Sabtu, 02 Maret 2013

Guru Pegabdi, dan Pendidik Tanpa Ilmu Pendidikan

Dalam sebuah tulisan karya Prof. Supardjo Hadikusumo (1997) yang berjudul “Pendidikan Merupakan Terapi Budaya”, saya mendapatkan kalimat yang menyentuh perasaan dan kesadaran diri. Kutipan tulisan yang dimaksud mengatakan demikian “profesi guru akarnya ialah pengabdian diri. Guru jangan dihayati sebagai lapangan kerja biasa untuk mencari nafkah saja, tetapi merupakan pengabdian. Menjadi guru harus didasarkan pada nurani terpanggil. Jadi, tidak semua orang wajar menjadi guru atau berwewenang menjadi guru kalau dia tidak merasa terpanggil”. Kalimat atau pemikiran senada juga saya temukan dalam sebuah tulisan seorang pakar, Abdul Karim A. Achmad (2005), beliau mengatakan bahwa ”motif utama menjadi tenaga pendidik bukan imbalan gaji (kebendaaan), tetapi adalah panggilan (calling) untuk mengabdi kepada Tuhan, masyarakat dan kemanusiaan”. Di lain pihak, saya juga meresa tersentak (terkejut) dengan istilah yang dikemukakan oleh seorang ahli pendidikan, Winarno Surachmad (2005), beliau mengungkapkan tentang istilah “pentip” (pendidik tanpa ilmu pendidikan).

Pernyataan ini menarik untuk direnungkan, terutama oleh kita semua para guru sebagai refleksi atas apa yang telah kita lakukan selama ini. Benarkah pilihan menjadi guru karena merasa terpanggil untuk mengabdikan diri atau hanya sebagai lapangan kerja biasa, atau malah sebagai kerja sampingan saja ?. Jika didorong oleh faktor pengabdian atau karena panggilan nurani, besar kemungkinan guru mengembangkan profesinya secara lebih optimal karena kesadaran akan tumbuh untuk mengembangkan pekerjaannya itu. Guru atau kelompok guru inilah yang disebut dengan guru pegabdi. Sebaliknya, jika pekerjaan guru dinilai sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah biasa atau nafkah tambahan (pekerjaan sampingan), tentu tidak mudah mengembangkan pekerjaannya, karena pekerjaan itu tidak dilandasi oleh komitmen yang kuat untuk menjadi profesional. Guru atau kelompok guru semacam inilah yang termasuk dalam kategori istilah yang dikemukakan oleh Winarno Surachmad, yaitu disebut sebagai ”pentip” (pendidik tanpa ilmu pendidikan). Menurut, Winarno Surachmad, guru jenis ini merupakan “pendidik yang ditemukan sedapatnya, dengan pengetahuan sekadarnya, kemudian dipekerjakan sebisanya, yang mengajar sekenanya, dengan pengetahuan seadanya”.

Rendahnya angka kelulusan guru dalam penilaian sertifikasi guru dalam jabatan atau rendahnya hasil uji kompetensi guru (UKG), bisa menjadi cermin (fakta) atas apa yang dikemukakan oleh Winarno Surachmad di atas. Dengan kata lain, terlepas dari kekurangan (kelemahan) yang ada dalam penilaian sertifikasi atau UKG, hasil tersebut bisa dijadikan salah satu indikator bahwa tidak sedikit guru yang masih belum memiliki komitmen yang cukup untuk mengembangkan diri menjadi yang profesional. Dari sini pula dapat dinilai apakah memilih pekerjaan guru karena panggilan nurani ( colling) atau faktor lain.

Kalau demikian adanya, muncul pertanyaan, setidaknya adalah apa yang menjadi harapan kita untuk dapat meningkatkan profesionalisme guru di masa yang akan datang ? St. Kartono ( 2002), salah seorang guru dan praktisi pendidikan, memberikan jawaban (solusi) berikut ”seorang guru yang menunjukkan tanggungjawab profesional mesti secara aktif terlibat kegiatan pengembangan profesi dan menujukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus, mengusahakan untuk melibatkan diri kedalam proses, refleksi secara kritis terhadap praktek-praktek kualitas pembelajaran dan pengajaran”.

Mencermati fakta dan harapan tentang profesi guru sebagaimana dijelaskan di atas, maka marilah kita para guru merefleksi diri secara jujur seberapa jauh sudah mengembangkan pekerjaannya menuju profesionalisme. Kita sendirilah yang paling bisa menjawab pertanyaan, yaitu termasuk ke dalam golongan atau kelompok guru manakah kita, apa kelompok guru pengabdi atau guru “pentip” ?. Para mahasiswa yang telah menjatuhkan pilihan pada jurusan keguruan, hendaknya juga sejak awal dapat mengukuhkan tekad mengembangkan komitmen menjadi guru profesional. Sehingga ketika sudah bekerja sebagai guru, dapat memenuhi harapan (tuntutan) menjadi guru pegabdi, bukan sebaliknya menjadi pendidik tanpa ilmu pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim H. Ahmad (2005). Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan Dalam Mengembangkan SDM yang Berwawasan Teknologi Pendidikan. Makalah. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.

Soepardjo Hadikusumo (1997); Pendidikan Sebagai Terapi Budaya. Bandung : IKIP.

St. Kartono (2002). Menebus Pendidikan yang Tergadai, Catatan Reflektif Seorang Guru. Yogyakarta : Kanisius

Winarno Surakhmad (2005). Mendidik Memang Tidak Memerlukan Ilmu Pendidikan. Makalah . Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.


