Kamis, 14 Februari 2013

Merindukan Tumbuhnya Mental Baja dari “Pecundang dan Penumpang Politik”

Klik Untuk melihat

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah melahirkan berbagai bentuk perubahan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam bidang politik. Salah satu produk politik yang lahir dari “rahim” reformasi adalah diselenggarakannya pemilu dan pilkada secara langsung. Perhelatan pesta demokrasi tersebut tentu bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang terbaik dari yang baik, yang merupakan pilihan rakyat. Bangsa Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, telah cukup berpengalaman menyelenggarakan sistem politik ini. Namun demikian, tidak semua pihak yang terlibat di dalamnya mampu bersikap dewasa. Tentu saja kekurangan atau ketidakmampuan tersebut akan memberikan dampak negatif bagi rakyat, baik berskala kecil maupun besar.

Para calon pemimpin dari jauh sebelum pemilu atau pilkada dilaksanakan, telah menampakkan aktivitas politiknya. Mereka semakin “tancap gas” menjelang hari pelaksanaan. Kampanye secara terang-terangan dilancarkan secara intensif. Tetapi, kampanye terselubung pun mereka lakukan. Bentuk kampanye yang terakhir ini sulit dihapus dan tidak dapat dihindari. Bagi siapapun yang merasa berkepentingan terhadap sesuatu tentu akan melakukan tindakan-tindakan, termasuk yang mungkin “haram secara politik” untuk meraih kepentingannya.

Pada masa pemilu atau pilkada berbagai kepentingan akan muncul dan hampir bisa dipastikan, kepentingan tersebut saling bertolak belakang. Selain kepentingan para kandidat, juga terdapat kepentingan dari pihak-pihak yang ada di sekitar (lingkaran) kandidat yang bersangkutan. Para “penumpang politik” ini, terdiri dari dua macam. Pertama, kelompok oportunis, yang muncul sebelum dan ketika kampanye berlangsung. Mereka hanya menginginkan keuntungan pribadi. Biasanya mereka adalah orang-orang yang dipakai sesaat untuk kepentingan kampanye dan pengerahan massa. Kedua, kelompok atau pihak yang menginginkan keuntungan dalam jangka panjang. Pada umumnya kelompok ini terdiri dari kolega dan pihak-pihak yang dijanjikan sesuatu bila sang calon menang. Oleh karena itu mereka dari sejak dini melakukan langkah-langkah politik (bergaining politik). Sangat dimungkinkan kelompok ini melakukan berbagai cara untuk memenangkan calonnya, termasuk cara-cara yang “kotor”. Sudah dapat dipastikan pula mereka sangat kecewa apabila kandidatnya kalah, karena sudah mencurahkan berbagai potensi yang dimilikinya, termasuk pengorbanan uang.
Kekecewaan kandidat dan para pendukungnya karena terkalahkan, sering sekali dilampiaskan dalam aksi-aksi negatif, seperti provokasi massa dan lainnya. Menyikapi kemungkinan ini maka diperlukan kewaspadaan semua pihak. Dengan demikian, pendidikan politik massa perlu ditingkatkan, sehingga tidak mudah terprovokasi. Pada konteks ini menuntut pula kesadaran dari kandidat yang maju ke “medan tempur” dan kelompoknya. Setiap calon harus menyadarkan diri dan kelompoknya, bahwa berani maju “berperang” berarti harus berani pula menerima kekalahan. Penyiapan mental kalah harus dipersiapkan sejak awal. Sehingga begitu menjadi “pecundang” tidak menyalahkan pihak lain, apalagi disertai dengan tindakan anarkis. Ikrar siap kalah siap menang tidak sekedar ungkapan semata, harus diwujudkan secara nyata.

Penting untuk kita semua kembali sadari bahwa dalam negara demokrasi, serta dalam situasi dan kondisi politik yang normal rakyat merupakan penentu sejati (sesungguhnya) dan pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu biarlah “seleksi alam” menemukan dan menentukan pemimpin terbaik dari sejumlah calon pemimpin baik lainnya. Rasanya tidak mungkin “alam” memilih yang keliru secara alamiah. Dengan demikian kehidupan berdemokrasi tidak perlu “dikotori” oleh perbuatan-perbuatan (tindakan) yang tidak sepantasnya.

Kesadaran diri dan kelompok seperti di atas, sangat diharapkan dapat muncul pada pilkada langsung di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang akan dilaksanakan pada bulan Mei 2013, baik untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur maupun dalam pemilihan Bupati/Wali Kota dan Wakil Buapati/Wakil Wali Kota di Kabupaten Lombok Timur dan Kota Bima. Harapan berkembangnya sifat seperti itu juga sangat dirindukan dalam pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2014 nanti. Bagaimanapun juga tidak ada kepentingan yang paling utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selain kepentingan umum atau rakyat banyak, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Jerowaru, 14 Pebruari 2014.
Klik Untuk melihat

Reformasi yang terjadi di Indonesia telah melahirkan berbagai bentuk perubahan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam bidang politik. Salah satu produk politik yang lahir dari “rahim” reformasi adalah diselenggarakannya pemilu dan pilkada secara langsung. Perhelatan pesta demokrasi tersebut tentu bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang terbaik dari yang baik, yang merupakan pilihan rakyat. Bangsa Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, telah cukup berpengalaman menyelenggarakan sistem politik ini. Namun demikian, tidak semua pihak yang terlibat di dalamnya mampu bersikap dewasa. Tentu saja kekurangan atau ketidakmampuan tersebut akan memberikan dampak negatif bagi rakyat, baik berskala kecil maupun besar.

