Jumat, 25 Januari 2013

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN IPS TERPADU

Pada beberapa kali pertemuan dengan guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang ada di sekolah tempat saya bertugas, terungkap beberapa hal terkait dengan pembelajaran mata pelajaran tersebut di sekolah. Ada guru yang menolak dan/atau merasa terpaksa mengajarkan mata pelajaran IPS secara terpadu, menginginkan model pembelajarannya secara terpisah sesuai dengan bahan kajian keilmuannya. Guru yang bersangkutan merasa tidak sanggup membelajarkan materi IPS yang tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan (spesialisasinya). Misalnya di LPTK ia mengambil spesialisasi ilmu pendidikan sejarah, maka yang ingin dibelajarkan pada peserta didik terbatas pada materi yang bersangkutan dengan materi sejarah saja, sedangkan materi (bahan) kajian lainnya ingin diserahkan pada guru IPS yang memiliki spesialisasi yang sesuai. Pada hal di sekolah guru tetap mata pelajaran IPS sangat terbatas, terkadang hanya tersedia satu atau dua orang yang memiliki spesialisasi khusus di bidangnya. Mengangkat guru honor (guru tidak tetap), merupakan masalah tersendiri bagi sekolah, lebih-lebih bagi sekolah kecil dan pinggiran, karena akan menyangkut anggaran yang terbatas untuk membayar honornya, dan bisa jadi kalau sekolah memasukkan guru honor, jam wajib mengajar (tatap muka di kelas) bagi guru tetap yang bersangkutan menjadi tidak terpenuhi sesuai dengan tuntutan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan serupa sering pula saya dengar pada saat melakukan diskusi di berbagai kesempatan pelatihan atau pertemuan dinas (kerja), baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, dengan beberapa teman kepala sekolah yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama atau sama-sama mengajar mata pelajaran IPS. Dalam diskusi itu, beberapa teman mengeluhkan tentang beberapa persoalan yang mengganjal terkait pembelajaran IPS di sekolahnya, misalnya : 1) ketidaksiapan dari guru-guru yang ada di sekolahnya untuk membelajarkan IPS secara terpadu, mengingat terbatasnya tenaga guru yang ada; 2) tidak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran IPS yang sesuai dengan kebutuhan; dan 3) masih rendahnya hasil pembelajaran IPS di sekolah. Berdasarkan gambaran di atas, pembelajaran IPS di sekolah (SMP) masih memiliki persoalan yang mendasar, terutama yang menyangkut tentang guru yang membelajarkannya. Permasalahan ini tidak bisa didiamkan dan harus dicarikan solusinya, sehingga peserta didik menerima pembelajaran IPS dengan bermakna, baik secara akademis maupun untuk kehidupan sehari-hari mereka. Mata pelajaran IPS di tingkat SMP dalam Kurikulum 2004, sebagai mana tertuang dalam buku Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu (Depdiknas, 2006), mencakup bahan kajian ”geografi, ekonomi, sejarah dan sosiologi”, yang dibelajarkan, seperti disebutkan oleh Sapriya (2009), secara ”terpadu (integrated)”. Dalam sistem pembelajaran IPS seperti ini, di lapangan (sekolah) ditemukan beberapa masalah mendasar seperti sudah disebutkan di atas. Permasalahan tersebut, apabila dibatasi maka persoalannya bersangkutan dengan kualitas pembelajaran IPS di sekolah, baik yang berkaitan dengan kualitas guru yang membelajarkannya, maupun yang bertalian dengan cara pembelajarannya. Sejalan dengan itu, Sapriya (2009), mengatakan ” Dalam bidang pendidikan IPS (PIPS), baik yang bersifat school based maupun community based tantangan yang dihadapi tidaklah sederhana,.....Tantangan mendesak yang perlu dijawab adalah terkait dengan upaya peningkatan kualitas (mutu) pendidikan. Salah satu variabel yang punya kontribusi cukup besar terhadap baik buruknya kualitas pendidikan adalah unsur guru atau pendidik. Berdasarkan pendapat di atas, maka peningkatan kualitas tenaga pendidik IPS untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik di sekolah, merupakan prioritas yang harus diperhatikan secara serius. Diakui atau tidak, masih ada kecenderungan