Pura Lingsar, Simbol Kerukunan Umat Beragama
Sebelum saya paparkan
isi tulisan yang berkaitan dengan judul di atas, terlebih dahulu saya ucapkan :
“Selamat
Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu di Mana Saja Berada, Semoga Berjalan Lancar, dan
Khusuk serta Tujuan Hari Raya Tercapai”
**********.
Pura Lingsar berlokasi
di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, sekitar 9 km ke arah timur dari
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pura (pure) ini adalah salah satu pura
tertua, terbesar dan terunik di Pulau Lombok. Pure Lingsar merupakan tempat
suci yang dikeramatkan oleh dua suku adat dari agama yang berbeda, yaitu Suku
Bali yang beragama Hindu, dan masyarakat Suku Sasak yang beragama Islam
(penganut Wetu Telu).
Bentuk bangunan pura
tersebut biasa saja, seperti umumnya pura lainnya. Namun pada bangunan pura itu
terdapat dua bangunan utama, yaitu Pura Gaduh dan Kemaliq. Pura Gaduh digunakan
oleh Suku Bali yang beragama Hindu untuk melaksanakan persembahyangan atau
pemujaan kepada Tuhannya. Menurut kepercayaan mereka, batu-batu yang terdapat
di dalam pura tersebut merupakan bebatuan suci yang bisa menjadi perantara
untuk memohon (berdoa) kepada Sang Yang Widhi Wase (Tuhan Yang Maha Esa).
Sedangkan Kemaliq, yang berada di samping Pura Gaduh, adalah bangunan suci umat
Islam Wetu Telu. Kemaliq ini digunakan sebagai tempat untuk berziarah dan untuk
melaksanakan upacara (ritual) adat. Kemaliq berasal dari bahasa Sasak yang
berarti suci dan keramat. Kemaliq merupakan perkembangan dari kata Al-Maliq
dalam Kitab Al-Qur’an, yang berarti kembali. Kemaliq adalah kata simbol untuk
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tempat kembali (kemaliq) seluruh
mahluk. Sedangkan untuk nama Lingsar sendiri diambil dari Kitab Sansekerta,
yaitu “Ling” berarti suara, dan “Sar” berarti air. Tempat ini dibangun di
wilayah yang banyak terdapat sumber airnya, dan dikelilingi oleh hamparan sawah
yang sangat subur.
Kedua bangunan
tersebut, Pura Gaduh dan Kemaliq, memiliki arsitektur khas Bali. Bangunan
tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Gede Ngurah yang
berasal dari Karang Asem Bali. Dengan demikian, sejak masa pemerintahan raja
ini kerukunan antarumat beragama. Jejaknya masih dapat dijumpai sampai
sekarang. Dengan kata lain, kerukunan antarumat beragama tetap dijaga
(dipelihara) sampai saat ini. Pada Sasih (bulan) ke-7 dalam kalender
tradisional Sasak, sekitar bulan Desember dalam kalender Masehi, di Pura
Lingsar digelar upacara adat Pujawali. Upacara Pujawali ini dilaksanakan secara
bersama-sama oleh masing-masing umat beragama (suku) pada tempat yang
berdampingan. Umat Hindu sendiri dipimpin oleh Pemangku dan melaksanakan
persembahyangan di dalam pura. Sedangkan upacara umat Islam Wetu Telu dipimpin
oleh Amangku dan melaksanakan ritual di Kemaliq. Bagi umat muslim Wetu Telu,
upacara Pujawali ini bertujuan untuk memperingati hari Wali Songo (sembilan
wali) yang dahulunya memimpin umat Islam di Indonesia.
Selain kedua bangunan
itu, di dalam komplek Pura Lingsar juga terdapat beberapa kolam renang, area
taman yang indah, dan juga beberapa tempat
untuk beristirahat bagi
pengunjung. Wilayah Lingsar memiliki panorama alam yang indah, sejuk, dan air
yang mengalir di sepanjang sungai yang ada di sana begitu jernih. Sehingga
tempat ini, disamping memiliki nilai historis, juga menjadi salah satu tujuan (obyek)
wisata di Pulau Lombok.
