Kamis, 24 Januari 2013

Peranan Pembelajaran Sejarah dalam Pembangunan Bangsa

Merujuk dari pendapat Sartono Kartodirdjo (1988) bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Karena, seperti yang tertuang dalam Peraturam Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Untuk itu nilai-nilai sejarah harus dapat tercermin dalam pola prilaku nyata peserta didik. Dengan melihat pola prilaku yang tampak, dapat mengetahui kondisi kejiwaan berada pada tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah pada masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian baru dapat diketahui pembelajaran sejarah terlah berfungsi dalam proses pembentukan sikap. Terkait dengan itu, I Gde Widja (1989), mengungkapkan bahwa bertolak dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan, khususnya pengajaran sejarah, ibarat mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan tujuan melihat ke depan. Makna yang tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai kehidupan masyarakat di masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau mengadakan seleksi terhadap nilai-nilai itu, mana yang relevan atau dapat dikembangkan dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun yang akan datang. Proses mencari atau proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses, serta menuntut untuk lebih diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar sejarah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992) bahwa hendaknya pengajaran sejarah memberi pengertian yang mendalam serta suatu keterampilan. Untuk dapat meningkatkan pengertian serta keterampilan dalam pembelajaran sejarah, bisa merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Soejatmoko (1976), berikut ini. Pengajaran sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu avontuzir bersama dari pengajar maupun yang diajar. Dalam konsepsi maka bukan hafalan fakta melainkan riset bersama antara guru dan mahasiswa (peserta didik, penulis) menjadi metode utama. Dengan jalan ini si mahasiswa langsung dihadapkan dengan tantangan intelektual yang memang merupakan cirri khas dari pada sejarah sebagai ilmu. Demikian pula ia dilibatkan langsung dalam suatu engagement baru dengan arti sejarah untuk hari kini. Dia menjadi peserta pelaku dalam usaha penemuan diri bangsa kita sendiri. Berdasarkan pada apa yang dikemukakan di atas, maka usaha untuk menciptakan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran sejarah bisa ditempuh, merujuk dari pendapatnya Habib Mustopo, dkk (1987), dengan melibatkan secara langsung dalam proses mencari, menelusuri, mengamati, menyeleksi serta mengkaji nilai-nilai kehidupan masa lalu dari jejak-jejak kesejarahan yang ada, kemudian menyusunnya dalam bentuk laporan ceritera sebagai suatu cara untuk dapat memahami dan menghayati sebenar-benarnya apa yang ingin dimengerti (emfuhlend einleber dalam bahasa Jerman). Sesudah mendapat pengertian dan penghayatan yang sebenar-benarnya diharapkan peserta didik mampu mengembangkan nilai-nilai itu supaya relevan untuk menghadapi permasalahan hidup di masa kini dan di masa datang. Mereka diharapkan tanggap atau peka dalam melihat serta menghadapi problema sesuai dengan kondisi zaman yang pada dasarnya selalu berubah. Peserta didik ditantang untuk tidak sekedar mewarisi nilai-nilai dari masa lampau tetapi dituntut untuk kreatif, kritis dan dapat mengembangkannya, sehingga dapat berfungsi dalam kehidupannya. Untuk membantu meningkatkan pemahaman dan penghayatan yang sebenar-benarnya terhadap nilai-nilai kesejarahan serta gaerah belajar, peserta didik dapat melakukan kegiatan langsung di lapangan yaitu di lingkungannya sendiri, untuk mengkaji jejak-jejak kesejarahan dalam rangka mengumpulkan fakta sejarah. Dengan menempuh kegiatan ini, peserta didik dalam proses pembelajaran tidak hanya menerima informasi