Jerowaru Lombok Timur, 2 Maret 2013.
Dalam sebuah tulisan karya Prof. Supardjo Hadikusumo (1997) yang berjudul “Pendidikan Merupakan Terapi Budaya”, saya mendapatkan kalimat yang menyentuh perasaan dan kesadaran diri. Kutipan tulisan yang dimaksud mengatakan demikian “profesi guru akarnya ialah pengabdian diri. Guru jangan dihayati sebagai lapangan kerja biasa untuk mencari nafkah saja, tetapi merupakan pengabdian. Menjadi guru harus didasarkan pada nurani terpanggil. Jadi, tidak semua orang wajar menjadi guru atau berwewenang menjadi guru kalau dia tidak merasa terpanggil”. Kalimat atau pemikiran senada juga saya temukan dalam sebuah tulisan seorang pakar, Abdul Karim A. Achmad (2005), beliau mengatakan bahwa ”motif utama menjadi tenaga pendidik bukan imbalan gaji (kebendaaan), tetapi adalah panggilan (calling) untuk mengabdi kepada Tuhan, masyarakat dan kemanusiaan”. Di lain pihak, saya juga meresa tersentak (terkejut) dengan istilah yang dikemukakan oleh seorang ahli pendidikan, Winarno Surachmad (2005), beliau mengungkapkan tentang istilah “pentip” (pendidik tanpa ilmu pendidikan).

Pernyataan ini menarik untuk direnungkan, terutama oleh kita semua para guru sebagai refleksi atas apa yang telah kita lakukan selama ini. Benarkah pilihan menjadi guru karena merasa terpanggil untuk mengabdikan diri atau hanya sebagai lapangan kerja biasa, atau malah sebagai kerja sampingan saja ?. Jika didorong oleh faktor pengabdian atau karena panggilan nurani, besar kemungkinan guru mengembangkan profesinya secara lebih optimal karena kesadaran akan tumbuh untuk mengembangkan pekerjaannya itu. Guru atau kelompok guru inilah yang disebut dengan guru pegabdi. Sebaliknya, jika pekerjaan guru dinilai sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah biasa atau nafkah tambahan (pekerjaan sampingan), tentu tidak mudah mengembangkan pekerjaannya, karena pekerjaan itu tidak dilandasi oleh komitmen yang kuat untuk menjadi profesional. Guru atau kelompok guru semacam inilah yang termasuk dalam kategori istilah yang dikemukakan oleh Winarno Surachmad, yaitu disebut sebagai ”pentip” (pendidik tanpa ilmu pendidikan). Menurut, Winarno Surachmad, guru jenis ini merupakan “pendidik yang ditemukan sedapatnya, dengan pengetahuan sekadarnya, kemudian dipekerjakan sebisanya, yang mengajar sekenanya, dengan pengetahuan seadanya”.

Rendahnya angka kelulusan guru dalam penilaian sertifikasi guru dalam jabatan atau rendahnya hasil uji kompetensi guru (UKG), bisa menjadi cermin (fakta) atas apa yang dikemukakan oleh Winarno Surachmad di atas. Dengan kata lain, terlepas dari kekurangan (kelemahan) yang ada dalam penilaian sertifikasi atau UKG, hasil tersebut bisa dijadikan salah satu indikator bahwa tidak sedikit guru yang masih belum memiliki komitmen yang cukup untuk mengembangkan diri menjadi yang profesional. Dari sini pula dapat dinilai apakah memilih pekerjaan guru karena panggilan nurani ( colling) atau faktor lain.

Kalau demikian adanya, muncul pertanyaan, setidaknya adalah apa yang menjadi harapan kita untuk dapat meningkatkan profesionalisme guru di masa yang akan datang ? St. Kartono ( 2002), salah seorang guru dan praktisi pendidikan, memberikan jawaban (solusi) berikut ”seorang guru yang menunjukkan tanggungjawab profesional mesti secara aktif terlibat kegiatan pengembangan profesi dan menujukkan sebuah komitmen untuk belajar terus menerus, mengusahakan untuk melibatkan diri kedalam proses, refleksi secara kritis terhadap praktek-praktek kualitas pembelajaran dan pengajaran”.

Mencermati fakta dan harapan tentang profesi guru sebagaimana dijelaskan di atas, maka marilah kita para guru merefleksi diri secara jujur seberapa jauh sudah mengembangkan pekerjaannya menuju profesionalisme. Kita sendirilah yang paling bisa menjawab pertanyaan, yaitu termasuk ke dalam golongan atau kelompok guru manakah kita, apa kelompok guru pengabdi atau guru “pentip” ?. Para mahasiswa yang telah menjatuhkan pilihan pada jurusan keguruan, hendaknya juga sejak awal dapat mengukuhkan tekad mengembangkan komitmen menjadi guru profesional. Sehingga ketika sudah bekerja sebagai guru, dapat memenuhi harapan (tuntutan) menjadi guru pegabdi, bukan sebaliknya menjadi pendidik tanpa ilmu pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim H. Ahmad (2005). Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan Dalam Mengembangkan SDM yang Berwawasan Teknologi Pendidikan. Makalah. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.

Soepardjo Hadikusumo (1997); Pendidikan Sebagai Terapi Budaya. Bandung : IKIP.

St. Kartono (2002). Menebus Pendidikan yang Tergadai, Catatan Reflektif Seorang Guru. Yogyakarta : Kanisius

Winarno Surakhmad (2005). Mendidik Memang Tidak Memerlukan Ilmu Pendidikan. Makalah . Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.


Jerowaru Lombok Timur, 2 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.