Rencana Kenaikan Gaji Kepala Daerah Tidak Realistis dan Melukai Rasa Keadilan Masyarakat
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-9 Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) pada tanggal 20 Pebruari 2013
lalu di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Selatan, menyampaikan tentang rencana
kenaikan gaji kepala daerah. Recana muncul disebabkan oleh karena gaji yang
diterima kepala daerah selama ini belum dirasa adil, layak, dan wajar bila
dibandingkan dengan beban kerja yang diemban. Alasan lainnya yang dikemukakan
adalah dengan menaikan gaji, para kepala daerah tidak melakukan tindakan
korupsi.
Ternyata
rencana kenaikan gaji tidak terbatas untuk kepala daerah saja, tetapi
diperuntukan untuk seluruh pejabat negara. Termasuk di dalamnya Presiden, anggota
DPR, anggota DPD, Menteri, Kapolri, Jaksa Agung, dan Hakim. Apabila gaji kepala
daerah naik, otomatis gaji anggota DPRD juga akan ikut naik. Kenaikan gaji
anggota DPRD mengikuti kenaikan gaji kepala daerah. Wacana tersebut bila
ditelisik lebih jauh, justeru sebaliknya melukai rasa keadilan masyarakat
secara umum.
Pejabat negara, termasuk kepala daerah, sesungguhnya
telah memiliki pengahasilan yang jauh mencukupi. Mereka disamping mendapat gaji
dan tunjangan, juga memperoleh insentif dan penhasilan lainnya. Pendapatan di
luar gaji dan tunjangan jauh lebih besar. Hal ini bisa diketahui atau dikaji
dari beberapa peraturan yang menyangkut penghasilan pejabat negara, seperti
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 59 tahun 2000, PP nomor 109 tahun 2000, PP
nomor 69 tahun 2010, dan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 68 tahun 2001.
Berdasarkan ketentuan tertulis itu, bisa diketahui tentang besarnya penghasilan
yang diperoleh pejabat negara per bulan. Misalnya, gubernur dan wakil gubernur
bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp. 400 juta per bulan, bahkan bisa melebihi
dari angka itu. Sementara bupati/wali kota dan wakilnya bisa meraup penghasilan
sekitar Rp. 120 – 150 juta atau lebih per bulan. Apalagi penjabat negara di
atasnya, tentu penghasilannya lebih tinggi lagi.
Disamping itu, para pejabat negara juga menerima
fasilitas rumah dinas. Mereka mendapatkan tunjangan biaya-biaya, seperti biaya
rumah tangga, pembelian inventaris rumah jabatan, pemeliharaan rumah jabatan
dan barang-barang inventaris, pemeliharaan kendaraan dinas, pemeliharaan
kesehatan, perjalanan dinas dan pakaian dinas. Nah, kurang apalagi bila
dibandingkan dengan tugas dan tanggungjawabnya atau beban kerja yang diembannya.
Dengan demikian, sesungguhnya kenaikan gaji para pejabat negara tidak
realistis.
Wacana menaikkan
gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah semakin tidak realistis bila kita mengingat
kondisi (fakta) yang ada saat ini dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, antara lain :
1. Kondisi
kehidupan masyarakat yang belum sejahtera.
Masyarakat masih banyak yang hidup dalam
kesusahan, dan belum memperoleh pelayanan yang optimal dari negara atas hak-hak
dasarnya. Artinya, dengan gaji yang
cukup besar yang diterima saat ini, kinerja mayoritas pejabat negara, termasuk kepala
daerah terbukti masih jauh dari memuaskan. Sehingga, kenaikan gaji tidak
menjamin kinerja pejabat negara meningkat. Sesungguhnya, menjadi pejabat negara
itu adalah pengabdian, bukan untuk mengejar gaji.
2.
Keadaan APBN
atau keuangan negara sedang sedang sulit (terpuruk).
Saat ini lebih dari 50 % porsi APBN
sudah tersedot untuk belanja rutin, termasuk untuk belanja pegawai. Bila gaji
pejabat negara naik, itu berarti semakin membebani APBN. Sementara porsi APBN
untuk mensejahterakan rakyat secara umum semakin berkurang prosentasenya, bila
gaji gaji pejabat negara dinaikkan. Masih banyak daerah yang mengalokasikan 50 % lebih anggarannya untuk
belanja pegawai, bahkan beberapa diantaranya mengalokasikan 70 % anggarannya
untuk pegawai pada 2011-2012. Apabila gaji kepala daerah naik, maka ujung-ujungnya
akan kembali menguras anggaran daerah untuk kepentingan elite dan birokrasi. Karena
gaji anggota DPRD juga ikut naik. Pada gilirannya akan menyebabkan daerah tidak
mampu melayani publik sesuai tujuan otonomi daerah.
