Budi daya tanaman
tembakau verginia Lombok telah berlangsung sejak lama, dan memberikan
kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Sumbangan berharga itu
tidak terlepas dari perkembangan budi daya tembakau yang semakin meluas dari
tahun ke tahun, semakin diminati oleh penduduk, terutama di daerah Kabupaten
Lombok Timur dan Lombok Tengah. Meningkatnya minat masyarakat di kedua daerah
tersebut mengingat penghasilan yang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang
normal, para petani bisa meraup keuntungan yang besar. Hasil menjanjikan itu tidak
terlepas dari kualitas tembakau verginia Lombok yang sangat bagus. Bahkan
kualitas tembakau tersebut menempati urutan ke dua terbaik di dunia, setelah
tembakau di Brazil. Oleh karena itu, banyak pengusaha tembakau (rokok) yang
memburunya. Sehingga sampai saat ini banyak perusahan yang telah
menginvestasikan modalnya atau membuka usaha di Pulau Lombok.
Perusahan-perusahan ini tidak saja menjadi mintra petani dalam budi daya
tanaman tembakau dan membeli hasil panen mereka, tetapi juga membeli hasil panen
tembakau petani swadaya, yang bukan binaan (mitra) dari perusahan-perusahan
yang bersangkutan.
Namun demikian, perkembangan
budi daya tanaman tembakau selalu diiringi dengan adanya persoalan, bahkan ada
kecenderungan semakin komplek. Dari tahun ke tahun permasalahan petani tembakau
tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan yang terjadi bersumber dari pemerintah,
pengusaha (perusahaan), dan masalah langsung yang dihadapi petani di lapangan.
Salah satu masalah yang
setiap tahun selalu dihadapi petani tembakau adalah bahan bakar untunk
omprongan. Problem ini mulai dihadapi oleh petani sejak musim tanam tahun 2010
lalu. Saat itu subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau dicabut oleh
pemerintah. Akibatnya, petani yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah
sejak puluhan tahun lalu menjadi kelimpungan (kelabakan). Kondisi ini semakin
diperparah oleh lambat dan kurang tepatnya antisipasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengarahkan petani untuk menggunakan batubara
sebagai bahan bakar pengganti, dan petani diberikan tungku bahan bakar batubara
dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Tetapi usaha ini sia-sia,
karena kualitas batubara yang didatangkan jelek, dan jenis tungku yang
diberikan kurang cocok. Dengan memakai tunggu dan batubara itu, waktu
pengopenan tembakau menjadi bertambah, menghabiskan waktu lebih dari satu
minggu. Sehingga tembakau yang diopen rusak dan kualitasnya menurun. Akibatnya,
petani rugi.
Untuk menghindari
kerugian, petani tetap memburu minyak tanah yang dijual untuk kebutuhan rumah
tangga, dan sebagian di antaranya mengarahkan pilihan menggunakan kayu. Seiring
dengan pemeberlakuan kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas (LPG)
untuk rumah tangga, subsidi minyak tanah untuk rumah tangga dicabut oleh
pemerintah, petani tidak dapat lagi memperoleh minyak tanah sebagai bahan bakar
omprongan tembakau. Sehingga sebagian besar dari mereka menggunakan kayu, dan
sisanya menggunakan solar yang dicampur dengan premium, yang diperoleh di SPBU. Sebelumnya, ketika minyak tanah untuk rumah
tangga masih beredar di pasaran, petani mencampur solar dengan minyak tanah.
Kreativitas petani tembakau ini memang menimbulkan dampak negatif. Penggunaan
kayu sebagai bahan bakar dalam jumlah besar, memicu terjadinya penebangan hutan
secara liar, dan penggunaan solar dan premium menyebabkan terjadinya kelangkaan
bahan bakar tersebut, khususnya bagi kendaraan bermotor. Tetapi, mestinya
kesalahan tidak semata-mata ditimpakan kepada para petani. Pemerintah juga
harus instrosfeksi diri. Kegagalan pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten memfasilitasi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah yang
tepat guna, menjadi faktor pendorong para petani melakukan kreativitas, mencari
solusi cepat dan tampa banyak berpikir akibat negatif yang ditimbulkannya.
Pemerinrah daerah saat
ini, telah melarang petani untuk menggunakan kayu sebagai bahan bakar omprongan
tembakau, kecuali pohon turi. Jenis pohon ini tersedia dalam jumlah yang tidak
mencukupi kebutuhan untuk seluruh petani yang ada. Pohon turi tidak banyak yang
ditanam, sedikit sekali. Kualitasnya sebagai bahan bakar, tidak sama dengan
jenis kayu keras, seperti pohon asam, dan lainnya. Dengan demikian, hal ini
bukan solusi yang tepat. Solusi lain yang ditawarkan adalah dianjurkannya
kembali penggunaan gas sebagai alternatif pengganti minyak tanah, kayu dan
solar. Namun sayang sekali, para petani tidak begitu tertarik menggunakannya. Dari
beberapa kali uji coba, ternyata penggunaan gas sebagai bahan bakar dapat
merugikan petani. Terjadi pembengkakan biaya operasional yang tinggi. Gas lebih
boros bila dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, kayu atau solar yang
dicampur premium.
