Senin, 11 Maret 2013

Petani Tembakau Verginia Lombok, Nasib Mu Kini?



Budi daya tanaman tembakau verginia Lombok telah berlangsung sejak lama, dan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Nusa Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Sumbangan berharga itu tidak terlepas dari perkembangan budi daya tembakau yang semakin meluas dari tahun ke tahun, semakin diminati oleh penduduk, terutama di daerah Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Meningkatnya minat masyarakat di kedua daerah tersebut mengingat penghasilan yang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang normal, para petani bisa meraup keuntungan yang besar. Hasil menjanjikan itu tidak terlepas dari kualitas tembakau verginia Lombok yang sangat bagus. Bahkan kualitas tembakau tersebut menempati urutan ke dua terbaik di dunia, setelah tembakau di Brazil. Oleh karena itu, banyak pengusaha tembakau (rokok) yang memburunya. Sehingga sampai saat ini banyak perusahan yang telah menginvestasikan modalnya atau membuka usaha di Pulau Lombok. Perusahan-perusahan ini tidak saja menjadi mintra petani dalam budi daya tanaman tembakau dan membeli hasil panen mereka, tetapi juga membeli hasil panen tembakau petani swadaya, yang bukan binaan (mitra) dari perusahan-perusahan yang bersangkutan.

Namun demikian, perkembangan budi daya tanaman tembakau selalu diiringi dengan adanya persoalan, bahkan ada kecenderungan semakin komplek. Dari tahun ke tahun permasalahan petani tembakau tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan yang terjadi bersumber dari pemerintah, pengusaha (perusahaan), dan masalah langsung yang dihadapi petani di lapangan. 

Salah satu masalah yang setiap tahun selalu dihadapi petani tembakau adalah bahan bakar untunk omprongan. Problem ini mulai dihadapi oleh petani sejak musim tanam tahun 2010 lalu. Saat itu subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau dicabut oleh pemerintah. Akibatnya, petani yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah sejak puluhan tahun lalu menjadi kelimpungan (kelabakan). Kondisi ini semakin diperparah oleh lambat dan kurang tepatnya antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengarahkan petani untuk menggunakan batubara sebagai bahan bakar pengganti, dan petani diberikan tungku bahan bakar batubara dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Tetapi usaha ini sia-sia, karena kualitas batubara yang didatangkan jelek, dan jenis tungku yang diberikan kurang cocok. Dengan memakai tunggu dan batubara itu, waktu pengopenan tembakau menjadi bertambah, menghabiskan waktu lebih dari satu minggu. Sehingga tembakau yang diopen rusak dan kualitasnya menurun. Akibatnya, petani rugi.

Untuk menghindari kerugian, petani tetap memburu minyak tanah yang dijual untuk kebutuhan rumah tangga, dan sebagian di antaranya mengarahkan pilihan menggunakan kayu. Seiring dengan pemeberlakuan kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas (LPG) untuk rumah tangga, subsidi minyak tanah untuk rumah tangga dicabut oleh pemerintah, petani tidak dapat lagi memperoleh minyak tanah sebagai bahan bakar omprongan tembakau. Sehingga sebagian besar dari mereka menggunakan kayu, dan sisanya menggunakan solar yang dicampur dengan premium, yang diperoleh di SPBU.  Sebelumnya, ketika minyak tanah untuk rumah tangga masih beredar di pasaran, petani mencampur solar dengan minyak tanah. Kreativitas petani tembakau ini memang menimbulkan dampak negatif. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar dalam jumlah besar, memicu terjadinya penebangan hutan secara liar, dan penggunaan solar dan premium menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar tersebut, khususnya bagi kendaraan bermotor. Tetapi, mestinya kesalahan tidak semata-mata ditimpakan kepada para petani. Pemerintah juga harus instrosfeksi diri. Kegagalan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten memfasilitasi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah yang tepat guna, menjadi faktor pendorong para petani melakukan kreativitas, mencari solusi cepat dan tampa banyak berpikir akibat negatif yang ditimbulkannya.