3. Tahun lalu
pemerintah melakukan moratorium penerimaan PNS atas dasar pertimbangan besarnya
belanja daerah untuk birokrasi yang membengkak. Sehingga, rencana kenaikan gaji tersebut terasa aneh, walaupun diikuti
dengan adanya wacana untuk menghapus pendapatan lainnya (insentif).
4.
Masih maraknya praktik korupsi di
kalangan pejabat negara.
Alasan pemerintah menaikan
gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah untuk mengurangi korupsi, merupakan
alasan yang tidak tepat. Tidak ada korelasi antara menaikan gaji pejabat negara
dengan berkurangnya pejabat negara atau kepala daerah melakukan praktik
korupsi. Banyak pejabat negara atau kepala daerah yang sudah memiliki kekayaan
berlimpah, tapi tetap saja korup. Korupsi itu soal pribadinya, bukan soal gaji.
Sumber korupsi bukan karena gaji pejabat negara kecil, tapi karena mental mereka
yang bobrok. Singkatnya, kenaikan gaji belum jaminan pejabat negara bebas dari
praktik korupsi.
Berdasarkan
paparan di atas, kiranya dapat ditarik benang merahnya, dapat dirumuskan suatu
kesimpulan bahwa kenaikan gaji bukanlah hal substantif dan mendesak untuk
pembenahan pemerintahan dan pencegahan praktik korupsi. Sebaliknya, renacana
kenaikan tersebut melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan kondisi masyaarakat
yang serba sulit saat ini jelas, bukan prioritas untuk menaikan gaji dari
pejabat negara. Masih banyak yang harus diatasi dari kondisi ekonomi negara
saat ini. Semestinya pemerintah lebih memberi perhatian pada cara mengelola
anggaran dan aturan yang mendasarinya, menutup celah korupsi, serta
mengorientasikan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila pejabat negara,
termasuk kepala daerah sudah mampu meningkatkan harkat dan martabat rakyat
secara signifikan, dapat mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata, maka
kenaikan gajinya bukan menjadi persoalan.
Untuk dapat meningkatkan
gaji pejabat negara, dibutuhkan adanya kriteria yang jelas dan terukur.
Misalnya untuk kepala daerah, sebelum dinaikkan gajinya terlebih dahulu harus dipertimbangkan
(dikaji, dianalisa) dari beberapa segi atau aspek, sebagai berikut.
1. Capaian kinerja dalam pembangunan daerah, yang
ditandai dengan kemampuannya dalam mensejahterakan rakyat, dengan tolok ukur peningkatan
indeks pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, perdagangan,
wisata dan infrastruktur untuk pelayanan umum lainnya. Singkatnya, kinerja
harus sesuai dengan standar indeks pembangunan manusia (IPM). Indikator utama untuk
mengetahui capaian kinerja dalam IPM, adalah seberapa besar capaian yang mencakup
perbaikan nilai indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat dalam
masa kepemimpinan seorang kepala daerah. Sampai saat ini, masih banyak kepala
daerah yang belum mampu meningkatkan IPM di daerah yang dipimpinnya, keadaannya
masih terpuruk.
2. Kemampuannya dalam mewujudkan pelayanan publik, dengan
indikator utamanya adalah seberapa jauh kepala daerah mampu mengalokasikan APBD
untuk meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik.
3. Kemampuannya dalam mengelola konflik atau masalah dan
pemberdayaan potensi daerah, dengan indikator utamanya adalah seberapa kuat dan
inovatif seorang kepala daerah dalam menyelesaikan problem dan memanfaatkan
potensi daerah.
4. Kepuasan rakyat terhadap kepemimpinannya, dengan
indikator utama adalah seberapa tinggi tingkat
kepuasan publik terhadap kepemimpinan kepala daerah.
5. Kemampuan keuangan daerah, dengan indikator utama
adalah seberapa realitas keuangan daerah untuk dapat menaikkan gaji kepala
daerah, karena setiap daerah memiliki potensi keuangan yang berbeda-beda,
termasuk di dalamnya pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga, kenaikan gaji
kepala daerah tidak perlu seragam.
