Minggu, 10 Maret 2013

Inovasi Pendidikan dalam Rangka Menanamkan “Aset Politik”


Kegiatan politik selalu bersenergi dengan berbagai komponen kehidupan sosial, salah satunya adalah penyelenggaraan pendidikan. Secara ekstrinsik, pengaruh politik terhadap pendidikan adalah adanya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang ditelukannya.

Selama tahun 2012 dunia pendidikan nasional ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2012 antara lain adalah Uji Kompetensi Awal (UKA), Uji Kompetensi Guru (UKG), Penilaian Kinerja Guru (PKG, revisi penyelenggaraan Ujian  Nasional (UN), penyesuaian kebijakan sertifikasi guru, Dapodik, dan yang paling banyak menuai kontroversi (menyita/menyedot perhatian) adalah Perubahan Kurikulum (Kurikulum 2013). Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.

Perubahan-perubahan yang terjadi bersifat sentralistik, dari atas ke bawah; dari pusat ke daerah; dari pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah; dari pemerintah ke masyarakat; dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Fenomena yang menarik dan sekaligus memprihatinkan dari perubahan itu adalah pesan perubahan tidak sampai secara utuh ke level yang paling bawah, yaitu satuan pendidikan dan guru. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional, belum dipahami secara baik oleh pelaksana di tingkat bawah, bahkan dipahami secara beragam. Sehingga, dalam pelaksanaannya sampai dengan awal tahun 2013 ini, masih terjadi kekacauan, belum dapat berjalan lancar.

Semestinya orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan. Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.

Banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia saat ini kurang dapat dipahami atau dihayati secara penuh oleh pelaksananya, di samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba instan, target dan tindak lanjutnya tidak realistik (tidak jelas), serta didasari asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan.  Intervensi pemerintah terhadap pendidikan semacam itu, akan melahirkan penilaian yang beragam (kontroversi) dari berbagai pihak yang berkepentinga. Ada yang menilai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tidak lebih berorinetansi pada cara melegalkan proyek dalam rangka menghabiskan anggaran pendidikan, yang memang jumlahnya sangat besar. Terdapat pula penilaian bahwa kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam rangka menjadikan peserta didik (siswa) sebagai kelinci percobaan. Penilaian miring lainnya menyebutkan bahwa pemerintah menerapkan kebijakan yang tidak sungguh-sungguh, sentengah hati kepada guru. Beberapa pihak bahkan secara tegas menilai perubahan yang dilakukan pemerintah merupakan bukti nyata dari kebenaran statemen ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum. Penilaian yang lebih ekstrim mengatakan kebijakan-kebijakan pemerintah adalah upaya untuk membangun pencitraan, citra pemerintahan yang positif (baik). Apabila demikian adanya, maka secara implisit perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan. Maka sudah barang tentu inovasi model seperti ini mengandung risiko kegagalan yang besar.

Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.

Kegiatan politik selalu bersenergi dengan berbagai komponen kehidupan sosial, salah satunya adalah penyelenggaraan pendidikan. Secara ekstrinsik, pengaruh politik terhadap pendidikan adalah adanya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang ditelukannya.

Selama tahun 2012 dunia pendidikan nasional ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2012 antara lain adalah Uji Kompetensi Awal (UKA), Uji Kompetensi Guru (UKG), Penilaian Kinerja Guru (PKG, revisi penyelenggaraan Ujian  Nasional (UN), penyesuaian kebijakan sertifikasi guru, Dapodik, dan yang paling banyak menuai kontroversi (menyita/menyedot perhatian) adalah Perubahan Kurikulum (Kurikulum 2013). Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.

Perubahan-perubahan yang terjadi bersifat sentralistik, dari atas ke bawah; dari pusat ke daerah; dari pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah; dari pemerintah ke masyarakat; dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Fenomena yang menarik dan sekaligus memprihatinkan dari perubahan itu adalah pesan perubahan tidak sampai secara utuh ke level yang paling bawah, yaitu satuan pendidikan dan guru. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan nasional, belum dipahami secara baik oleh pelaksana di tingkat bawah, bahkan dipahami secara beragam. Sehingga, dalam pelaksanaannya sampai dengan awal tahun 2013 ini, masih terjadi kekacauan, belum dapat berjalan lancar.

Semestinya orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan. Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.

Banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia saat ini kurang dapat dipahami atau dihayati secara penuh oleh pelaksananya, di samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba instan, target dan tindak lanjutnya tidak realistik (tidak jelas), serta didasari asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan.  Intervensi pemerintah terhadap pendidikan semacam itu, akan melahirkan penilaian yang beragam (kontroversi) dari berbagai pihak yang berkepentinga. Ada yang menilai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tidak lebih berorinetansi pada cara melegalkan proyek dalam rangka menghabiskan anggaran pendidikan, yang memang jumlahnya sangat besar. Terdapat pula penilaian bahwa kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam rangka menjadikan peserta didik (siswa) sebagai kelinci percobaan. Penilaian miring lainnya menyebutkan bahwa pemerintah menerapkan kebijakan yang tidak sungguh-sungguh, sentengah hati kepada guru. Beberapa pihak bahkan secara tegas menilai perubahan yang dilakukan pemerintah merupakan bukti nyata dari kebenaran statemen ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum. Penilaian yang lebih ekstrim mengatakan kebijakan-kebijakan pemerintah adalah upaya untuk membangun pencitraan, citra pemerintahan yang positif (baik). Apabila demikian adanya, maka secara implisit perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan. Maka sudah barang tentu inovasi model seperti ini mengandung risiko kegagalan yang besar.

Jerowaru Lombok Timur, 10 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.