Pada hari ini, Senin, 25 Maret 2013 KPU Kabupaten Lombok Timur telah menetapkan nomor urut pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur dalam Pemilukada pada 13 Mei 2013.
Berikut ini nomor urut masing-masing pasangan sebagai berikut:
Pasangan Nomor Urut 1: H. Ali Bin Dachlan dan H. Haerul Warisin (ALKHAER), pasangan independen.
Pasangan Nomor Urut 2: H. Abdu Wahab dan Lale Yaqutunnafis (WALY)
yang didukung Partai Hanura, PBB, PBR, PKPB dan Partai Patriot.
Pasangan Nomor Urut 3: HM Sukiman Azmy dan HM Syamsul Lutfi (SUFI)
yang diusung Partai Demokrat, Golkar, PPP, PDIP, PKS, Gerindra, PKNU dan
PAN.
Pasangan Nomor Urut 4: H. Usman Fauzi dan Muhammad Ihwan (MAFAN),
dengan dukungan 16 Partai Politik antara lain PNI Marhaenisme, PNBKI,
PKP, Partai Republiken.
Tentukan pilihan Anda !
Pada hari ini, Senin, 25 Maret 2013 KPU Kabupaten Lombok Timur telah menetapkan nomor urut pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur dalam Pemilukada pada 13 Mei 2013.Senin, 25 Maret 2013
Nomor Urut Pasangan Cabub dan Cawabub Lombok Timur dalam Pemilukada 2013
Berikut ini nomor urut masing-masing pasangan sebagai berikut:
Pasangan Nomor Urut 1: H. Ali Bin Dachlan dan H. Haerul Warisin (ALKHAER), pasangan independen.
Pasangan Nomor Urut 2: H. Abdu Wahab dan Lale Yaqutunnafis (WALY) yang didukung Partai Hanura, PBB, PBR, PKPB dan Partai Patriot.
Pasangan Nomor Urut 3: HM Sukiman Azmy dan HM Syamsul Lutfi (SUFI) yang diusung Partai Demokrat, Golkar, PPP, PDIP, PKS, Gerindra, PKNU dan PAN.
Pasangan Nomor Urut 4: H. Usman Fauzi dan Muhammad Ihwan (MAFAN), dengan dukungan 16 Partai Politik antara lain PNI Marhaenisme, PNBKI, PKP, Partai Republiken.
Tentukan pilihan Anda !
Label: Edukasi, Sosial Budaya. Cerita, Puisi
Politik,
Sosial Budaya
Jumat, 22 Maret 2013
Dapodik dan Guru “Salah Kamar”
Kemendiknas mulai tahun 2013 ini melakukan
pendataan dengan sistem online. Sistem pendataan ini dikenal dengan istilah Data
Pokok Pendidikan (Dapodik). Sistem online Dapodik dilakukan melalui Direktorat
Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Direktorat P2TK). Dengan sistem
online ini diharapkan data seluruh sekolah dapat tersimpan secara akurat dan
valid, sehingga tidak terdapat data-data fiktif lagi. Dapodik
menjadi basis data dan sumber informasi, serta sekaligus sangat berpengaruh terhadap
berbagai kepentingan, seperti tunjangan, bantuan sekolah dan PTK.
Pemberlakuan kebijakan
baru tersebut menyebabkan setiap sekolah, terutama operator komputer yang
menangani Dapodik dibuat super sibuk. Sebagian besar guru yang datanya
dimasukkan ke sistem online tersebut, dibuat bingungung karena datanya sampai
saat ini belum valid. Memang sampai dengan sekarang, rata-rata sekolah belum
sepenuhnya memiliki Dapodik yang valid. Banyak faktor yang menyebabkan belum
validnya data guru dan sekolah. Salah satunya adalah terdapat guru yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin
ilmunya.
Dengan adanya Dapodik,
banyak guru yang diketahui mengajar tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya, alias “salah kamar”. Terbongkarnya kasus tersebut, menyebabkan
guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi, terancam tidak bisa lagi dibayar
tunjangan profesinya. Misalnya, ditemukan banyak guru mata pelajaran di SD yang
beralih menjadi guru kelas, dan guru mata pelajaran di SMP/SMA/SMK tidak
mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya. Guru mata pelajaran di SD yang
menyeberang menjadi guru kelas didorong oleh tunjangan profesi. Ketika menjadi
guru kelas, mereka dapat lebih cepat (mudah) untuk mengikuti seleksi sertifikasi
guru dan dinyatakan lulus. Hal ini dapat terjadi, bisa jadi disebabkan oleh
faktor kedekatan oknom guru dengan kepala sekolah, atau karena titipan oknom
pejabat. Praktek KKN ini tentu akan merugikan guru yang bersangkutan setelah
diberlakukan kebijakan sistem Dapodik. Data yang dimasukkan tidak akan pernah
valid, karena menjadi guru kelas bukan “kamar” guru yang bersangkutan.
Dampaknya, tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima, terancam tidak dapat
dibayar lagi. Akibat yang paling fatal adalah ada kemungkinan guru yang
bersakutan diminta mengembalikan tunjangan profesi yang telah diterima.
Sementara bagi guru
mata pelajaran di SMP/SMA/SMK yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin
ilmunya, tentu sangat merugikan bagi dirinya. Ketika mereka dimasukkan datanya
ke Dapodik, atau disertifikasi akan mengalami kesulitan. Selamanya data yang
dimasukkan ke Dapodik tidak akan menjadi valid, dan selamannya pula mereka
tidak dapat mengikuti seleksi sertifikasi guru dalam jabatan. Kecuali mereka
berbalik haluan, mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya.
Dengan demikian, dengan
adanya kebijakan Dapodik dengan sistem online telah banyak membongkar kasus “guru
salah kamar”. Untuk mengatasi ini, Dinas Pendidikan perlu melakukan pemetaan tenaga
guru sesuai dengan disiplin ilmunya, baik PNS maupun non PNS. Sehingga ke depan
tidak ada lagi guru yang “salah kamar”, mengajar sesuai dengan jurusannya.
Kemendiknas mulai tahun 2013 ini melakukan
pendataan dengan sistem online. Sistem pendataan ini dikenal dengan istilah Data
Pokok Pendidikan (Dapodik). Sistem online Dapodik dilakukan melalui Direktorat
Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Direktorat P2TK). Dengan sistem
online ini diharapkan data seluruh sekolah dapat tersimpan secara akurat dan
valid, sehingga tidak terdapat data-data fiktif lagi. Dapodik
menjadi basis data dan sumber informasi, serta sekaligus sangat berpengaruh terhadap
berbagai kepentingan, seperti tunjangan, bantuan sekolah dan PTK.
