Minggu, 27 Januari 2013

Dampingi Anak Anda Ketika Belanja

Anak kecil, terutama yang masih usia sekolah taman kanak-kanak (TK), usia 4 – 7 tahun, memiliki sifat lugu dan polos. Sifat ini kadang kala dimanfaatkan oleh orang dewasa, baik untuk tujuan positif maupun bermaksud kurang baik (negatif). Anak-anak seusia itu belum paham benar tentang diri dan kehidupan disekelilingnya. Misalnya saja ketika mereka berbelanja suatu makanan/barang yang diminati. Mereka membelanjakan dan menyerahkan uang yang dibawa dari rumah begitu saja kepada pedagang, tanpa dia tahu apakah ada sisa uang kembaliannya (disusuk). Bagi pedagang yang jujur, kelebihan dari nilai belanja itu tentu saja akan dikembalikan kepada si anak yang belanja. Sebaliknya, bagi pedagang yang kurang/tidak jujur, berpura-pura tidak tahu dan tidak mengembalikan sisa uang belanja si anak. Sifat pedagang yang terakhir ini, jelas memanfaatkan keluguan dan kepolosan si anak. Peristiwa seperti ini pernah dialami oleh anak kami yang nomor tiga. Usianya baru 4 tahun (5 tahun jalan), dan sedang duduk di bangku sekolah TK (TK kelas/kelompok A). Dia bersekolah di TK yang ada di sekolah dasar (SD) tempat Mamanya bertugas, hanya dipisahkan oleh dinding bambu. Di sekolah ini TK itu ada beberapa ibu-ibu yang berjualan makanan dan mainan anak-anak, dan setiap pagi (hari efektif sekolah) selalu datang pedagang mainan anak-anak keliling (pakai sepeda motor). Masih segar dalam ingatan kami tentang peristiwa yang pernah dialami anak kami itu. Pada hari Kamis, 1 Desember 2011, oleh Mamanya dia diberikan uang Rp. 55.000, Rp. 50.000 untuk menabung di sekolahnya, dan Rp. 5.000 untuk belanja. Pada pagi hari itu, ibu guru yang mengajar di TK kebetulan belum datang. Justeru yang lebih awal (pagi) datangnya adalah para ibu dan pedagang keliling yang saya sebutkan tadi di atas. Karena belum belajar, anak kami dan teman-temannya berbelanja, ada yang belanja di ibu-ibu yang berjualan di halaman sekolahnya, dan ada juga yang belanja di pedagang keliling. Menurut penuturan anak kami, pada hari itu dia belanja di pedagang mainan keliling. Entah berapa jumlah belanjaannya, sehingga uang yang diserahkan kepada si pedagang adalah Rp. 50.000. Tetapi dilihat dari barang (mainan) yang dipilih (beli) tidak mungkin harganya mencapai Rp. 50.000. Yang dibelinya satu buah mobil-mobilan kecil dan mainan gangsing dari plastik, yang di pasar paling harganya antara Rp. 10.000 – 15.000 untuk kedua jenis barang tersebut. Karena itu, mestinya anak kami mendapat pengembalian kelebihan uang belanja (disusuk). Tetapi oleh pedagang tersebut tidak diberikan kepada anak kami. Ini mengherankan bagi kami. Pada keesokan harinya, Jum’at, 2 Desember 2011, isteri saya dan anak kami itu, bersama beberapa orang teman sekolahnya yang sama-sama belanja di pedagang keliling tersebut, menayakan tentang masalah itu kepada si pedagang. Ternyata pedagang keliling tersebut bersikukuh kalau anak kami belanja dengan nilai Rp. 50.000 dengan membeli beberapa macam mainan, bukan dua macam katanya, lebih dari dua macam, dan beberapa di antaranya diberikan kepada temannya. Ketika didesak macam-macam mainan yang dibeli pedagang itu ragu-ragu menyebutkan, dan ketika teman-teman anak kami itu ditanya satu-persatu mereka mengaku tidak pernah diberikan dan membeli mainan dengan uangnya sendiri. Dari itu, isteri saya menyimpulkan kalau pedagang itu telah berbohong. Karena tidak mau jujur, pedagang tersebut ditegur oleh kepala SD tempat isteri saya bertugas, yang kebetulan berada dekat dengan tempat mereka berada ketika itu. Oleh kepala sekolah pedagang keliling tersebut diminta untuk berbuat/bersikap jujur, kalau tidak sebaiknya tidak berjualan lagi di sekitar sekolah tersebut. Kejadian seprti itu tidak sekali itu saja di alami oleh anak kami. Pernah juga mengalaminya ketika berbelanja di ibu-ibu yang berjualan di halaman sekolahnya atau pada pedagang yang ada