Jumat, 25 Januari 2013

Komunikasi Menyimpang Siswa dengan Guru (Materi Kajian Pengembangan Karakter Peserta Didik)

Dalam pertemuan atau diskusi saya dengan teman-teman kerja (guru) di sekolah tempat saya bertugas terungkap tentang beberapa hal menarik dan lucu. Beberapa orang guru mengeluh atau menceritakan bagaimana para siswa menyapanya dengan nama yang bukan sebenarnya, bahkan ada guru yang merasa apabila dipanggil oleh siswa dengan nama alias sebagai suatu bentuk “pelecehan” kepada dirinya. Informasi yang saya peroleh melalui obrolan santai untuk mengisi waktu luang dan membangun keakraban dengan para guru itu, membuat saya penasaran dan ingin mengetahui kebenarannya secara langsung. Sebenarnya saya sudah cukup lama mendengar ada bentuk penyebutan seperti itu, yang saya istilahkan dengan komunikasi menyimpang siswa dengan guru, tetapi saya ingin menambah perbendaharaan istilah karena dari hari ke hari nama-nama alias itu semakin berkembang. Untuk itu dalam waktu seminggu, minggu terakhir bulan Oktober tahun 2011 ini, saya mencoba membangun komunikasi dan berintraksi secara lebih intensif dengan para siswa di sekolah. Saya mencoba mendekati tempat-tempat para siswa biasa bergerombolan “ngerumpi” pada saat jam istirahat (keluar main). Saya berupaya untuk mempertajam pendengaran saya ketika para siswa ngobrol dengan teman-temannya di sekitar lingkungan sekolah yang jaraknya cukup jauh dengan saya atau ketika saya lewat di depan kelas mereka untuk mengamati situasi dan kondisi sekolah, serta ketika berbicara dengan gurunya di ruang guru atau di lingkungan sekolah (tempat) lainnya. Dari hasil nguping pembicaraan para siswa itu, saya menjadi tahu dan paham bahwa apa yang dikatakan para guru itu, tentang nama-nama istilah yang diberikan oleh para siswa kepada para gurunya semakin terbukti benar adanya. Hasil nguping membuktikan, para siswa di sekolah tempat saya bertugas memberikan atau memanggil dengan nama lain kepada gurunya disesuaikan atau berkaitan dengan mata pelajaran yang diampu atau materi pelajaran yang dibelajarkan di kelas. Coba mari kita simak dan kaji nama-nama istilah yang berhasil saya kumpulkan dan catat dalam waktu seminggu itu, berikut ini. Nama alias pemberian para siswa yang terbaru dan lagi “ngetren” di sekolah kami adalah nama panggilan lain untuk guru PKn. Para siswa memangginya dengan “Ibu Guru Norma”, karena salah satu materi yang dibelajarkan di kelas dalam mata pelajaran PKn menyangkut tentang norma. Seringnya menyebut atau menjelaskan tentang norma, maka jadilah Ibu guru yang bersangkutan dipanggil dengan nama itu oleh para siswa. Ada lagi nama istilah yang “popular” diberikan untuk guru TIK, yang mengajar mereka tentang materi internet. Karena sering disuruh melakukan penelusuran melalui google dan penggunaan (pengoperasian) jejaring sosial melalui hand phone (HP) yang terkadang signalnya putus-putus (gurunya sering bilang karena signalnya kurang, maka facebooknya tidak bisa), maka dipanggillah Bapak gurunya dengan sebutan “Bapak Guru Google” dan satu lagi disebut dengan “Bapak Guru Signal”. Dengan mengacu pada materi pelajaran yang diberikan dan sering dijelaskan oleh gurunya di kelas, para siswa memanggil bapak ibu gurunya dengan sebutan-sebutan lainnya, seperti ini : “Bu Guru Zigot” untuk guru IPA, “Bapak Guru Endogen” untuk guru IPS, dan “Bapak Guru Syair” untuk guru Bahasa Indonesia. Sebutan-sebutan lain yang sempat saya dengar, yang didasarkan pada mata pelajaran yang diampu, para siswa terkadang menanyakan bapak ibu gurunya di ruang guru dengan pertanyaan, misalnya “ada Ibu Guru IPS ?”, dan “ada Bapak Guru Agama ?”. Itulah beberapa istilah-istilah yang diberikan para siswa kepada bapak ibu gurunya di sekolah tempat saya bertugas. Pengungkapan atau penyebutan istilah-istilah itu, saya anggap sebagai bentuk komunikasi yang menyimpang dari kebiasaan umum. Hal ini muncul sangat dimungkinkan karena faktor-faktor, seperti anak ingin mendapat perhatian, sifat-sifat kekanak-kanakan yang melekat pada diri mereka, eksperesi ketidak tahuan atau pura-pura tidak tahu nama asli gurunya, pelampiasan rasa suka atau tidak suka kepada guru yang bersangkutan, serta bentuk perwujudan “kegaulan” mereka dalam berkomunikasi. Sebenarnya masalah tersebut merupakan sesuatu yang sepele, biasa-biasa saja. Tetapi apabila menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan (berkomunikasi) sehari-hari