Minggu, 27 Januari 2013

Kementerian Agama Mengajarkan Korupsi Kepada Calon Jamaah Haji?

Tulisan ini terinspirasi dari hasil pertemuan komisi VIII DPR dengan Menteri Agama Suryadharma Ali kemarin, 5 Desember 2011. Dalam pertemuan ini, komisi VIII DPR membeberkan tentang berbagai kelemahan penyelenggaraan haji tahun 2011. Yang paling mengemuka dan menjadi sorotan utama anggota dewan adalah tentang adanya pungutan liar (pungli) terhadap calon jamaah haji (CJH) sebelum berangkat ke tanah suci. Bentuk pungutan pungli yang dilakukan, yaitu adanya tambahan ongkos pakaian batik dan tambahan biaya (ongkos) bagasi di luar ketentuan yang telah ditetapkan. Ongkos seragam batik bervariasi mulai dari Rp. 110.000 hingga Rp. 1.350.000, dan tambahan biaya CJH di Provinsi Papua sebesar Rp. 800.000 per jamaah untuk ongkos bagasi (Harian Lombok, 6 Desember 2011). Kejadian ini tentu saja mengherankan, karena bentuk-bentuk tambahan biaya itu tidak ada aturannya, tidak jelas penggunaannya, dan tidak ada pertanggung jawabkan. Kejadian ini, apabila betul adanya, maka masuk ke dalam ranah korupsi. Berarti Kementerian Agama (Kemenag), secara langsung maupun tidak langusung, telah mengajarkan tidakan melakukan korupsi kepada CJH. Budaya pungli terhadap CJH memang telah lama terdengar, dialami oleh CJH tahun-tahun sebelumnya. Tetapi kenapa sampai dengan sekarang masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Dengan adanya kasus ini, walaupun belum terbukti, menguatkan indikasi tentang kedudukan Kemeneg sebagai lembaga terkorup di Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini mengeherankan mengingat Kemenag merupakan lembaga pengayom (Pembina) ummat dalam bidang keagamaan. Dengan keadaan seperti itu, dapat menurunkan kualitas ibadah haji ummat. Bisa jadi uang hasil pungli tersebut tidak sampai ke Kemenag pusat, tetapi dilakukan oleh oknom-oknom Kemenag di tingkat daerah. Mengingat adanya dugaan dan indikasi-indikasi sebelumnya, maka hal ini bisa jadi benar adanya. Ada benarnya juga argumentasi yang disampaikan oleh Menteri Agama, bahwa “Kami ini bukan malaikat, yang tidak bisa lepas dari kekurangan. Tetapi kita ini juga bukan setan, yang tidak memiliki kebaikan” (Harian Lombok Post, 6 Desember 2011). Tetapi saya kira bukan itu yang dimaksudkan, melainkan pelayanan terbaik yang diberikan kepada jemaah haji, sehingga mereka menjadi tenang dan khusuk dalam menjalankan ibadahnya. Kalau kejadian-kejadian serupa berulang tanpa bisa diatasi, maka mencerminkan belum ada langkah-langkah antisipasi dan pelayanan terbaik terbaik bagi CJH atau jamaah haji itu sendiri. Untuk membuktikan hal itu, dan menghindari fitnah, maka saya setuju dengan pendapat komisi VIII DPR yang akan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK untuk melakukan audit investigasi keuangan penyelenggaraan haji dengan melibatkan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat besarnya uang CJH yang disimpan bank dan dikelola oleh Kemenag. Sebagaimana diungkapkan oleh Johan Wahyudi, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Menelisik Korupsi di Kementerian Agama” (http://hukum.kompasiana.com/2011/12/06), yang menggambarkan tentang analisis besarnya uang CJH dan bunganya yang tesimpan di bank, dan penggunaannya belum diketahui dengan jelas (transparan). Apabila dari hasil audit BPK dan KPK, semua ini tidak terbukti, berarti Kemenag adalah lembaga bersih dan tidak mengajarkan (mencontohkan) perbuatan yang salah pada CJH. Sebaliknya, apabila fakta menunjukan adanya perbuatan korupsi, maka sesungguhnya Kemenag merupakan lembaga yang melestarikan budaya korupsi dan menularkannya kepada CJH. Tidakkah perbuatan (budaya) semacam ini, apabila terbukti, sama halnya dengan mengurangi arti dari pelaksanaan ibadah haji, dan mengurangi kemabruran seseorang dalam menjalankan ibadah haji ? Jerowaru Lombok Timur, 6 Desember 2011.