Pemerinrah daerah saat ini, telah melarang petani untuk menggunakan kayu sebagai bahan bakar omprongan tembakau, kecuali pohon turi. Jenis pohon ini tersedia dalam jumlah yang tidak mencukupi kebutuhan untuk seluruh petani yang ada. Pohon turi tidak banyak yang ditanam, sedikit sekali. Kualitasnya sebagai bahan bakar, tidak sama dengan jenis kayu keras, seperti pohon asam, dan lainnya. Dengan demikian, hal ini bukan solusi yang tepat. Solusi lain yang ditawarkan adalah dianjurkannya kembali penggunaan gas sebagai alternatif pengganti minyak tanah, kayu dan solar. Namun sayang sekali, para petani tidak begitu tertarik menggunakannya. Dari beberapa kali uji coba, ternyata penggunaan gas sebagai bahan bakar dapat merugikan petani. Terjadi pembengkakan biaya operasional yang tinggi. Gas lebih boros bila dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, kayu atau solar yang dicampur premium. 

Disamping itu, saat ini berkembang wacana penggunaan alternatif bahan bakar lainnya. Pemerintah daerah meminta perusahan tembakau yang ada di Pulau Lombok untuk menyiapkan cangkang sawit dan kemiri sebagai bahan bakar untuk petani binaan atau mitranya. Rencananya akan didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan. Namun sampai sekarang belum ada sosialisasi (uji coba) secara luas tentang penggunaan bahan bakar ini. Sehingga petani belum secara menyeluruh mengetahui kualitas bahan bakar tersebut. Apabila biaya yang dihabiskan lebih besar dari penggunaan bahan bakar minyak tanah subsidi, kayu atau soalar, berarti belum dapat memberi solusi yang terbaik, malah akan menambah beban bagi petani. Petani pun masih ragu, apakah bahan bakar tersebut dapat disediakan dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan semua petani? Persoalan lain yang akan timbul, apabila pengadannya diserahkan pada perusahaan dan diperuntukkan untuk petani binaan saja, bagaimana dengan petani swadaya yang jumlahnya tidak sedikit? Mereka akan menggunakan bahan bakar apa? Atau jangan-jangan disknariokan agar mereka membeli jenis bahan bakar itu didistributor tertentu dengan harga yang melambung tinggi, berbeda dengan harga yang diberikan untuk petani binaan. Semestinya disamping perusahaan mitra yang menyiapkan bahan bakar, pemerintah daerah juga harus mencari cara untuk menyiapkan bahan bakar untuk kebutuhan petani tembakau swadaya. Pemerintah daerah, berkerja sama dengan perusahaan mitra dan pihak lainnya, jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, sudah melakukan sosialisasi secara intensif dan efektif tentang penggunaan bahan bakar alternatif. Sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan para petani.

Selain persoalan bahan bakar, petani tembakau juga dihadapkan pada persoalan yang lainnya. Keberadaan undang-undang menyangkut tembakau dan rokok, menjadi persoalan tersendiri bagi petani tembakau. Kemudiaan, semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan, merupakan masalah yang selalu dihadapi petani. Memang pemerintah daerah telah membantu biaya operasional petani melalui pembagian DBHCHT, tetapi jumlahnya sangat kecil dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah pemasaran dan harga jual hasil oven tembakau, menjadi momok yang menghantui para petani. Pada tahun lalu, terdapat beberapa perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuka gudang untuk membeli tembakau petani. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang membuka gudang, menerapkan hukum ekonomi (hukum pasar) dengan ketat (saklek). Mereka bertindak sewenang-wenang dan secara sepihak. Mereka membeli dengan harga di bawah kewajaran (di bawah standar), dan jumlah yang dibeli disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, bahkan terjadi pengurangan, serta hanya mau membeli dari petani binaan masing-masing. Sehingga, hasil open tembakau petani swadaya tidak semuanya dapat dibeli. Tahun lalu merupakan tahun kelam bagi petani tembakau. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Walaupun ada penurunan harga beli, tetapi tidak sedrastis tahun lalu, masih pada batas-batas kewajaran. Kejadian seperti ini membuktikan lemahnya kontrol pemerintah daerah terhadap perusahan, dan sekaligus menunjukkan ketidakberanian perintah daerah bertindak tegas kepada perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka sesungguhnya pemerintah daerah sampai saat ini belum melakukan langkah-alangkah yang optimal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani tembakau. Mereka selalu mengklaim diri telah melakukan langkah-langkah secara serius dan sungguh-sungguh. Tetapi kenyataannya, masalah terus terjadi, bahkan semakin komplek. Langkah-langkah yang diambil, hanya sebagai upaya untuk menggugurkan kewajiban, tetapi tidak dapat memberi solusi terbaik.

