Minggu, 27 Januari 2013

Relevansi Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengaktualisasikan Visi Pendidikan di Era Otonomi Daerah

Klik Untuk melihat
Kepemimpinan kepala sekolah di satuan pendidikan memiliki fungsi yang strategis untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan program yang telah ditetapkan. Kepala sekolah harus mampu bersikap manusiawi untuk mempersatukan kelompok yang ada di satuan pendidikan yang dipimpinnya, dan menggerakkannya ke arah pencapaian tujuan yang diharapkan. Kepemimpinan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat mengubah potensi menjadi kenyataan. Tindakan yang dilakukan oleh kepala sekolah harus mampu membawa keberhasilan semua potensi yang ada pada satuan pendidikan dan untuk unsur-unsur manusiawi (orang) yang ada di dalamnya, bukan sebaliknya. Seorang kepala sekolah yang manusiawi memiliki kesempatan yang tidak terbatas untuk mengelola potensi-potensi yang dapat mendatangkan keuntungan bagi satuan pendidikannya, dan/atau sebaliknya kepala sekolah yang kurang manusiawi membiarkan potensi-potensi yang mestinya dapat mendukung keberhasilan menjadi sumber kegagalan di sekolah yang dipimpinnya.

Dengan kata lain bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang kondusif, penuh kearifan, dan bernuansa manusiawi, setiap kejelekan akan dapat dirubah menjadi kebaikan, sedangkan otoritas kepemimpinan kepala sekolah yang tidak refresentatif akan cederung memunculkan hal-hal yang baik atau buruk menjadi sebuah bencana. Kegagalan dan keberhasilan suatu sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah selaku pemimpin, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh satuan pendidikan menuju tujuan secara sedemikian rupa dengan mengoptimalkan sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. Perumus serta penentu strategi dan taktik adalah kepala sekolah sebagai pemimpinan di sekolah tersebut. Pada hakekatnya proses kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan atau perilaku orang lain. Dengan demikian, proses kepemimpinan kepala sekolah yang ada di satuan pendidikan akan selalu bersumber pada satu penalaran yaitu pencapaian tujuan, dimana dengan pola kepemimpinan kepala sekolah yang ada akan selalu diiringi dengan adanya mekanisme. Sehubungan dengan nilai strategis kepemimpinan kepala sekolah, maka sebagai pemimpin di sekolah harus memiliki visi yang jelas dalam mengaktualisasikan amanah kepemimpinannya.

Visi merupakan daya pandang jauh ke depan, mendalam, dan luas yang merupakan daya piker abstrak yang memiliki kekuatan dan dapat menerobos segala batas fisik, waktu, dan tempat. Dengan kata lain, visi adalah kristalisasi dan intisari dari suatu kemampuan, kebolehan, dan kebiasaan dalam melihat, menganalisis dan menafsirkan. Berdasarkan makna yang terkandung dalam visi tersebut, visi kepemimpinan yang relevan, termasuk kepemimpinan kepala sekolah, adalah : 1. Visi yang mampu merangsang kreativitas dan bermakna secara fisik-psikologis bagi semua. 2. Visi yang dapat menumbuhkan kebersamaan dan pencarian kolektif bagi semua. 3. Visi yang mampu mereduksi sikap egoistic-individual atau egoistic-unit ke format berpikir kolegalitas, komprehensif, dan bekerja dengan cara-cara yang dapat diterima oleh semua. 4. Visi yang mampu merangsang kesamaan sikap dan sifat dalam aneka perbedaan dan menjadikan perbedaan itu sebagai potensi untuk maju secara senergis. 5. Visi yang mampu merangsang semua, dari hanya bekerja secara proporna ke kinerja rill yang bermaslahat, efektif, efesien dan akuntabilitas tertentu.

Seorang pemimpin (kepala sekolah) yang memiliki visi yang jelas dalam kepemimpinannya akan dapat mengestimasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, serta tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan untuk saat ini dan pada masa mendatang yang sangat berat seiring dengan kemajuan di bidang-bidang lainnya. Seorang kepala sekolah harus dapat membawa warga sekolah yang dipimpinnya sehingga mampu mengantisipasi beberapa kecenderungan tantangan dalam pendidikan, seperti berikut ini : 1. Pendidikan akan dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan sumber manusia, yaitu manusia yang memiliki kemampuan, kepribadian, dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pembangunan. 2. Di dalam dunia kerja, orientasi kepada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan makin kuat. 3. Aspirasi dan harapan masyarakat kepada dunia pendidikan akan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. 4. Bersamaan dengan tuntutan yang semakin kuat akan mutu, semakin kuat pula tuntutan akan perlunya pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan kebutuhan, dan untuk mengembangkan pendidikan yang lebih bermutu dan berdaya saing, dibutuhkan adanya dukungan dari semua pihak, baik pemerintah (pusat dan daerah), warga sekolah, maupun orang tua peserta didik dan masyarakat secara umum. Stakehoder pendidikan tersebut, memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam pendidikan anak bangsa, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Namun seiring dengan adanya kebijakan politik tentang otonomi daerah, unsur-unsur (stakeholder) tersebut, tidak bisa melaksankan tanggung jawab atau kewajibannya secara optimal.