Jerowaru Lombok Timur,
10 Maret 2013.
Sebelum saya paparkan
isi tulisan yang berkaitan dengan judul di atas, terlebih dahulu saya ucapkan :
“Selamat
Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu di Mana Saja Berada, Semoga Berjalan Lancar, dan
Khusuk serta Tujuan Hari Raya Tercapai”
**********.
Pura Lingsar berlokasi
di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, sekitar 9 km ke arah timur dari
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pura (pure) ini adalah salah satu pura
tertua, terbesar dan terunik di Pulau Lombok. Pure Lingsar merupakan tempat
suci yang dikeramatkan oleh dua suku adat dari agama yang berbeda, yaitu Suku
Bali yang beragama Hindu, dan masyarakat Suku Sasak yang beragama Islam
(penganut Wetu Telu).
Bentuk bangunan pura
tersebut biasa saja, seperti umumnya pura lainnya. Namun pada bangunan pura itu
terdapat dua bangunan utama, yaitu Pura Gaduh dan Kemaliq. Pura Gaduh digunakan
oleh Suku Bali yang beragama Hindu untuk melaksanakan persembahyangan atau
pemujaan kepada Tuhannya. Menurut kepercayaan mereka, batu-batu yang terdapat
di dalam pura tersebut merupakan bebatuan suci yang bisa menjadi perantara
untuk memohon (berdoa) kepada Sang Yang Widhi Wase (Tuhan Yang Maha Esa).
Sedangkan Kemaliq, yang berada di samping Pura Gaduh, adalah bangunan suci umat
Islam Wetu Telu. Kemaliq ini digunakan sebagai tempat untuk berziarah dan untuk
melaksanakan upacara (ritual) adat. Kemaliq berasal dari bahasa Sasak yang
berarti suci dan keramat. Kemaliq merupakan perkembangan dari kata Al-Maliq
dalam Kitab Al-Qur’an, yang berarti kembali. Kemaliq adalah kata simbol untuk
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tempat kembali (kemaliq) seluruh
mahluk. Sedangkan untuk nama Lingsar sendiri diambil dari Kitab Sansekerta,
yaitu “Ling” berarti suara, dan “Sar” berarti air. Tempat ini dibangun di
wilayah yang banyak terdapat sumber airnya, dan dikelilingi oleh hamparan sawah
yang sangat subur.
Kedua bangunan
tersebut, Pura Gaduh dan Kemaliq, memiliki arsitektur khas Bali. Bangunan
tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Gede Ngurah yang
berasal dari Karang Asem Bali. Dengan demikian, sejak masa pemerintahan raja
ini kerukunan antarumat beragama. Jejaknya masih dapat dijumpai sampai
sekarang. Dengan kata lain, kerukunan antarumat beragama tetap dijaga
(dipelihara) sampai saat ini. Pada Sasih (bulan) ke-7 dalam kalender
tradisional Sasak, sekitar bulan Desember dalam kalender Masehi, di Pura
Lingsar digelar upacara adat Pujawali. Upacara Pujawali ini dilaksanakan secara
bersama-sama oleh masing-masing umat beragama (suku) pada tempat yang
berdampingan. Umat Hindu sendiri dipimpin oleh Pemangku dan melaksanakan
persembahyangan di dalam pura. Sedangkan upacara umat Islam Wetu Telu dipimpin
oleh Amangku dan melaksanakan ritual di Kemaliq. Bagi umat muslim Wetu Telu,
upacara Pujawali ini bertujuan untuk memperingati hari Wali Songo (sembilan
wali) yang dahulunya memimpin umat Islam di Indonesia.
Selain kedua bangunan
itu, di dalam komplek Pura Lingsar juga terdapat beberapa kolam renang, area
taman yang indah, dan juga beberapa tempat
untuk beristirahat bagi
pengunjung. Wilayah Lingsar memiliki panorama alam yang indah, sejuk, dan air
yang mengalir di sepanjang sungai yang ada di sana begitu jernih. Sehingga
tempat ini, disamping memiliki nilai historis, juga menjadi salah satu tujuan (obyek)
wisata di Pulau Lombok.
Jerowaru Lombok Timur,
10 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.