Para calon pemimpin dari jauh sebelum pemilu atau pilkada dilaksanakan, telah menampakkan aktivitas politiknya. Mereka semakin “tancap gas” menjelang hari pelaksanaan. Kampanye secara terang-terangan dilancarkan secara intensif. Tetapi, kampanye terselubung pun mereka lakukan. Bentuk kampanye yang terakhir ini sulit dihapus dan tidak dapat dihindari. Bagi siapapun yang merasa berkepentingan terhadap sesuatu tentu akan melakukan tindakan-tindakan, termasuk yang mungkin “haram secara politik” untuk meraih kepentingannya.

Pada masa pemilu atau pilkada berbagai kepentingan akan muncul dan hampir bisa dipastikan, kepentingan tersebut saling bertolak belakang. Selain kepentingan para kandidat, juga terdapat kepentingan dari pihak-pihak yang ada di sekitar (lingkaran) kandidat yang bersangkutan. Para “penumpang politik” ini, terdiri dari dua macam. Pertama, kelompok oportunis, yang muncul sebelum dan ketika kampanye berlangsung. Mereka hanya menginginkan keuntungan pribadi. Biasanya mereka adalah orang-orang yang dipakai sesaat untuk kepentingan kampanye dan pengerahan massa. Kedua, kelompok atau pihak yang menginginkan keuntungan dalam jangka panjang. Pada umumnya kelompok ini terdiri dari kolega dan pihak-pihak yang dijanjikan sesuatu bila sang calon menang. Oleh karena itu mereka dari sejak dini melakukan langkah-langkah politik (bergaining politik). Sangat dimungkinkan kelompok ini melakukan berbagai cara untuk memenangkan calonnya, termasuk cara-cara yang “kotor”. Sudah dapat dipastikan pula mereka sangat kecewa apabila kandidatnya kalah, karena sudah mencurahkan berbagai potensi yang dimilikinya, termasuk pengorbanan uang.
Kekecewaan kandidat dan para pendukungnya karena terkalahkan, sering sekali dilampiaskan dalam aksi-aksi negatif, seperti provokasi massa dan lainnya. Menyikapi kemungkinan ini maka diperlukan kewaspadaan semua pihak. Dengan demikian, pendidikan politik massa perlu ditingkatkan, sehingga tidak mudah terprovokasi. Pada konteks ini menuntut pula kesadaran dari kandidat yang maju ke “medan tempur” dan kelompoknya. Setiap calon harus menyadarkan diri dan kelompoknya, bahwa berani maju “berperang” berarti harus berani pula menerima kekalahan. Penyiapan mental kalah harus dipersiapkan sejak awal. Sehingga begitu menjadi “pecundang” tidak menyalahkan pihak lain, apalagi disertai dengan tindakan anarkis. Ikrar siap kalah siap menang tidak sekedar ungkapan semata, harus diwujudkan secara nyata.

Penting untuk kita semua kembali sadari bahwa dalam negara demokrasi, serta dalam situasi dan kondisi politik yang normal rakyat merupakan penentu sejati (sesungguhnya) dan pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu biarlah “seleksi alam” menemukan dan menentukan pemimpin terbaik dari sejumlah calon pemimpin baik lainnya. Rasanya tidak mungkin “alam” memilih yang keliru secara alamiah. Dengan demikian kehidupan berdemokrasi tidak perlu “dikotori” oleh perbuatan-perbuatan (tindakan) yang tidak sepantasnya.

Kesadaran diri dan kelompok seperti di atas, sangat diharapkan dapat muncul pada pilkada langsung di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang akan dilaksanakan pada bulan Mei 2013, baik untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur maupun dalam pemilihan Bupati/Wali Kota dan Wakil Buapati/Wakil Wali Kota di Kabupaten Lombok Timur dan Kota Bima. Harapan berkembangnya sifat seperti itu juga sangat dirindukan dalam pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2014 nanti. Bagaimanapun juga tidak ada kepentingan yang paling utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selain kepentingan umum atau rakyat banyak, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Jerowaru, 14 Pebruari 2014.

2 komentar:

  1. Mantabz pak, sy suka tulisannya,.
    sekrang sdng terjadi perhelatan politik yg sangat hebat, para calon kontestan berebut simpatisan masyarakat, sehingga tdk tanggung2 sang calon akan 'sepertinya merakyat', alias penuh dg pencitraan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, begitulah gambaran yang bisa kita baca dan muncul kepermukaan. Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya.

      Hapus

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.