Oleh karena itu, tampaknya kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah daerah yang sekarang untuk dapat membantu petani keluar dari persoalan yang membelitnya. Bahkan peristiwa seperti di atas (kejadian tahun lalu), bisa berulang pada musim tanam (musim panen) tahun ini. Perusahan-perushaan yang beroperasi sudah memberikan isyarat (peringatan), bahwa mereka akan mengurangi jumlah pembelian hasil open tembakau petani, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnnya. Belum adanya solusi yang terbaik untuk bahan bakar, serta lemah dan tidak tegasnya pemerintah daerah terhadap perusahaan akan memperparah keadaan. Lalu muncul pertanyaan mendasar, apakah nasib petani tembakau akan sama dengan nasib petani budi daya tanaman bawang putih di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur?. Setelah sebelumnya berjaya, kemudian para petani bawang putih tidak berdaya mengahadapi gempuran berbagai persoalan yang membelitnya, dan tidak ada alternatif yang diberikan pemerintah daerah untuk melakukan budi daya tanaman lain dan terbaik yang penghasilannya sama dengan bawang putih. Jawaban dari pertanyaan di atas, sangat tergantung dari etikad baik dari pemerintah (pemerintah daerah) untuk berupaya mensejahterakan rakyatnya. Sesungguhnya pemerintah yang baik adalah yang bisa berbuat adil dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Jerowaru Lombok Timur, 11 Maret 2013.


Budi daya tanaman tembakau verginia Lombok telah berlangsung sejak lama, dan memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Nusa Tenggara Barat dan beberapa kabupaten di Pulau Lombok. Sumbangan berharga itu tidak terlepas dari perkembangan budi daya tembakau yang semakin meluas dari tahun ke tahun, semakin diminati oleh penduduk, terutama di daerah Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah. Meningkatnya minat masyarakat di kedua daerah tersebut mengingat penghasilan yang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang normal, para petani bisa meraup keuntungan yang besar. Hasil menjanjikan itu tidak terlepas dari kualitas tembakau verginia Lombok yang sangat bagus. Bahkan kualitas tembakau tersebut menempati urutan ke dua terbaik di dunia, setelah tembakau di Brazil. Oleh karena itu, banyak pengusaha tembakau (rokok) yang memburunya. Sehingga sampai saat ini banyak perusahan yang telah menginvestasikan modalnya atau membuka usaha di Pulau Lombok. Perusahan-perusahan ini tidak saja menjadi mintra petani dalam budi daya tanaman tembakau dan membeli hasil panen mereka, tetapi juga membeli hasil panen tembakau petani swadaya, yang bukan binaan (mitra) dari perusahan-perusahan yang bersangkutan.

Namun demikian, perkembangan budi daya tanaman tembakau selalu diiringi dengan adanya persoalan, bahkan ada kecenderungan semakin komplek. Dari tahun ke tahun permasalahan petani tembakau tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan yang terjadi bersumber dari pemerintah, pengusaha (perusahaan), dan masalah langsung yang dihadapi petani di lapangan. 

Salah satu masalah yang setiap tahun selalu dihadapi petani tembakau adalah bahan bakar untunk omprongan. Problem ini mulai dihadapi oleh petani sejak musim tanam tahun 2010 lalu. Saat itu subsidi minyak tanah untuk omprongan tembakau dicabut oleh pemerintah. Akibatnya, petani yang sudah terbiasa menggunakan minyak tanah sejak puluhan tahun lalu menjadi kelimpungan (kelabakan). Kondisi ini semakin diperparah oleh lambat dan kurang tepatnya antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengarahkan petani untuk menggunakan batubara sebagai bahan bakar pengganti, dan petani diberikan tungku bahan bakar batubara dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Tetapi usaha ini sia-sia, karena kualitas batubara yang didatangkan jelek, dan jenis tungku yang diberikan kurang cocok. Dengan memakai tunggu dan batubara itu, waktu pengopenan tembakau menjadi bertambah, menghabiskan waktu lebih dari satu minggu. Sehingga tembakau yang diopen rusak dan kualitasnya menurun. Akibatnya, petani rugi.