Di era reformasi dan otonomi daerah, telah dikeluarkan kebijakan tentang sekolah gratis dan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM). Kebijakan pemerintah pusat dan derah tersebut, disadari atau tidak dan diakui atau tidak, telah menurutkan partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas. Kebijakan tersebut juga mempengaruhi kepala sekolah dalam menentukan tindakan, merasa risih dan khawatir. Ternyata dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tidak dapat dilaksankan secara merata dan berkeadilan. Disamping itu, pemerintah pusat dan daerah tidak mengikuti kebijakannya dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya mendapat bantuan dana pendidikan. Hal ini semakin dibutuhkan, terutama bagi sekolah-sekolah di wilayah tertinggal dan pinggiran, karena sektor dunia usaha/dunia industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan.

Berangkat dari kerangka berpikir di atas, kepemimpinan kepala sekolah di era otonomi daeran untuk dapat melaksanakan visi yang telah dirumuskan dalam meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan yang dipimpinnya, tetap menempatkan PSM sebagai alternatif pencapaiannya. Pilihan ini mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sekolah secara menyeluruh. Oleh karena satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS. Tetapi satuan pendidikan dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan, serta langkah yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, kepemimpinan kepala sekolah akan dapat mencapai pelaksanaan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, yang tingkatannya tergantung dari kondisi dan daya dukung yang ada, serta visi yang telah ditetapkan. Untuk mengaktualisasikan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, visi kepemimpinan kepala sekolah yang jelas untuk menjawab berbagai tantangan yang ada dalam kependidikan meruapakan pondasi untamanya untuk mencapai empat pilar visi pendidikan dunia yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nation Educational, Scienific and Cultural Organization (UNISCO), yakni learning to think (belajar bagaimana berpikir), learning to do (belajar bagaimana berbuat), learning to be (belajar bagaimana tetap hidup), dan learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Dengan penjabaran visi dasar inilah masyarakat akan mampu menghadapi dan mengantisipasi berbagai bentuk tantangan kehidupan di era sekarang ini dan di masa yang akan datang.

BAHAN BACAAN

Deddy Jacobus (2001), Kepemimpinan. Yogyakarta : Andi.

Depdiknas (2004), Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas (2006). Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

E. Mulyana (2004), Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Sudarwan Danim (2010), Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Alfabeta.

Syaiful Sagala (2005), Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta.

Wahjosumidjo (2001), Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta : Rajagrafindo Persada. Wahjosumidjo (2010), Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI :

a. Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

b. Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);

c. Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Undang-Udang Republik Indonesia :
a. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;

b. Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jerowaru Lombok Timur, 1 Nopember 2011.
Klik Untuk melihat
Kepemimpinan kepala sekolah di satuan pendidikan memiliki fungsi yang strategis untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan program yang telah ditetapkan. Kepala sekolah harus mampu bersikap manusiawi untuk mempersatukan kelompok yang ada di satuan pendidikan yang dipimpinnya, dan menggerakkannya ke arah pencapaian tujuan yang diharapkan. Kepemimpinan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat mengubah potensi menjadi kenyataan. Tindakan yang dilakukan oleh kepala sekolah harus mampu membawa keberhasilan semua potensi yang ada pada satuan pendidikan dan untuk unsur-unsur manusiawi (orang) yang ada di dalamnya, bukan sebaliknya. Seorang kepala sekolah yang manusiawi memiliki kesempatan yang tidak terbatas untuk mengelola potensi-potensi yang dapat mendatangkan keuntungan bagi satuan pendidikannya, dan/atau sebaliknya kepala sekolah yang kurang manusiawi membiarkan potensi-potensi yang mestinya dapat mendukung keberhasilan menjadi sumber kegagalan di sekolah yang dipimpinnya.

