Selasa, 19 Februari 2013

Pemilukada dan Visi Pendidikan Para Kandidat

Klik Untuk melihat



Pemilukada  dan Visi Pendidikan Para Kandidat



  
            Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kabupaten Lombok Timur dan Kota Bima, tinggal sebentar lagi akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah secara langsung. Pemilukada secara serentak akan dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2013. Beberapa tahapan pemilukada telah dilalaui, termasuk pendaftaran bakal calon (balon). Kini sudah terdapat beberapa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur (Provinsi NTB), bupati dan wakil bupati (Kabupaten Lombok Timur), wali kota dan wakil wali kota (Kota Bima). Mereka sudah siap “bertarung”, dan tinggal menunggu hari “H” pelaksanaan pencoblosan. Tentunya otoritas suara secara penuh merupakan milik rakyat. Oleh karenanya pasangan siapa pun yang terpilih adalah suara rakyat.
            Lazimnya sebuah pencalonan, para kandidat pun harus memiliki visi yang jelas dan berangkat dari kondisi nyata yang dihadapi NTB, Lombok Timur dan Kota Bima. Visi adalah jembatan yang akan memperkenalkan para kandidat dengan pemilihnya dalam rangka meraih suara secara signifikan untuk sebuah kemenangan pada pesta demokrasi. Visi merupakan pemberi arah kemana sebuah organisasi (pemerintahan) akan dibawa. Dengan adanya arah yang jelas maka pemimpin akan fokus ke arah yang telah ditetapkan tersebut, sehingga tidak “melenceng” dalam mengambil kebijakan organisasi.
            Meskipun bukan hal yang mudah untuk menjalankan sebuah provinsi dan kabupaten/kota, dengan rencana jangka panjang yang ditetapkan dalam sebuah visi, namun hal ini merupakan konsekuensi bagi seorang pemimpin (pasangan pemimpin) daerah jika ingin mendapatkan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang untuk daerah yang dipimpinnya. Dengan kata lain, memang tidak mudah untuk menjadikan visi menjadi aksi, tetapi seorang gubernur atau bupati/wali kota bersama dengan wakilnya memiliki tugas dan tanggung jawab besar untuk dapat membawa daerah yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik, lebih baik dari sebelum pemerintahannya, atau lebih baik dari ketika ia memerintah sebelumnya (bagi yang dapat melanjutkan pemerintahannya kembali). Bukan sebaliknya seorang pemimpin atau pasangan pemimpin daerah malah menjadi “beban” bagi daerah yang dipimpinnya.
            Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kota Bima yang akan segera melakukan pemilukada, dilihat secara nasional mengalami keterlambatan di dalam pembangunan. Berbagai keterpurukan sepertinya terus menerpa daerah-daerah ini. Pada hal jika dilihat berbagai potensi sumber daya alam, NTB dan kabupaten/kota tersebut termasuk daerah yang subur dan kaya. Oleh karena itu, paerbaikan kondisi NTB, dan kabupaten/kota tersebut sangat tergantung pada bagaimana visi para pasangan calon pemimpin ke depan. Ini sangat dipentingkan, mengingat akumulasi keterpurukan mengakibatkan banyaknya ketertinggalan. Ketertinggalan tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pasangan calon. Singkatnya, untuk mengantarkan NTB dan kabupaten/kota ke arah yang lebih baik, diperlukan pemimpin yang memiliki visi ke depan. Dengan memiliki visi yang jelas dan terarah akan menghasilkan komitmen dari para pemimpin untuk secara sungguh-sungguh melakukan pembangunan dan menjalankan kebijakannya secara tepat guna atau tepat sasaran. Melalui visi yang jelas dan terarah itu pula akan kita ketahui bagaimana gambaran masa depan NTB dan kabupaten/kota. Salah satu visi yang harus di pilih dan dijadikan sebagai visi utama oleh para kandidat adalah visi pendidikan, disamping visi kesehatan dan masalah kemiskinan. Ketiga sektor inilah yang menyebabkan NTB dan kabupaten/kota mengalami keterpurukan. Sehingga peringkat IPM NTB secara nasional berada pada nomor buncit, nomor dua dari bawah. Perbaikan kualitas pendidikan memiliki dampak multidimensional, dapat mendukung peningkatan kualitas di bidang (sektor) lainnya. Peningkatan sumber daya manusia memiliki korelasi terhadap percepatan dan kualitas pembangunan di NTB dan kabupaten/kota.