di sekolah maupun di luar sekolah, dapat menjadi sesuatu yang kurang baik, tidak etis. Hal ini jika dibawa ke konteks yang lebih luas, misalnya dalam hubungannya dengan proses pembelajaran, bisa dijadikan sebagai materi atau bahan kajian dalam pengembangan karakter peserta didik. Sebutan-sebutan yang “nyeleneh” itu, bisa dimasukkan menjadi materi pendalaman atau sebagai muatan materi karakter untuk beberapa mata pelajaran dalam standar kompetensi atau kompetensi dasar (SK/KD) yang sesuai. Misalnya, dalam mata pelajaran IPS bisa dimasukkan ke dalam SK/KD tentang penyimpangan sosial, dalam mata pelajaran PKn bisa ditumpangkan pada SK/KD yang berkaitan tentang nilai atau norma, dan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam bisa dijadikan bahan kajian dalam SK/KD yang menyangkut tentang akhlaq mulia, khususnya yang berhubungan dengan adab ke pada guru atau orang tua. Kebiasaan para siswa tersebut, bila dikaji dari segi kepatutan dalam intraksi sosial merupakan hal yang tidak sepantasnya diucapkan oleh siswa. Hal ini apabila ditarik ke ranah ajaran agama, maka bisa merupakan hal yang dapat mengurangi keberkahan suatu ilmu yang diterima oleh peserta didik. Salah satu syarat berkahnya ilmu pengetahuan adalah peserta didik memiliki adab yang baik, perilaku yang mulia, sopan santun atau berbakti kepada bapak ibu guru yang mengajarnya. Untuk tidak berkembang terus-menerus menjadi suatu kebiasaan, saya dalam kesempatan pertemuan berikutnya dengan bapak ibu guru atau melalui forum rapat kerja, menekankan agar fenomena itu disikapi dengan positif, tidak merasa dilecehkan atau tidak dengan memberikan hukuman fisik kepada peserta didik sebagai pelakunya. Saya mendorong bapak ibu guru menjadikannya sebagai materi pengembangan karakter dalam rangka memberikan penyadaran atau pencerahan tentang bagaimana berkomunikasi dan berintraksi yang baik, beradab dan berbudipekerti baik terhadap bapak ibu guru atau dengan orang-orang yang dituakan, bahkan dengan teman-teman sekolahnya sendiri. Pecerahan tentang karakter dengan mengambil bahan dari fenomena itu, secara umum saya sampaikan melalui kegiatan upacara bendera pada hari Senin. Semoga ini bermanfaat. Jerowaru Lombok Timur, 1 Nopember 2011.
Dalam pertemuan atau diskusi saya dengan teman-teman kerja (guru) di sekolah tempat saya bertugas terungkap tentang beberapa hal menarik dan lucu. Beberapa orang guru mengeluh atau menceritakan bagaimana para siswa menyapanya dengan nama yang bukan sebenarnya, bahkan ada guru yang merasa apabila dipanggil oleh siswa dengan nama alias sebagai suatu bentuk “pelecehan” kepada dirinya. Informasi yang saya peroleh melalui obrolan santai untuk mengisi waktu luang dan membangun keakraban dengan para guru itu, membuat saya penasaran dan ingin mengetahui kebenarannya secara langsung. Sebenarnya saya sudah cukup lama mendengar ada bentuk penyebutan seperti itu, yang saya istilahkan dengan komunikasi menyimpang siswa dengan guru, tetapi saya ingin menambah perbendaharaan istilah karena dari hari ke hari nama-nama alias itu semakin berkembang. Untuk itu dalam waktu seminggu, minggu terakhir bulan Oktober tahun 2011 ini, saya mencoba membangun komunikasi dan berintraksi secara lebih intensif dengan para siswa di sekolah. Saya mencoba mendekati tempat-tempat para siswa biasa bergerombolan “ngerumpi” pada saat jam istirahat (keluar main). Saya berupaya untuk mempertajam pendengaran saya ketika para siswa ngobrol dengan teman-temannya di sekitar lingkungan sekolah yang jaraknya cukup jauh dengan saya atau ketika saya lewat di depan kelas mereka untuk mengamati situasi dan kondisi sekolah, serta ketika berbicara dengan gurunya di ruang guru atau di lingkungan sekolah (tempat) lainnya. Dari hasil nguping pembicaraan para siswa itu, saya menjadi tahu dan paham bahwa apa yang dikatakan para guru itu, tentang nama-nama istilah yang diberikan oleh para siswa kepada para gurunya semakin terbukti benar adanya. Hasil nguping membuktikan, para siswa di sekolah tempat saya bertugas memberikan atau memanggil dengan nama lain kepada gurunya disesuaikan atau berkaitan dengan mata pelajaran yang diampu atau materi pelajaran yang dibelajarkan di kelas. Coba mari kita simak dan kaji nama-nama istilah yang berhasil saya kumpulkan dan catat dalam waktu seminggu itu, berikut ini. Nama alias pemberian para siswa yang terbaru dan lagi “ngetren” di sekolah