Untuk menghindari kerugian, petani tetap memburu minyak tanah yang dijual untuk kebutuhan rumah tangga, dan sebagian di antaranya mengarahkan pilihan menggunakan kayu. Seiring dengan pemeberlakuan kebijakan konversi bahan bakar minyak tanah ke gas (LPG) untuk rumah tangga, subsidi minyak tanah untuk rumah tangga dicabut oleh pemerintah, petani tidak dapat lagi memperoleh minyak tanah sebagai bahan bakar omprongan tembakau. Sehingga sebagian besar dari mereka menggunakan kayu, dan sisanya menggunakan solar yang dicampur dengan premium, yang diperoleh di SPBU.  Sebelumnya, ketika minyak tanah untuk rumah tangga masih beredar di pasaran, petani mencampur solar dengan minyak tanah. Kreativitas petani tembakau ini memang menimbulkan dampak negatif. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar dalam jumlah besar, memicu terjadinya penebangan hutan secara liar, dan penggunaan solar dan premium menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar tersebut, khususnya bagi kendaraan bermotor. Tetapi, mestinya kesalahan tidak semata-mata ditimpakan kepada para petani. Pemerintah juga harus instrosfeksi diri. Kegagalan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten memfasilitasi alternatif pengganti bahan bakar minyak tanah yang tepat guna, menjadi faktor pendorong para petani melakukan kreativitas, mencari solusi cepat dan tampa banyak berpikir akibat negatif yang ditimbulkannya.

Pemerinrah daerah saat ini, telah melarang petani untuk menggunakan kayu sebagai bahan bakar omprongan tembakau, kecuali pohon turi. Jenis pohon ini tersedia dalam jumlah yang tidak mencukupi kebutuhan untuk seluruh petani yang ada. Pohon turi tidak banyak yang ditanam, sedikit sekali. Kualitasnya sebagai bahan bakar, tidak sama dengan jenis kayu keras, seperti pohon asam, dan lainnya. Dengan demikian, hal ini bukan solusi yang tepat. Solusi lain yang ditawarkan adalah dianjurkannya kembali penggunaan gas sebagai alternatif pengganti minyak tanah, kayu dan solar. Namun sayang sekali, para petani tidak begitu tertarik menggunakannya. Dari beberapa kali uji coba, ternyata penggunaan gas sebagai bahan bakar dapat merugikan petani. Terjadi pembengkakan biaya operasional yang tinggi. Gas lebih boros bila dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah, kayu atau solar yang dicampur premium. 

Disamping itu, saat ini berkembang wacana penggunaan alternatif bahan bakar lainnya. Pemerintah daerah meminta perusahan tembakau yang ada di Pulau Lombok untuk menyiapkan cangkang sawit dan kemiri sebagai bahan bakar untuk petani binaan atau mitranya. Rencananya akan didatangkan dari Sumatera dan Kalimantan. Namun sampai sekarang belum ada sosialisasi (uji coba) secara luas tentang penggunaan bahan bakar ini. Sehingga petani belum secara menyeluruh mengetahui kualitas bahan bakar tersebut. Apabila biaya yang dihabiskan lebih besar dari penggunaan bahan bakar minyak tanah subsidi, kayu atau soalar, berarti belum dapat memberi solusi yang terbaik, malah akan menambah beban bagi petani. Petani pun masih ragu, apakah bahan bakar tersebut dapat disediakan dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan semua petani? Persoalan lain yang akan timbul, apabila pengadannya diserahkan pada perusahaan dan diperuntukkan untuk petani binaan saja, bagaimana dengan petani swadaya yang jumlahnya tidak sedikit? Mereka akan menggunakan bahan bakar apa? Atau jangan-jangan disknariokan agar mereka membeli jenis bahan bakar itu didistributor tertentu dengan harga yang melambung tinggi, berbeda dengan harga yang diberikan untuk petani binaan. Semestinya disamping perusahaan mitra yang menyiapkan bahan bakar, pemerintah daerah juga harus mencari cara untuk menyiapkan bahan bakar untuk kebutuhan petani tembakau swadaya. Pemerintah daerah, berkerja sama dengan perusahaan mitra dan pihak lainnya, jauh-jauh hari sebelum musim panen tiba, sudah melakukan sosialisasi secara intensif dan efektif tentang penggunaan bahan bakar alternatif. Sehingga tidak terjadi kebingungan di kalangan para petani.