guru serta inkuiri kepustakaan, tetapi dapat memperoleh pengalaman secara langsung dalam menelusuru jejak-jejak kesejarahan yang ada di lingkungannya. Termasuk di sini dapat melihat, mengamati, mengkaji serta memperoleh informasi secara langsung dari tokoh masyarakat di sekitar tempat itu yang mengetahui tentang peristiwa yang ada kaitannya dengan jejak kesejarahan yang ada. Kegiatan ini bisa dikembangkan dalam kaitannya dengan sejarah lokal, dimana setelah peserta didik mengumpulkan fakta-fakta lalu mengkaji dan menyeleksi kemudian menyusunnya dalam bentuk uraian ceritera, sehingga dengan cara itu siswa dapat mendapatkan keterampilan menyusun sejarah. Memang harus diakui bahwa untuk menciptakan proses pembelajaran yang demikian, terdapat berbagai masalah yang dirasa merupakan kendala. Seperti diketahui dalam pembelajaran sejarah segala sesuatunya digariskan dalam kurikulum, antara lain yang berkaitan dengan tujuan umum, bahan, waktu dan cara-cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Ruang lingkup bahan yang dijabarkan dalam standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), biasanya cukup luas atau bisa dikatakan bahwa bahan cukup padat. Dengan demikian guru dibebani tugas untuk menyelesaikan bahan (materi) kurikulum atas dasar kontrol dari pimpinan sekolah. Tuntutan ini erat terkait dengan sistem evaluasi yang mesti dilaksanakan. Oleh karena itu, maka sesuai dengan apa yang digariskan dalam kurikulum maka kegiatan pembelajaran di dalam sejarah, umumnya meruapakan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Interaksi diciptakan antar guru-peserta didik serta teks yang kadang-kadang dibantu dengan media buatan yang disediakan oleh guru untuk mengkongkritkan hal-hal yang bersifat abstrak. Tuntutan seperti itu, harus dimaknai dalam kerangka melaksanakan proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, melalui pendekatan kontekstual. Untuk mengarah ke proses pembelajaran yang terpusat pada peserta didik di dalam kelas untuk mengkaji jejak-jejak kesejarahan bisa ditempuh dengan mengkaji kepustakaan dibantu dengan alat-alat visual maupun audio visual, yang antara lain berupa model, maket, sketsa, photo, film, kaset dan lain-lain, yang merupakan bagian dari kelengkapan laboratorium sejarah yang dilengkapi dengan kepustakaan yang menunjang, sehingga sebelum peserta didik mendapat kesempatan memperoleh pengalaman secara langsung di lapangan, sudah mendapat mengalaman buatan dengan belajar dalam laboratorium sejarah. Dimana peserta didik dapat belajar secara aktif mengamati, meneliti, dibantu dengan sumber kepustakaan yang ada dalam mengkaji suatu permasalahan kemudian membuat laporan. Supaya peserta didik dapat belajar melalui pengalaman buatan harus ditunjang dengan sarana (fasilitas) yang memadai. Sekolah harus memiliki sarana sebagai sumber belajar berupa laboratorium sejarah, yang memiliki perpustakaan yang memadai. Di sinilah biasanya timbul masalah, karena pada umumnya satuan pendidikan di Indonesia memiliki sarana media serta perpustakaan yang terbatas. Untuk terciptanya pembelajaran yang kontekstual bagi peserta didik, maka kendala (masalah) tersebut harus mendapat penyelesaian atau dilengkapi. Pembelajaran dengan model kontekstual akan sangat bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupannya. Mengingat, sebagaimana tertuang dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional (2010), bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Pendekatan pembelajaran kontekstual, yang berpusat pada peserta didik, memang menuntut kecuali pembelajaran di dalam kelas, perlu juga diciptakan kegiatan pembelajaran di luar kelas. Dengan kegiatan di luar kelas peserta didik secara langsung dapat melihat kehidupan masyarakat atau jejak-jejak kesejarahan yang ada di lingkungan peserta didik, dimana jejak-jejak