Tulisan ini terinspirasi dari hasil pertemuan komisi VIII DPR dengan Menteri Agama Suryadharma Ali kemarin, 5 Desember 2011. Dalam pertemuan ini, komisi VIII DPR membeberkan tentang berbagai kelemahan penyelenggaraan haji tahun 2011. Yang paling mengemuka dan menjadi sorotan utama anggota dewan adalah tentang adanya pungutan liar (pungli) terhadap calon jamaah haji (CJH) sebelum berangkat ke tanah suci. Bentuk pungutan pungli yang dilakukan, yaitu adanya tambahan ongkos pakaian batik dan tambahan biaya (ongkos) bagasi di luar ketentuan yang telah ditetapkan. Ongkos seragam batik bervariasi mulai dari Rp. 110.000 hingga Rp. 1.350.000, dan tambahan biaya CJH di Provinsi Papua sebesar Rp. 800.000 per jamaah untuk ongkos bagasi (Harian Lombok, 6 Desember 2011). Kejadian ini tentu saja mengherankan, karena bentuk-bentuk tambahan biaya itu tidak ada aturannya, tidak jelas penggunaannya, dan tidak ada pertanggung jawabkan. Kejadian ini, apabila betul adanya, maka masuk ke dalam ranah korupsi. Berarti Kementerian Agama (Kemenag), secara langsung maupun tidak langusung, telah mengajarkan tidakan melakukan korupsi kepada CJH. Budaya pungli terhadap CJH memang telah lama terdengar, dialami oleh CJH tahun-tahun sebelumnya. Tetapi kenapa sampai dengan sekarang masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Dengan adanya kasus ini, walaupun belum terbukti, menguatkan indikasi tentang kedudukan Kemeneg sebagai lembaga terkorup di Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini mengeherankan mengingat Kemenag merupakan lembaga pengayom (Pembina) ummat dalam bidang keagamaan. Dengan keadaan seperti itu, dapat menurunkan kualitas ibadah haji ummat. Bisa jadi uang hasil pungli tersebut tidak sampai ke Kemenag pusat, tetapi dilakukan oleh oknom-oknom Kemenag di tingkat daerah. Mengingat adanya dugaan dan indikasi-indikasi sebelumnya, maka hal ini bisa jadi benar adanya. Ada benarnya juga argumentasi yang disampaikan oleh Menteri Agama, bahwa “Kami ini bukan malaikat, yang tidak bisa lepas dari kekurangan. Tetapi kita ini juga bukan setan, yang tidak memiliki kebaikan” (Harian Lombok Post, 6 Desember 2011). Tetapi saya kira bukan itu yang dimaksudkan, melainkan pelayanan terbaik yang diberikan kepada jemaah haji, sehingga mereka menjadi tenang dan khusuk dalam menjalankan ibadahnya. Kalau kejadian-kejadian serupa berulang tanpa bisa diatasi, maka mencerminkan belum ada langkah-langkah antisipasi dan pelayanan terbaik terbaik bagi CJH atau jamaah haji itu sendiri. Untuk membuktikan hal itu, dan menghindari fitnah, maka saya setuju dengan pendapat komisi VIII DPR yang akan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK untuk melakukan audit investigasi keuangan penyelenggaraan haji dengan melibatkan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat besarnya uang CJH yang disimpan bank dan dikelola oleh Kemenag. Sebagaimana diungkapkan oleh Johan Wahyudi, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Menelisik Korupsi di Kementerian Agama” (http://hukum.kompasiana.com/2011/12/06), yang menggambarkan tentang analisis besarnya uang CJH dan bunganya yang tesimpan di bank, dan penggunaannya belum diketahui dengan jelas (transparan). Apabila dari hasil audit BPK dan KPK, semua ini tidak terbukti, berarti Kemenag adalah lembaga bersih dan tidak mengajarkan (mencontohkan) perbuatan yang salah pada CJH. Sebaliknya, apabila fakta menunjukan adanya perbuatan korupsi, maka sesungguhnya Kemenag merupakan lembaga yang melestarikan budaya korupsi dan menularkannya kepada CJH. Tidakkah perbuatan (budaya) semacam ini, apabila terbukti, sama halnya dengan mengurangi arti dari pelaksanaan ibadah haji, dan mengurangi kemabruran seseorang dalam menjalankan ibadah haji ? Jerowaru Lombok Timur, 6 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.