Inovasi Pendidikan dalam Rangka Menanamkan “Aset Politik”
Kegiatan politik selalu bersenergi
dengan berbagai komponen kehidupan sosial, salah satunya adalah penyelenggaraan
pendidikan. Secara ekstrinsik, pengaruh politik terhadap pendidikan adalah adanya
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan
yang ditelukannya.
Selama tahun 2012 dunia
pendidikan nasional ditandai
dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, dan dengan frekuensi yang
sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan
yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun
2012 antara lain adalah Uji Kompetensi Awal (UKA), Uji Kompetensi Guru (UKG), Penilaian
Kinerja Guru (PKG, revisi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), penyesuaian kebijakan sertifikasi guru, Dapodik, dan yang paling banyak
menuai kontroversi (menyita/menyedot perhatian) adalah Perubahan Kurikulum
(Kurikulum 2013). Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.
Perubahan-perubahan yang terjadi
bersifat sentralistik, dari atas ke bawah; dari pusat
ke daerah; dari
pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah; dari
pemerintah ke masyarakat; dari
sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Fenomena yang menarik dan sekaligus memprihatinkan dari perubahan
itu adalah pesan perubahan tidak sampai
secara utuh ke level yang paling bawah, yaitu satuan pendidikan dan guru. Perubahan-perubahan
yang terjadi dalam dunia pendidikan
nasional, belum
dipahami secara baik oleh pelaksana di tingkat bawah, bahkan dipahami
secara beragam. Sehingga,
dalam pelaksanaannya sampai dengan awal tahun 2013 ini, masih terjadi
kekacauan, belum dapat berjalan lancar.
Semestinya orang yang mendalami teori
difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam
bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang
dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan. Sejak awal,
berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri
sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan.
Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan
skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas
kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya
oleh pihak yang melaksanakannya.
Banyak
inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia saat ini kurang dapat
dipahami atau dihayati secara penuh oleh pelaksananya, di
samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba
instan, target dan tindak lanjutnya
tidak realistik (tidak jelas), serta didasari
asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu
diluncurkan. Intervensi
pemerintah terhadap pendidikan semacam itu, akan melahirkan penilaian yang beragam
(kontroversi) dari berbagai pihak yang berkepentinga. Ada yang menilai
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tidak lebih berorinetansi pada cara melegalkan
proyek dalam rangka menghabiskan anggaran pendidikan, yang memang jumlahnya
sangat besar. Terdapat pula penilaian bahwa kebijakan yang dijalankan
pemerintah dalam rangka menjadikan peserta didik (siswa) sebagai kelinci
percobaan. Penilaian miring lainnya menyebutkan bahwa pemerintah menerapkan
kebijakan yang tidak sungguh-sungguh, sentengah hati kepada guru. Beberapa
pihak bahkan secara tegas menilai perubahan yang dilakukan pemerintah merupakan
bukti nyata dari kebenaran statemen ganti menteri ganti kebijakan, ganti
menteri ganti kurikulum. Penilaian yang lebih ekstrim mengatakan
kebijakan-kebijakan pemerintah adalah upaya untuk membangun pencitraan, citra
pemerintahan yang positif (baik). Apabila demikian adanya, maka secara
implisit perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah dimuati
obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan. Maka
sudah barang tentu inovasi model seperti ini mengandung risiko
kegagalan yang besar.
Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.
Kegiatan politik selalu bersenergi
dengan berbagai komponen kehidupan sosial, salah satunya adalah penyelenggaraan
pendidikan. Secara ekstrinsik, pengaruh politik terhadap pendidikan adalah adanya
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan
yang ditelukannya.
Selama tahun 2012 dunia
pendidikan nasional ditandai
dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, dan dengan frekuensi yang
sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan
yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun
2012 antara lain adalah Uji Kompetensi Awal (UKA), Uji Kompetensi Guru (UKG), Penilaian
Kinerja Guru (PKG, revisi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), penyesuaian kebijakan sertifikasi guru, Dapodik, dan yang paling banyak
menuai kontroversi (menyita/menyedot perhatian) adalah Perubahan Kurikulum
(Kurikulum 2013). Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.
Perubahan-perubahan yang terjadi
bersifat sentralistik, dari atas ke bawah; dari pusat
ke daerah; dari
pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah; dari
pemerintah ke masyarakat; dari
sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Fenomena yang menarik dan sekaligus memprihatinkan dari perubahan
itu adalah pesan perubahan tidak sampai
secara utuh ke level yang paling bawah, yaitu satuan pendidikan dan guru. Perubahan-perubahan
yang terjadi dalam dunia pendidikan
nasional, belum
dipahami secara baik oleh pelaksana di tingkat bawah, bahkan dipahami
secara beragam. Sehingga,
dalam pelaksanaannya sampai dengan awal tahun 2013 ini, masih terjadi
kekacauan, belum dapat berjalan lancar.
Semestinya orang yang mendalami teori
difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam
bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang
dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan. Sejak awal,
berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri
sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan.
Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan
skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas
kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya
oleh pihak yang melaksanakannya.
Banyak
inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia saat ini kurang dapat
dipahami atau dihayati secara penuh oleh pelaksananya, di
samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba
instan, target dan tindak lanjutnya
tidak realistik (tidak jelas), serta didasari
asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu
diluncurkan. Intervensi
pemerintah terhadap pendidikan semacam itu, akan melahirkan penilaian yang beragam
(kontroversi) dari berbagai pihak yang berkepentinga. Ada yang menilai
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tidak lebih berorinetansi pada cara melegalkan
proyek dalam rangka menghabiskan anggaran pendidikan, yang memang jumlahnya
sangat besar. Terdapat pula penilaian bahwa kebijakan yang dijalankan
pemerintah dalam rangka menjadikan peserta didik (siswa) sebagai kelinci
percobaan. Penilaian miring lainnya menyebutkan bahwa pemerintah menerapkan
kebijakan yang tidak sungguh-sungguh, sentengah hati kepada guru. Beberapa
pihak bahkan secara tegas menilai perubahan yang dilakukan pemerintah merupakan
bukti nyata dari kebenaran statemen ganti menteri ganti kebijakan, ganti
menteri ganti kurikulum. Penilaian yang lebih ekstrim mengatakan
kebijakan-kebijakan pemerintah adalah upaya untuk membangun pencitraan, citra
pemerintahan yang positif (baik). Apabila demikian adanya, maka secara
implisit perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah dimuati
obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan. Maka
sudah barang tentu inovasi model seperti ini mengandung risiko
kegagalan yang besar.
Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.