guru dalam pembelajaran IPS menggunakan cara konvensional atau tradisional, pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Hal ini di samping disebabkan oleh masih kurangnya fasilitas (sarana) belajar IPS, juga didorong oleh rendahnya pemahaman dan pengelaman guru tentang proses pembelajaran yang bermutu (bermakna) bagi peserta didik, termasuk di dalamnya cara pembelajaran IPS terpadu yang efektif. Di sekolah yang kekurangan tenaga pendidik, model pembelajaran IPS terpadu, tidak bisa terselenggara dengan baik mengingat guru kurang menguasai bahan kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang lain, selain yang menjadi spesialisasinya. Pada hakekatnya pembelajaran IPS di sekolah (SMP) yang bersifat terpadu (integrated) bertujuan ”agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik sehingga pengorganisasian materi/bahan pelajaran disesuaikan dengan lingkungan, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik” (Sapriya, 2009). Sehingga peserta didik dapat menguasai dimensi-dimensi pembelajaran IPS di sekolah, yaitu : ”menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action)” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu mata pelajaran IPS, menurut Sapriya (2009), merupakan ”seleksi dan integrasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu-ilmu lain yang relevan, dikemas secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan sosio-kultural untuk tujuan pendidikan.....Untuk memahami masalah pendidikan IPS seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial”. Menyadari akan hal di atas, maka sesungguhnya pembelajaran IPS yang bersifat terpadu di sekolah-sekolah tidak ada masalah, terutama tingkat satuan pendidikan SMP, walaupun guru IPS yang ada kurang atau tidak tersedia semua guru yang memiliki spesialisasi pendidikan yang lengkap. Misalnya di suatu sekolah hanya tersedia guru IPS dari spesialisasi keahlian pendidikan sejarah atau pendidikan geografi saja, sedangkan yang berasal dari spesialisasi keilmuan pendidikan ekonomi dan sosiologi tidak ada. Hal ini seyogyanya bukan menjadi masalah apabila tenaga guru yang ada memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial, bukan hanya paham terhadap bidang keilmuan yang menjadi spesialisasinya semata. Guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diaorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemaunisan. Untuk menuju ke arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari : ”landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan landasan religius” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk mampu menguasai dan melaksanakan pendekatan yang mampu mendorong dan mengantarkan peserta didik untuk memperoleh integrasi dari nilai-nilai secara utuh dan bermakna, dari masa lampau sampai masa kini dalam pembelajaran IPS yang mereka terima. Ini berarti mengandung maksud, bahwa dalam proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan terpadu secara lebih lengkap, sebagaimana terdapat dalam buku Depdiknas (2006), bahwa : Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu. Keberhasilan dalam menguasai dan menerapkan pendekatan di atas, harus didukung dengan adannya keinginan yang untuk melakukan pengembangan diri secara berkesinambungan, yang bisa dilakukan melalui berbagai cara atau jalur, bisa dengan studi lanjut, pelatihan, MGMP, dan lain sebagainya. Dengan begitu setiap guru IPS dapat menjaga dan mengembangkan pengetahuannya, yang sangat berguna dalam pembelajaran bagi peserta didik. Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat karena ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, serta kebutuhan peserta didik terus mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih maju. Perubahan-perubahan tersebut juga memiliki dampak negatif, termasuk bagi peserta didik. Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk sanggup mengabdi terhadap perubahan kehidupan secara umum, dan perubahan dalam pembelajaran. Tanpa adanya keinginan semacam ini, maka pembelajaran IPS di sekolah akan tetap dilakukan dengan cara konvensional atau tradisional, tidak dilakukan dengan strategi dan metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dalam rangka pengembangan diri berkelanjutan tenaga pendidik, termasuk guru IPS di SMP, pemerintah pusat dan daerah sudah pada tempatnya lebih pro aktif dalam memfasilitasinya. Setelah era otonemi daerah, diakui atau tidak, kesempatan guru untuk mengembangkan diri sangat sedikit dan tidak bisa diikuti secara merata dan berkeadilan. Disamping membantu guru dalam hal studi lanjut, pelatihan dan sejenisnya, pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya harus mampu mendorong terselenggaranya kegiatan MGMP IPS yang aktif dan berdaya guna untuk menunjang pembelajaran IPS di sekolah. Kegiatan MGMP IPS di daerah Kabuapaten Lombok Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, selama ini sangat kurang sekali dan dilaksanakan tanpa maksud dan tujuan yang jelas, sehingga tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam kegiatan proses pembelajaran IPS di sekolah (SMP). Ini menjadi sangat penting, mengingat tenaga guru IPS di setiap SMP masih sangat kurang, atau pemerintah belum mampu mengangkat guru IPS secara keseluruhan sesuai dengan spesialisasi keilmuannya. Semakin lebih penting lagi karena guru IPS belum memiliki tingkat kemampuan memahami dan menguasai ilmu-ilmu sosial yang secara mantap, ada kecenderungan di antara mereka hanya mau menggeluti atau menguasai bidang keilmuan sosial yang hanya menjadi spesialisasinya dan tidak bersifat terpadu. Dengan begitu diharapkan terjadi peningkatan perolehan nilai hasil belajar peserta didik secera signifikan dalam mata pelajaran IPS. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, Negah Bawa, 1992 “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud. Depdiknas RI, 2006 Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta : Depdiknas. Sapriya, 2009 Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : Penerbit : PT Rosdakarya. Jerowaru Lombok Timur, 31 Oktober 2011.
Pada beberapa kali pertemuan dengan guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang ada di sekolah tempat saya bertugas, terungkap beberapa hal terkait dengan pembelajaran mata pelajaran tersebut di sekolah. Ada guru yang menolak dan/atau merasa terpaksa mengajarkan mata pelajaran IPS secara terpadu, menginginkan model pembelajarannya secara terpisah sesuai dengan bahan kajian keilmuannya. Guru yang bersangkutan merasa tidak sanggup membelajarkan materi IPS yang tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan (spesialisasinya). Misalnya di LPTK ia mengambil spesialisasi ilmu pendidikan sejarah, maka yang ingin dibelajarkan pada peserta didik terbatas pada materi yang bersangkutan dengan materi sejarah saja, sedangkan materi (bahan) kajian lainnya ingin diserahkan pada guru IPS yang memiliki spesialisasi yang sesuai. Pada hal di sekolah guru tetap mata pelajaran IPS sangat terbatas, terkadang hanya tersedia satu atau dua orang yang memiliki spesialisasi khusus di bidangnya. Mengangkat guru honor (guru tidak tetap), merupakan masalah tersendiri bagi sekolah, lebih-lebih bagi sekolah kecil dan pinggiran, karena akan menyangkut anggaran yang terbatas untuk membayar honornya, dan bisa jadi kalau sekolah memasukkan guru honor, jam wajib mengajar (tatap muka di kelas) bagi guru tetap yang bersangkutan menjadi tidak terpenuhi sesuai dengan tuntutan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan serupa sering pula saya dengar pada saat melakukan diskusi di berbagai kesempatan pelatihan atau pertemuan dinas (kerja), baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi, dengan beberapa teman kepala sekolah yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama atau sama-sama mengajar mata pelajaran IPS. Dalam diskusi itu, beberapa teman mengeluhkan tentang beberapa persoalan yang mengganjal terkait pembelajaran IPS di sekolahnya, misalnya : 1) ketidaksiapan dari guru-guru yang ada di sekolahnya