Pemberlakuan kebijakan
baru tersebut menyebabkan setiap sekolah, terutama operator komputer yang
menangani Dapodik dibuat super sibuk. Sebagian besar guru yang datanya
dimasukkan ke sistem online tersebut, dibuat bingungung karena datanya sampai
saat ini belum valid. Memang sampai dengan sekarang, rata-rata sekolah belum
sepenuhnya memiliki Dapodik yang valid. Banyak faktor yang menyebabkan belum
validnya data guru dan sekolah. Salah satunya adalah terdapat guru yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin
ilmunya.
Dengan adanya Dapodik,
banyak guru yang diketahui mengajar tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya, alias “salah kamar”. Terbongkarnya kasus tersebut, menyebabkan
guru yang telah dinyatakan lulus sertifikasi, terancam tidak bisa lagi dibayar
tunjangan profesinya. Misalnya, ditemukan banyak guru mata pelajaran di SD yang
beralih menjadi guru kelas, dan guru mata pelajaran di SMP/SMA/SMK tidak
mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya. Guru mata pelajaran di SD yang
menyeberang menjadi guru kelas didorong oleh tunjangan profesi. Ketika menjadi
guru kelas, mereka dapat lebih cepat (mudah) untuk mengikuti seleksi sertifikasi
guru dan dinyatakan lulus. Hal ini dapat terjadi, bisa jadi disebabkan oleh
faktor kedekatan oknom guru dengan kepala sekolah, atau karena titipan oknom
pejabat. Praktek KKN ini tentu akan merugikan guru yang bersangkutan setelah
diberlakukan kebijakan sistem Dapodik. Data yang dimasukkan tidak akan pernah
valid, karena menjadi guru kelas bukan “kamar” guru yang bersangkutan.
Dampaknya, tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima, terancam tidak dapat
dibayar lagi. Akibat yang paling fatal adalah ada kemungkinan guru yang
bersakutan diminta mengembalikan tunjangan profesi yang telah diterima.
Sementara bagi guru
mata pelajaran di SMP/SMA/SMK yang tidak mengajar sesuai dengan disiplin
ilmunya, tentu sangat merugikan bagi dirinya. Ketika mereka dimasukkan datanya
ke Dapodik, atau disertifikasi akan mengalami kesulitan. Selamanya data yang
dimasukkan ke Dapodik tidak akan menjadi valid, dan selamannya pula mereka
tidak dapat mengikuti seleksi sertifikasi guru dalam jabatan. Kecuali mereka
berbalik haluan, mengajar sesuai dengan disiplin ilmunya.
Dengan demikian, dengan
adanya kebijakan Dapodik dengan sistem online telah banyak membongkar kasus “guru
salah kamar”. Untuk mengatasi ini, Dinas Pendidikan perlu melakukan pemetaan tenaga
guru sesuai dengan disiplin ilmunya, baik PNS maupun non PNS. Sehingga ke depan
tidak ada lagi guru yang “salah kamar”, mengajar sesuai dengan jurusannya.
Label: Edukasi, Sosial Budaya. Cerita, Puisi
Edukasi
Rabu, 13 Maret 2013
Pengebiran Makna Loyalitas PNS
Makna umum dari
loyalitas adalah kesetiaan atau kepatuhan. Dalam organisasi modern, termasuk organisasi
pemerintahan mengkondisikan loyalitas pada aturan, bukan person. Tetapi dalam
praktiknya loyalitas selalu disimpangkan sebagai kesetiaan pada person. Pemimpin dalam pemerintahan yang ingin berkuasa kembali, sering kali menuntut
bawahannya untuk loyal kepadanya. Ingin mempertahankan kekuasaannya dengan
mengharap dukungan dari anak buahnya. Misalnya saja seorang presiden dan wakil
presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan
wakil wali kota yang ingin terpilih kembali dalam pemilu atau pemilukada untuk
melanjutkan kekuasaannya, menuntut agar PNS atau pegawai yang dipimpinnya untuk
memilih diri dan pasangannya. Sering kali tuntutan itu dilakukan dengan cara
biasa-biasa saja, sekedar harapan atau permohonan dukungan. Tetapi, acap kali juga
disertai dengan cara yang luar biasa, misalnya diikuti dengan intimidasi atau
memberikan “harapan-harapan” tertentu.
Cara yang biasa dilakukan oleh
pemimpin yang sedang berkuasa untuk menggalang dukungan dari kalangan PNS
adalah dengan melibatkannya menjadi tim sukses, dan memerintahkan PNS tertentu
untuk turut mengkampanyekan diri dan pasangannya.
Oknom-oknom PNS yang terlibat, ada yang termotivasi karena “dijanjikan”
sesuatu, ada yang karena ditekan supaya tidak kehilangan jabatan yang sedang
disandangnya, dan ada yang melakukannya dengan sukarela yang didasari oleh
sifat fanatisme yang berlebihan. Mereka ini, secara aktif mencari dukungan di
lapangan (masyarakat), baik terang-terangan atau secara tersembunyi. Mereka manfaatkan
organisasi profesi untuk menggalang dukungan di kalangannya yang seprofesi. Ada
juga yang memanfaatkan momen acara atau pertemuan kedinasan untuk kampanye
(kegiatan kampanye yang dibungkus/numpang dalam kegiatan kedinasan). Yang
terakhir ini yang sering penulis alami, mengingat saat ini di Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) sedang berlangsung tahapan-tahapan (proses) pemilukada
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, serta Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Lombok Timur. Dalam beberapa pertemuan atau rapat dinas yang penulis
ikuti, pejabat-pejabat dari SKPD tertentu selalu menyisipkan kampanye untuk
pasangan calon yang sedang berkuasa (incamben) dalam pidato atau sambutannya,
dengan mengatasnamakan (mengedepankan) loyalitas terhadap pimpinan.
Perlu kembali kita sadari, bahwa PNS
terikat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, terutama
isi yang terdapat pada pasal 4. Pasal ini berisi tentang larangan terhadap PNS
untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dengan demikian,
upaya mobilisasi
dukungan dari kelangan PNS seperti itu, jelas merupakan cara ilegal, tidak
dibenarkan menurut ketentuan yang ada
atau melawan hukum. Bagi pasangan calon yang menempuh cara tersebut,
merupakan tindakan pengecut (tidak kesatria), merasa takut kalah dan tidak
percaya diri. Sedangkan bagi oknom PNS yang tidak netral, berarti yang bersangkutan
tidak bisa menahan “hawa nafsunya” dan tidak bisa mengendalikan rasa takutnya karena
akan kihilangan jabatan atau tidak memperoleh jabatan tertentu. Singkatnya,
mereka tidak bisa bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Langkah di atas jelas merupakan
upaya untuk mengalihkan atau mengebiri makna sejati dari loyalitas PNS. Sesungguhnya
sebagi bagian dari masyarakat, PNS juga memiliki hak pilih sendiri. Oleh karena
itu setiap PNS bebas menentukan pilihannya dalam pemilu atau pemilukada.