kami adalah nama panggilan lain untuk guru PKn. Para siswa memangginya dengan “Ibu Guru Norma”, karena salah satu materi yang dibelajarkan di kelas dalam mata pelajaran PKn menyangkut tentang norma. Seringnya menyebut atau menjelaskan tentang norma, maka jadilah Ibu guru yang bersangkutan dipanggil dengan nama itu oleh para siswa. Ada lagi nama istilah yang “popular” diberikan untuk guru TIK, yang mengajar mereka tentang materi internet. Karena sering disuruh melakukan penelusuran melalui google dan penggunaan (pengoperasian) jejaring sosial melalui hand phone (HP) yang terkadang signalnya putus-putus (gurunya sering bilang karena signalnya kurang, maka facebooknya tidak bisa), maka dipanggillah Bapak gurunya dengan sebutan “Bapak Guru Google” dan satu lagi disebut dengan “Bapak Guru Signal”. Dengan mengacu pada materi pelajaran yang diberikan dan sering dijelaskan oleh gurunya di kelas, para siswa memanggil bapak ibu gurunya dengan sebutan-sebutan lainnya, seperti ini : “Bu Guru Zigot” untuk guru IPA, “Bapak Guru Endogen” untuk guru IPS, dan “Bapak Guru Syair” untuk guru Bahasa Indonesia. Sebutan-sebutan lain yang sempat saya dengar, yang didasarkan pada mata pelajaran yang diampu, para siswa terkadang menanyakan bapak ibu gurunya di ruang guru dengan pertanyaan, misalnya “ada Ibu Guru IPS ?”, dan “ada Bapak Guru Agama ?”. Itulah beberapa istilah-istilah yang diberikan para siswa kepada bapak ibu gurunya di sekolah tempat saya bertugas. Pengungkapan atau penyebutan istilah-istilah itu, saya anggap sebagai bentuk komunikasi yang menyimpang dari kebiasaan umum. Hal ini muncul sangat dimungkinkan karena faktor-faktor, seperti anak ingin mendapat perhatian, sifat-sifat kekanak-kanakan yang melekat pada diri mereka, eksperesi ketidak tahuan atau pura-pura tidak tahu nama asli gurunya, pelampiasan rasa suka atau tidak suka kepada guru yang bersangkutan, serta bentuk perwujudan “kegaulan” mereka dalam berkomunikasi. Sebenarnya masalah tersebut merupakan sesuatu yang sepele, biasa-biasa saja. Tetapi apabila menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan (berkomunikasi) sehari-hari di sekolah maupun di luar sekolah, dapat menjadi sesuatu yang kurang baik, tidak etis. Hal ini jika dibawa ke konteks yang lebih luas, misalnya dalam hubungannya dengan proses pembelajaran, bisa dijadikan sebagai materi atau bahan kajian dalam pengembangan karakter peserta didik. Sebutan-sebutan yang “nyeleneh” itu, bisa dimasukkan menjadi materi pendalaman atau sebagai muatan materi karakter untuk beberapa mata pelajaran dalam standar kompetensi atau kompetensi dasar (SK/KD) yang sesuai. Misalnya, dalam mata pelajaran IPS bisa dimasukkan ke dalam SK/KD tentang penyimpangan sosial, dalam mata pelajaran PKn bisa ditumpangkan pada SK/KD yang berkaitan tentang nilai atau norma, dan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam bisa dijadikan bahan kajian dalam SK/KD yang menyangkut tentang akhlaq mulia, khususnya yang berhubungan dengan adab ke pada guru atau orang tua. Kebiasaan para siswa tersebut, bila dikaji dari segi kepatutan dalam intraksi sosial merupakan hal yang tidak sepantasnya diucapkan oleh siswa. Hal ini apabila ditarik ke ranah ajaran agama, maka bisa merupakan hal yang dapat mengurangi keberkahan suatu ilmu yang diterima oleh peserta didik. Salah satu syarat berkahnya ilmu pengetahuan adalah peserta didik memiliki adab yang baik, perilaku yang mulia, sopan santun atau berbakti kepada bapak ibu guru yang mengajarnya. Untuk tidak berkembang terus-menerus menjadi suatu kebiasaan, saya dalam kesempatan pertemuan berikutnya dengan bapak ibu guru atau melalui forum rapat kerja, menekankan agar fenomena itu disikapi dengan positif, tidak merasa dilecehkan atau tidak dengan memberikan hukuman fisik kepada peserta didik sebagai pelakunya. Saya mendorong bapak ibu guru menjadikannya sebagai materi pengembangan karakter dalam rangka memberikan penyadaran atau pencerahan tentang bagaimana berkomunikasi dan berintraksi yang baik, beradab dan berbudipekerti baik terhadap bapak ibu guru atau dengan orang-orang yang dituakan, bahkan dengan teman-teman sekolahnya sendiri. Pecerahan tentang karakter dengan mengambil bahan dari fenomena itu, secara umum saya sampaikan melalui kegiatan upacara bendera pada hari Senin. Semoga ini bermanfaat. Jerowaru Lombok Timur, 1 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.