Minggu, 27 Januari 2013

Peranan Motivasi dalam Praktik Kepemimpinan Kepala Sekolah

Klik Untuk melihat
Sekolah merupakan organisasi yang bersifat kompleks. Di dalamnya memiliki berbagai dimensi, yang satu sama lainnya saling berhubungan dalam suatu sistem sosial. Sebagai sistem sosial dalam suatu organisasi, sekolah memerlukan pemimpin yang dapat berperan aktif. Kepemimpinan tertinggi di sekolah dijabat oleh kepala sekolah. Berarti di sekolah, kepemimpinan seorang kepala sekolah akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, karena menurut Wahjosumidjo (2010), bahwa : “Kata ‘memimpin’ …. mengandung makna luas, yaitu kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktiknorganisasi kata memimpin, mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya”. 

Bertolak dari pengertian di atas, berarti memberikan dorongan (motivasi) merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan kepala sekolah dalam memimpin sekolahnya. Satuan pendidikan yang merupakan sistem sosial, yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang memiliki karakteristik berbeda-beda, dan saling berhubungan (melayani) satu sama lainnya. Dalam kondisi seperti itu, motivasi dari kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya organisasi (sekolah). Menurut Sudarwan Danim (2010), “Motivasi merupakan dorongan pemimpin, termasuk kepala sekolah, untuk bertindak dengan cara tertentu. Motivasi pada dasarnya merupakan kondisi mental yang mendorong pemimpin melakukan suatu tindakan atau aktivitas (actions or activities) dan memberikan kekuatan yang mengarah kepada pencapaian pemenuhan keinginan, member kepuasan, ataupun mengurangi ketidakseimbangan”. 

Dengan kata lain, motivasi adalah energi yang mendorong orang (pemimpin) untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Seorang kepala sekolah, dituntunt untuk memiliki motivasi diri yang kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di satuan pendidikan yang dipimpinya. Hal ini akan mendrong kepala sekolah tampil sebagai pemimpin yang luar biasa. Menurut Sudarwan Danim (2010), “Pemimpin luar biasa mengerjakan tugas pokok dan fungsi melebihi dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar minimal”. 

Motivasi diri yang ada pada setiap kepala sekolah, juga menjadi sumber semangat yang mendorongnya untuk melakukan tindakan (motivasi eksternal) terhadap warga sekolah lainnya (guru, pegawai dan peserta didik) untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Cara-cara yang bisa ditempuh oleh seorang pemimpin (kepala sekolah) dalam rangka menfasilitasi motivasi dan semangat kerja ke tingkat yang lebih tinggi, menurut Sudarwan Danim (2010), terdiri dari 8 (delapan) cara, yaitu : “a. Pengetahuan dan keyakinan; b). Menjadi Pembelajar; c). Menciptakan budaya kerja; d). Akuntabilitas timbale balik; e). Membangun kolegialitas; f). Meniru tindakan pelatih; g). Keterampilan kepemimpinan; dan h). Pengembangan profesionalisme”. 

Dengan demikian, motivasi berperan sangat penting untuk meningkatkan semangat dan prestasi kerja. Tetapi hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. 

Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? 

Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat (sekolah). Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Tepe-tipe orang seperti di atas, banyak kita temukan di lingkungan organisasi pendidikan (satuan pendidikan). 

Dengan mngenali (mengidentifikasi) tipe-tipe warga sekolah (guru, pegawai, pesertadidik) sejak awal, akan dapat membantu kepala sekolah dalam menentukan tindakan atau menetapkan bentuk motivasi yang dibutuhkan. Dalam rangka memberikan motivasi, kepala sekolah hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. 

DAFTAR PUSTAKA 

Sudarwan Danim, 2010 Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Penerbit Alfabeta. 

Wahjosumidjo, 2010 Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jerowaru Lombok Timur, 28 Oktober 2011.
Klik Untuk melihat
Sekolah merupakan organisasi yang bersifat kompleks. Di dalamnya memiliki berbagai dimensi, yang satu sama lainnya saling berhubungan dalam suatu sistem sosial. Sebagai sistem sosial dalam suatu organisasi, sekolah memerlukan pemimpin yang dapat berperan aktif. Kepemimpinan tertinggi di sekolah dijabat oleh kepala sekolah. Berarti di sekolah, kepemimpinan seorang kepala sekolah akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, karena menurut Wahjosumidjo (2010), bahwa : “Kata ‘memimpin’ …. mengandung makna luas, yaitu kemampuan untuk menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktiknorganisasi kata memimpin, mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberikan teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan, dan sebagainya”. 

Bertolak dari pengertian di atas, berarti memberikan dorongan (motivasi) merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan kepala sekolah dalam memimpin sekolahnya. Satuan pendidikan yang merupakan sistem sosial, yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang memiliki karakteristik berbeda-beda, dan saling berhubungan (melayani) satu sama lainnya. Dalam kondisi seperti itu, motivasi dari kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya organisasi (sekolah). Menurut Sudarwan Danim (2010), “Motivasi merupakan dorongan pemimpin, termasuk kepala sekolah, untuk bertindak dengan cara tertentu. Motivasi pada dasarnya merupakan kondisi mental yang mendorong pemimpin melakukan suatu tindakan atau aktivitas (actions or activities) dan memberikan kekuatan yang mengarah kepada pencapaian pemenuhan keinginan, member kepuasan, ataupun mengurangi ketidakseimbangan”. 