Berarti seorang PNS tidak perlu merasa takut untuk kehilangan atau tidak
mendapat jabatan tertentu, tidak perlu takut dengan intimidasi. Sepanjang
berada pada jalur (koridor) kebenaran, dan selalu bersikap profesional dalam
menjalankan (mengemban) tugas dan fungsi, insyaalah jabatan akan didapatkan.
Makna umum dari
loyalitas adalah kesetiaan atau kepatuhan. Dalam organisasi modern, termasuk organisasi
pemerintahan mengkondisikan loyalitas pada aturan, bukan person. Tetapi dalam
praktiknya loyalitas selalu disimpangkan sebagai kesetiaan pada person. Pemimpin dalam pemerintahan yang ingin berkuasa kembali, sering kali menuntut
bawahannya untuk loyal kepadanya. Ingin mempertahankan kekuasaannya dengan
mengharap dukungan dari anak buahnya. Misalnya saja seorang presiden dan wakil
presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan
wakil wali kota yang ingin terpilih kembali dalam pemilu atau pemilukada untuk
melanjutkan kekuasaannya, menuntut agar PNS atau pegawai yang dipimpinnya untuk
memilih diri dan pasangannya. Sering kali tuntutan itu dilakukan dengan cara
biasa-biasa saja, sekedar harapan atau permohonan dukungan. Tetapi, acap kali juga
disertai dengan cara yang luar biasa, misalnya diikuti dengan intimidasi atau
memberikan “harapan-harapan” tertentu.
Cara yang biasa dilakukan oleh
pemimpin yang sedang berkuasa untuk menggalang dukungan dari kalangan PNS
adalah dengan melibatkannya menjadi tim sukses, dan memerintahkan PNS tertentu
untuk turut mengkampanyekan diri dan pasangannya.
Oknom-oknom PNS yang terlibat, ada yang termotivasi karena “dijanjikan”
sesuatu, ada yang karena ditekan supaya tidak kehilangan jabatan yang sedang
disandangnya, dan ada yang melakukannya dengan sukarela yang didasari oleh
sifat fanatisme yang berlebihan. Mereka ini, secara aktif mencari dukungan di
lapangan (masyarakat), baik terang-terangan atau secara tersembunyi. Mereka manfaatkan
organisasi profesi untuk menggalang dukungan di kalangannya yang seprofesi. Ada
juga yang memanfaatkan momen acara atau pertemuan kedinasan untuk kampanye
(kegiatan kampanye yang dibungkus/numpang dalam kegiatan kedinasan). Yang
terakhir ini yang sering penulis alami, mengingat saat ini di Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) sedang berlangsung tahapan-tahapan (proses) pemilukada
untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, serta Bupati dan Wakil Bupati
Kabupaten Lombok Timur. Dalam beberapa pertemuan atau rapat dinas yang penulis
ikuti, pejabat-pejabat dari SKPD tertentu selalu menyisipkan kampanye untuk
pasangan calon yang sedang berkuasa (incamben) dalam pidato atau sambutannya,
dengan mengatasnamakan (mengedepankan) loyalitas terhadap pimpinan.
Perlu kembali kita sadari, bahwa PNS
terikat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, terutama
isi yang terdapat pada pasal 4. Pasal ini berisi tentang larangan terhadap PNS
untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dengan demikian,
upaya mobilisasi
dukungan dari kelangan PNS seperti itu, jelas merupakan cara ilegal, tidak
dibenarkan menurut ketentuan yang ada
atau melawan hukum. Bagi pasangan calon yang menempuh cara tersebut,
merupakan tindakan pengecut (tidak kesatria), merasa takut kalah dan tidak
percaya diri. Sedangkan bagi oknom PNS yang tidak netral, berarti yang bersangkutan
tidak bisa menahan “hawa nafsunya” dan tidak bisa mengendalikan rasa takutnya karena
akan kihilangan jabatan atau tidak memperoleh jabatan tertentu. Singkatnya,
mereka tidak bisa bersikap profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Langkah di atas jelas merupakan
upaya untuk mengalihkan atau mengebiri makna sejati dari loyalitas PNS. Sesungguhnya
sebagi bagian dari masyarakat, PNS juga memiliki hak pilih sendiri. Oleh karena
itu setiap PNS bebas menentukan pilihannya dalam pemilu atau pemilukada.
Berarti seorang PNS tidak perlu merasa takut untuk kehilangan atau tidak
mendapat jabatan tertentu, tidak perlu takut dengan intimidasi. Sepanjang
berada pada jalur (koridor) kebenaran, dan selalu bersikap profesional dalam
menjalankan (mengemban) tugas dan fungsi, insyaalah jabatan akan didapatkan.
Label: Edukasi, Sosial Budaya. Cerita, Puisi
Politik,
Sosial Budaya
Senin, 11 Maret 2013
Petani Tembakau Verginia Lombok, Nasib Mu Kini?
Budi daya tanaman
tembakau verginia Lombok telah berlangsung sejak lama, dan memberikan
kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Sumbangan berharga itu
tidak terlepas dari perkembangan budi daya tembakau yang semakin meluas dari
tahun ke tahun, semakin diminati oleh penduduk, terutama di daerah Kabupaten
Lombok Timur dan Lombok Tengah. Meningkatnya minat masyarakat di kedua daerah
tersebut mengingat penghasilan yang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang
normal, para petani bisa meraup keuntungan yang besar. Hasil menjanjikan itu tidak
terlepas dari kualitas tembakau verginia Lombok yang sangat bagus. Bahkan
kualitas tembakau tersebut menempati urutan ke dua terbaik di dunia, setelah
tembakau di Brazil. Oleh karena itu, banyak pengusaha tembakau (rokok) yang
memburunya. Sehingga sampai saat ini banyak perusahan yang telah
menginvestasikan modalnya atau membuka usaha di Pulau Lombok.
Perusahan-perusahan ini tidak saja menjadi mintra petani dalam budi daya
tanaman tembakau dan membeli hasil panen mereka, tetapi juga membeli hasil panen
tembakau petani swadaya, yang bukan binaan (mitra) dari perusahan-perusahan
yang bersangkutan.
Namun demikian, perkembangan
budi daya tanaman tembakau selalu diiringi dengan adanya persoalan, bahkan ada
kecenderungan semakin komplek. Dari tahun ke tahun permasalahan petani tembakau
tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan yang terjadi bersumber dari pemerintah,
pengusaha (perusahaan), dan masalah langsung yang dihadapi petani di lapangan.