kesejarahan itu pada dasarnya dapat menciptakan kehidupan masyarakat pada zamannya. Peserta didik melihat secara langsung, aktif mencari/meneliti aspek kehidupan masyarakat pembuatnya (pendukungnya) di masa lalu serta nilai-nilai yang tercermin di dalamnya dapat dicari informasinya dari sumber-sumber yang berasal dari masyarakat setempat, kemudian menuliskannya dalam bentuk laporan. Dengan kegiatan ini peserta didik dapat membandingkan informasi yang telah diperoleh melalui belajar (tatap muka) di kelas dengan apa yang diperoleh di lapangan. Sehingga melalui hasil belajar itu dapat meningkatkan pemahaman peserta didik. Kegiatan belajar di luar kelas merupakan pelaksanaan dari pendekatan inkuiri, yang dapat meningkatkan keterlibatan fisik dan mental secara optimal, serta dapat memberikan variasi model pembelajaran yang dapat menghilangkan kesan bahwa pelajaran sejarah semata-mata merupakan pelajaran hafalan. Disamping itu, dengan model pembelajaran ini peserta didik didorong untuk mengembangkan sikap kritis, kreatif, tanggap terhadap berbagai permasalahan, serta peka dalam menghadapi gejala perubahan zaman. Oemar Hamalik (2003), mengatakan pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok siswa inquiry kr adalam suatu isu atau atau mencari jawaban-jawaban terhadap isi pertanyaan melalui suatu prosedur yang digariskan secara jelas dan struktural kelompok. Dalam pengertian yang lain, seperti dikemukakan oleh Nana Sudjana (2005), pendekatan “inquiry” merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kekreatifan dalam memecahkan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan “inquiry” adalah pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Untuk menciptakan kegiatan yang demikian memang menuntut waktu yang lebih banyak dan biaya yang tidak sedikit, baik bagi guru maupun peserta didik. Namun di sinilah dituntut kreativitas guru dalam pengelolaan pembelajaran dan pengekolaan kelas. Guru harus menyiapkan perencanaan pembelajaran yang lebih mantap. Meneliti SK dan KD yang proses pembelajarannya bisa dilanjutkan dengan model inkuiri lapangan untuk mencapai tujuan. Mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan dan menetapkan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan oleh peserta didik, dengan sudah mempertimbangkan alokasi waktu yang disediakan dalam kurikulum. Penerapan proses pembelajaran dengan model seperti itu, berangkat dari landasan berpikir bahwa pendidikan sejarah pada dasarnya tidak untuk masa sekarang saja, tetapi juga untuk masa mendatang. Mengingat sejarah merupakan mata pelajaran yang pada dasarnya bertujuan untuk membangun karakter bangsa. Dengan kata lain, merujuk pada isi Permendiknas Nomor 22 Tahun 2003, mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi sejarah: 1. mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; 2. memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan; 3. menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; 4. sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; 5. berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Pendidikan sejarah, pada hakekatnya membudayaan pada peserta didik tentang perspektif sejarah yang memberi kemampuan untuk melihat bahwa segala sesuatu adalah produk dari perkembangan masa lampau. Apabila hendak dilakukan proyeksi ke masa depan berdasarkan pengalaman masyarakat di masa lampau maupun kini, maka menurut Sartono Kartodirdjo (1988), harus dilakukan melalui pendekatan diakronis melengkapi pendekatan sinkronis untuk digunakan dalam mempelajari sejarah. Kehidupan tokoh atau para pahlawan dapat diungkapkan untuk diteladani generasi penerus dalam hal sikapnya terhadap bangsa dan tanah air, pengabdian tanpa pamrih, tanggung jawab sosial, mengekang kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan umum, dan menekankan jerih payah dalam