untuk membelajarkan IPS secara terpadu, mengingat terbatasnya tenaga guru yang ada; 2) tidak tersedianya fasilitas pendukung pembelajaran IPS yang sesuai dengan kebutuhan; dan 3) masih rendahnya hasil pembelajaran IPS di sekolah. Berdasarkan gambaran di atas, pembelajaran IPS di sekolah (SMP) masih memiliki persoalan yang mendasar, terutama yang menyangkut tentang guru yang membelajarkannya. Permasalahan ini tidak bisa didiamkan dan harus dicarikan solusinya, sehingga peserta didik menerima pembelajaran IPS dengan bermakna, baik secara akademis maupun untuk kehidupan sehari-hari mereka. Mata pelajaran IPS di tingkat SMP dalam Kurikulum 2004, sebagai mana tertuang dalam buku Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu (Depdiknas, 2006), mencakup bahan kajian ”geografi, ekonomi, sejarah dan sosiologi”, yang dibelajarkan, seperti disebutkan oleh Sapriya (2009), secara ”terpadu (integrated)”. Dalam sistem pembelajaran IPS seperti ini, di lapangan (sekolah) ditemukan beberapa masalah mendasar seperti sudah disebutkan di atas. Permasalahan tersebut, apabila dibatasi maka persoalannya bersangkutan dengan kualitas pembelajaran IPS di sekolah, baik yang berkaitan dengan kualitas guru yang membelajarkannya, maupun yang bertalian dengan cara pembelajarannya. Sejalan dengan itu, Sapriya (2009), mengatakan ” Dalam bidang pendidikan IPS (PIPS), baik yang bersifat school based maupun community based tantangan yang dihadapi tidaklah sederhana,.....Tantangan mendesak yang perlu dijawab adalah terkait dengan upaya peningkatan kualitas (mutu) pendidikan. Salah satu variabel yang punya kontribusi cukup besar terhadap baik buruknya kualitas pendidikan adalah unsur guru atau pendidik. Berdasarkan pendapat di atas, maka peningkatan kualitas tenaga pendidik IPS untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi peserta didik di sekolah, merupakan prioritas yang harus diperhatikan secara serius. Diakui atau tidak, masih ada kecenderungan guru dalam pembelajaran IPS menggunakan cara konvensional atau tradisional, pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Hal ini di samping disebabkan oleh masih kurangnya fasilitas (sarana) belajar IPS, juga didorong oleh rendahnya pemahaman dan pengelaman guru tentang proses pembelajaran yang bermutu (bermakna) bagi peserta didik, termasuk di dalamnya cara pembelajaran IPS terpadu yang efektif. Di sekolah yang kekurangan tenaga pendidik, model pembelajaran IPS terpadu, tidak bisa terselenggara dengan baik mengingat guru kurang menguasai bahan kajian tentang ilmu-ilmu sosial yang lain, selain yang menjadi spesialisasinya. Pada hakekatnya pembelajaran IPS di sekolah (SMP) yang bersifat terpadu (integrated) bertujuan ”agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik sehingga pengorganisasian materi/bahan pelajaran disesuaikan dengan lingkungan, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik” (Sapriya, 2009). Sehingga peserta didik dapat menguasai dimensi-dimensi pembelajaran IPS di sekolah, yaitu : ”menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action)” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu mata pelajaran IPS, menurut Sapriya (2009), merupakan ”seleksi dan integrasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu-ilmu lain yang relevan, dikemas secara psikologis, ilmiah, pedagogis, dan sosio-kultural untuk tujuan pendidikan.....Untuk memahami masalah pendidikan IPS seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial”. Menyadari akan hal di atas, maka sesungguhnya pembelajaran IPS yang bersifat terpadu di sekolah-sekolah tidak ada masalah, terutama tingkat satuan pendidikan SMP, walaupun guru IPS yang ada kurang atau tidak tersedia semua guru yang memiliki spesialisasi pendidikan yang lengkap. Misalnya di suatu sekolah hanya tersedia guru IPS dari spesialisasi keahlian pendidikan sejarah atau pendidikan geografi saja, sedangkan yang berasal dari spesialisasi keilmuan pendidikan ekonomi dan sosiologi tidak ada. Hal ini seyogyanya bukan menjadi