Jerowaru Lombok Timur, 24 Pebruari 2013.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam acara pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-9 Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) pada tanggal 20 Pebruari 2013
lalu di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Selatan, menyampaikan tentang rencana
kenaikan gaji kepala daerah. Recana muncul disebabkan oleh karena gaji yang
diterima kepala daerah selama ini belum dirasa adil, layak, dan wajar bila
dibandingkan dengan beban kerja yang diemban. Alasan lainnya yang dikemukakan
adalah dengan menaikan gaji, para kepala daerah tidak melakukan tindakan
korupsi.
Ternyata
rencana kenaikan gaji tidak terbatas untuk kepala daerah saja, tetapi
diperuntukan untuk seluruh pejabat negara. Termasuk di dalamnya Presiden, anggota
DPR, anggota DPD, Menteri, Kapolri, Jaksa Agung, dan Hakim. Apabila gaji kepala
daerah naik, otomatis gaji anggota DPRD juga akan ikut naik. Kenaikan gaji
anggota DPRD mengikuti kenaikan gaji kepala daerah. Wacana tersebut bila
ditelisik lebih jauh, justeru sebaliknya melukai rasa keadilan masyarakat
secara umum.
Pejabat negara, termasuk kepala daerah, sesungguhnya
telah memiliki pengahasilan yang jauh mencukupi. Mereka disamping mendapat gaji
dan tunjangan, juga memperoleh insentif dan penhasilan lainnya. Pendapatan di
luar gaji dan tunjangan jauh lebih besar. Hal ini bisa diketahui atau dikaji
dari beberapa peraturan yang menyangkut penghasilan pejabat negara, seperti
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 59 tahun 2000, PP nomor 109 tahun 2000, PP
nomor 69 tahun 2010, dan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 68 tahun 2001.
Berdasarkan ketentuan tertulis itu, bisa diketahui tentang besarnya penghasilan
yang diperoleh pejabat negara per bulan. Misalnya, gubernur dan wakil gubernur
bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp. 400 juta per bulan, bahkan bisa melebihi
dari angka itu. Sementara bupati/wali kota dan wakilnya bisa meraup penghasilan
sekitar Rp. 120 – 150 juta atau lebih per bulan. Apalagi penjabat negara di
atasnya, tentu penghasilannya lebih tinggi lagi.
Disamping itu, para pejabat negara juga menerima
fasilitas rumah dinas. Mereka mendapatkan tunjangan biaya-biaya, seperti biaya
rumah tangga, pembelian inventaris rumah jabatan, pemeliharaan rumah jabatan
dan barang-barang inventaris, pemeliharaan kendaraan dinas, pemeliharaan
kesehatan, perjalanan dinas dan pakaian dinas. Nah, kurang apalagi bila
dibandingkan dengan tugas dan tanggungjawabnya atau beban kerja yang diembannya.
Dengan demikian, sesungguhnya kenaikan gaji para pejabat negara tidak
realistis.
Wacana menaikkan
gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah semakin tidak realistis bila kita mengingat
kondisi (fakta) yang ada saat ini dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, antara lain :
1. Kondisi
kehidupan masyarakat yang belum sejahtera.
Masyarakat masih banyak yang hidup dalam
kesusahan, dan belum memperoleh pelayanan yang optimal dari negara atas hak-hak
dasarnya. Artinya, dengan gaji yang
cukup besar yang diterima saat ini, kinerja mayoritas pejabat negara, termasuk kepala
daerah terbukti masih jauh dari memuaskan. Sehingga, kenaikan gaji tidak
menjamin kinerja pejabat negara meningkat. Sesungguhnya, menjadi pejabat negara
itu adalah pengabdian, bukan untuk mengejar gaji.
2.
Keadaan APBN
atau keuangan negara sedang sedang sulit (terpuruk).
Saat ini lebih dari 50 % porsi APBN
sudah tersedot untuk belanja rutin, termasuk untuk belanja pegawai. Bila gaji
pejabat negara naik, itu berarti semakin membebani APBN. Sementara porsi APBN
untuk mensejahterakan rakyat secara umum semakin berkurang prosentasenya, bila
gaji gaji pejabat negara dinaikkan. Masih banyak daerah yang mengalokasikan 50 % lebih anggarannya untuk
belanja pegawai, bahkan beberapa diantaranya mengalokasikan 70 % anggarannya
untuk pegawai pada 2011-2012. Apabila gaji kepala daerah naik, maka ujung-ujungnya
akan kembali menguras anggaran daerah untuk kepentingan elite dan birokrasi. Karena
gaji anggota DPRD juga ikut naik. Pada gilirannya akan menyebabkan daerah tidak
mampu melayani publik sesuai tujuan otonomi daerah.
