Minggu, 27 Januari 2013

Budaya Kerja dan Kepemimpinan di Sekolah

Sekolah merupakan organisasi (institusi) pelaksana teknis penyelenggaraan pendidikan, yang jati dirinya akan tebentuk oleh budaya kerja. Bentuk budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di sekolah, dipengaruhi oleh pola dan gaya kepemimpinan yang ada di dalamnya, yang sekaligus merupakan bagian dari budaya kerja itu sendiri. Dengan demikian hidup atau matinya suatu sekolah akan sangat ditentukan oleh budaya kerja manusia di dalamnya. Sesuai dengan semangat manajemen berbasis sekolah (MBS), yang mempersyaratkan adanya partisipasi, fleksibilitas dan keterbukaan (transparansi dan akuntabilitas), maka budaya sekolah bukan berkiblat kepada kekuasaan pribadi, tetapi pada struktur dan fungsi sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah, dituntut untuk tidak bekerja sendiri, tetapi mendelegasikan sebagian tugasnya kepada aparat yang lain dengan membentuk team work, yang dituntut harus kompak, cerdas dan dinamis. Sehingga diharapkan adanya jaminan keluwesan struktur dan penyelesaian tugas yang diemban. Untuk menuju ke arah itu, harus diatur dan dimantapkan pembagian tugas secara jelas dan tegas. Sehingga semua warga sekolah dapat berpartisipasi aktif sesuai dengan tugasnya masing-masing dan harus ditopang oleh adanya kemauan yang kuat untuk melaksanakan tugas yang diemban. Pada hakekatnya praktek kepemimpinan terletak pada pengambilan keputusan terhadap berbagai kebijakan dan masalah yang dihadapi. Bagaimana antisipasi, persepsi dan cara pengambilan keputusan pimpinan akan mewarnai jalannya organisasi, termasuk di dalamnya apakah pengambilan keputusan itu cepat dan tepat. Untuk memenuhi kreteria itu, diterapkan pola kepemimpinan konsultatif dan partisipatif (demokratis). Hal ini mempersyaratkan bahwa keputusan pimpinan senantiasa didasarkan atas persetujuan dari mitra kerja di dalamnya (guru, pegawai, komite sekolah, orangtua peserta didik), dengan tetap berpegang atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, petunjuk pelaksanaan dan kebijakan tertulis dari atasan, dan kearifan (wisdom) bersumber pada Pancasila dan agama (Islam). Tidak semua hal diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk pelaksanaan atau kebijakan tertulis dari atasan. Untuk mencapai itu, diperlukan adanya keputusan rapat, bahkan ada kalanya berdasarkan kesepakatan di antara pengelola sekolah. Dalam hal ini diperlukan adanya kearifan (wisdom) untuk menimbang-nimbang keputusan mana yang akan diambil. Dalam rangka mengarah ke hal itu, diatur wadahnya melalui mekanisme atau jalur (layanan) informasi dan komunikasi. Praktek kepemimpin di sekolah diarahkan tidak lain untuk mencapai tugas pokok sekolah itu sendiri. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan efesien untuk mencapai mutu pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas tersebut, sangat tergantung pada guru di sekolah, yang merupakan pelaksana utama dalam proses pembelajaran. Untuk itu, pimpinan dituntut untuk mambu menumbuhkan kesadaran kepada guru tentang tugasnya, bahwa tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan membimbing. Oleh karena itu, guru perlu terus dibimbing dan dimotivasi untuk dapat secara berkesinambungan mengarahkan dan menekatkan sifat (proses) pembelajaran pada pemberdayaan peserta didik. Dimana guru dituntut untuk menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran yang pro-perubahan, yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, misalnya dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan lain-lainnya. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi guru dengan baik dalam proses pembelajaran, pemimpin sekolah (kepala sekolah) harus memperhatikan peningkatan kompetensi guru, disamping peningkatan kompetensinya sendiri. Sehingga guru mampu memelihara ilmunya dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir. Proses pembelajaran dan penyelenggaran pendidikan secara umum akan berjalan dengan efektif, apabila didukung oleh pelaksanaan atau penegakan hukum. Bagi orang Islam yang taat, melaksanakan hukum adalah suatu kewajiban. Sebab hukum diadakan untuk menjamin ketertiban dan keteraturan demi kepentingan bersama, dan merupakan syarat mutelak untuk kesejahteraan dan