             Sampai saat ini, para pasangan calon pemimpin yang akan “berlaga” di pemilukada, belum secara jelas dan tegas mempersiapkan visi pendidikan sebagai visi utama. Kalaupun ada yang telah merumuskannya, namun tidak dijadikan sebagai prioritas utama dan lebih condong sebagai program pendukung (penyerta), serta belum tersosialisasikan dengan baik. Sehingga gambaran tentang peningkatan kulitas pendidikan belum jelas, masih samar-samar.  Isu-isu yang diangkat oleh para kandidat bersama dengan tim suksesnya, terkait dengan masalah pendidikan masih bersifat normatif semata, dan ada kecenderungan untuk dijadikan alat melemahkan pasangan kandidat lainnya (pasangan calon yang sedang berkuasa sekarang) daripada merumuskan visi yang jelas dan terarah. Pada hal pendidikan di NTB dan kabupaten/kota masih sangat tertinggal, dan didalam pelaksanaan berbagai kebijakan pendidikan belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat secara umum. Fasilitas pendidikan masih belum merata dan belum sepenuhnya dalam kondisi baik. Penduduk belum sepenuhnya dapat menikmati layanan pendidikan dengan baik.
            Memang harus diakui bahwa pembangunan di bidang pendidikan saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Tetapi masih banyak terdapat kelemahan di dalamnya. Pemda NTB dan kabupaten/kota telah mengalokasikan dan mengeluarkan dana secara besar-besaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk mengurangi angka ptus sekolah, telah dikucurkan dana bantuan siswa miskin (BSM). Dalam pemperluas akses pendidikan, telah diupayakan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. Bahkan untuk keperluan pemberantasan buta aksara, pemerintah bersedia membayar para penyandang buta aksara agar mau belajar membaca. Harapannya, angka buta aksara yang menjadi momok dan penyebab utama keterpurukan IPM NTB dan kabupaten/kota dapat dikurangi, dan dengan cepat mampu meningkatkan IPM NTB. Tidak ada yang salah dengan semua program jangka pendek itu. Tetapi berfokus pada program jangka pendek untuk keperluan “formalitas” perbaikan IPM itu dapat melalaikan kita dari program substansial jangka menengah dan jangka panjang.
            Kendala yang terasa masih mengganjal untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini tergambar dari beberapa aspek (segi). Pelaksanaan penuntasan buta aksara kurang tepat sasaran, kebanyakan adalah para orang tua yang tidak produktif lagi. Penyelenggaraan pendidikan, seperti SMP Terbuka, SD-SMP Satu Atap (Satap), dan sebagian sekolah swasta, terkesan asal-asalan. Sekolah-sekolah inilah yang merupakan penyumbang utama banyaknya angka siswa putus sekolah. Pemerataan dan kualitas guru juga turut serta memberikan sumbangan dalam terpuruknya pendidikan di daerah ini. Keterpurukan itu semakin di dorong oleh pemberian (pengadaan) fasilitas dan dana secara tidak adil dan merata untuk semua sekolah dan pusat-pusat (kelompok) belajar masyarakat. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah lebih terfokus dan terjebak pada orientasi program jangka pendek.
            Program-program kebijakan jangka pendek yang telah dilaksanakan, terkesan tidak memiliki prioritas dan hanya formalitas belaka untuk mendongkrak IPM NTB.  Peningkatan kualitas pendidikan tidak hanya terbatas pada penyediaan dana dalam jumlah besar. Yang lebih penting dari itu adalah pendekatan yang digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Miasalnya, dalam penuntasan buta aksara dengan pendekatan pemberian uang (membayar) penduduk untuk mau belajar agaknya keliru dan memanjakan penduduk. Sehingga hasilnya kurang jelas, dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Angka-angka yang terekam sebagai hasil dari kebijakan tersebut, tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pengelolaan dan orang-orang yang dilibatkan dalam upaya penuntasan buta aksara tersebut, tidak sepenuhnya kredibel. Sehingga, antara laporan dengan kenyataan di lapangan, bertolak belakang.
