Sabtu, 09 Maret 2013

Siapa “Dekat” dan “Layak” Lobinya Itu yang Dapat (Tinjauan tentang Distribusi Fasilitas Pendidikan di Kabupaten Lombok Timur)

Pendidikan dinilai sebagai modal paling efektif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM sangat menentukan kemajuan peradaban suatu daerah atau suatu bangsa. Artinya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan pondasi utama untuk mendongkrak kemajuan suatu daerah, dan untuk menciptakan bangsa yang memiliki pembangunan yang pesat di berbagai bidang. Untuk menuju ke arah itu, terdapat beberapa faktor pendidikan yang harus dipenuhi, antara lain sarana dan prasarana (fasilitas) pendidikan.

Fasilitas pendidikan merupakan salah satu komponen yang menunjang terciptanya suasana belajar yang efisien dan berjalan lancar, serta keberhasilan atau ketercapaian tujuan pendidikan. Proses pebelajaran dapat dikatakan baik atau buruk tergantung pada ketersediaan dan kinerja fungsi dari fasilitas yang ada.

Fasilitas pendidikan di Kabupaten Lombok Timur, sampai dengan saat ini masih sangat dibutuhkan. Fasilitas pendidikan belum sepenuhnya memenuhi mutu stadar pelayanan minimal atau belum sepenuhnya layak. Kebutuhan fasilitas pendidikan, terutama sangat diperlukan bagi daerah-daerah pedesaan dan daerah pelosok. Ketidakmerataan fasilitas pendidikan di daerah ini sangat mencolok dan timpang. Fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh sekolah-sekolah di kota (kota kabupaten dan kota-kota kecamatan yang tergolong maju), sangat jauh berbeda dengan yang dimiliki oleh sekolah-sekolah yang ada di pedesaan dan pelosok. Hal seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. Banyak peserta didik yang berada di desa tidak bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan fasilitas seperti peserta didik di Kota. Oleh karena itu, kualitas pendidikan di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas pendidikan di kota. Akibat ketidak tersedianya fasilitas yang memadai (layak), bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peserta didik memanfaatkan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan negatif.

Memang daerah ini belum mampu menyediakan anggaran pendidikan dalam jumlah besar. Hanya mampu menyiapkan sebagian kecil (sangat kecil) dari APBD. Anggaran pendidikan sebesar 20% yang digembar-gemborkan, ternyata sebagian besarnya tersedot untuk belanja pegawai (gaji), sedangkan untuk kebutuhan pendidikan lainnya hanya mendapat sisanya. Kabupaten Lombok Timur masih sangat tergantung dari kucuran dana pusat (APBN) untuk membiayai pendidikan, termasuk dalam penyediaan (pengadaan) fasilitas pendidikan. Namun, anggaran dari APBN untuk pengadaan fasilitas pendidikan, terutama pengadaan ruang kelas baru (RKB), ruang belajar lain (RBL), rehap gedung sekolah, dan fasilitas mutu, masih belum dapat dikelola dengan baik. Anggaran tersebut memang belum dapat memenuhi kebutuhan, tetapi pengadaan fasilitas pendidikan dari dana yang sudah ada, belum dapat memenuhi prinsip keadilan dan pemerataan. Berarti terdapat masalah dalam distribusi fasilitas pendidikan. 

Berbicara tentang pemerataan, tentu akan mengerucut kepada masalah distribusi. Pemerataan fasilitas pendidikan tentu menuntut adanya distribusi fasilitas yang adil dan merata. Distribusi sendiri selalu berkaitan dengan jumlah dan lokasi. Artinya, secara spasial, pemerataan fasilitas pendidikan bisa dilakukan dengan melaksanakan distribusi ke beberapa (jumlah) sekolah pada lokasi-lokasi tertentu yang masih dinilai kekurangan. Dengan kata lain, pemerataan fasilitas pendidikan dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang spasial (jumlah dan sebaran lokasi), yaitu dengan pemetaan sekolah atau school mapping.

Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora), tampaknya belum memiliki konsep yang jelas tentang pemerataan fasilitas pendidikan melalui pemetaan sekolah. Program yang dirumuskan lebih bersifat insidental. Oleh karena itu, dalam distribusi fasilitas pendidikan belum dapat dilakukan secara adil dan merata. Terkesan faktor “kedekatan” lebih ditonjolkan. Sehingga, sekolah yang sudah mendapatkan terus dapat dalam distribusi berikutnya, baik untuk jenis fasilitas yang sama maupun dalam bentuk yang lain (fisik dan mutu). Sedangkan sekolah yang tidak pernah dapat hanya dapat mengelus dada. Berarti tampak jelas bahwa usulan kebutuhan fasilitas pendidikan dari sekolah-sekolah, terutama yang belum dapat, hanya formalitas belaka. Pada hal fasilitas yang diusulkan sangat dibutuhkan oleh sekolah yang bersangkutan. Walaupun ada pejabat dinas yang secara langsung pernah berkunjung ke sekolah-sekolah yang membutuhkan fasilitas pendidikan, tetapi tetap tidak memperoleh jatah distribusi. Sehingga masih banyak sekolah yang menjerit kekurangan fasilitas pendidikan, kekurangan ruang kelas, ketiadaan perpustakaan dan RBL lainnya, kerusakan gedung sekolah, serta kekurangan fasilitas mutu. Dengan demikian, sistem penetapan sekolah yang mendapatkan (distribusi) fasilitas pendidikan, jauh dari prinsip (rasa) keadilan dan pemerataan. Siapa dekat itu yang dapat. Siapa yang dianggap "layak" lobinya itu yang jadi utama. 

Perumusan kebijakan pendidikan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Dikpora), terkait pemerataan fasilitas sekolah seharusnya berdasarkan pada fakta kebutuhan di wilayahnya. Data tersebut dapat menjadi input yang nantinya diproses hingga menghasilkan output kebijakan yang baik. Tentunya output yang baik ditentukan dari input yang valid dan benar. Dengan begitu kebijakan yang dihasilkan pun tepat sasaran dan berguna bagi masyarakat.

Jerowaru Lombok Timur, 9 Maret 2013.
Pendidikan dinilai sebagai modal paling efektif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM sangat menentukan kemajuan peradaban suatu daerah atau suatu bangsa. Artinya dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan pondasi utama untuk mendongkrak kemajuan suatu daerah, dan untuk menciptakan bangsa yang memiliki pembangunan yang pesat di berbagai bidang. Untuk menuju ke arah itu, terdapat beberapa faktor pendidikan yang harus dipenuhi, antara lain sarana dan prasarana (fasilitas) pendidikan.

Fasilitas pendidikan merupakan salah satu komponen yang menunjang terciptanya suasana belajar yang efisien dan berjalan lancar, serta keberhasilan atau ketercapaian tujuan pendidikan. Proses pebelajaran dapat dikatakan baik atau buruk tergantung pada ketersediaan dan kinerja fungsi dari fasilitas yang ada.

Fasilitas pendidikan di Kabupaten Lombok Timur, sampai dengan saat ini masih sangat dibutuhkan. Fasilitas pendidikan belum sepenuhnya memenuhi mutu stadar pelayanan minimal atau belum sepenuhnya layak. Kebutuhan fasilitas pendidikan, terutama sangat diperlukan bagi daerah-daerah pedesaan dan daerah pelosok. Ketidakmerataan fasilitas pendidikan di daerah ini sangat mencolok dan timpang. Fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh sekolah-sekolah di kota (kota kabupaten dan kota-kota kecamatan yang tergolong maju), sangat jauh berbeda dengan yang dimiliki oleh sekolah-sekolah yang ada di pedesaan dan pelosok. Hal seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. Banyak peserta didik yang berada di desa tidak bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan fasilitas seperti peserta didik di Kota. Oleh karena itu, kualitas pendidikan di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas pendidikan di kota. Akibat ketidak tersedianya fasilitas yang memadai (layak), bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peserta didik memanfaatkan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan negatif.