Salah satu masalah yang
setiap tahun selalu dihadapi petani tembakau adalah bahan bakar untunk
omprongan. Problem ini mulai dihadapi oleh petani sejak musim tanam tahun 2010
lalu. Saat itu subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau dicabut oleh
pemerintah. Akibatnya, petani yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah
sejak puluhan tahun lalu menjadi kelimpungan (kelabakan). Kondisi ini semakin
diperparah oleh lambat dan kurang tepatnya antisipasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengarahkan petani untuk menggunakan batubara
sebagai bahan bakar pengganti, dan petani diberikan tungku bahan bakar batubara
dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Tetapi usaha ini sia-sia,
karena kualitas batubara yang didatangkan jelek, dan jenis tungku yang
diberikan kurang cocok. Dengan memakai tunggu dan batubara itu, waktu
pengopenan tembakau menjadi bertambah, menghabiskan waktu lebih dari satu
minggu. Sehingga tembakau yang diopen rusak dan kualitasnya menurun. Akibatnya,
petani rugi.
Untuk menghindari
kerugian, petani tetap memburu minyak tanah yang dijual untuk kebutuhan rumah
tangga, dan sebagian di antaranya mengarahkan pilihan menggunakan kayu. Seiring
dengan pemeberlakuan kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas (LPG)
untuk rumah tangga, subsidi minyak tanah untuk rumah tangga dicabut oleh
pemerintah, petani tidak dapat lagi memperoleh minyak tanah sebagai bahan bakar
omprongan tembakau. Sehingga sebagian besar dari mereka menggunakan kayu, dan
sisanya menggunakan solar yang dicampur dengan premium, yang diperoleh di SPBU. Sebelumnya, ketika minyak tanah untuk rumah
tangga masih beredar di pasaran, petani mencampur solar dengan minyak tanah.
Kreativitas petani tembakau ini memang menimbulkan dampak negatif. Penggunaan
kayu sebagai bahan bakar dalam jumlah besar, memicu terjadinya penebangan hutan
secara liar, dan penggunaan solar dan premium menyebabkan terjadinya kelangkaan
bahan bakar tersebut, khususnya bagi kendaraan bermotor. Tetapi, mestinya
kesalahan tidak semata-mata ditimpakan kepada para petani. Pemerintah juga
harus instrosfeksi diri. Kegagalan pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten memfasilitasi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah yang
tepat guna, menjadi faktor pendorong para petani melakukan kreativitas, mencari
solusi cepat dan tampa banyak berpikir akibat negatif yang ditimbulkannya.
Pemerinrah daerah saat
ini, telah melarang petani untuk menggunakan kayu sebagai bahan bakar omprongan
tembakau, kecuali pohon turi. Jenis pohon ini tersedia dalam jumlah yang tidak
mencukupi kebutuhan untuk seluruh petani yang ada. Pohon turi tidak banyak yang
ditanam, sedikit sekali. Kualitasnya sebagai bahan bakar, tidak sama dengan
jenis kayu keras, seperti pohon asam, dan lainnya. Dengan demikian, hal ini
bukan solusi yang tepat. Solusi lain yang ditawarkan adalah dianjurkannya
kembali penggunaan gas sebagai alternatif pengganti minyak tanah, kayu dan
solar. Namun sayang sekali, para petani tidak begitu tertarik menggunakannya. Dari
beberapa kali uji coba, ternyata penggunaan gas sebagai bahan bakar dapat
merugikan petani. Terjadi pembengkakan biaya operasional yang tinggi. Gas lebih
boros bila dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, kayu atau solar yang
dicampur premium.
Disamping itu, saat ini
berkembang wacana penggunaan alternatif bahan bakar lainnya. Pemerintah daerah
meminta perusahan tembakau yang ada di Pulau Lombok untuk menyiapkan cangkang
sawit dan kemiri sebagai bahan bakar untuk petani binaan atau mitranya.
Rencananya akan didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan. Namun sampai sekarang
belum ada sosialisasi (uji coba) secara luas tentang penggunaan bahan bakar
ini. Sehingga petani belum secara menyeluruh mengetahui kualitas bahan bakar
tersebut. Apabila biaya yang dihabiskan lebih besar dari penggunaan bahan bakar
minyak tanah subsidi, kayu atau soalar, berarti belum dapat memberi solusi yang
terbaik, malah akan menambah beban bagi petani. Petani pun masih ragu, apakah
bahan bakar tersebut dapat disediakan dalam jumlah yang dapat memenuhi
kebutuhan semua petani? Persoalan lain yang akan timbul, apabila pengadannya
diserahkan pada perusahaan dan diperuntukkan untuk petani binaan saja,
bagaimana dengan petani swadaya yang jumlahnya tidak sedikit? Mereka akan
menggunakan bahan bakar apa? Atau jangan-jangan disknariokan agar mereka
membeli jenis bahan bakar itu didistributor tertentu dengan harga yang
melambung tinggi, berbeda dengan harga yang diberikan untuk petani binaan.
Semestinya disamping perusahaan mitra yang menyiapkan bahan bakar, pemerintah
daerah juga harus mencari cara untuk menyiapkan bahan bakar untuk kebutuhan
petani tembakau swadaya. Pemerintah daerah, berkerja sama dengan perusahaan
mitra dan pihak lainnya, jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, sudah
melakukan sosialisasi secara intensif dan efektif tentang penggunaan bahan
bakar alternatif. Sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan para petani.
Selain persoalan bahan
bakar, petani tembakau juga dihadapkan pada persoalan yang lainnya. Keberadaan
undang-undang menyangkut tembakau dan rokok, menjadi persoalan tersendiri bagi
petani tembakau. Kemudiaan, semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan,
merupakan masalah yang selalu dihadapi petani. Memang pemerintah daerah telah
membantu biaya operasional petani melalui pembagian DBHCHT, tetapi jumlahnya
sangat kecil dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah pemasaran dan harga
jual hasil oven tembakau, menjadi momok yang menghantui para petani. Pada tahun
lalu, terdapat beberapa perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuka gudang
untuk membeli tembakau petani. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang
membuka gudang, menerapkan hukum ekonomi (hukum pasar) dengan ketat (saklek).
Mereka bertindak sewenang-wenang dan secara sepihak. Mereka membeli dengan
harga di bawah kewajaran (di bawah standar), dan jumlah yang dibeli disesuaikan
dengan kebutuhan perusahaan, bahkan terjadi pengurangan, serta hanya mau
membeli dari petani binaan masing-masing. Sehingga, hasil open tembakau petani
swadaya tidak semuanya dapat dibeli. Tahun lalu merupakan tahun kelam bagi
petani tembakau. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Walaupun
ada penurunan harga beli, tetapi tidak sedrastis tahun lalu, masih pada
batas-batas kewajaran. Kejadian seperti ini membuktikan lemahnya kontrol
pemerintah daerah terhadap perusahan, dan sekaligus menunjukkan ketidakberanian
perintah daerah bertindak tegas kepada perusahaan.
Berdasarkan uraian di
atas, maka sesungguhnya pemerintah daerah sampai saat ini belum melakukan
langkah-alangkah yang optimal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh
petani tembakau. Mereka selalu mengklaim diri telah melakukan langkah-langkah
secara serius dan sungguh-sungguh. Tetapi kenyataannya, masalah terus terjadi,
bahkan semakin komplek. Langkah-langkah yang diambil, hanya sebagai upaya untuk
menggugurkan kewajiban, tetapi tidak dapat memberi solusi terbaik.