            Semestinya dilakukan pendekatan yang lain, misalnya pendekatan pembelajaran kelompok di sekolah-sekolah formal yang ada di sekitar lingkungan masyarakat, yang penyelenggaraannya pada sore hari (pagi hari juga bisa bila memungkinkan) dengan melibatkan guru-guru yang ada di situ. Pendekatan lain yang bisa dipilih adalah pendekatan produktif seperti memfasilitasi pembentukan kelompok usaha mikro yang juga digunakan untuk mengajarkan membaca dan menulis. Dua macam pendekatan itu akan memiliki dampak ganda. Sekolah-sekolah formal dapat lebih memperluas peran dan fungsinya sebagai pusat belajar dan budaya, disamping dapat terbantu meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut. Pembentukan kelompok usaha mikro, disamping dapat memberantas buta aksara, juga dapat memperbaiki kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Untuk keberhasilan penerapan dua pendekatan itu, harus didukung oleh pendekatan sosial budaya masyarakat setempat. Lebih mengenal kehidupan sosial budaya mereka akan mempermudah (memperlancar) pelaksanaan program kebijakan. Di samping upaya peningkatan kualitas pendidikan masyarakat melalui pemberantasan buta aksara,  juga program kebijakan harus difokuskan atau diarahkan pada upaya menyukseskan program wajib belajar 12 tahun.
            Gambaran di atas mengisyaratkan dan menuntut pelaksanaan program kebijakan peningkatan kualitas pendidikan tidak dilakukan secara instan. Tidak bisa peningkatan kualitas pendidikan dicapai dalam waktu singkat (misalnya satu sampai 3 tahun), tentu baru bisa diwujudkan secara maksimal (optimal) dalam waktu yang panjang. Sebab pendidikan formal memang hanya bisa ditempuh dalam waktu yang panjang, setidaknya 10-15 tahun. Oleh karena itu, orientasi kebijakan peningkatan kualitas pendidikan melalui program jangka pendek, hendaknya dievaluasi dan diganti.  Program-program jangka pendek memang penting, tetapi terlalu berfokus pada kebijakan itu bisa menjebak kita pada formalitas yang jauh dari substansi. Mengabaikan program jangka menengah dan panjang dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan adalah kontraproduktif dengan tujuan kita untuk mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. Janganlah kepentingan masyarakat luas dikorbankan demi membangun citra positif pemerintahannya. Sesungguhnya kita baru pantas menyandang sebuah penghargaan mana kala telah berhasil mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. Di situlah ketinggian sebuah penghargaan dapat terukur nilai dan maknanya.

Jerowaru, 19 Pebruari 2013.
Klik Untuk melihat



Pemilukada  dan Visi Pendidikan Para Kandidat



  
            Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kabupaten Lombok Timur dan Kota Bima, tinggal sebentar lagi akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih kepala daerah secara langsung. Pemilukada secara serentak akan dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 2013. Beberapa tahapan pemilukada telah dilalaui, termasuk pendaftaran bakal calon (balon). Kini sudah terdapat beberapa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur (Provinsi NTB), bupati dan wakil bupati (Kabupaten Lombok Timur), wali kota dan wakil wali kota (Kota Bima). Mereka sudah siap “bertarung”, dan tinggal menunggu hari “H” pelaksanaan pencoblosan. Tentunya otoritas suara secara penuh merupakan milik rakyat. Oleh karenanya pasangan siapa pun yang terpilih adalah suara rakyat.
            Lazimnya sebuah pencalonan, para kandidat pun harus memiliki visi yang jelas dan berangkat dari kondisi nyata yang dihadapi NTB, Lombok Timur dan Kota Bima. Visi adalah jembatan yang akan memperkenalkan para kandidat dengan pemilihnya dalam rangka meraih suara secara signifikan untuk sebuah kemenangan pada pesta demokrasi. Visi merupakan pemberi arah kemana sebuah organisasi (pemerintahan) akan dibawa. Dengan adanya arah yang jelas maka pemimpin akan fokus ke arah yang telah ditetapkan tersebut, sehingga tidak “melenceng” dalam mengambil kebijakan organisasi.
            Meskipun bukan hal yang mudah untuk menjalankan sebuah provinsi dan kabupaten/kota, dengan rencana jangka panjang yang ditetapkan dalam sebuah visi, namun hal ini merupakan konsekuensi bagi seorang pemimpin (pasangan pemimpin) daerah jika ingin mendapatkan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang untuk daerah yang dipimpinnya. Dengan kata lain, memang tidak mudah untuk menjadikan visi menjadi aksi, tetapi seorang gubernur atau bupati/wali kota bersama dengan wakilnya memiliki tugas dan tanggung jawab besar untuk dapat membawa daerah yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik, lebih baik dari sebelum pemerintahannya, atau lebih baik dari ketika ia memerintah sebelumnya (bagi yang dapat melanjutkan pemerintahannya kembali). Bukan sebaliknya seorang pemimpin atau pasangan pemimpin daerah malah menjadi “beban” bagi daerah yang dipimpinnya.
            Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kota Bima yang akan segera melakukan pemilukada, dilihat secara nasional mengalami keterlambatan di dalam pembangunan. Berbagai keterpurukan sepertinya terus menerpa daerah-daerah ini. Pada hal jika dilihat berbagai potensi sumber daya alam, NTB dan kabupaten/kota tersebut termasuk daerah yang subur dan kaya. Oleh karena itu, paerbaikan kondisi NTB, dan kabupaten/kota tersebut sangat tergantung pada bagaimana visi para pasangan calon pemimpin ke depan. Ini sangat dipentingkan, mengingat akumulasi keterpurukan mengakibatkan banyaknya ketertinggalan. Ketertinggalan tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi setiap pasangan calon. Singkatnya, untuk mengantarkan NTB dan kabupaten/kota ke arah yang lebih baik, diperlukan pemimpin yang memiliki visi ke depan. Dengan memiliki visi yang jelas dan terarah akan menghasilkan komitmen dari para pemimpin untuk secara sungguh-sungguh melakukan pembangunan dan menjalankan kebijakannya secara tepat guna atau tepat sasaran. Melalui visi yang jelas dan terarah itu pula akan kita ketahui bagaimana gambaran masa depan NTB dan kabupaten/kota. Salah satu visi yang harus di pilih dan dijadikan sebagai visi utama oleh para kandidat adalah visi pendidikan, disamping visi kesehatan dan masalah kemiskinan. Ketiga sektor inilah yang menyebabkan NTB dan kabupaten/kota mengalami keterpurukan. Sehingga peringkat IPM NTB secara nasional berada pada nomor buncit, nomor dua dari bawah. Perbaikan kualitas pendidikan memiliki dampak multidimensional, dapat mendukung peningkatan kualitas di bidang (sektor) lainnya. Peningkatan sumber daya manusia memiliki korelasi terhadap percepatan dan kualitas pembangunan di NTB dan kabupaten/kota.
             Sampai saat ini, para pasangan calon pemimpin yang akan “berlaga” di pemilukada, belum secara jelas dan tegas mempersiapkan visi pendidikan sebagai visi utama. Kalaupun ada yang telah merumuskannya, namun tidak dijadikan sebagai prioritas utama dan lebih condong sebagai program pendukung (penyerta), serta belum tersosialisasikan dengan baik. Sehingga gambaran tentang peningkatan kulitas pendidikan belum jelas, masih samar-samar.  Isu-isu yang diangkat oleh para kandidat bersama dengan tim suksesnya, terkait dengan masalah pendidikan masih bersifat normatif semata, dan ada kecenderungan untuk dijadikan alat melemahkan pasangan kandidat lainnya (pasangan calon yang sedang berkuasa sekarang) daripada merumuskan visi yang jelas dan terarah. Pada hal pendidikan di NTB dan kabupaten/kota masih sangat tertinggal, dan didalam pelaksanaan berbagai kebijakan pendidikan belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat secara umum. Fasilitas pendidikan masih belum merata dan belum sepenuhnya dalam kondisi baik. Penduduk belum sepenuhnya dapat menikmati layanan pendidikan dengan baik.
            Memang harus diakui bahwa pembangunan di bidang pendidikan saat ini sudah menunjukkan kemajuan. Tetapi masih banyak terdapat kelemahan di dalamnya. Pemda NTB dan kabupaten/kota telah mengalokasikan dan mengeluarkan dana secara besar-besaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk mengurangi angka ptus sekolah, telah dikucurkan dana bantuan siswa miskin (BSM). Dalam pemperluas akses pendidikan, telah diupayakan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. Bahkan untuk keperluan pemberantasan buta aksara, pemerintah bersedia membayar para penyandang buta aksara agar mau belajar membaca. Harapannya, angka buta aksara yang menjadi momok dan penyebab utama keterpurukan IPM NTB dan kabupaten/kota dapat dikurangi, dan dengan cepat mampu meningkatkan IPM NTB. Tidak ada yang salah dengan semua program jangka pendek itu. Tetapi berfokus pada program jangka pendek untuk keperluan “formalitas” perbaikan IPM itu dapat melalaikan kita dari program substansial jangka menengah dan jangka panjang.