Dengan kata lain bahwa kepemimpinan kepala sekolah yang kondusif, penuh kearifan, dan bernuansa manusiawi, setiap kejelekan akan dapat dirubah menjadi kebaikan, sedangkan otoritas kepemimpinan kepala sekolah yang tidak refresentatif akan cederung memunculkan hal-hal yang baik atau buruk menjadi sebuah bencana. Kegagalan dan keberhasilan suatu sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah selaku pemimpin, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh satuan pendidikan menuju tujuan secara sedemikian rupa dengan mengoptimalkan sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun dan dijalankan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. Perumus serta penentu strategi dan taktik adalah kepala sekolah sebagai pemimpinan di sekolah tersebut. Pada hakekatnya proses kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan atau perilaku orang lain. Dengan demikian, proses kepemimpinan kepala sekolah yang ada di satuan pendidikan akan selalu bersumber pada satu penalaran yaitu pencapaian tujuan, dimana dengan pola kepemimpinan kepala sekolah yang ada akan selalu diiringi dengan adanya mekanisme. Sehubungan dengan nilai strategis kepemimpinan kepala sekolah, maka sebagai pemimpin di sekolah harus memiliki visi yang jelas dalam mengaktualisasikan amanah kepemimpinannya.

Visi merupakan daya pandang jauh ke depan, mendalam, dan luas yang merupakan daya piker abstrak yang memiliki kekuatan dan dapat menerobos segala batas fisik, waktu, dan tempat. Dengan kata lain, visi adalah kristalisasi dan intisari dari suatu kemampuan, kebolehan, dan kebiasaan dalam melihat, menganalisis dan menafsirkan. Berdasarkan makna yang terkandung dalam visi tersebut, visi kepemimpinan yang relevan, termasuk kepemimpinan kepala sekolah, adalah : 1. Visi yang mampu merangsang kreativitas dan bermakna secara fisik-psikologis bagi semua. 2. Visi yang dapat menumbuhkan kebersamaan dan pencarian kolektif bagi semua. 3. Visi yang mampu mereduksi sikap egoistic-individual atau egoistic-unit ke format berpikir kolegalitas, komprehensif, dan bekerja dengan cara-cara yang dapat diterima oleh semua. 4. Visi yang mampu merangsang kesamaan sikap dan sifat dalam aneka perbedaan dan menjadikan perbedaan itu sebagai potensi untuk maju secara senergis. 5. Visi yang mampu merangsang semua, dari hanya bekerja secara proporna ke kinerja rill yang bermaslahat, efektif, efesien dan akuntabilitas tertentu.

Seorang pemimpin (kepala sekolah) yang memiliki visi yang jelas dalam kepemimpinannya akan dapat mengestimasi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, serta tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan untuk saat ini dan pada masa mendatang yang sangat berat seiring dengan kemajuan di bidang-bidang lainnya. Seorang kepala sekolah harus dapat membawa warga sekolah yang dipimpinnya sehingga mampu mengantisipasi beberapa kecenderungan tantangan dalam pendidikan, seperti berikut ini : 1. Pendidikan akan dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan sumber manusia, yaitu manusia yang memiliki kemampuan, kepribadian, dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pembangunan. 2. Di dalam dunia kerja, orientasi kepada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan makin kuat. 3. Aspirasi dan harapan masyarakat kepada dunia pendidikan akan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. 4. Bersamaan dengan tuntutan yang semakin kuat akan mutu, semakin kuat pula tuntutan akan perlunya pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan kebutuhan, dan untuk mengembangkan pendidikan yang lebih bermutu dan berdaya saing, dibutuhkan adanya dukungan dari semua pihak, baik pemerintah (pusat dan daerah), warga sekolah, maupun orang tua peserta didik dan masyarakat secara umum. Stakehoder pendidikan tersebut, memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam pendidikan anak bangsa, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Namun seiring dengan adanya kebijakan politik tentang otonomi daerah, unsur-unsur (stakeholder) tersebut, tidak bisa melaksankan tanggung jawab atau kewajibannya secara optimal.

