Jumat, 01 Maret 2013

Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis pada Siswa

Dalam era globalisasi dewasa ini, tantangan peningkatan mutu dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat ditawar lagi. Pesatnya perkembangan iptek dan tekanan globalisasi yang menghapuskan tapal batas antarnegara, mempersyaratkan setiap bangsa untuk mengerahkan pikiran dan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya untuk bisa tetap bertahan dan dapat memenangkan persaingan dalam perebutan pemanfaatan kesempatan dalam berbagai sisi kehidupan. Ini berarti perlu adanya peningkatan sikap kompetitif secara sistematik dan berkelanjutan terhadap suber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, pendidikan dewasa ini harus diarahkan pada peningkatan daya saing bangsa agar mampu berkompetisi dalam persaingan global. Hal ini bisa tercapai jika pendidikan di sekolah diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan pemahaman konsep-konsep ilmiah, tetapi juga pada peningkatan kemampuan dan keterampilan beripikir siswa, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kristis. Artinya, guru perlu mengajarkan siswanya untuk belajar berpikir.

Kehidupan dalam era globalisasi dipenuhi oleh kompetisi-kompetisi yang sangat ketat. Keunggulan dalam berkompetisi terletak pada kemampuan dalam mencari dan menggunakan informasi, kemampuan analitis-kritis, keakuratan dalam pengambilan keputusan, dan tindakan yang proaktif dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Oleh karena itu, maka kemampuan berpikir formal siswa yang mencakup kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan berpikir reflektif sebagai kemampuan berpikir dasar, perlu dijadikan sebagai substansi yang harus digarap secara serius dalam dunia pendidikan. Kemampuan berpikir dasar ini harus terus dikembangkan menuju kemampuan dan keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan topik yang penting dan vital dalam era pendidikan modern. Tujuan khusus pembelajaran berpikir kritis dalam pendidikan sains maupun disiplin yang lain adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa dan sekaligus menyiapkan mereka agar sukses dalam menjalani kehidupannya. Dengan dimilikinya kemampuan berpikir kritis yang tinggi oleh siswa SMP dan SMA maka mereka akan dapat mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum atau yang akan dicapai dalam proses pembelajaran, serta mereka akan mampu merancang dan mengarungi kehidupannya pada masa datang yang penuh dengan tantangan, persaingan, dan ketidakpastian.

Singkarnya, oleh karena berpikir kritis merupakan topik yang penting dan vital dalam pendidikan modern, maka semua pendidik semestinya tertarik untuk mengajarkan berpikir kritis kepada para siswanya. Para pakar dan instruktur pendidikan diharapkan terlibat secara intensif dalam merencanakan strategi pembelajaran keterampilan berpikir kritis. Tujuan khusus pembelajaran berpikir kritis dalam pengajaran sains atau dalam bidang studi lainnya adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa dan sekaligus menyiapkan para siswa mengarungi kehidupannya sehari-hari.

Lebih lanjut, berpikir kritis dimaksudkan sebagai berpikir yang benar dalam pencarian pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang dunia realita. Seseorang yang berpikir secara kritis mampu mengajukan pertanyaan yang cocok, mengumpulkan informasi yang relevan, bertindak secara efisien dan kreatif berdasarkan informasi, dapat mengemukakan argumen yang logis berdasarkan informasi, dan dapat mengambil simpulan yang dapat dipercaya. Berpikir kritis merupakan aktivitas mental dalam mengevaluasi suatu argumen atau proposisi dan membuat keputusan yang dapat menuntun diri seseorang dalam mengembangkan kepercayaan dan melakukan tindakan. Ada hubungan yang sangat erat antara keterampilan berpikir kritis dan metode ilmiah. Karena itu, keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang berorientasi pada metode ilmiah.
Berpikir kritis tidak dapat diajarkan melalui metode ceramah, karena berpikir kritis merupakan proses aktif. Keterampilan intelektual dari berpikir kritis mencakup berpikir analisis, berpikir sintesis, berpikir reflektif, dan sebagainya harus dipelajari melalui aktualisasi penampilan (performance). Berpikir kritis dapat diajarkan melalui kegiatan laboratorium, inkuiri, pekerjaan rumah yang menyajikan berbagai kesempatan untuk menggugah berpikir kritis, dan ujian yang dirancang untuk mempromosikan keterampilan berpikir kritis.

Untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis siswa dalam proses pembelajaran perlu dilakukan strategi-strategi sebagai berikut. Pertama, menyeimbangkan antara konten dan proses, dalam penyajian materi pelajaran agar diseimbangkan antara konten dan proses. Dalam pelajaran sains, harus seimbang antara sains sebagai produk (penyajian fakta, konsep, prinsip, hukum, dsb) dan sains sebagai proses (keterampilan proses sains), seperti mengobsevasi kejadian, merumuskan masalah, berhipotesis, mengukur, menyimpulkan, dan mengontrol variabel. Kedua, seimbangkan antara ceramah (lecture) dan diskusi (interaction), teori belajar Piaget menekankan bahwa pentingnya transmisi sosial dalam mengembangkan struktur mental yang baru. Ketiga, ciptakan diskusi kelas, guru sebaiknya memulai presentasi dengan ”pertanyaan” Ajukan pertanyaan yang dapat mengkreasi suasana antisipasi dan inkuiri. Lima kunci untuk menciptakan atau mengkreasi suasana kelas yang interaktif, yaitu (1) mulai setiap pembelajaran dengan masalah atau kontroversi; (2) gunakan keheningan untuk membangkitkan refleksi; (3) atur ruang kelas untuk membangkitkan interaksi dalam pembelajaran; (4) Jika mungkin, perpanjang waktu pembelajaran (extend class time). Berpikir kritis akan terjadi jika siswa memiliki waktu yang tepat untuk sampai pada refleksi; dan (5) ciptakan lingkungan belajar yang nyaman.

Berdasarkan strategi-strategi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan lima kunci dalam menciptakan atau mengkreasi suasana belajar yang interaktif, maka model-model pembelajaran yang tampaknya sesuai untuk diterapkan dalam proses pembelajaran dalam upaya mempromosikan keterampilan berpikir kritis siswa antara lain (1) Pembelajaran berbasis masalah; (2) Pembelajaran kontekstual; (3) Siklus belajar; dan (4) Model pembelajaran sains-teknologi-masyarakat. Model-model pembelajaran ini akan memberi pengalaman belajar kepada siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya.

Model siklus belajar (learning cycle model) merupakan suatu strategi pembelajaran yang berbasis pada paham konstruktivisme dalam belajar, dengan asumsi dasar bahwa “pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar”. Dasar pemikiran para konstruktivis adalah bahwa proses pembelajaran yang efektif menghendaki agar guru mengetahui bagaimana para siswa memandang fakta dan fenomena yang menjadi subjek pembelajaran.

Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase aktivitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami gejala – gejala alam yang kompleks melalui pengalaman langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan argumentasinya, melakukan interprestasi, dan memperbaiki gagasannya. Fase – fase aktivitas belajar dalam model siklus belajar adalah (1) fase eksplorasi, (2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi konsep.

Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam suatu prosedur pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah dan menggunakan instruktur sebagai pelatih metakognitif. Ada enam tahapan proses pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut. (1) Mulai dengan penyajian masalah; (2) Masalah hendak-nya berkaitan dengan dunia siswa (masalah riil); (3) Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah; (4) Memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pembelajarannya sendiri; (5) Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses pembelajaran; dan (6) Menuntut siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari. Beberapa karakteristik problem based learning, yakni (1) Proses pembelajaran bersifat Student-Centered; (2) Proses pembelajaran berlasung dalam kelompok kecil; (3) Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing; (4) Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran; (5) Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (Self-directed learning); dan (6) Masalah (problems) merupakan wahana untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik.

Dihimpun dari beberpa sumber/bahan bacaan.

