dan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir.
Proses pembelajaran dan penyelenggaran pendidikan secara umum akan berjalan
dengan efektif, apabila didukung oleh pelaksanaan atau penegakan hukum. Bagi
orang Islam yang taat, melaksanakan hukum adalah suatu kewajiban. Sebab hukum
diadakan untuk menjamin ketertiban dan keteraturan demi kepentingan bersama,
dan merupakan syarat mutelak untuk kesejahteraan dan kedamaian. Apabila hukum
tidak ditegakkan, maka yang terjadi adalah suatu anomie, di mana
norma-norma menjadi kabur, bahkan mungkin akan terjadi suatu kekacaauan (chaos)
atau ketidakteraturan (disoder), bukan keteraturan (cosmos)
dan ketertiban (order). Jika alam mempunyai keteraturan dan
ketertiban, maka dalam kehidupan manusia dengan semua pranata sosialnya,
semestinya juga mempunyai keteraturan dan ketertiban. Untuk memberi jaminan
penegakan hukum, maka pimpinan
sekolah secara partisipatif bersama warga sekolah lainnya, menyusun dan
menyempurnakan
tata tertib guru, pegawai dan siswa (peraturan akademik dan kode etik) sesuai dengan kebutuhan. Dalam
hubungannya dengan ini, pimpinan
sekolah seyogyanya mampu mengajak semua elemen warga sekolah untuk merenungkan
dan menghayati beberapa pokok pikiran berikut ini :
1. Sejauh mana komitmen untuk
melaksanakan tugas mulia sebagai pengelola sekolah (pimpinan), guru dan
pegawai;
2. Semua guru dan pegawai, termasuk
di dalamnya yang terlibat selaku pimpinan sekolah pada mulanya adalah melamar
pekerjaan, yang berarti bersedia dan mengikat diri untuk melaksanakan pekerjaan
sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Hal ini berlaku juga bagi guru
atau pegawai tidak tetap (GTT/PTT);
3. Kewajiban harus dilaksanakan
lebih dahulu, baru diikuti oleh hak, bukan sebaliknya;
4. Setiap organisasi atau instansi,
lebih-lebih organisasi pemerintahan diatur oleh seperangkat norma hukum, demi
tercapainya tujuan organisasi itu;
5. Penegakan norma hukum, memerlukan
dukungan norma moral dari pelaksananya;
6. Pembinaan kepegawaian di
Indonesia, khususnya PNS didasarkan atas kombinasi antara sistem karir dan
sistem prestasi;
7. Pelanggaran terhadap aturan
kepegawaian bisa dikenakan sanksi sesuai undang-undang dan peraturan pemerintah
tentang PNS dan tenaga bantu/kontrak, serta peraturan sekolah tentang tenaga
guru dan pegawai tidak tetap (GTT/PTT);
8. Apa yang menjadi kewajiban dan
hak PNS/GT/PT, guru/pegawai bantu/kontrak dan guru/pegawai tidak tetap
(GTT/PTT) ?;
9. Apa fungsi atasan dan bawahan ?;
10. Apa yang menjadi tugas Kepala
Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Urusan-urusan, KTU dan para pengelola/pembina
kegiatan ?;
11. Apakah kita telah memenuhi
ketentuan disiplin kerja (kehadiran, izin, sakit, absen, cuti dan tugas dinas
lainnya) ?.
Perenungan dan
penghayatan terhadap pokok-pokok pikiran di atas, yang dilakukan secara positif
akan mendatangkan inspirasi positif, yang akan membawa dan mengantarkan kita
kepada perbuatan/pelaksanaan kegiatan yang positif pula.
Agar keputusan bisa berjalan sebagaimana diharapkan diperlukan adanya
komunikasi dan motivasi. Kedua hal ini sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan. Dalam era informasi dewasa ini, informasi begitu deras dari
seluruh penjuru dengan berbagai media, dan dalam intraksi sosial informasi
cepat menyebar dari mulut ke mulut, dari orang ke orang lain, dari suatu kelompok ke kelompok yang lain. Sering
kali terjadi arus atau penyampaian
informasi itu tidak sampai secara utuh, bahkan ada kalanya berkembang
isu-isu yang tidak proporsional, sehingga mudah terjadi distorsi
dan kesimpulan yang tidak tepat.