Oleh karena itu, tampaknya
kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah daerah yang sekarang untuk
dapat membantu petani keluar dari persoalan yang membelitnya. Bahkan peristiwa
seperti di atas (kejadian tahun lalu), bisa berulang pada musim tanam (musim
panen) tahun ini. Perusahan-perushaan yang beroperasi sudah memberikan isyarat
(peringatan), bahwa mereka akan mengurangi jumlah pembelian hasil open tembakau
petani, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnnya. Belum adanya solusi yang
terbaik untuk bahan bakar, serta lemah dan tidak tegasnya pemerintah daerah
terhadap perusahaan akan memperparah keadaan. Lalu muncul pertanyaan mendasar,
apakah nasib petani tembakau akan sama dengan nasib petani budi daya tanaman
bawang putih di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur?. Setelah sebelumnya berjaya,
kemudian para petani bawang putih tidak berdaya mengahadapi gempuran berbagai
persoalan yang membelitnya, dan tidak ada alternatif yang diberikan pemerintah
daerah untuk melakukan budi daya tanaman lain dan terbaik yang penghasilannya
sama dengan bawang putih. Jawaban dari pertanyaan di atas, sangat tergantung dari
etikad baik dari pemerintah (pemerintah daerah) untuk berupaya mensejahterakan
rakyatnya. Sesungguhnya pemerintah yang
baik adalah yang bisa berbuat adil dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Jerowaru Lombok Timur,
11 Maret 2013.
Budi daya tanaman
tembakau verginia Lombok telah berlangsung sejak lama, dan memberikan
kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Sumbangan berharga itu
tidak terlepas dari perkembangan budi daya tembakau yang semakin meluas dari
tahun ke tahun, semakin diminati oleh penduduk, terutama di daerah Kabupaten
Lombok Timur dan Lombok Tengah. Meningkatnya minat masyarakat di kedua daerah
tersebut mengingat penghasilan yang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang
normal, para petani bisa meraup keuntungan yang besar. Hasil menjanjikan itu tidak
terlepas dari kualitas tembakau verginia Lombok yang sangat bagus. Bahkan
kualitas tembakau tersebut menempati urutan ke dua terbaik di dunia, setelah
tembakau di Brazil. Oleh karena itu, banyak pengusaha tembakau (rokok) yang
memburunya. Sehingga sampai saat ini banyak perusahan yang telah
menginvestasikan modalnya atau membuka usaha di Pulau Lombok.
Perusahan-perusahan ini tidak saja menjadi mintra petani dalam budi daya
tanaman tembakau dan membeli hasil panen mereka, tetapi juga membeli hasil panen
tembakau petani swadaya, yang bukan binaan (mitra) dari perusahan-perusahan
yang bersangkutan.
Namun demikian, perkembangan
budi daya tanaman tembakau selalu diiringi dengan adanya persoalan, bahkan ada
kecenderungan semakin komplek. Dari tahun ke tahun permasalahan petani tembakau
tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan yang terjadi bersumber dari pemerintah,
pengusaha (perusahaan), dan masalah langsung yang dihadapi petani di lapangan.
Salah satu masalah yang
setiap tahun selalu dihadapi petani tembakau adalah bahan bakar untunk
omprongan. Problem ini mulai dihadapi oleh petani sejak musim tanam tahun 2010
lalu. Saat itu subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau dicabut oleh
pemerintah. Akibatnya, petani yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah
sejak puluhan tahun lalu menjadi kelimpungan (kelabakan). Kondisi ini semakin
diperparah oleh lambat dan kurang tepatnya antisipasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengarahkan petani untuk menggunakan batubara
sebagai bahan bakar pengganti, dan petani diberikan tungku bahan bakar batubara
dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Tetapi usaha ini sia-sia,
karena kualitas batubara yang didatangkan jelek, dan jenis tungku yang
diberikan kurang cocok. Dengan memakai tunggu dan batubara itu, waktu
pengopenan tembakau menjadi bertambah, menghabiskan waktu lebih dari satu
minggu. Sehingga tembakau yang diopen rusak dan kualitasnya menurun. Akibatnya,
petani rugi.
Untuk menghindari
kerugian, petani tetap memburu minyak tanah yang dijual untuk kebutuhan rumah
tangga, dan sebagian di antaranya mengarahkan pilihan menggunakan kayu. Seiring
dengan pemeberlakuan kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas (LPG)
untuk rumah tangga, subsidi minyak tanah untuk rumah tangga dicabut oleh
pemerintah, petani tidak dapat lagi memperoleh minyak tanah sebagai bahan bakar
omprongan tembakau. Sehingga sebagian besar dari mereka menggunakan kayu, dan
sisanya menggunakan solar yang dicampur dengan premium, yang diperoleh di SPBU. Sebelumnya, ketika minyak tanah untuk rumah
tangga masih beredar di pasaran, petani mencampur solar dengan minyak tanah.
Kreativitas petani tembakau ini memang menimbulkan dampak negatif. Penggunaan
kayu sebagai bahan bakar dalam jumlah besar, memicu terjadinya penebangan hutan
secara liar, dan penggunaan solar dan premium menyebabkan terjadinya kelangkaan
bahan bakar tersebut, khususnya bagi kendaraan bermotor. Tetapi, mestinya
kesalahan tidak semata-mata ditimpakan kepada para petani. Pemerintah juga
harus instrosfeksi diri. Kegagalan pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten memfasilitasi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah yang
tepat guna, menjadi faktor pendorong para petani melakukan kreativitas, mencari
solusi cepat dan tampa banyak berpikir akibat negatif yang ditimbulkannya.
Pemerinrah daerah saat
ini, telah melarang petani untuk menggunakan kayu sebagai bahan bakar omprongan
tembakau, kecuali pohon turi. Jenis pohon ini tersedia dalam jumlah yang tidak
mencukupi kebutuhan untuk seluruh petani yang ada. Pohon turi tidak banyak yang
ditanam, sedikit sekali. Kualitasnya sebagai bahan bakar, tidak sama dengan
jenis kayu keras, seperti pohon asam, dan lainnya. Dengan demikian, hal ini
bukan solusi yang tepat. Solusi lain yang ditawarkan adalah dianjurkannya
kembali penggunaan gas sebagai alternatif pengganti minyak tanah, kayu dan
solar. Namun sayang sekali, para petani tidak begitu tertarik menggunakannya. Dari
beberapa kali uji coba, ternyata penggunaan gas sebagai bahan bakar dapat
merugikan petani. Terjadi pembengkakan biaya operasional yang tinggi. Gas lebih
boros bila dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, kayu atau solar yang
dicampur premium.