Disamping itu, saat ini
berkembang wacana penggunaan alternatif bahan bakar lainnya. Pemerintah daerah
meminta perusahan tembakau yang ada di Pulau Lombok untuk menyiapkan cangkang
sawit dan kemiri sebagai bahan bakar untuk petani binaan atau mitranya.
Rencananya akan didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan. Namun sampai sekarang
belum ada sosialisasi (uji coba) secara luas tentang penggunaan bahan bakar
ini. Sehingga petani belum secara menyeluruh mengetahui kualitas bahan bakar
tersebut. Apabila biaya yang dihabiskan lebih besar dari penggunaan bahan bakar
minyak tanah subsidi, kayu atau soalar, berarti belum dapat memberi solusi yang
terbaik, malah akan menambah beban bagi petani. Petani pun masih ragu, apakah
bahan bakar tersebut dapat disediakan dalam jumlah yang dapat memenuhi
kebutuhan semua petani? Persoalan lain yang akan timbul, apabila pengadannya
diserahkan pada perusahaan dan diperuntukkan untuk petani binaan saja,
bagaimana dengan petani swadaya yang jumlahnya tidak sedikit? Mereka akan
menggunakan bahan bakar apa? Atau jangan-jangan disknariokan agar mereka
membeli jenis bahan bakar itu didistributor tertentu dengan harga yang
melambung tinggi, berbeda dengan harga yang diberikan untuk petani binaan.
Semestinya disamping perusahaan mitra yang menyiapkan bahan bakar, pemerintah
daerah juga harus mencari cara untuk menyiapkan bahan bakar untuk kebutuhan
petani tembakau swadaya. Pemerintah daerah, berkerja sama dengan perusahaan
mitra dan pihak lainnya, jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, sudah
melakukan sosialisasi secara intensif dan efektif tentang penggunaan bahan
bakar alternatif. Sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan para petani.
Selain persoalan bahan
bakar, petani tembakau juga dihadapkan pada persoalan yang lainnya. Keberadaan
undang-undang menyangkut tembakau dan rokok, menjadi persoalan tersendiri bagi
petani tembakau. Kemudiaan, semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan,
merupakan masalah yang selalu dihadapi petani. Memang pemerintah daerah telah
membantu biaya operasional petani melalui pembagian DBHCHT, tetapi jumlahnya
sangat kecil dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah pemasaran dan harga
jual hasil oven tembakau, menjadi momok yang menghantui para petani. Pada tahun
lalu, terdapat beberapa perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuka gudang
untuk membeli tembakau petani. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang
membuka gudang, menerapkan hukum ekonomi (hukum pasar) dengan ketat (saklek).
Mereka bertindak sewenang-wenang dan secara sepihak. Mereka membeli dengan
harga di bawah kewajaran (di bawah standar), dan jumlah yang dibeli disesuaikan
dengan kebutuhan perusahaan, bahkan terjadi pengurangan, serta hanya mau
membeli dari petani binaan masing-masing. Sehingga, hasil open tembakau petani
swadaya tidak semuanya dapat dibeli. Tahun lalu merupakan tahun kelam bagi
petani tembakau. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Walaupun
ada penurunan harga beli, tetapi tidak sedrastis tahun lalu, masih pada
batas-batas kewajaran. Kejadian seperti ini membuktikan lemahnya kontrol
pemerintah daerah terhadap perusahan, dan sekaligus menunjukkan ketidakberanian
perintah daerah bertindak tegas kepada perusahaan.
Berdasarkan uraian di
atas, maka sesungguhnya pemerintah daerah sampai saat ini belum melakukan
langkah-alangkah yang optimal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh
petani tembakau. Mereka selalu mengklaim diri telah melakukan langkah-langkah
secara serius dan sungguh-sungguh. Tetapi kenyataannya, masalah terus terjadi,
bahkan semakin komplek. Langkah-langkah yang diambil, hanya sebagai upaya untuk
menggugurkan kewajiban, tetapi tidak dapat memberi solusi terbaik.
Oleh karena itu, tampaknya
kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah daerah yang sekarang untuk
dapat membantu petani keluar dari persoalan yang membelitnya. Bahkan peristiwa
seperti di atas (kejadian tahun lalu), bisa berulang pada musim tanam (musim
panen) tahun ini. Perusahan-perushaan yang beroperasi sudah memberikan isyarat
(peringatan), bahwa mereka akan mengurangi jumlah pembelian hasil open tembakau
petani, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnnya. Belum adanya solusi yang
terbaik untuk bahan bakar, serta lemah dan tidak tegasnya pemerintah daerah
terhadap perusahaan akan memperparah keadaan. Lalu muncul pertanyaan mendasar,
apakah nasib petani tembakau akan sama dengan nasib petani budi daya tanaman
bawang putih di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur?. Setelah sebelumnya berjaya,
kemudian para petani bawang putih tidak berdaya mengahadapi gempuran berbagai
persoalan yang membelitnya, dan tidak ada alternatif yang diberikan pemerintah
daerah untuk melakukan budi daya tanaman lain dan terbaik yang penghasilannya
sama dengan bawang putih. Jawaban dari pertanyaan di atas, sangat tergantung dari
etikad baik dari pemerintah (pemerintah daerah) untuk berupaya mensejahterakan
rakyatnya. Sesungguhnya pemerintah yang
baik adalah yang bisa berbuat adil dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Jerowaru Lombok Timur,
11 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.