Di era reformasi dan otonomi daerah, telah dikeluarkan kebijakan tentang sekolah gratis dan pemberiaan dana bantuan siswa miskin (BSM). Kebijakan pemerintah pusat dan derah tersebut, disadari atau tidak dan diakui atau tidak, telah menurutkan partisipasi masyarakat (PSM), baik yang bertalian dengan masalah material maupun yang berhubungan dengan partisipasi yang lebih luas. Kebijakan tersebut juga mempengaruhi kepala sekolah dalam menentukan tindakan, merasa risih dan khawatir. Ternyata dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, tidak dapat dilaksankan secara merata dan berkeadilan. Disamping itu, pemerintah pusat dan daerah tidak mengikuti kebijakannya dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah, dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Banyak sekolah yang keadaan fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya dalam amanat perundang-undangan dan ketentuan tertulis lainnya yang berlaku di negeri ini, telah dipaparkan secara tegas tentang makna yang sebenarnya dari kebijakan sekolah gratis. Dalam peraturan tertulis itu pula telah ditetapkan garis pembatas yang jelas tentang kewajiban pendanaan pendidikan atau kewajiban memfasilitasi yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Nampaknya kita sepakat bahwa untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dan dapat diandalkan dalam era gelobalisasi dan persaingan dewasa ini dan di masa depan, perlu dibangun tentang kesadaran dan kemauan berbuat dari semua pengelola dan stakeholder pendididikan, serta harus didukung oleh adanya rasa memiliki pendidikan itu sendiri sebagai asset masa depan yang diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kewajiban masing-masing, sehingga hak menjadi jelas diterima dan bermakna dalam kehidupan. Ini bukan berarti mengebiri hak-hak peserta didik yang miskin dalam memperoleh pendidikan. Mereka tentu saja tidak ikut diwajibkan atau dibebani dalam membiayai operasional sekolah melalui PSM. Ini menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk memenuhinya secara merata dan menyeluruh sesuai dengan jumlah yang seharusnya mendapat bantuan dana pendidikan. Hal ini semakin dibutuhkan, terutama bagi sekolah-sekolah di wilayah tertinggal dan pinggiran, karena sektor dunia usaha/dunia industri (DU/DI) tidak mendukung atau tidak ada yang dapat dijadikan mitra yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan.

Berangkat dari kerangka berpikir di atas, kepemimpinan kepala sekolah di era otonomi daeran untuk dapat melaksanakan visi yang telah dirumuskan dalam meningkatkan mutu pendidikan di satuan pendidikan yang dipimpinnya, tetap menempatkan PSM sebagai alternatif pencapaiannya. Pilihan ini mengingat bahwa pada kenyataannya pemerintah memiliki keterbatasan pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sekolah secara menyeluruh. Oleh karena satuan pendidikan tidak seharusnya “diinterfensi” untuk tidak diperbolehkan sama sekali dalam menggerakkan PSM. “Tekanan” yang dilakukan seharusnya feleksibel dan tidak mematikan usaha untuk melakukan inovasi di sekolah, mengingat PSM diperbolehkan dalam peraturan tertulis dan merupakan aspek penting dalam keterlaksanaan MBS. Tetapi satuan pendidikan dalam melakukan terobosan untuk melibatkan PSM dalam rangka mengelola dan membangun pendidikan yang bermutu dan berdaya saing, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di sekitar satuan pendidikan itu sendiri. Sehingga semua pihak menjadi kondusif dan tidak merasa dirugikan, serta langkah yang diambil dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, kepemimpinan kepala sekolah akan dapat mencapai pelaksanaan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, yang tingkatannya tergantung dari kondisi dan daya dukung yang ada, serta visi yang telah ditetapkan. Untuk mengaktualisasikan pendidikan yang lebih relevan, lebih merata, lebih adil, dan lebih manusiawi, visi kepemimpinan kepala sekolah yang jelas untuk menjawab berbagai tantangan yang ada dalam kependidikan meruapakan pondasi untamanya untuk mencapai empat pilar visi pendidikan dunia yang telah ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nation Educational, Scienific and Cultural Organization (UNISCO), yakni learning to think (belajar bagaimana berpikir), learning to do (belajar bagaimana berbuat), learning to be (belajar bagaimana tetap hidup), dan learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Dengan penjabaran visi dasar inilah masyarakat akan mampu menghadapi dan mengantisipasi berbagai bentuk tantangan kehidupan di era sekarang ini dan di masa yang akan datang.

BAHAN BACAAN

Deddy Jacobus (2001), Kepemimpinan. Yogyakarta : Andi.

Depdiknas (2004), Panduan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Depdiknas (2006). Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

E. Mulyana (2004), Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Sudarwan Danim (2010), Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Alfabeta.

Syaiful Sagala (2005), Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta : PT. Rakastra Samasta.

Wahjosumidjo (2001), Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta : Rajagrafindo Persada. Wahjosumidjo (2010), Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI :

a. Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

b. Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);

c. Nomor 37 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Undang-Udang Republik Indonesia :
a. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;

b. Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jerowaru Lombok Timur, 1 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.