meraih cita-cita. Keteladanan yang terungkap itu merupakan motivasi nagi generasi penerus untuk mengembangkan kemampuan serta aktivitas dalam menghadapi kehidupan yang makin kompleks serta perubahan yang pesat di masa mendatang. Keteladanan serta kemampuan dalam mengembangkan aktivitas dalam pengabdian kepda masyarakat, bangsa dan tanah air, serta terbentuknya sikap tanggap terhadap permasalahan hidup yang kompleks dan perubahan yang pesat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi, sangat dituntut atau diperluakan dalam pembinaan karakter bangsa. Sejarah pada dasarnya merupakan sumber inspirasi dan aspirasi untuk generasi baru (muda) dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan menggali nilai-nilai yang tercermin pada peristiwa di masa lampau, maka nilai-nilai itu bisa dijadikan sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda dalam mengembangkan sikap untuk membangun bangsa dan negara. Untuk mencapai sasaran tersebut, kiranya pendekatan pembelajaran yang terpusat pada siswa, pendekatan kontekstual dan pendekatan inkuiri, perlu dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, karena seperti sudah dijelaskan di atas, pendekatan ini mampu meningkatkan usaha penangkapan makna masa lampau oleh peserta didik. Melalui aktivitas fisik-mental yang lebih meningkat (termasuk kegiatan di luar kelas), peserta didik lebih terdorong dalam keterampilan berpikir melalui proses inkuiri dan dalam sentuhan pada makna/nilai pengalaman masa lampau sebagai unsur utama dan pembelajaran sejarah. Dalam pelaksanaan pendekatan kontesktual atau inkuiri dalam pembelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menekankan aktifnya peserta didik dalam pembelajaran, tetapi lebih dari itu perlu diperhatikan maknanya yang lebih luas, sebagaimana diungkapkan oleh I Gde Widja (1991), berikut ini. - mengembangkan sikap kritis analitik dalam menerima uraian guru atau dalam mengamati gejala/peristiwa sejarah; - membiasakan murid berpikir konsep (merumuskan pandangan konseptual), bukan sekedar mengulangi apa yang dia dibaca atau dengar dari guru; - mendorong siswa membaca/menemukan sendiri informasi tangan pertama, bukan sekedar yang disampaikan/diberitahukan orang lain/guru, yang memungkinkan mereka lebih mampu berpikir orisinil dalam menghadapi gejala/peristiwa sejarah; - membiasakan murid membuat karangan singkat yang bersifat analitik projektif yang berkaitan dengan usaha meningkatkan kemampuan mereka dalam melihat tiga dimensi sejarah (masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang); - membiasakan murid bersifat mandiri dalam mengajukan pendapat, meskipun mereka dianjurkan pula untuk bekerja secara kelompok; - membiasakan siswa berpikir multidimensional (terutama dalam arti tidak bersufat deterministic) dalam membahas suatu masalah; - membiasakan siswa bersifat terbuka atau demokratis, dalam arti selalu bersedia menerima pendapat pihak lain, kalau pendapat pihak lain tersebut memang lebih kuat argumentasinya dari pendapatnya sendiri. BAHAN BACAAN : Habib Mustopo (1987), Metodik Sejarah. Sub Proyek Penyusunan Metodik Khusus, Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi IKIP Malang. I Gde Widja (1989), Sejarah Lokal : Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta : LPTK Departeman P dan K. I Gde Widja (1991), Pendidikan Sejarah dan Tantangan Masa Depan, Orasi Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD. Singaraja : FKIP UNUD. Kemendiknas (2010), Pembelajaran Berbasis PAIKEM (CTL, Pembelajaran Terpadu, Pembelajaran Tematik), Materi Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah. Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal PMPTK Kemendiknas, Jakarta. Nana Sudjana (2005), Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Oemar Hamalik (2033), Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara. Sartono Kartodirdjo (1988), Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional. Artikel dalam Harian Kompas, 26 September 1988. Sartono Kartodirdjo (1992), Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Soedjatmoko (1976), Kesadaran Sejarah dan Pembangunan, artikel dalam Majalah Prisma (Penerbitan Khusus), Nomor 7, Tahun V. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jerowaru Lombok Timur, 19 Desember 2011.