Disamping itu, saat ini
berkembang wacana penggunaan alternatif bahan bakar lainnya. Pemerintah daerah
meminta perusahan tembakau yang ada di Pulau Lombok untuk menyiapkan cangkang
sawit dan kemiri sebagai bahan bakar untuk petani binaan atau mitranya.
Rencananya akan didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan. Namun sampai sekarang
belum ada sosialisasi (uji coba) secara luas tentang penggunaan bahan bakar
ini. Sehingga petani belum secara menyeluruh mengetahui kualitas bahan bakar
tersebut. Apabila biaya yang dihabiskan lebih besar dari penggunaan bahan bakar
minyak tanah subsidi, kayu atau soalar, berarti belum dapat memberi solusi yang
terbaik, malah akan menambah beban bagi petani. Petani pun masih ragu, apakah
bahan bakar tersebut dapat disediakan dalam jumlah yang dapat memenuhi
kebutuhan semua petani? Persoalan lain yang akan timbul, apabila pengadannya
diserahkan pada perusahaan dan diperuntukkan untuk petani binaan saja,
bagaimana dengan petani swadaya yang jumlahnya tidak sedikit? Mereka akan
menggunakan bahan bakar apa? Atau jangan-jangan disknariokan agar mereka
membeli jenis bahan bakar itu didistributor tertentu dengan harga yang
melambung tinggi, berbeda dengan harga yang diberikan untuk petani binaan.
Semestinya disamping perusahaan mitra yang menyiapkan bahan bakar, pemerintah
daerah juga harus mencari cara untuk menyiapkan bahan bakar untuk kebutuhan
petani tembakau swadaya. Pemerintah daerah, berkerja sama dengan perusahaan
mitra dan pihak lainnya, jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, sudah
melakukan sosialisasi secara intensif dan efektif tentang penggunaan bahan
bakar alternatif. Sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan para petani.
Selain persoalan bahan
bakar, petani tembakau juga dihadapkan pada persoalan yang lainnya. Keberadaan
undang-undang menyangkut tembakau dan rokok, menjadi persoalan tersendiri bagi
petani tembakau. Kemudiaan, semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan,
merupakan masalah yang selalu dihadapi petani. Memang pemerintah daerah telah
membantu biaya operasional petani melalui pembagian DBHCHT, tetapi jumlahnya
sangat kecil dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah pemasaran dan harga
jual hasil oven tembakau, menjadi momok yang menghantui para petani. Pada tahun
lalu, terdapat beberapa perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuka gudang
untuk membeli tembakau petani. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang
membuka gudang, menerapkan hukum ekonomi (hukum pasar) dengan ketat (saklek).
Mereka bertindak sewenang-wenang dan secara sepihak. Mereka membeli dengan
harga di bawah kewajaran (di bawah standar), dan jumlah yang dibeli disesuaikan
dengan kebutuhan perusahaan, bahkan terjadi pengurangan, serta hanya mau
membeli dari petani binaan masing-masing. Sehingga, hasil open tembakau petani
swadaya tidak semuanya dapat dibeli. Tahun lalu merupakan tahun kelam bagi
petani tembakau. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Walaupun
ada penurunan harga beli, tetapi tidak sedrastis tahun lalu, masih pada
batas-batas kewajaran. Kejadian seperti ini membuktikan lemahnya kontrol
pemerintah daerah terhadap perusahan, dan sekaligus menunjukkan ketidakberanian
perintah daerah bertindak tegas kepada perusahaan.
Berdasarkan uraian di
atas, maka sesungguhnya pemerintah daerah sampai saat ini belum melakukan
langkah-alangkah yang optimal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh
petani tembakau. Mereka selalu mengklaim diri telah melakukan langkah-langkah
secara serius dan sungguh-sungguh. Tetapi kenyataannya, masalah terus terjadi,
bahkan semakin komplek. Langkah-langkah yang diambil, hanya sebagai upaya untuk
menggugurkan kewajiban, tetapi tidak dapat memberi solusi terbaik.
Oleh karena itu, tampaknya
kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah daerah yang sekarang untuk
dapat membantu petani keluar dari persoalan yang membelitnya. Bahkan peristiwa
seperti di atas (kejadian tahun lalu), bisa berulang pada musim tanam (musim
panen) tahun ini. Perusahan-perushaan yang beroperasi sudah memberikan isyarat
(peringatan), bahwa mereka akan mengurangi jumlah pembelian hasil open tembakau
petani, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnnya. Belum adanya solusi yang
terbaik untuk bahan bakar, serta lemah dan tidak tegasnya pemerintah daerah
terhadap perusahaan akan memperparah keadaan. Lalu muncul pertanyaan mendasar,
apakah nasib petani tembakau akan sama dengan nasib petani budi daya tanaman
bawang putih di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur?. Setelah sebelumnya berjaya,
kemudian para petani bawang putih tidak berdaya mengahadapi gempuran berbagai
persoalan yang membelitnya, dan tidak ada alternatif yang diberikan pemerintah
daerah untuk melakukan budi daya tanaman lain dan terbaik yang penghasilannya
sama dengan bawang putih. Jawaban dari pertanyaan di atas, sangat tergantung dari
etikad baik dari pemerintah (pemerintah daerah) untuk berupaya mensejahterakan
rakyatnya. Sesungguhnya pemerintah yang
baik adalah yang bisa berbuat adil dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.
Jerowaru Lombok Timur,
11 Maret 2013.
Label: Edukasi, Sosial Budaya. Cerita, Puisi
Ekonomi,
Sosial Budaya
Mobil Tua vs Mobil Baru
Sebentar lagi
Pemilukada di NTB akan berlangsung, suasana semakin menghangat. Dalam bulan Mei
2013, di provinsi ini akan berlangsung (dilaksanakan) tiga pesta demokrasi
secara serentak, dan dilakukan secara langsung. Ada pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur NTB, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur,
dan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima. Ketiga pemilihan ini untuk
yang ke dua kali dilakukan secara langsung (Pemilukadasung). Dilihat dari usia
untuk bakal calon (balon) gubernur, bupati dan wali kota yang akan beradu, ada
yang sudah berusia lanjut / “uzur” (60 tahun ke atas), dan ada juga yang masih
tergolong muda (di bawah 60 tahun). Sedangkan pasangannya, bakal calon wakil
gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota rata-rata masih tergolong muda. Di
antara mereka, terdapat wajah-wajah lama, dan ada pula pendatang baru. Sehingga,
kalau diibaratkan, dalam Pemilukada nanti akan beradu antara mobil tua melawan
mobil baru atau mobil setengah baru. Usia lanjut, yang ibaratnya seperti mobil
tua serimg kali kita jumpai dalam Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden, serta untuk memilih anggota legislatif.