di sekitar tempat tinggal kami. Anak kami itu punya kebiasaan belanja dengan uang yang bernilai Rp. 5.000, baik di sekolah maupun di rumah. Kalau dikasi uang belanja di bawah nilai itu dia tidak mau, dan sanggup menangis lama sekali sampai dikasi uang senilai tersebut. Kalau ditanya mana kembalian dari sisa belanjanya, dia menjawab tidak ada atau tidak dikasi kembaliannya. Kalau kami perhatikan makanan atau mainan yang dibelinya, baik di sekolah maupun di rumah, tidak sampai senilai Rp. 5.000. Oleh karena itu, kadang kala uang belanja untuk di sekolah hanya dipakai satu kali belanja pada waktu sebelum masuk kelas belajar, dan tidak ada untuk belanja pada waktu ke luar main. Karena kehabisan yang belanja, sering kali dia minta dengan nilai uang yang sama pada Mamanya atau kepada saya. Kejadian seperti ini acap kali juga dilakukannya ketika berada (belanja) di rumah. Atas dasar kejaidian-kejadian yang dialami anak kami, saya sarankan kepada isteri saya untuk sedapat mungkin mendampingnya atau menyuruh (minta tolong) pada anak-anak lainnya yang sudah paham untuk menemaninya saat belanja, baik di sekolah maupun di rumah. Di rumah bisa ditemani oleh kakak-kakaknya, dan di sekolah bisa ditemani oleh anak-anak SD yang sudah kelas empat ke atas. Isteri mengikuti saran yang saya berikan. Sehingga beberapa hari terakhir ini, rata-rata uang belanja yang diberikan kepada anak kami itu, bisa dipakai untuk dua kali belanja. Berdasarkan kejadian itu, menggambarkan kejujuran tidak selalu dijunjung tinggi oleh semua pedagang dalam berusaha. Anak-anak kecil, yang punya sifat lugu dan polos, memang gampang dimanfaatkan dan diberdayakan oleh orang dewasa. Mereka mengajarkan atau memberi contoh pebuatan (sikap) tidak jujur pada anak kecil, yang seharusnya tidak perlu mereka alami. Oleh karena itu, ada baiknya ketika anak-anak kita yang masih kecil, didampingi atau ada yang menemani ketika mereka belanja, di rumah maupun di sekolah. Semoga bermanfaat.
Anak kecil, terutama yang masih usia sekolah taman kanak-kanak (TK), usia 4 – 7 tahun, memiliki sifat lugu dan polos. Sifat ini kadang kala dimanfaatkan oleh orang dewasa, baik untuk tujuan positif maupun bermaksud kurang baik (negatif). Anak-anak seusia itu belum paham benar tentang diri dan kehidupan disekelilingnya. Misalnya saja ketika mereka berbelanja suatu makanan/barang yang diminati. Mereka membelanjakan dan menyerahkan uang yang dibawa dari rumah begitu saja kepada pedagang, tanpa dia tahu apakah ada sisa uang kembaliannya (disusuk). Bagi pedagang yang jujur, kelebihan dari nilai belanja itu tentu saja akan dikembalikan kepada si anak yang belanja. Sebaliknya, bagi pedagang yang kurang/tidak jujur, berpura-pura tidak tahu dan tidak mengembalikan sisa uang belanja si anak. Sifat pedagang yang terakhir ini, jelas memanfaatkan keluguan dan kepolosan si anak. Peristiwa seperti ini pernah dialami oleh anak kami yang nomor tiga. Usianya baru 4 tahun (5 tahun jalan), dan sedang duduk di bangku sekolah TK (TK kelas/kelompok A). Dia bersekolah di TK yang ada di sekolah dasar (SD) tempat Mamanya bertugas, hanya dipisahkan oleh dinding bambu. Di sekolah ini TK itu ada beberapa ibu-ibu yang berjualan makanan dan mainan anak-anak, dan setiap pagi (hari efektif sekolah) selalu datang pedagang mainan anak-anak keliling (pakai sepeda motor). Masih segar dalam ingatan kami tentang peristiwa yang pernah dialami anak kami itu. Pada hari Kamis, 1 Desember 2011, oleh Mamanya dia diberikan uang Rp. 55.000, Rp. 50.000 untuk menabung di sekolahnya, dan Rp. 5.000 untuk belanja. Pada pagi hari itu, ibu guru yang mengajar di TK kebetulan belum datang. Justeru yang lebih awal (pagi) datangnya adalah para ibu dan pedagang keliling yang saya sebutkan tadi di atas. Karena belum belajar, anak kami dan teman-temannya berbelanja, ada yang belanja di ibu-ibu yang berjualan di halaman sekolahnya, dan ada juga yang belanja di pedagang