Merujuk dari pendapat Sartono Kartodirdjo (1988) bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Karena, seperti yang tertuang dalam Peraturam Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik. Untuk itu nilai-nilai sejarah harus dapat tercermin dalam pola prilaku nyata peserta didik. Dengan melihat pola prilaku yang tampak, dapat mengetahui kondisi kejiwaan berada pada tingkat penghayatan pada makna dan hakekat sejarah pada masa kini dan masa mendatang. Dengan demikian baru dapat diketahui pembelajaran sejarah terlah berfungsi dalam proses pembentukan sikap. Terkait dengan itu, I Gde Widja (1989), mengungkapkan bahwa bertolak dari pikiran tiga dimensi sejarah maka proses pendidikan, khususnya pengajaran sejarah, ibarat mengajak peserta didik menengok ke belakang dengan tujuan melihat ke depan. Makna yang tertuang dari pendapat ahli tersebut adalah dengan mempelajari nilai-nilai kehidupan masyarakat di masa lampau, diharapkan peserta didik mencari atau mengadakan seleksi terhadap nilai-nilai itu, mana yang relevan atau dapat dikembangkan dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks di masa kini maupun yang akan datang. Proses mencari atau proses seleksi jelas menekankan pada pendekatan proses, serta menuntut untuk lebih diciptakan aktivitas fisik-mental dan kreativitas siswa dalam belajar sejarah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo (1992) bahwa hendaknya pengajaran sejarah memberi pengertian yang mendalam serta suatu keterampilan. Untuk dapat meningkatkan pengertian serta keterampilan dalam pembelajaran sejarah, bisa merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Soejatmoko (1976), berikut ini. Pengajaran sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu avontuzir bersama dari pengajar maupun yang diajar. Dalam konsepsi maka bukan hafalan fakta melainkan riset bersama antara guru dan mahasiswa (peserta didik, penulis) menjadi metode utama. Dengan jalan ini si mahasiswa langsung dihadapkan dengan tantangan intelektual yang memang merupakan cirri khas dari pada sejarah sebagai ilmu. Demikian pula ia dilibatkan langsung dalam suatu engagement baru dengan arti sejarah untuk hari kini. Dia menjadi peserta pelaku dalam usaha penemuan diri bangsa kita sendiri. Berdasarkan pada apa yang dikemukakan di atas, maka usaha untuk menciptakan aktivitas dan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran sejarah bisa ditempuh, merujuk dari pendapatnya Habib Mustopo, dkk (1987), dengan melibatkan secara langsung dalam proses mencari, menelusuri, mengamati, menyeleksi serta mengkaji nilai-nilai kehidupan masa lalu dari jejak-jejak kesejarahan yang ada, kemudian menyusunnya dalam bentuk laporan ceritera sebagai suatu cara untuk dapat memahami dan menghayati sebenar-benarnya apa yang ingin dimengerti (emfuhlend einleber dalam bahasa Jerman). Sesudah mendapat pengertian dan penghayatan yang sebenar-benarnya diharapkan peserta didik mampu mengembangkan nilai-nilai itu supaya relevan untuk menghadapi permasalahan hidup di masa kini dan di masa datang. Mereka diharapkan tanggap atau peka dalam melihat serta menghadapi problema sesuai dengan kondisi zaman yang pada dasarnya selalu berubah. Peserta didik ditantang untuk tidak sekedar mewarisi nilai-nilai dari masa lampau tetapi dituntut untuk kreatif, kritis dan dapat mengembangkannya, sehingga dapat berfungsi dalam kehidupannya. Untuk membantu