Secara teoritis, usia
60 tahun ke atas sudah tidak lagi produktif. Apalagi untuk berfikir kreatif,
inovatif, dan berani melakukan perubahan mendasar yang drastis. Sedangkan usia
di bawah 60 tahun sebaliknya. Pemimpin tua ibarat mobil tua, dan pemimpin muda
ibarat mobil baru atau setengah baru. Apabila keduanya beradu dalam sebuah balapan
di jalan raya atau sirkuit, jelas akan kalah mobil tua dari mobil baru atau sentengah
baru. Disamping itu, mobil tua membutuhkan biaya operasional atau perawatan
yang jauh lebih tinggi, bila dibandingkan dengan mobil baru atau setengah baru.
Mobil tua sering berkunjung ke bengkel atau ke luar masuk bengkel untuk
mengganti onderdil atau turun mesin. Kalau onderdil yang dibutuhkan tersedia,
maka baru bisa melanjutkan perjalanannya setelah diperbaiki dalam waktu
beberapa hari. Tetapi kalau belum ada, mobil tua tidak bisa melanjutkan
perjalanan, dan asyik menunggu onderdil pesanannya yang akan tiba seminggu lagi,
bahkan lebih. Sementara mobil baru atau sentengah baru, dalam perjalanannya terus
melaju, melang-lang buana, menyeberangi lautan, bahkan mencapai tujuan dengan
cepat. Kalau pun masuk bengkel, paling untuk servis ringan yang membutuhkan
waktu tidak lama, setengah hari atau satu hari.
Oleh karena itu, kita
harus cerdas memilih mobil baru atau setengah baru yang siap tancap gas,
berlari jauh dan gesit menjawab dan menerjang hambatan-hambatan di jalanan.
Jangan sampai masyarakat (rakyat) dalam Pemilu atau Pemilukada memilih mobil
tua yang mogok terus di tengah jalan, lantaran memang sudah tua. Seperti kata Iwan
Fals dalam sebuah lagunya, “pak tua, sudahlah”. Orang tua mesti tahu diri,
berilah kesempatan kaum muda.
Jerowaru Lombok Timur,
10 Maret 2013.
Sebentar lagi
Pemilukada di NTB akan berlangsung, suasana semakin menghangat. Dalam bulan Mei
2013, di provinsi ini akan berlangsung (dilaksanakan) tiga pesta demokrasi
secara serentak, dan dilakukan secara langsung. Ada pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur NTB, pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lombok Timur,
dan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bima. Ketiga pemilihan ini untuk
yang ke dua kali dilakukan secara langsung (Pemilukadasung). Dilihat dari usia
untuk bakal calon (balon) gubernur, bupati dan wali kota yang akan beradu, ada
yang sudah berusia lanjut / “uzur” (60 tahun ke atas), dan ada juga yang masih
tergolong muda (di bawah 60 tahun). Sedangkan pasangannya, bakal calon wakil
gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota rata-rata masih tergolong muda. Di
antara mereka, terdapat wajah-wajah lama, dan ada pula pendatang baru. Sehingga,
kalau diibaratkan, dalam Pemilukada nanti akan beradu antara mobil tua melawan
mobil baru atau mobil setengah baru. Usia lanjut, yang ibaratnya seperti mobil
tua serimg kali kita jumpai dalam Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden, serta untuk memilih anggota legislatif.
Secara teoritis, usia
60 tahun ke atas sudah tidak lagi produktif. Apalagi untuk berfikir kreatif,
inovatif, dan berani melakukan perubahan mendasar yang drastis. Sedangkan usia
di bawah 60 tahun sebaliknya. Pemimpin tua ibarat mobil tua, dan pemimpin muda
ibarat mobil baru atau setengah baru. Apabila keduanya beradu dalam sebuah balapan
di jalan raya atau sirkuit, jelas akan kalah mobil tua dari mobil baru atau sentengah
baru. Disamping itu, mobil tua membutuhkan biaya operasional atau perawatan
yang jauh lebih tinggi, bila dibandingkan dengan mobil baru atau setengah baru.
Mobil tua sering berkunjung ke bengkel atau ke luar masuk bengkel untuk
mengganti onderdil atau turun mesin. Kalau onderdil yang dibutuhkan tersedia,
maka baru bisa melanjutkan perjalanannya setelah diperbaiki dalam waktu
beberapa hari. Tetapi kalau belum ada, mobil tua tidak bisa melanjutkan
perjalanan, dan asyik menunggu onderdil pesanannya yang akan tiba seminggu lagi,
bahkan lebih. Sementara mobil baru atau sentengah baru, dalam perjalanannya terus
melaju, melang-lang buana, menyeberangi lautan, bahkan mencapai tujuan dengan
cepat. Kalau pun masuk bengkel, paling untuk servis ringan yang membutuhkan
waktu tidak lama, setengah hari atau satu hari.
Oleh karena itu, kita
harus cerdas memilih mobil baru atau setengah baru yang siap tancap gas,
berlari jauh dan gesit menjawab dan menerjang hambatan-hambatan di jalanan.
Jangan sampai masyarakat (rakyat) dalam Pemilu atau Pemilukada memilih mobil
tua yang mogok terus di tengah jalan, lantaran memang sudah tua. Seperti kata Iwan
Fals dalam sebuah lagunya, “pak tua, sudahlah”. Orang tua mesti tahu diri,
berilah kesempatan kaum muda.
Jerowaru Lombok Timur,
10 Maret 2013.
Label: Edukasi, Sosial Budaya. Cerita, Puisi
Politik,
Sosial Budaya
Minggu, 10 Maret 2013
Pura Lingsar, Simbol Kerukunan Umat Beragama
Sebelum saya paparkan
isi tulisan yang berkaitan dengan judul di atas, terlebih dahulu saya ucapkan :
“Selamat
Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu di Mana Saja Berada, Semoga Berjalan Lancar, dan
Khusuk serta Tujuan Hari Raya Tercapai”
**********.
Pura Lingsar berlokasi
di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, sekitar 9 km ke arah timur dari
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pura (pure) ini adalah salah satu pura
tertua, terbesar dan terunik di Pulau Lombok. Pure Lingsar merupakan tempat
suci yang dikeramatkan oleh dua suku adat dari agama yang berbeda, yaitu Suku
Bali yang beragama Hindu, dan masyarakat Suku Sasak yang beragama Islam
(penganut Wetu Telu).
Bentuk bangunan pura
tersebut biasa saja, seperti umumnya pura lainnya. Namun pada bangunan pura itu
terdapat dua bangunan utama, yaitu Pura Gaduh dan Kemaliq. Pura Gaduh digunakan
oleh Suku Bali yang beragama Hindu untuk melaksanakan persembahyangan atau
pemujaan kepada Tuhannya. Menurut kepercayaan mereka, batu-batu yang terdapat
di dalam pura tersebut merupakan bebatuan suci yang bisa menjadi perantara
untuk memohon (berdoa) kepada Sang Yang Widhi Wase (Tuhan Yang Maha Esa).