Jerowaru Lombok Timur, 1 Maret 2013.
Dalam era globalisasi dewasa ini, tantangan peningkatan mutu dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat ditawar lagi. Pesatnya perkembangan iptek dan tekanan globalisasi yang menghapuskan tapal batas antarnegara, mempersyaratkan setiap bangsa untuk mengerahkan pikiran dan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya untuk bisa tetap bertahan dan dapat memenangkan persaingan dalam perebutan pemanfaatan kesempatan dalam berbagai sisi kehidupan. Ini berarti perlu adanya peningkatan sikap kompetitif secara sistematik dan berkelanjutan terhadap suber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, pendidikan dewasa ini harus diarahkan pada peningkatan daya saing bangsa agar mampu berkompetisi dalam persaingan global. Hal ini bisa tercapai jika pendidikan di sekolah diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan pemahaman konsep-konsep ilmiah, tetapi juga pada peningkatan kemampuan dan keterampilan beripikir siswa, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kristis. Artinya, guru perlu mengajarkan siswanya untuk belajar berpikir.

Kehidupan dalam era globalisasi dipenuhi oleh kompetisi-kompetisi yang sangat ketat. Keunggulan dalam berkompetisi terletak pada kemampuan dalam mencari dan menggunakan informasi, kemampuan analitis-kritis, keakuratan dalam pengambilan keputusan, dan tindakan yang proaktif dalam memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Oleh karena itu, maka kemampuan berpikir formal siswa yang mencakup kemampuan berpikir hipotetik-deduktif, kemampuan berpikir proporsional, kemampuan berpikir kombinatorial, dan kemampuan berpikir reflektif sebagai kemampuan berpikir dasar, perlu dijadikan sebagai substansi yang harus digarap secara serius dalam dunia pendidikan. Kemampuan berpikir dasar ini harus terus dikembangkan menuju kemampuan dan keterampilan berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan topik yang penting dan vital dalam era pendidikan modern. Tujuan khusus pembelajaran berpikir kritis dalam pendidikan sains maupun disiplin yang lain adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa dan sekaligus menyiapkan mereka agar sukses dalam menjalani kehidupannya. Dengan dimilikinya kemampuan berpikir kritis yang tinggi oleh siswa SMP dan SMA maka mereka akan dapat mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum atau yang akan dicapai dalam proses pembelajaran, serta mereka akan mampu merancang dan mengarungi kehidupannya pada masa datang yang penuh dengan tantangan, persaingan, dan ketidakpastian.

Singkarnya, oleh karena berpikir kritis merupakan topik yang penting dan vital dalam pendidikan modern, maka semua pendidik semestinya tertarik untuk mengajarkan berpikir kritis kepada para siswanya. Para pakar dan instruktur pendidikan diharapkan terlibat secara intensif dalam merencanakan strategi pembelajaran keterampilan berpikir kritis. Tujuan khusus pembelajaran berpikir kritis dalam pengajaran sains atau dalam bidang studi lainnya adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa dan sekaligus menyiapkan para siswa mengarungi kehidupannya sehari-hari.

Lebih lanjut, berpikir kritis dimaksudkan sebagai berpikir yang benar dalam pencarian pengetahuan yang relevan dan reliabel tentang dunia realita. Seseorang yang berpikir secara kritis mampu mengajukan pertanyaan yang cocok, mengumpulkan informasi yang relevan, bertindak secara efisien dan kreatif berdasarkan informasi, dapat mengemukakan argumen yang logis berdasarkan informasi, dan dapat mengambil simpulan yang dapat dipercaya. Berpikir kritis merupakan aktivitas mental dalam mengevaluasi suatu argumen atau proposisi dan membuat keputusan yang dapat menuntun diri seseorang dalam mengembangkan kepercayaan dan melakukan tindakan. Ada hubungan yang sangat erat antara keterampilan berpikir kritis dan metode ilmiah. Karena itu, keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang berorientasi pada metode ilmiah.
Berpikir kritis tidak dapat diajarkan melalui metode ceramah, karena berpikir kritis merupakan proses aktif. Keterampilan intelektual dari berpikir kritis mencakup berpikir analisis, berpikir sintesis, berpikir reflektif, dan sebagainya harus dipelajari melalui aktualisasi penampilan (performance). Berpikir kritis dapat diajarkan melalui kegiatan laboratorium, inkuiri, pekerjaan rumah yang menyajikan berbagai kesempatan untuk menggugah berpikir kritis, dan ujian yang dirancang untuk mempromosikan keterampilan berpikir kritis.

Untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis siswa dalam proses pembelajaran perlu dilakukan strategi-strategi sebagai berikut. Pertama, menyeimbangkan antara konten dan proses, dalam penyajian materi pelajaran agar diseimbangkan antara konten dan proses. Dalam pelajaran sains, harus seimbang antara sains sebagai produk (penyajian fakta, konsep, prinsip, hukum, dsb) dan sains sebagai proses (keterampilan proses sains), seperti mengobsevasi kejadian, merumuskan masalah, berhipotesis, mengukur, menyimpulkan, dan mengontrol variabel. Kedua, seimbangkan antara ceramah (lecture) dan diskusi (interaction), teori belajar Piaget menekankan bahwa pentingnya transmisi sosial dalam mengembangkan struktur mental yang baru. Ketiga, ciptakan diskusi kelas, guru sebaiknya memulai presentasi dengan ”pertanyaan” Ajukan pertanyaan yang dapat mengkreasi suasana antisipasi dan inkuiri. Lima kunci untuk menciptakan atau mengkreasi suasana kelas yang interaktif, yaitu (1) mulai setiap pembelajaran dengan masalah atau kontroversi; (2) gunakan keheningan untuk membangkitkan refleksi; (3) atur ruang kelas untuk membangkitkan interaksi dalam pembelajaran; (4) Jika mungkin, perpanjang waktu pembelajaran (extend class time). Berpikir kritis akan terjadi jika siswa memiliki waktu yang tepat untuk sampai pada refleksi; dan (5) ciptakan lingkungan belajar yang nyaman.

Berdasarkan strategi-strategi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan lima kunci dalam menciptakan atau mengkreasi suasana belajar yang interaktif, maka model-model pembelajaran yang tampaknya sesuai untuk diterapkan dalam proses pembelajaran dalam upaya mempromosikan keterampilan berpikir kritis siswa antara lain (1) Pembelajaran berbasis masalah; (2) Pembelajaran kontekstual; (3) Siklus belajar; dan (4) Model pembelajaran sains-teknologi-masyarakat. Model-model pembelajaran ini akan memberi pengalaman belajar kepada siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya.

Model siklus belajar (learning cycle model) merupakan suatu strategi pembelajaran yang berbasis pada paham konstruktivisme dalam belajar, dengan asumsi dasar bahwa “pengetahuan dibangun di dalam pikiran pebelajar”. Dasar pemikiran para konstruktivis adalah bahwa proses pembelajaran yang efektif menghendaki agar guru mengetahui bagaimana para siswa memandang fakta dan fenomena yang menjadi subjek pembelajaran.

Model siklus belajar (learning cycle model) terdiri atas tiga fase aktivitas belajar yang dapat digunakan untuk memotivasi siswa dalam memahami gejala – gejala alam yang kompleks melalui pengalaman langsung. Melalui model siklus belajar para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memberi penjelasan dan mengemukakan argumentasinya, melakukan interprestasi, dan memperbaiki gagasannya. Fase – fase aktivitas belajar dalam model siklus belajar adalah (1) fase eksplorasi, (2) fase pengenalan konsep, dan (3) fase aplikasi konsep.

Pembelajaran berbasis masalah dirancang dalam suatu prosedur pembelajaran yang diawali dengan sebuah masalah dan menggunakan instruktur sebagai pelatih metakognitif. Ada enam tahapan proses pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut. (1) Mulai dengan penyajian masalah; (2) Masalah hendak-nya berkaitan dengan dunia siswa (masalah riil); (3) Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah; (4) Memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan mengarahkan pembelajarannya sendiri; (5) Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses pembelajaran; dan (6) Menuntut siswa untuk menampilkan apa yang telah mereka pelajari. Beberapa karakteristik problem based learning, yakni (1) Proses pembelajaran bersifat Student-Centered; (2) Proses pembelajaran berlasung dalam kelompok kecil; (3) Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing; (4) Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan stimulus pembelajaran; (5) Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (Self-directed learning); dan (6) Masalah (problems) merupakan wahana untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah klinik.

Dihimpun dari beberpa sumber/bahan bacaan.

Jerowaru Lombok Timur, 1 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.