meningkatkan pemahaman dan penghayatan yang sebenar-benarnya terhadap nilai-nilai kesejarahan serta gaerah belajar, peserta didik dapat melakukan kegiatan langsung di lapangan yaitu di lingkungannya sendiri, untuk mengkaji jejak-jejak kesejarahan dalam rangka mengumpulkan fakta sejarah. Dengan menempuh kegiatan ini, peserta didik dalam proses pembelajaran tidak hanya menerima informasi guru serta inkuiri kepustakaan, tetapi dapat memperoleh pengalaman secara langsung dalam menelusuru jejak-jejak kesejarahan yang ada di lingkungannya. Termasuk di sini dapat melihat, mengamati, mengkaji serta memperoleh informasi secara langsung dari tokoh masyarakat di sekitar tempat itu yang mengetahui tentang peristiwa yang ada kaitannya dengan jejak kesejarahan yang ada. Kegiatan ini bisa dikembangkan dalam kaitannya dengan sejarah lokal, dimana setelah peserta didik mengumpulkan fakta-fakta lalu mengkaji dan menyeleksi kemudian menyusunnya dalam bentuk uraian ceritera, sehingga dengan cara itu siswa dapat mendapatkan keterampilan menyusun sejarah. Memang harus diakui bahwa untuk menciptakan proses pembelajaran yang demikian, terdapat berbagai masalah yang dirasa merupakan kendala. Seperti diketahui dalam pembelajaran sejarah segala sesuatunya digariskan dalam kurikulum, antara lain yang berkaitan dengan tujuan umum, bahan, waktu dan cara-cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Ruang lingkup bahan yang dijabarkan dalam standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), biasanya cukup luas atau bisa dikatakan bahwa bahan cukup padat. Dengan demikian guru dibebani tugas untuk menyelesaikan bahan (materi) kurikulum atas dasar kontrol dari pimpinan sekolah. Tuntutan ini erat terkait dengan sistem evaluasi yang mesti dilaksanakan. Oleh karena itu, maka sesuai dengan apa yang digariskan dalam kurikulum maka kegiatan pembelajaran di dalam sejarah, umumnya meruapakan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Interaksi diciptakan antar guru-peserta didik serta teks yang kadang-kadang dibantu dengan media buatan yang disediakan oleh guru untuk mengkongkritkan hal-hal yang bersifat abstrak. Tuntutan seperti itu, harus dimaknai dalam kerangka melaksanakan proses pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, melalui pendekatan kontekstual. Untuk mengarah ke proses pembelajaran yang terpusat pada peserta didik di dalam kelas untuk mengkaji jejak-jejak kesejarahan bisa ditempuh dengan mengkaji kepustakaan dibantu dengan alat-alat visual maupun audio visual, yang antara lain berupa model, maket, sketsa, photo, film, kaset dan lain-lain, yang merupakan bagian dari kelengkapan laboratorium sejarah yang dilengkapi dengan kepustakaan yang menunjang, sehingga sebelum peserta didik mendapat kesempatan memperoleh pengalaman secara langsung di lapangan, sudah mendapat mengalaman buatan dengan belajar dalam laboratorium sejarah. Dimana peserta didik dapat belajar secara aktif mengamati, meneliti, dibantu dengan sumber kepustakaan yang ada dalam mengkaji suatu permasalahan kemudian membuat laporan. Supaya peserta didik dapat belajar melalui pengalaman buatan harus ditunjang dengan sarana (fasilitas) yang memadai. Sekolah harus memiliki sarana sebagai sumber belajar berupa laboratorium sejarah, yang memiliki perpustakaan yang memadai. Di sinilah biasanya timbul masalah, karena pada umumnya satuan pendidikan di Indonesia memiliki sarana media serta perpustakaan yang terbatas. Untuk terciptanya pembelajaran yang kontekstual bagi peserta didik, maka kendala (masalah) tersebut harus mendapat penyelesaian atau dilengkapi. Pembelajaran dengan model kontekstual akan sangat bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupannya. Mengingat, sebagaimana tertuang dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional (2010), bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelaaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Pendekatan pembelajaran kontekstual, yang berpusat pada peserta didik, memang menuntut kecuali pembelajaran di dalam kelas, perlu juga diciptakan kegiatan pembelajaran di luar kelas. Dengan kegiatan di luar kelas peserta didik secara langsung dapat melihat kehidupan masyarakat atau jejak-jejak kesejarahan yang ada di lingkungan peserta didik, dimana jejak-jejak kesejarahan itu pada dasarnya dapat menciptakan kehidupan masyarakat pada zamannya. Peserta didik melihat secara langsung, aktif mencari/meneliti aspek kehidupan masyarakat pembuatnya (pendukungnya) di masa lalu serta nilai-nilai yang tercermin di dalamnya dapat dicari informasinya dari sumber-sumber yang berasal dari masyarakat setempat, kemudian menuliskannya dalam bentuk laporan. Dengan kegiatan ini peserta didik dapat membandingkan informasi yang telah diperoleh melalui belajar (tatap muka) di kelas dengan apa yang diperoleh di lapangan. Sehingga melalui hasil belajar itu dapat meningkatkan pemahaman peserta didik. Kegiatan belajar di luar kelas merupakan pelaksanaan dari pendekatan inkuiri, yang dapat meningkatkan keterlibatan fisik dan mental secara optimal, serta dapat memberikan variasi model pembelajaran yang dapat menghilangkan kesan bahwa pelajaran sejarah semata-mata merupakan pelajaran hafalan. Disamping itu, dengan model pembelajaran ini peserta didik didorong untuk mengembangkan sikap kritis, kreatif, tanggap terhadap berbagai permasalahan, serta peka dalam menghadapi gejala perubahan zaman. Oemar Hamalik (2003), mengatakan pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok siswa inquiry kr adalam suatu isu atau atau mencari jawaban-jawaban terhadap isi pertanyaan melalui suatu prosedur yang digariskan secara jelas dan struktural kelompok. Dalam pengertian yang lain, seperti dikemukakan oleh Nana Sudjana (2005), pendekatan “inquiry” merupakan pendekatan mengajar yang berusaha meletakkan dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kekreatifan dalam memecahkan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan “inquiry” adalah pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Untuk menciptakan kegiatan yang demikian memang menuntut waktu yang lebih banyak dan biaya yang tidak sedikit, baik bagi guru maupun peserta didik. Namun di sinilah dituntut kreativitas guru dalam pengelolaan pembelajaran dan pengekolaan kelas. Guru harus menyiapkan perencanaan pembelajaran yang lebih mantap. Meneliti SK dan KD yang proses pembelajarannya bisa dilanjutkan dengan model inkuiri lapangan untuk mencapai tujuan. Mengidentifikasi pokok-pokok permasalahan dan menetapkan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan oleh peserta didik, dengan sudah mempertimbangkan alokasi waktu yang disediakan dalam kurikulum. Penerapan proses pembelajaran dengan model seperti itu, berangkat dari landasan berpikir bahwa pendidikan sejarah pada dasarnya tidak untuk masa sekarang saja, tetapi juga untuk masa mendatang. Mengingat sejarah merupakan mata pelajaran yang pada dasarnya bertujuan untuk membangun karakter bangsa. Dengan kata lain, merujuk pada isi Permendiknas Nomor 22 Tahun 2003, mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi sejarah: 1. mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; 2. memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan; 3. menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa; 4. sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; 5. berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Pendidikan sejarah, pada hakekatnya membudayaan pada peserta didik tentang perspektif sejarah yang memberi kemampuan untuk melihat bahwa segala sesuatu adalah produk dari perkembangan masa lampau. Apabila hendak dilakukan proyeksi ke masa depan berdasarkan pengalaman