keliling. Menurut penuturan anak kami, pada hari itu dia belanja di pedagang mainan keliling. Entah berapa jumlah belanjaannya, sehingga uang yang diserahkan kepada si pedagang adalah Rp. 50.000. Tetapi dilihat dari barang (mainan) yang dipilih (beli) tidak mungkin harganya mencapai Rp. 50.000. Yang dibelinya satu buah mobil-mobilan kecil dan mainan gangsing dari plastik, yang di pasar paling harganya antara Rp. 10.000 – 15.000 untuk kedua jenis barang tersebut. Karena itu, mestinya anak kami mendapat pengembalian kelebihan uang belanja (disusuk). Tetapi oleh pedagang tersebut tidak diberikan kepada anak kami. Ini mengherankan bagi kami. Pada keesokan harinya, Jum’at, 2 Desember 2011, isteri saya dan anak kami itu, bersama beberapa orang teman sekolahnya yang sama-sama belanja di pedagang keliling tersebut, menayakan tentang masalah itu kepada si pedagang. Ternyata pedagang keliling tersebut bersikukuh kalau anak kami belanja dengan nilai Rp. 50.000 dengan membeli beberapa macam mainan, bukan dua macam katanya, lebih dari dua macam, dan beberapa di antaranya diberikan kepada temannya. Ketika didesak macam-macam mainan yang dibeli pedagang itu ragu-ragu menyebutkan, dan ketika teman-teman anak kami itu ditanya satu-persatu mereka mengaku tidak pernah diberikan dan membeli mainan dengan uangnya sendiri. Dari itu, isteri saya menyimpulkan kalau pedagang itu telah berbohong. Karena tidak mau jujur, pedagang tersebut ditegur oleh kepala SD tempat isteri saya bertugas, yang kebetulan berada dekat dengan tempat mereka berada ketika itu. Oleh kepala sekolah pedagang keliling tersebut diminta untuk berbuat/bersikap jujur, kalau tidak sebaiknya tidak berjualan lagi di sekitar sekolah tersebut. Kejadian seprti itu tidak sekali itu saja di alami oleh anak kami. Pernah juga mengalaminya ketika berbelanja di ibu-ibu yang berjualan di halaman sekolahnya atau pada pedagang yang ada di sekitar tempat tinggal kami. Anak kami itu punya kebiasaan belanja dengan uang yang bernilai Rp. 5.000, baik di sekolah maupun di rumah. Kalau dikasi uang belanja di bawah nilai itu dia tidak mau, dan sanggup menangis lama sekali sampai dikasi uang senilai tersebut. Kalau ditanya mana kembalian dari sisa belanjanya, dia menjawab tidak ada atau tidak dikasi kembaliannya. Kalau kami perhatikan makanan atau mainan yang dibelinya, baik di sekolah maupun di rumah, tidak sampai senilai Rp. 5.000. Oleh karena itu, kadang kala uang belanja untuk di sekolah hanya dipakai satu kali belanja pada waktu sebelum masuk kelas belajar, dan tidak ada untuk belanja pada waktu ke luar main. Karena kehabisan yang belanja, sering kali dia minta dengan nilai uang yang sama pada Mamanya atau kepada saya. Kejadian seperti ini acap kali juga dilakukannya ketika berada (belanja) di rumah. Atas dasar kejaidian-kejadian yang dialami anak kami, saya sarankan kepada isteri saya untuk sedapat mungkin mendampingnya atau menyuruh (minta tolong) pada anak-anak lainnya yang sudah paham untuk menemaninya saat belanja, baik di sekolah maupun di rumah. Di rumah bisa ditemani oleh kakak-kakaknya, dan di sekolah bisa ditemani oleh anak-anak SD yang sudah kelas empat ke atas. Isteri mengikuti saran yang saya berikan. Sehingga beberapa hari terakhir ini, rata-rata uang belanja yang diberikan kepada anak kami itu, bisa dipakai untuk dua kali belanja. Berdasarkan kejadian itu, menggambarkan kejujuran tidak selalu dijunjung tinggi oleh semua pedagang dalam berusaha. Anak-anak kecil, yang punya sifat lugu dan polos, memang gampang dimanfaatkan dan diberdayakan oleh orang dewasa. Mereka mengajarkan atau memberi contoh pebuatan (sikap) tidak jujur pada anak kecil, yang seharusnya tidak perlu mereka alami. Oleh karena itu, ada baiknya ketika anak-anak kita yang masih kecil, didampingi atau ada yang menemani ketika mereka belanja, di rumah maupun di sekolah. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.