Sedangkan Kemaliq, yang berada di samping Pura Gaduh, adalah bangunan suci umat
Islam Wetu Telu. Kemaliq ini digunakan sebagai tempat untuk berziarah dan untuk
melaksanakan upacara (ritual) adat. Kemaliq berasal dari bahasa Sasak yang
berarti suci dan keramat. Kemaliq merupakan perkembangan dari kata Al-Maliq
dalam Kitab Al-Qur’an, yang berarti kembali. Kemaliq adalah kata simbol untuk
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tempat kembali (kemaliq) seluruh
mahluk. Sedangkan untuk nama Lingsar sendiri diambil dari Kitab Sansekerta,
yaitu “Ling” berarti suara, dan “Sar” berarti air. Tempat ini dibangun di
wilayah yang banyak terdapat sumber airnya, dan dikelilingi oleh hamparan sawah
yang sangat subur.
Kedua bangunan
tersebut, Pura Gaduh dan Kemaliq, memiliki arsitektur khas Bali. Bangunan
tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Gede Ngurah yang
berasal dari Karang Asem Bali. Dengan demikian, sejak masa pemerintahan raja
ini kerukunan antarumat beragama. Jejaknya masih dapat dijumpai sampai
sekarang. Dengan kata lain, kerukunan antarumat beragama tetap dijaga
(dipelihara) sampai saat ini. Pada Sasih (bulan) ke-7 dalam kalender
tradisional Sasak, sekitar bulan Desember dalam kalender Masehi, di Pura
Lingsar digelar upacara adat Pujawali. Upacara Pujawali ini dilaksanakan secara
bersama-sama oleh masing-masing umat beragama (suku) pada tempat yang
berdampingan. Umat Hindu sendiri dipimpin oleh Pemangku dan melaksanakan
persembahyangan di dalam pura. Sedangkan upacara umat Islam Wetu Telu dipimpin
oleh Amangku dan melaksanakan ritual di Kemaliq. Bagi umat muslim Wetu Telu,
upacara Pujawali ini bertujuan untuk memperingati hari Wali Songo (sembilan
wali) yang dahulunya memimpin umat Islam di Indonesia.
Selain kedua bangunan
itu, di dalam komplek Pura Lingsar juga terdapat beberapa kolam renang, area
taman yang indah, dan juga beberapa tempat
untuk beristirahat bagi
pengunjung. Wilayah Lingsar memiliki panorama alam yang indah, sejuk, dan air
yang mengalir di sepanjang sungai yang ada di sana begitu jernih. Sehingga
tempat ini, disamping memiliki nilai historis, juga menjadi salah satu tujuan (obyek)
wisata di Pulau Lombok.
Sebelum saya paparkan
isi tulisan yang berkaitan dengan judul di atas, terlebih dahulu saya ucapkan :
“Selamat
Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu di Mana Saja Berada, Semoga Berjalan Lancar, dan
Khusuk serta Tujuan Hari Raya Tercapai”
**********.
Pura Lingsar berlokasi
di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat, sekitar 9 km ke arah timur dari
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pura (pure) ini adalah salah satu pura
tertua, terbesar dan terunik di Pulau Lombok. Pure Lingsar merupakan tempat
suci yang dikeramatkan oleh dua suku adat dari agama yang berbeda, yaitu Suku
Bali yang beragama Hindu, dan masyarakat Suku Sasak yang beragama Islam
(penganut Wetu Telu).
Bentuk bangunan pura
tersebut biasa saja, seperti umumnya pura lainnya. Namun pada bangunan pura itu
terdapat dua bangunan utama, yaitu Pura Gaduh dan Kemaliq. Pura Gaduh digunakan
oleh Suku Bali yang beragama Hindu untuk melaksanakan persembahyangan atau
pemujaan kepada Tuhannya. Menurut kepercayaan mereka, batu-batu yang terdapat
di dalam pura tersebut merupakan bebatuan suci yang bisa menjadi perantara
untuk memohon (berdoa) kepada Sang Yang Widhi Wase (Tuhan Yang Maha Esa).
Sedangkan Kemaliq, yang berada di samping Pura Gaduh, adalah bangunan suci umat
Islam Wetu Telu. Kemaliq ini digunakan sebagai tempat untuk berziarah dan untuk
melaksanakan upacara (ritual) adat. Kemaliq berasal dari bahasa Sasak yang
berarti suci dan keramat. Kemaliq merupakan perkembangan dari kata Al-Maliq
dalam Kitab Al-Qur’an, yang berarti kembali. Kemaliq adalah kata simbol untuk
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan tempat kembali (kemaliq) seluruh
mahluk. Sedangkan untuk nama Lingsar sendiri diambil dari Kitab Sansekerta,
yaitu “Ling” berarti suara, dan “Sar” berarti air. Tempat ini dibangun di
wilayah yang banyak terdapat sumber airnya, dan dikelilingi oleh hamparan sawah
yang sangat subur.
Kedua bangunan
tersebut, Pura Gaduh dan Kemaliq, memiliki arsitektur khas Bali. Bangunan
tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Agung Gede Ngurah yang
berasal dari Karang Asem Bali. Dengan demikian, sejak masa pemerintahan raja
ini kerukunan antarumat beragama. Jejaknya masih dapat dijumpai sampai
sekarang. Dengan kata lain, kerukunan antarumat beragama tetap dijaga
(dipelihara) sampai saat ini. Pada Sasih (bulan) ke-7 dalam kalender
tradisional Sasak, sekitar bulan Desember dalam kalender Masehi, di Pura
Lingsar digelar upacara adat Pujawali. Upacara Pujawali ini dilaksanakan secara
bersama-sama oleh masing-masing umat beragama (suku) pada tempat yang
berdampingan. Umat Hindu sendiri dipimpin oleh Pemangku dan melaksanakan
persembahyangan di dalam pura. Sedangkan upacara umat Islam Wetu Telu dipimpin
oleh Amangku dan melaksanakan ritual di Kemaliq. Bagi umat muslim Wetu Telu,
upacara Pujawali ini bertujuan untuk memperingati hari Wali Songo (sembilan
wali) yang dahulunya memimpin umat Islam di Indonesia.
Selain kedua bangunan
itu, di dalam komplek Pura Lingsar juga terdapat beberapa kolam renang, area
taman yang indah, dan juga beberapa tempat
untuk beristirahat bagi
pengunjung. Wilayah Lingsar memiliki panorama alam yang indah, sejuk, dan air
yang mengalir di sepanjang sungai yang ada di sana begitu jernih. Sehingga
tempat ini, disamping memiliki nilai historis, juga menjadi salah satu tujuan (obyek)
wisata di Pulau Lombok.
Label: Edukasi, Sosial Budaya. Cerita, Puisi
Sejarah,
Sosial Budaya
Langganan:
Postingan (Atom)