kedamaian. Apabila hukum tidak ditegakkan, maka yang terjadi adalah suatu anomie, di mana norma-norma menjadi kabur, bahkan mungkin akan terjadi suatu kekacaauan (chaos) atau ketidakteraturan (disoder), bukan keteraturan (cosmos) dan ketertiban (order). Jika alam mempunyai keteraturan dan ketertiban, maka dalam kehidupan manusia dengan semua pranata sosialnya, semestinya juga mempunyai keteraturan dan ketertiban. Untuk memberi jaminan penegakan hukum, maka pimpinan sekolah secara partisipatif bersama warga sekolah lainnya, menyusun dan menyempurnakan tata tertib guru, pegawai dan siswa (peraturan akademik dan kode etik) sesuai dengan kebutuhan. Dalam hubungannya dengan ini, pimpinan sekolah seyogyanya mampu mengajak semua elemen warga sekolah untuk merenungkan dan menghayati beberapa pokok pikiran berikut ini : 1. Sejauh mana komitmen untuk melaksanakan tugas mulia sebagai pengelola sekolah (pimpinan), guru dan pegawai; 2. Semua guru dan pegawai, termasuk di dalamnya yang terlibat selaku pimpinan sekolah pada mulanya adalah melamar pekerjaan, yang berarti bersedia dan mengikat diri untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Hal ini berlaku juga bagi guru atau pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 3. Kewajiban harus dilaksanakan lebih dahulu, baru diikuti oleh hak, bukan sebaliknya; 4. Setiap organisasi atau instansi, lebih-lebih organisasi pemerintahan diatur oleh seperangkat norma hukum, demi tercapainya tujuan organisasi itu; 5. Penegakan norma hukum, memerlukan dukungan norma moral dari pelaksananya; 6. Pembinaan kepegawaian di Indonesia, khususnya PNS didasarkan atas kombinasi antara sistem karir dan sistem prestasi; 7. Pelanggaran terhadap aturan kepegawaian bisa dikenakan sanksi sesuai undang-undang dan peraturan pemerintah tentang PNS dan tenaga bantu/kontrak, serta peraturan sekolah tentang tenaga guru dan pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 8. Apa yang menjadi kewajiban dan hak PNS/GT/PT, guru/pegawai bantu/kontrak dan guru/pegawai tidak tetap (GTT/PTT) ?; 9. Apa fungsi atasan dan bawahan ?; 10. Apa yang menjadi tugas Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Urusan-urusan, KTU dan para pengelola/pembina kegiatan ?; 11. Apakah kita telah memenuhi ketentuan disiplin kerja (kehadiran, izin, sakit, absen, cuti dan tugas dinas lainnya) ?. Perenungan dan penghayatan terhadap pokok-pokok pikiran di atas, yang dilakukan secara positif akan mendatangkan inspirasi positif, yang akan membawa dan mengantarkan kita kepada perbuatan/pelaksanaan kegiatan yang positif pula. Agar keputusan bisa berjalan sebagaimana diharapkan diperlukan adanya komunikasi dan motivasi. Kedua hal ini sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Dalam era informasi dewasa ini, informasi begitu deras dari seluruh penjuru dengan berbagai media, dan dalam intraksi sosial informasi cepat menyebar dari mulut ke mulut, dari orang ke orang lain, dari suatu kelompok ke kelompok yang lain. Sering kali terjadi arus atau penyampaian informasi itu tidak sampai secara utuh, bahkan ada kalanya berkembang isu-isu yang tidak proporsional, sehingga mudah terjadi distorsi dan kesimpulan yang tidak tepat. Untuk menghindari penyampaian informasi yang tidak utuh dan dalam rangka membagi informasi ke semua warga sekolah, perlu diatur jalur informasi dan komunikasi di sekolah. Jalur informasi dan komunikasi dikemas dalam forum pertemuan atau rapat, baik rapat rutin, rapat berkala, rapat koordinasi (antar pengelola sekolah, dan dengan komite sekolah/orang tua peserta didik/masyarakat), maupun rapat yang sifatnya mendesak (sepontan). Rapat mempunyai tujuan untuk : 1. Memberikan petunjuk pelaksanaan tugas; 2. Pemantauan pelaksanaan tugas 3. Pembinaan tenaga guru dan tenaga kependidikan (peningkatan kemampuan kerja, semangat dan gaerah kerja); 4. Mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan; 5. Berbagi ilmu atau pengalaman; 6. Membahas usul atau saran yang relevan; 7. Menyampaikan informasi; 8. Tindak lanjut hasil pengawasan atau evaluasi pelaksanaan tugas. Motivasi diakui berperan sangat penting untuk meningkatkan prestasi kerja. Motivasi adalah energi yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Dalam rangka memberikan motivasi, pimpinan sekolah (kepala