Pengebiran Makna Loyalitas PNS
Makna umum dari
loyalitas adalah kesetiaan atau kepatuhan. Dalam organisasi modern, termasuk organisasi
pemerintahan mengkondisikan loyalitas pada aturan, bukan person. Tetapi dalam
praktiknya loyalitas selalu disimpangkan sebagai kesetiaan pada person. Pemimpin dalam pemerintahan yang ingin berkuasa kembali, sering kali menuntut
bawahannya untuk loyal kepadanya. Ingin mempertahankan kekuasaannya dengan
mengharap dukungan dari anak buahnya. Misalnya saja seorang presiden dan wakil
presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan
wakil wali kota yang ingin terpilih kembali dalam pemilu atau pemilukada untuk
melanjutkan kekuasaannya, menuntut agar PNS atau pegawai yang dipimpinnya untuk
memilih diri dan pasangannya. Sering kali tuntutan itu dilakukan dengan cara
biasa-biasa saja, sekedar harapan atau permohonan dukungan. Tetapi, acap kali juga
disertai dengan cara yang luar biasa, misalnya diikuti dengan intimidasi atau
memberikan “harapan-harapan” tertentu.
Cara yang biasa dilakukan oleh
pemimpin yang sedang berkuasa untuk menggalang dukungan dari kalangan PNS
adalah dengan melibatkannya menjadi tim sukses, dan memerintahkan PNS tertentu
untuk turut mengkampanyekan diri dan pasangannya.
Oknom-oknom PNS yang terlibat, ada yang termotivasi karena “dijanjikan”
sesuatu, ada yang karena ditekan supaya tidak kehilangan jabatan yang sedang
disandangnya, dan ada yang melakukannya dengan sukarela yang didasari oleh
sifat fanatisme yang berlebihan. Mereka ini, secara aktif mencari dukungan di
lapangan (masyarakat), baik terang-terangan atau secara tersembunyi. Mereka manfaatkan
organisasi profesi untuk menggalang dukungan di kalangannya yang seprofesi. Ada
juga yang memanfaatkan momen acara atau pertemuan kedinasan untuk kampanye
(kegiatan kampanye yang dibungkus/numpang dalam kegiatan kedinasan). Yang
terakhir ini yang sering penulis alami, mengingat saat ini di Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) sedang berlangsung tahapan-tahapan (proses) pemilukada
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, serta Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Lombok Timur. Dalam beberapa pertemuan atau rapat dinas yang penulis
ikuti, pejabat-pejabat dari SKPD tertentu selalu menyisipkan kampanye untuk
pasangan calon yang sedang berkuasa (incamben) dalam pidato atau sambutannya,
dengan mengatasnamakan (mengedepankan) loyalitas terhadap pimpinan.
Perlu kembali kita sadari, bahwa PNS
terikat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, terutama
isi yang terdapat pada pasal 4. Pasal ini berisi tentang larangan terhadap PNS
untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dengan demikian,
upaya mobilisasi
dukungan dari kelangan PNS seperti itu, jelas merupakan cara ilegal, tidak
dibenarkan menurut ketentuan yang ada
atau melawan hukum. Bagi pasangan calon yang menempuh cara tersebut,
merupakan tindakan pengecut (tidak kesatria), merasa takut kalah dan tidak
percaya diri. Sedangkan bagi oknom PNS yang tidak netral, berarti yang bersangkutan
tidak bisa menahan “hawa nafsunya” dan tidak bisa mengendalikan rasa takutnya karena
akan kihilangan jabatan atau tidak memperoleh jabatan tertentu. Singkatnya,
mereka tidak bisa bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Langkah di atas jelas merupakan
upaya untuk mengalihkan atau mengebiri makna sejati dari loyalitas PNS. Sesungguhnya
sebagi bagian dari masyarakat, PNS juga memiliki hak pilih sendiri. Oleh karena
itu setiap PNS bebas menentukan pilihannya dalam pemilu atau pemilukada.
Berarti seorang PNS tidak perlu merasa takut untuk kehilangan atau tidak
mendapat jabatan tertentu, tidak perlu takut dengan intimidasi. Sepanjang
berada pada jalur (koridor) kebenaran, dan selalu bersikap profesional dalam
menjalankan (mengemban) tugas dan fungsi, insyaalah jabatan akan didapatkan.