Selain persoalan bahan bakar, petani tembakau juga dihadapkan pada persoalan yang lainnya. Keberadaan undang-undang menyangkut tembakau dan rokok, menjadi persoalan tersendiri bagi petani tembakau. Kemudiaan, semakin mahalnya harga pupuk dan obat-obatan, merupakan masalah yang selalu dihadapi petani. Memang pemerintah daerah telah membantu biaya operasional petani melalui pembagian DBHCHT, tetapi jumlahnya sangat kecil dan belum sepenuhnya tepat sasaran. Masalah pemasaran dan harga jual hasil oven tembakau, menjadi momok yang menghantui para petani. Pada tahun lalu, terdapat beberapa perusahaan yang memutuskan untuk tidak membuka gudang untuk membeli tembakau petani. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan yang membuka gudang, menerapkan hukum ekonomi (hukum pasar) dengan ketat (saklek). Mereka bertindak sewenang-wenang dan secara sepihak. Mereka membeli dengan harga di bawah kewajaran (di bawah standar), dan jumlah yang dibeli disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, bahkan terjadi pengurangan, serta hanya mau membeli dari petani binaan masing-masing. Sehingga, hasil open tembakau petani swadaya tidak semuanya dapat dibeli. Tahun lalu merupakan tahun kelam bagi petani tembakau. Kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Walaupun ada penurunan harga beli, tetapi tidak sedrastis tahun lalu, masih pada batas-batas kewajaran. Kejadian seperti ini membuktikan lemahnya kontrol pemerintah daerah terhadap perusahan, dan sekaligus menunjukkan ketidakberanian perintah daerah bertindak tegas kepada perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka sesungguhnya pemerintah daerah sampai saat ini belum melakukan langkah-alangkah yang optimal untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani tembakau. Mereka selalu mengklaim diri telah melakukan langkah-langkah secara serius dan sungguh-sungguh. Tetapi kenyataannya, masalah terus terjadi, bahkan semakin komplek. Langkah-langkah yang diambil, hanya sebagai upaya untuk menggugurkan kewajiban, tetapi tidak dapat memberi solusi terbaik.

Oleh karena itu, tampaknya kita tidak bisa berharap banyak dari pemerintah daerah yang sekarang untuk dapat membantu petani keluar dari persoalan yang membelitnya. Bahkan peristiwa seperti di atas (kejadian tahun lalu), bisa berulang pada musim tanam (musim panen) tahun ini. Perusahan-perushaan yang beroperasi sudah memberikan isyarat (peringatan), bahwa mereka akan mengurangi jumlah pembelian hasil open tembakau petani, tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnnya. Belum adanya solusi yang terbaik untuk bahan bakar, serta lemah dan tidak tegasnya pemerintah daerah terhadap perusahaan akan memperparah keadaan. Lalu muncul pertanyaan mendasar, apakah nasib petani tembakau akan sama dengan nasib petani budi daya tanaman bawang putih di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur?. Setelah sebelumnya berjaya, kemudian para petani bawang putih tidak berdaya mengahadapi gempuran berbagai persoalan yang membelitnya, dan tidak ada alternatif yang diberikan pemerintah daerah untuk melakukan budi daya tanaman lain dan terbaik yang penghasilannya sama dengan bawang putih. Jawaban dari pertanyaan di atas, sangat tergantung dari etikad baik dari pemerintah (pemerintah daerah) untuk berupaya mensejahterakan rakyatnya. Sesungguhnya pemerintah yang baik adalah yang bisa berbuat adil dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya.

Jerowaru Lombok Timur, 11 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.