sekolah) hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. Apabila budaya kerja dan partisipasi aktif aparat atau warga sekolah dapat terbentuk dan terlaksana dengan baik, yang orientasi utamanya adalah melaksanakan dan menyukseskan proses pembelajaran, maka peran serta aktif siswa dalam manajemen sekolah akan ikut terdongkrak dan terlibat langsung di dalamnya. Seiring dengan pelaksanaan budaya kerja dan partisipasi aktif warga sekolah, pihak sekolah juga hendaknya berusaha untuk mendorong partisipasi masyarakat, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat, sehingga terdapat jalinan dan suasana yang harmonis antara sekolah dan masyarakat. Dalam rangka memberi jaminan terhadap transparansi dan akuntabilitas, pihak sekolah harus memberikan layanan informasi manajemen atau sistem informasi manajemen (SIM) sekolah, terutama terkait tentang pelaksanaan proses pembelajaran, laporan hasil belajar dan manajemen keuangan, dengan mempertimbangkan keefektifan dan keefesienan. Informasi manajemen diupayakan melalui penyediaan papan informasi untuk memudahkan warga sekolah membacanya, pengiriman hasil perkembangan nilai peserta didik secara langsung kepada orang tua/wali murid (selain raport), mengupayakan tersedianya fasilitas internet untuk memudahkan pengaksesan informasi, dan lain-lainnya. Dengan praktek kepemimpinan di atas, dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif, penuh rasa tanggung jawab, dan penuh rasa kekeluargaan (harmonis) untuk memperoleh hasil kerja atau prestasi yang ideal, sesuai dengan yang telah ditetapkan, yang menjadi cita-cita bersama warga sekolah. BAHAN BACAAN : 1. Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2. Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. 2004. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 3. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah. 2006. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 4. Peraturan Pemerintah Tentang PNS. 2006. Bandung : Penerbit Citra Umbara, Bandung. 5. Syaiful Sagala. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta. Jerowaru Lombok Timur, 21 Desember 2011.
Sekolah merupakan organisasi (institusi) pelaksana teknis penyelenggaraan pendidikan, yang jati dirinya akan tebentuk oleh budaya kerja. Bentuk budaya kerja yang tumbuh dan berkembang di sekolah, dipengaruhi oleh pola dan gaya kepemimpinan yang ada di dalamnya, yang sekaligus merupakan bagian dari budaya kerja itu sendiri. Dengan demikian hidup atau matinya suatu sekolah akan sangat ditentukan oleh budaya kerja manusia di dalamnya. Sesuai dengan semangat manajemen berbasis sekolah (MBS), yang mempersyaratkan adanya partisipasi, fleksibilitas dan keterbukaan (transparansi dan akuntabilitas), maka budaya sekolah bukan berkiblat kepada kekuasaan pribadi, tetapi pada struktur dan fungsi sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah, dituntut untuk tidak bekerja sendiri, tetapi mendelegasikan sebagian tugasnya kepada aparat yang lain dengan membentuk team work, yang dituntut harus kompak, cerdas dan dinamis. Sehingga diharapkan adanya jaminan keluwesan struktur dan penyelesaian tugas yang diemban. Untuk menuju ke arah itu, harus diatur dan dimantapkan pembagian tugas secara jelas dan tegas. Sehingga semua warga sekolah dapat berpartisipasi aktif sesuai dengan tugasnya masing-masing dan harus ditopang oleh adanya kemauan yang kuat untuk melaksanakan tugas yang diemban. Pada hakekatnya praktek kepemimpinan terletak pada pengambilan keputusan terhadap berbagai kebijakan dan masalah yang dihadapi. Bagaimana antisipasi, persepsi dan cara pengambilan keputusan pimpinan akan mewarnai jalannya organisasi, termasuk di dalamnya apakah pengambilan keputusan itu cepat dan tepat. Untuk memenuhi kreteria itu, diterapkan pola kepemimpinan konsultatif dan partisipatif (demokratis). Hal ini mempersyaratkan bahwa keputusan pimpinan senantiasa didasarkan atas persetujuan dari mitra kerja di dalamnya (guru, pegawai, komite sekolah, orangtua peserta didik), dengan tetap berpegang atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, petunjuk pelaksanaan dan kebijakan tertulis dari atasan, dan kearifan (wisdom) bersumber pada Pancasila dan agama (Islam). Tidak semua hal diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, petunjuk pelaksanaan atau kebijakan tertulis dari atasan. Untuk mencapai itu, diperlukan adanya keputusan rapat, bahkan ada kalanya berdasarkan kesepakatan di antara pengelola sekolah. Dalam hal ini diperlukan adanya kearifan (wisdom) untuk menimbang-nimbang keputusan mana yang akan diambil. Dalam rangka mengarah ke hal itu, diatur wadahnya melalui mekanisme atau jalur (layanan) informasi dan komunikasi. Praktek kepemimpin di sekolah diarahkan tidak lain untuk mencapai tugas pokok sekolah itu sendiri. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan efesien untuk mencapai mutu pendidikan yang berkualitas, sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Keberhasilan dalam melaksanakan tugas tersebut, sangat tergantung pada guru di sekolah, yang merupakan pelaksana utama dalam proses pembelajaran. Untuk itu, pimpinan dituntut untuk mambu menumbuhkan kesadaran kepada guru tentang tugasnya, bahwa tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan membimbing. Oleh karena itu, guru perlu terus dibimbing dan dimotivasi untuk dapat secara berkesinambungan mengarahkan dan menekatkan sifat (proses) pembelajaran pada pemberdayaan peserta didik. Dimana guru dituntut untuk menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran yang pro-perubahan, yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, misalnya dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan lain-lainnya. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi guru dengan baik dalam proses pembelajaran, pemimpin sekolah (kepala sekolah) harus memperhatikan peningkatan kompetensi guru, disamping peningkatan kompetensinya sendiri. Sehingga guru mampu memelihara ilmunya dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir. Proses pembelajaran dan penyelenggaran pendidikan secara umum akan berjalan dengan efektif, apabila didukung oleh pelaksanaan atau penegakan hukum. Bagi orang Islam yang taat, melaksanakan hukum adalah suatu kewajiban. Sebab hukum diadakan untuk menjamin ketertiban dan keteraturan demi kepentingan bersama, dan merupakan syarat mutelak untuk kesejahteraan dan kedamaian. Apabila hukum tidak ditegakkan, maka yang terjadi adalah suatu anomie, di mana norma-norma menjadi kabur, bahkan mungkin akan terjadi suatu kekacaauan (chaos) atau ketidakteraturan (disoder), bukan keteraturan (cosmos) dan ketertiban (order). Jika alam mempunyai keteraturan dan ketertiban, maka dalam kehidupan manusia dengan semua pranata sosialnya, semestinya juga mempunyai keteraturan dan ketertiban. Untuk memberi jaminan penegakan hukum, maka pimpinan sekolah secara partisipatif bersama warga sekolah lainnya, menyusun dan menyempurnakan tata tertib guru, pegawai dan siswa (peraturan akademik dan kode etik) sesuai dengan kebutuhan. Dalam hubungannya dengan ini, pimpinan sekolah seyogyanya mampu mengajak semua elemen warga sekolah untuk merenungkan dan menghayati beberapa pokok pikiran berikut ini : 1. Sejauh mana komitmen untuk melaksanakan tugas mulia sebagai pengelola sekolah (pimpinan), guru dan pegawai; 2. Semua guru dan pegawai, termasuk di dalamnya yang terlibat selaku pimpinan sekolah pada mulanya adalah melamar pekerjaan, yang berarti bersedia dan mengikat diri untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Hal ini berlaku juga bagi guru atau pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 3. Kewajiban harus dilaksanakan lebih dahulu, baru diikuti oleh hak, bukan sebaliknya; 4. Setiap organisasi atau instansi, lebih-lebih organisasi pemerintahan diatur oleh seperangkat norma hukum, demi tercapainya tujuan organisasi itu; 5. Penegakan norma hukum, memerlukan dukungan norma moral dari pelaksananya; 6. Pembinaan kepegawaian di Indonesia, khususnya PNS didasarkan atas kombinasi antara sistem karir dan sistem prestasi; 7. Pelanggaran terhadap aturan kepegawaian bisa dikenakan sanksi sesuai undang-undang dan peraturan pemerintah tentang PNS dan tenaga bantu/kontrak, serta peraturan sekolah tentang tenaga guru dan pegawai tidak tetap (GTT/PTT); 8. Apa yang menjadi kewajiban dan hak PNS/GT/PT, guru/pegawai bantu/kontrak dan guru/pegawai tidak tetap (GTT/PTT) ?; 9. Apa fungsi atasan dan bawahan ?; 10. Apa yang menjadi tugas Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Urusan-urusan, KTU