            Kendala yang terasa masih mengganjal untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini tergambar dari beberapa aspek (segi). Pelaksanaan penuntasan buta aksara kurang tepat sasaran, kebanyakan adalah para orang tua yang tidak produktif lagi. Penyelenggaraan pendidikan, seperti SMP Terbuka, SD-SMP Satu Atap (Satap), dan sebagian sekolah swasta, terkesan asal-asalan. Sekolah-sekolah inilah yang merupakan penyumbang utama banyaknya angka siswa putus sekolah. Pemerataan dan kualitas guru juga turut serta memberikan sumbangan dalam terpuruknya pendidikan di daerah ini. Keterpurukan itu semakin di dorong oleh pemberian (pengadaan) fasilitas dan dana secara tidak adil dan merata untuk semua sekolah dan pusat-pusat (kelompok) belajar masyarakat. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, pemerintah lebih terfokus dan terjebak pada orientasi program jangka pendek.
            Program-program kebijakan jangka pendek yang telah dilaksanakan, terkesan tidak memiliki prioritas dan hanya formalitas belaka untuk mendongkrak IPM NTB.  Peningkatan kualitas pendidikan tidak hanya terbatas pada penyediaan dana dalam jumlah besar. Yang lebih penting dari itu adalah pendekatan yang digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Miasalnya, dalam penuntasan buta aksara dengan pendekatan pemberian uang (membayar) penduduk untuk mau belajar agaknya keliru dan memanjakan penduduk. Sehingga hasilnya kurang jelas, dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Angka-angka yang terekam sebagai hasil dari kebijakan tersebut, tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pengelolaan dan orang-orang yang dilibatkan dalam upaya penuntasan buta aksara tersebut, tidak sepenuhnya kredibel. Sehingga, antara laporan dengan kenyataan di lapangan, bertolak belakang.
            Semestinya dilakukan pendekatan yang lain, misalnya pendekatan pembelajaran kelompok di sekolah-sekolah formal yang ada di sekitar lingkungan masyarakat, yang penyelenggaraannya pada sore hari (pagi hari juga bisa bila memungkinkan) dengan melibatkan guru-guru yang ada di situ. Pendekatan lain yang bisa dipilih adalah pendekatan produktif seperti memfasilitasi pembentukan kelompok usaha mikro yang juga digunakan untuk mengajarkan membaca dan menulis. Dua macam pendekatan itu akan memiliki dampak ganda. Sekolah-sekolah formal dapat lebih memperluas peran dan fungsinya sebagai pusat belajar dan budaya, disamping dapat terbantu meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut. Pembentukan kelompok usaha mikro, disamping dapat memberantas buta aksara, juga dapat memperbaiki kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Untuk keberhasilan penerapan dua pendekatan itu, harus didukung oleh pendekatan sosial budaya masyarakat setempat. Lebih mengenal kehidupan sosial budaya mereka akan mempermudah (memperlancar) pelaksanaan program kebijakan. Di samping upaya peningkatan kualitas pendidikan masyarakat melalui pemberantasan buta aksara,  juga program kebijakan harus difokuskan atau diarahkan pada upaya menyukseskan program wajib belajar 12 tahun.
            Gambaran di atas mengisyaratkan dan menuntut pelaksanaan program kebijakan peningkatan kualitas pendidikan tidak dilakukan secara instan. Tidak bisa peningkatan kualitas pendidikan dicapai dalam waktu singkat (misalnya satu sampai 3 tahun), tentu baru bisa diwujudkan secara maksimal (optimal) dalam waktu yang panjang. Sebab pendidikan formal memang hanya bisa ditempuh dalam waktu yang panjang, setidaknya 10-15 tahun. Oleh karena itu, orientasi kebijakan peningkatan kualitas pendidikan melalui program jangka pendek, hendaknya dievaluasi dan diganti.  Program-program jangka pendek memang penting, tetapi terlalu berfokus pada kebijakan itu bisa menjebak kita pada formalitas yang jauh dari substansi. Mengabaikan program jangka menengah dan panjang dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan adalah kontraproduktif dengan tujuan kita untuk mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. Janganlah kepentingan masyarakat luas dikorbankan demi membangun citra positif pemerintahannya. Sesungguhnya kita baru pantas menyandang sebuah penghargaan mana kala telah berhasil mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. Di situlah ketinggian sebuah penghargaan dapat terukur nilai dan maknanya.

Jerowaru, 19 Pebruari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.