masalah apabila tenaga guru yang ada memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial, bukan hanya paham terhadap bidang keilmuan yang menjadi spesialisasinya semata. Guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diaorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemaunisan. Untuk menuju ke arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari : ”landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan landasan religius” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk mampu menguasai dan melaksanakan pendekatan yang mampu mendorong dan mengantarkan peserta didik untuk memperoleh integrasi dari nilai-nilai secara utuh dan bermakna, dari masa lampau sampai masa kini dalam pembelajaran IPS yang mereka terima. Ini berarti mengandung maksud, bahwa dalam proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan terpadu secara lebih lengkap, sebagaimana terdapat dalam buku Depdiknas (2006), bahwa : Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu. Keberhasilan dalam menguasai dan menerapkan pendekatan di atas, harus didukung dengan adannya keinginan yang untuk melakukan pengembangan diri secara berkesinambungan, yang bisa dilakukan melalui berbagai cara atau jalur, bisa dengan studi lanjut, pelatihan, MGMP, dan lain sebagainya. Dengan begitu setiap guru IPS dapat menjaga dan mengembangkan pengetahuannya, yang sangat berguna dalam pembelajaran bagi peserta didik. Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat karena ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, serta kebutuhan peserta didik terus mengalami perubahan menuju ke arah yang lebih maju. Perubahan-perubahan tersebut juga memiliki dampak negatif, termasuk bagi peserta didik. Oleh karena itu, setiap guru IPS dituntut untuk sanggup mengabdi terhadap perubahan kehidupan secara umum, dan perubahan dalam pembelajaran. Tanpa adanya keinginan semacam ini, maka pembelajaran IPS di sekolah akan tetap dilakukan dengan cara konvensional atau tradisional, tidak dilakukan dengan strategi dan metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dalam rangka pengembangan diri berkelanjutan tenaga pendidik, termasuk guru IPS di SMP, pemerintah pusat dan daerah sudah pada tempatnya lebih pro aktif dalam memfasilitasinya. Setelah era otonemi daerah, diakui atau tidak, kesempatan guru untuk mengembangkan diri sangat sedikit dan tidak bisa diikuti secara merata dan berkeadilan. Disamping membantu guru dalam hal studi lanjut, pelatihan dan sejenisnya, pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya harus mampu mendorong terselenggaranya kegiatan MGMP IPS yang aktif dan berdaya guna untuk menunjang pembelajaran IPS di sekolah. Kegiatan MGMP IPS di daerah Kabuapaten Lombok Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat, selama ini sangat kurang sekali dan dilaksanakan tanpa maksud dan tujuan yang jelas, sehingga tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam kegiatan proses pembelajaran IPS di sekolah (SMP). Ini menjadi sangat penting, mengingat tenaga guru IPS di setiap SMP masih sangat kurang, atau pemerintah belum mampu mengangkat guru IPS secara keseluruhan sesuai dengan spesialisasi keilmuannya. Semakin lebih penting lagi karena guru IPS belum memiliki tingkat kemampuan memahami dan menguasai ilmu-ilmu sosial yang secara mantap, ada kecenderungan di antara mereka hanya mau menggeluti atau menguasai bidang keilmuan sosial yang hanya menjadi spesialisasinya dan tidak bersifat terpadu. Dengan begitu diharapkan terjadi peningkatan perolehan nilai hasil belajar peserta didik secera signifikan dalam mata pelajaran IPS. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, Negah Bawa, 1992 “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud. Depdiknas RI, 2006 Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta : Depdiknas. Sapriya, 2009 Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : Penerbit : PT Rosdakarya. Jerowaru Lombok Timur, 31 Oktober 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.