Memang daerah ini belum mampu menyediakan anggaran pendidikan dalam jumlah besar. Hanya mampu menyiapkan sebagian kecil (sangat kecil) dari APBD. Anggaran pendidikan sebesar 20% yang digembar-gemborkan, ternyata sebagian besarnya tersedot untuk belanja pegawai (gaji), sedangkan untuk kebutuhan pendidikan lainnya hanya mendapat sisanya. Kabupaten Lombok Timur masih sangat tergantung dari kucuran dana pusat (APBN) untuk membiayai pendidikan, termasuk dalam penyediaan (pengadaan) fasilitas pendidikan. Namun, anggaran dari APBN untuk pengadaan fasilitas pendidikan, terutama pengadaan ruang kelas baru (RKB), ruang belajar lain (RBL), rehap gedung sekolah, dan fasilitas mutu, masih belum dapat dikelola dengan baik. Anggaran tersebut memang belum dapat memenuhi kebutuhan, tetapi pengadaan fasilitas pendidikan dari dana yang sudah ada, belum dapat memenuhi prinsip keadilan dan pemerataan. Berarti terdapat masalah dalam distribusi fasilitas pendidikan. 

Berbicara tentang pemerataan, tentu akan mengerucut kepada masalah distribusi. Pemerataan fasilitas pendidikan tentu menuntut adanya distribusi fasilitas yang adil dan merata. Distribusi sendiri selalu berkaitan dengan jumlah dan lokasi. Artinya, secara spasial, pemerataan fasilitas pendidikan bisa dilakukan dengan melaksanakan distribusi ke beberapa (jumlah) sekolah pada lokasi-lokasi tertentu yang masih dinilai kekurangan. Dengan kata lain, pemerataan fasilitas pendidikan dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang spasial (jumlah dan sebaran lokasi), yaitu dengan pemetaan sekolah atau school mapping.

Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora), tampaknya belum memiliki konsep yang jelas tentang pemerataan fasilitas pendidikan melalui pemetaan sekolah. Program yang dirumuskan lebih bersifat insidental. Oleh karena itu, dalam distribusi fasilitas pendidikan belum dapat dilakukan secara adil dan merata. Terkesan faktor “kedekatan” lebih ditonjolkan. Sehingga, sekolah yang sudah mendapatkan terus dapat dalam distribusi berikutnya, baik untuk jenis fasilitas yang sama maupun dalam bentuk yang lain (fisik dan mutu). Sedangkan sekolah yang tidak pernah dapat hanya dapat mengelus dada. Berarti tampak jelas bahwa usulan kebutuhan fasilitas pendidikan dari sekolah-sekolah, terutama yang belum dapat, hanya formalitas belaka. Pada hal fasilitas yang diusulkan sangat dibutuhkan oleh sekolah yang bersangkutan. Walaupun ada pejabat dinas yang secara langsung pernah berkunjung ke sekolah-sekolah yang membutuhkan fasilitas pendidikan, tetapi tetap tidak memperoleh jatah distribusi. Sehingga masih banyak sekolah yang menjerit kekurangan fasilitas pendidikan, kekurangan ruang kelas, ketiadaan perpustakaan dan RBL lainnya, kerusakan gedung sekolah, serta kekurangan fasilitas mutu. Dengan demikian, sistem penetapan sekolah yang mendapatkan (distribusi) fasilitas pendidikan, jauh dari prinsip (rasa) keadilan dan pemerataan. Siapa dekat itu yang dapat. Siapa yang dianggap "layak" lobinya itu yang jadi utama. 

Perumusan kebijakan pendidikan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Dikpora), terkait pemerataan fasilitas sekolah seharusnya berdasarkan pada fakta kebutuhan di wilayahnya. Data tersebut dapat menjadi input yang nantinya diproses hingga menghasilkan output kebijakan yang baik. Tentunya output yang baik ditentukan dari input yang valid dan benar. Dengan begitu kebijakan yang dihasilkan pun tepat sasaran dan berguna bagi masyarakat.

Jerowaru Lombok Timur, 9 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.