Jerowaru Lombok Timur, 13 Maret 2013.
Makna umum dari
loyalitas adalah kesetiaan atau kepatuhan. Dalam organisasi modern, termasuk organisasi
pemerintahan mengkondisikan loyalitas pada aturan, bukan person. Tetapi dalam
praktiknya loyalitas selalu disimpangkan sebagai kesetiaan pada person. Pemimpin dalam pemerintahan yang ingin berkuasa kembali, sering kali menuntut
bawahannya untuk loyal kepadanya. Ingin mempertahankan kekuasaannya dengan
mengharap dukungan dari anak buahnya. Misalnya saja seorang presiden dan wakil
presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan
wakil wali kota yang ingin terpilih kembali dalam pemilu atau pemilukada untuk
melanjutkan kekuasaannya, menuntut agar PNS atau pegawai yang dipimpinnya untuk
memilih diri dan pasangannya. Sering kali tuntutan itu dilakukan dengan cara
biasa-biasa saja, sekedar harapan atau permohonan dukungan. Tetapi, acap kali juga
disertai dengan cara yang luar biasa, misalnya diikuti dengan intimidasi atau
memberikan “harapan-harapan” tertentu.
Cara yang biasa dilakukan oleh
pemimpin yang sedang berkuasa untuk menggalang dukungan dari kalangan PNS
adalah dengan melibatkannya menjadi tim sukses, dan memerintahkan PNS tertentu
untuk turut mengkampanyekan diri dan pasangannya.
Oknom-oknom PNS yang terlibat, ada yang termotivasi karena “dijanjikan”
sesuatu, ada yang karena ditekan supaya tidak kehilangan jabatan yang sedang
disandangnya, dan ada yang melakukannya dengan sukarela yang didasari oleh
sifat fanatisme yang berlebihan. Mereka ini, secara aktif mencari dukungan di
lapangan (masyarakat), baik terang-terangan atau secara tersembunyi. Mereka manfaatkan
organisasi profesi untuk menggalang dukungan di kalangannya yang seprofesi. Ada
juga yang memanfaatkan momen acara atau pertemuan kedinasan untuk kampanye
(kegiatan kampanye yang dibungkus/numpang dalam kegiatan kedinasan). Yang
terakhir ini yang sering penulis alami, mengingat saat ini di Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) sedang berlangsung tahapan-tahapan (proses) pemilukada
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, serta Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Lombok Timur. Dalam beberapa pertemuan atau rapat dinas yang penulis
ikuti, pejabat-pejabat dari SKPD tertentu selalu menyisipkan kampanye untuk
pasangan calon yang sedang berkuasa (incamben) dalam pidato atau sambutannya,
dengan mengatasnamakan (mengedepankan) loyalitas terhadap pimpinan.
Perlu kembali kita sadari, bahwa PNS
terikat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, terutama
isi yang terdapat pada pasal 4. Pasal ini berisi tentang larangan terhadap PNS
untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dengan demikian,
upaya mobilisasi
dukungan dari kelangan PNS seperti itu, jelas merupakan cara ilegal, tidak
dibenarkan menurut ketentuan yang ada
atau melawan hukum. Bagi pasangan calon yang menempuh cara tersebut,
merupakan tindakan pengecut (tidak kesatria), merasa takut kalah dan tidak
percaya diri. Sedangkan bagi oknom PNS yang tidak netral, berarti yang bersangkutan
tidak bisa menahan “hawa nafsunya” dan tidak bisa mengendalikan rasa takutnya karena
akan kihilangan jabatan atau tidak memperoleh jabatan tertentu. Singkatnya,
mereka tidak bisa bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Langkah di atas jelas merupakan
upaya untuk mengalihkan atau mengebiri makna sejati dari loyalitas PNS. Sesungguhnya
sebagi bagian dari masyarakat, PNS juga memiliki hak pilih sendiri. Oleh karena
itu setiap PNS bebas menentukan pilihannya dalam pemilu atau pemilukada.
Berarti seorang PNS tidak perlu merasa takut untuk kehilangan atau tidak
mendapat jabatan tertentu, tidak perlu takut dengan intimidasi. Sepanjang
berada pada jalur (koridor) kebenaran, dan selalu bersikap profesional dalam
menjalankan (mengemban) tugas dan fungsi, insyaalah jabatan akan didapatkan.
Jerowaru Lombok Timur, 13 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.