dan para pengelola/pembina kegiatan ?; 11. Apakah kita telah memenuhi ketentuan disiplin kerja (kehadiran, izin, sakit, absen, cuti dan tugas dinas lainnya) ?. Perenungan dan penghayatan terhadap pokok-pokok pikiran di atas, yang dilakukan secara positif akan mendatangkan inspirasi positif, yang akan membawa dan mengantarkan kita kepada perbuatan/pelaksanaan kegiatan yang positif pula. Agar keputusan bisa berjalan sebagaimana diharapkan diperlukan adanya komunikasi dan motivasi. Kedua hal ini sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Dalam era informasi dewasa ini, informasi begitu deras dari seluruh penjuru dengan berbagai media, dan dalam intraksi sosial informasi cepat menyebar dari mulut ke mulut, dari orang ke orang lain, dari suatu kelompok ke kelompok yang lain. Sering kali terjadi arus atau penyampaian informasi itu tidak sampai secara utuh, bahkan ada kalanya berkembang isu-isu yang tidak proporsional, sehingga mudah terjadi distorsi dan kesimpulan yang tidak tepat. Untuk menghindari penyampaian informasi yang tidak utuh dan dalam rangka membagi informasi ke semua warga sekolah, perlu diatur jalur informasi dan komunikasi di sekolah. Jalur informasi dan komunikasi dikemas dalam forum pertemuan atau rapat, baik rapat rutin, rapat berkala, rapat koordinasi (antar pengelola sekolah, dan dengan komite sekolah/orang tua peserta didik/masyarakat), maupun rapat yang sifatnya mendesak (sepontan). Rapat mempunyai tujuan untuk : 1. Memberikan petunjuk pelaksanaan tugas; 2. Pemantauan pelaksanaan tugas 3. Pembinaan tenaga guru dan tenaga kependidikan (peningkatan kemampuan kerja, semangat dan gaerah kerja); 4. Mengevaluasi pelaksanaan pekerjaan; 5. Berbagi ilmu atau pengalaman; 6. Membahas usul atau saran yang relevan; 7. Menyampaikan informasi; 8. Tindak lanjut hasil pengawasan atau evaluasi pelaksanaan tugas. Motivasi diakui berperan sangat penting untuk meningkatkan prestasi kerja. Motivasi adalah energi yang mendorong orang untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Dalam rangka memberikan motivasi, pimpinan sekolah (kepala sekolah) hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. Apabila budaya kerja dan partisipasi aktif aparat atau warga sekolah dapat terbentuk dan terlaksana dengan baik, yang orientasi utamanya adalah melaksanakan dan menyukseskan proses pembelajaran, maka peran serta aktif siswa dalam manajemen sekolah akan ikut terdongkrak dan terlibat langsung di dalamnya. Seiring dengan pelaksanaan budaya kerja dan partisipasi aktif warga sekolah, pihak sekolah juga hendaknya berusaha untuk mendorong partisipasi masyarakat, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat, sehingga terdapat jalinan dan suasana yang harmonis antara sekolah dan masyarakat. Dalam rangka memberi jaminan terhadap transparansi dan akuntabilitas, pihak sekolah harus memberikan layanan informasi manajemen atau sistem informasi manajemen (SIM) sekolah, terutama terkait tentang pelaksanaan proses pembelajaran, laporan hasil belajar dan manajemen keuangan, dengan mempertimbangkan keefektifan dan keefesienan. Informasi manajemen diupayakan melalui penyediaan papan informasi untuk memudahkan warga sekolah membacanya, pengiriman hasil perkembangan nilai peserta didik secara langsung kepada orang tua/wali murid (selain raport), mengupayakan tersedianya fasilitas internet untuk memudahkan pengaksesan informasi, dan lain-lainnya. Dengan praktek kepemimpinan di atas, dapat menciptakan suasana kerja yang kondusif, penuh rasa tanggung jawab, dan penuh rasa kekeluargaan (harmonis) untuk memperoleh hasil kerja atau prestasi yang ideal, sesuai dengan yang telah ditetapkan, yang menjadi cita-cita bersama warga sekolah. BAHAN BACAAN : 1. Oemar Hamalik. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2. Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. 2004. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 3. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah. 2006. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. 4. Peraturan Pemerintah Tentang PNS. 2006. Bandung : Penerbit Citra Umbara, Bandung. 5. Syaiful Sagala. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta. Jerowaru Lombok Timur, 21 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.