Dengan kata lain, motivasi adalah energi yang mendorong orang (pemimpin) untuk melakukan aktivitas, baik untuk tujuan pemenuhan kebutuhan fisiologi, rasa aman, pengakuan sosial, penghargaan mapun realisasi diri. Jadi motivasi bisa muncul karena faktor dalam maupun faktor luar. Seorang kepala sekolah, dituntunt untuk memiliki motivasi diri yang kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di satuan pendidikan yang dipimpinya. Hal ini akan mendrong kepala sekolah tampil sebagai pemimpin yang luar biasa. Menurut Sudarwan Danim (2010), “Pemimpin luar biasa mengerjakan tugas pokok dan fungsi melebihi dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar minimal”. 

Motivasi diri yang ada pada setiap kepala sekolah, juga menjadi sumber semangat yang mendorongnya untuk melakukan tindakan (motivasi eksternal) terhadap warga sekolah lainnya (guru, pegawai dan peserta didik) untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Cara-cara yang bisa ditempuh oleh seorang pemimpin (kepala sekolah) dalam rangka menfasilitasi motivasi dan semangat kerja ke tingkat yang lebih tinggi, menurut Sudarwan Danim (2010), terdiri dari 8 (delapan) cara, yaitu : “a. Pengetahuan dan keyakinan; b). Menjadi Pembelajar; c). Menciptakan budaya kerja; d). Akuntabilitas timbale balik; e). Membangun kolegialitas; f). Meniru tindakan pelatih; g). Keterampilan kepemimpinan; dan h). Pengembangan profesionalisme”. 

Dengan demikian, motivasi berperan sangat penting untuk meningkatkan semangat dan prestasi kerja. Tetapi hal ini akan sangat tergantung pada bagaimana pandangan orang terhadap kerja itu sendiri. Kerja bisa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi instrumental (ekonomis), yaitu bekerja untuk memperoleh penghasilan agar bisa hidup secara layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia (bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja). 2. Fungsi sosial, yaitu bekerja untuk melakukan interaksi dan komunikasi sesama manusia serta sebagai pengabdian pada masyarakat, terutama yang patut dilayani. 3. Fungsi psikologis, yaitu bekerja untuk realisasi atau aktualisasi terhadap potensi yang dimiliki sebagai anugrah Allah. 4. Fungsi religius, yaitu bekerja sebagai panggilan dan pengabdian pada Allah. 

Terhadap manusia sebenarnya berlaku hukum kerja atau wajib kerja. Bukankah manusia adalah hasil dari suatu kerja ? Oleh karena itu bertentangan dengan kodratnya, apabila manusia malas bekerja atau tidak mau bekerja. Dengan lain pekataan bekerja adalah tuntutan kodrat manusia. Justru melalui kerja ini, manusia mengekspresikan keberadaannya. Jadi kerja itu adalah mulia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan setiap orang. Bukankah aneka ragam jenis dan tingkatan pekerjaan memang diperlukan oleh masyarakat ? 

Oleh karena itu, pada dasarnya manusia saling melayani satu sama lain demi kepentingan bersama dalam kehidupan masyarakat (sekolah). Inilah yang semestinya melahirkan etos kerja. Apabila orang memandang kerja itu sebagai suatu realisasi diri, pengabdian dan panggilan hidup, maka ia akan menyenangi pekerjaan itu, sehingga senantiasa berusaha mencurahkan tenaga, pikiran dan perasaan untuk menyelesaikan pekerjaan itu secara bertanggung jawab agar dicapai hasil kerja yang bermutu. Mana kala orang menyenangi pekerjaan, maka yang berat akan terasa ringan, dan sebaliknya bila mana orang kurang menyenangi, apalagi membenci pekerjaan, maka yang ringan akan terasa berat. Akibatnya bisa jadi orang itu akan mengeluh, bekerja asal-asalan, malas, kecewa atau putus asa. Begitu pula orang yang bekerja dengan pamerih semata, mungkin akan menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil sehingga merugikan organisasi dan orang lain. Orang yang demikian bisa juga menjadi kecewa atau putus asa, apabila hasil yang semula diharap-harap tidak tercapai. Adakalanya juga orang amat mengedepankan hak, tetapi melalaikan atau melupakan kewajiban. Sementara ada pula orang yang mau bekerja, kalau sudah jelas imbalannya dan menghindar atau menolak pekerjaan yang dianggap kurang menguntungkan baginya. Sayangnya tipe orang seperti ini biasanya lebih banyak dari pada tipe yang pertama tadi. Mereka inilah yang harus terus-menerus dimotivasi, dan kalau perlu dikenakan sanksi. Tepe-tipe orang seperti di atas, banyak kita temukan di lingkungan organisasi pendidikan (satuan pendidikan). 

Dengan mngenali (mengidentifikasi) tipe-tipe warga sekolah (guru, pegawai, pesertadidik) sejak awal, akan dapat membantu kepala sekolah dalam menentukan tindakan atau menetapkan bentuk motivasi yang dibutuhkan. Dalam rangka memberikan motivasi, kepala sekolah hendaknya mampu menerapkan pemberian reward and punishment bagi yang membutuhkan. Pemberian motivasi kerja, berupa reward, berdasarkan kepada kemampuan sekolah, jenis tugas dan hasil kerja, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Serta pemberian punishment disesuaikan dengan bentuk norma-norma yang dilanggar. 

DAFTAR PUSTAKA 

Sudarwan Danim, 2010 Kepemimpinan Pendidikan Kepemimpinan Jenius (IQ + EQ), Etika, Perilaku Motivasional, dan Mitos, Bandung : Penerbit Alfabeta. 

Wahjosumidjo, 2010 Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jerowaru Lombok Timur, 28 Oktober 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.