Untuk menghindari penyampaian informasi yang tidak utuh dan dalam rangka
membagi informasi ke semua warga sekolah, perlu
diatur jalur informasi
dan komunikasi di sekolah. Jalur informasi dan komunikasi dikemas
dalam forum pertemuan atau rapat, baik rapat rutin, rapat berkala, rapat koordinasi (antar pengelola
sekolah, dan dengan komite sekolah/orang tua peserta didik/masyarakat), maupun
rapat yang sifatnya mendesak (sepontan). Rapat mempunyai tujuan untuk :
1.
Memberikan petunjuk pelaksanaan tugas;
2.
Pemantauan pelaksanaan tugas
3.
Pembinaan tenaga guru dan tenaga kependidikan
(peningkatan kemampuan kerja, semangat dan gaerah kerja);
4.
Mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan;
5.
Berbagi ilmu atau pengalaman;
6.
Membahas usul atau saran yang relevan;
7.
Menyampaikan informasi;
8.
Tindak lanjut hasil pengawasan atau evaluasi pelaksanaan
tugas.
Motivasi diakui berperan sangat penting untuk meningkatkan prestasi kerja.
Motivasi adalah energi yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas, baik
untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial,
penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam
maupun faktor luar. Hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan
orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.
Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk
memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan
martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja).
2.
Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi
dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat,
terutama yang patut dilayani.
3.
Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau
aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah.
4.
Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan
pengabdian pada Allah.
Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah
manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan
dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan
lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini,
manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan
tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? Oleh karena itu, pada
dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam
kehidupan masyarakat. Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja.
Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian
dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa
berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan
itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala
orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya
bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan
akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan,
malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih
semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga
merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi
kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai.
Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan
kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas
imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang
menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak
dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus
dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi.
Dalam rangka memberikan motivasi, pimpinan sekolah (kepala sekolah) hendaknya mampu
menerapkan pemberian reward
and
punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian
motivasi kerja, berupa
reward,
berdasarkan kepada kemampuan
sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta
peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan
bentuk norma-norma yang dilanggar.
Apabila budaya kerja dan partisipasi aktif aparat atau warga sekolah dapat
terbentuk dan terlaksana dengan baik, yang orientasi utamanya adalah
melaksanakan dan menyukseskan proses pembelajaran, maka peran serta aktif siswa
dalam manajemen sekolah akan ikut terdongkrak dan terlibat langsung di
dalamnya. Seiring dengan pelaksanaan budaya kerja dan partisipasi aktif warga sekolah,
pihak sekolah juga hendaknya
berusaha untuk mendorong partisipasi masyarakat, dengan memperhatikan dan
mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat,
sehingga terdapat jalinan dan suasana yang harmonis antara sekolah dan
masyarakat.
Dalam rangka memberi jaminan terhadap transparansi dan akuntabilitas, pihak
sekolah harus
memberikan layanan informasi manajemen atau
sistem informasi manajemen (SIM) sekolah, terutama terkait tentang
pelaksanaan proses pembelajaran, laporan hasil belajar dan manajemen keuangan,
dengan mempertimbangkan keefektifan dan keefesienan. Informasi manajemen
diupayakan melalui penyediaan papan informasi untuk memudahkan warga sekolah
membacanya, pengiriman hasil
perkembangan nilai peserta didik secara langsung kepada orang tua/wali
murid (selain raport), mengupayakan tersedianya fasilitas internet untuk
memudahkan pengaksesan informasi, dan lain-lainnya.
Dengan praktek
kepemimpinan di atas, dapat menciptakan
suasana kerja yang kondusif, penuh rasa tanggung jawab, dan penuh rasa kekeluargaan
(harmonis) untuk memperoleh hasil kerja atau prestasi yang ideal, sesuai dengan yang telah
ditetapkan, yang menjadi cita-cita bersama warga sekolah.
BAHAN BACAAN :
1.
Dr. Syaiful Sagala, M.Pd. : Manajemen Berbasis Sekolah
dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Penerbit PT. Rakastra
Samasta, Jakarta, 2005.
2.
Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Departemen
Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta
2004.
3.
Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta, 2006.
4.
Peraturan Pemerintah Tentang PNS, Penerbit Citra Umbara,
Bandung, 2006.
5.
Prof. Dr. Oemar Hamalik : Proses Belajar Mengajar.
Penerbit PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.