3. Tahun lalu
pemerintah melakukan moratorium penerimaan PNS atas dasar pertimbangan besarnya
belanja daerah untuk birokrasi yang membengkak. Sehingga, rencana kenaikan gaji tersebut terasa aneh, walaupun diikuti
dengan adanya wacana untuk menghapus pendapatan lainnya (insentif).
4.
Masih maraknya praktik korupsi di
kalangan pejabat negara.
Alasan pemerintah menaikan
gaji pejabat negara, termasuk kepala daerah untuk mengurangi korupsi, merupakan
alasan yang tidak tepat. Tidak ada korelasi antara menaikan gaji pejabat negara
dengan berkurangnya pejabat negara atau kepala daerah melakukan praktik
korupsi. Banyak pejabat negara atau kepala daerah yang sudah memiliki kekayaan
berlimpah, tapi tetap saja korup. Korupsi itu soal pribadinya, bukan soal gaji.
Sumber korupsi bukan karena gaji pejabat negara kecil, tapi karena mental mereka
yang bobrok. Singkatnya, kenaikan gaji belum jaminan pejabat negara bebas dari
praktik korupsi.
Berdasarkan
paparan di atas, kiranya dapat ditarik benang merahnya, dapat dirumuskan suatu
kesimpulan bahwa kenaikan gaji bukanlah hal substantif dan mendesak untuk
pembenahan pemerintahan dan pencegahan praktik korupsi. Sebaliknya, renacana
kenaikan tersebut melukai rasa keadilan masyarakat. Dengan kondisi masyaarakat
yang serba sulit saat ini jelas, bukan prioritas untuk menaikan gaji dari
pejabat negara. Masih banyak yang harus diatasi dari kondisi ekonomi negara
saat ini. Semestinya pemerintah lebih memberi perhatian pada cara mengelola
anggaran dan aturan yang mendasarinya, menutup celah korupsi, serta
mengorientasikan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila pejabat negara,
termasuk kepala daerah sudah mampu meningkatkan harkat dan martabat rakyat
secara signifikan, dapat mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata, maka
kenaikan gajinya bukan menjadi persoalan.
Untuk dapat meningkatkan
gaji pejabat negara, dibutuhkan adanya kriteria yang jelas dan terukur.
Misalnya untuk kepala daerah, sebelum dinaikkan gajinya terlebih dahulu harus dipertimbangkan
(dikaji, dianalisa) dari beberapa segi atau aspek, sebagai berikut.
1. Capaian kinerja dalam pembangunan daerah, yang
ditandai dengan kemampuannya dalam mensejahterakan rakyat, dengan tolok ukur peningkatan
indeks pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, perdagangan,
wisata dan infrastruktur untuk pelayanan umum lainnya. Singkatnya, kinerja
harus sesuai dengan standar indeks pembangunan manusia (IPM). Indikator utama untuk
mengetahui capaian kinerja dalam IPM, adalah seberapa besar capaian yang mencakup
perbaikan nilai indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat dalam
masa kepemimpinan seorang kepala daerah. Sampai saat ini, masih banyak kepala
daerah yang belum mampu meningkatkan IPM di daerah yang dipimpinnya, keadaannya
masih terpuruk.
2. Kemampuannya dalam mewujudkan pelayanan publik, dengan
indikator utamanya adalah seberapa jauh kepala daerah mampu mengalokasikan APBD
untuk meningkatkan akses warga terhadap pelayanan publik.
3. Kemampuannya dalam mengelola konflik atau masalah dan
pemberdayaan potensi daerah, dengan indikator utamanya adalah seberapa kuat dan
inovatif seorang kepala daerah dalam menyelesaikan problem dan memanfaatkan
potensi daerah.
4. Kepuasan rakyat terhadap kepemimpinannya, dengan
indikator utama adalah seberapa tinggi tingkat
kepuasan publik terhadap kepemimpinan kepala daerah.
5. Kemampuan keuangan daerah, dengan indikator utama
adalah seberapa realitas keuangan daerah untuk dapat menaikkan gaji kepala
daerah, karena setiap daerah memiliki potensi keuangan yang berbeda-beda,
termasuk di dalamnya pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga, kenaikan gaji
kepala daerah tidak perlu seragam.
Jerowaru Lombok Timur, 24 Pebruari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.