masyarakat di masa lampau maupun kini, maka menurut Sartono Kartodirdjo (1988), harus dilakukan melalui pendekatan diakronis melengkapi pendekatan sinkronis untuk digunakan dalam mempelajari sejarah. Kehidupan tokoh atau para pahlawan dapat diungkapkan untuk diteladani generasi penerus dalam hal sikapnya terhadap bangsa dan tanah air, pengabdian tanpa pamrih, tanggung jawab sosial, mengekang kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan umum, dan menekankan jerih payah dalam meraih cita-cita. Keteladanan yang terungkap itu merupakan motivasi nagi generasi penerus untuk mengembangkan kemampuan serta aktivitas dalam menghadapi kehidupan yang makin kompleks serta perubahan yang pesat di masa mendatang. Keteladanan serta kemampuan dalam mengembangkan aktivitas dalam pengabdian kepda masyarakat, bangsa dan tanah air, serta terbentuknya sikap tanggap terhadap permasalahan hidup yang kompleks dan perubahan yang pesat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi, sangat dituntut atau diperluakan dalam pembinaan karakter bangsa. Sejarah pada dasarnya merupakan sumber inspirasi dan aspirasi untuk generasi baru (muda) dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan menggali nilai-nilai yang tercermin pada peristiwa di masa lampau, maka nilai-nilai itu bisa dijadikan sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda dalam mengembangkan sikap untuk membangun bangsa dan negara. Untuk mencapai sasaran tersebut, kiranya pendekatan pembelajaran yang terpusat pada siswa, pendekatan kontekstual dan pendekatan inkuiri, perlu dikembangkan dalam pembelajaran sejarah, karena seperti sudah dijelaskan di atas, pendekatan ini mampu meningkatkan usaha penangkapan makna masa lampau oleh peserta didik. Melalui aktivitas fisik-mental yang lebih meningkat (termasuk kegiatan di luar kelas), peserta didik lebih terdorong dalam keterampilan berpikir melalui proses inkuiri dan dalam sentuhan pada makna/nilai pengalaman masa lampau sebagai unsur utama dan pembelajaran sejarah. Dalam pelaksanaan pendekatan kontesktual atau inkuiri dalam pembelajaran sejarah, hendaknya tidak semata-mata menekankan aktifnya peserta didik dalam pembelajaran, tetapi lebih dari itu perlu diperhatikan maknanya yang lebih luas, sebagaimana diungkapkan oleh I Gde Widja (1991), berikut ini. - mengembangkan sikap kritis analitik dalam menerima uraian guru atau dalam mengamati gejala/peristiwa sejarah; - membiasakan murid berpikir konsep (merumuskan pandangan konseptual), bukan sekedar mengulangi apa yang dia dibaca atau dengar dari guru; - mendorong siswa membaca/menemukan sendiri informasi tangan pertama, bukan sekedar yang disampaikan/diberitahukan orang lain/guru, yang memungkinkan mereka lebih mampu berpikir orisinil dalam menghadapi gejala/peristiwa sejarah; - membiasakan murid membuat karangan singkat yang bersifat analitik projektif yang berkaitan dengan usaha meningkatkan kemampuan mereka dalam melihat tiga dimensi sejarah (masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang); - membiasakan murid bersifat mandiri dalam mengajukan pendapat, meskipun mereka dianjurkan pula untuk bekerja secara kelompok; - membiasakan siswa berpikir multidimensional (terutama dalam arti tidak bersufat deterministic) dalam membahas suatu masalah; - membiasakan siswa bersifat terbuka atau demokratis, dalam arti selalu bersedia menerima pendapat pihak lain, kalau pendapat pihak lain tersebut memang lebih kuat argumentasinya dari pendapatnya sendiri. BAHAN BACAAN : Habib Mustopo (1987), Metodik Sejarah. Sub Proyek Penyusunan Metodik Khusus, Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi IKIP Malang. I Gde Widja (1989), Sejarah Lokal : Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta : LPTK Departeman P dan K. I Gde Widja (1991), Pendidikan Sejarah dan Tantangan Masa Depan, Orasi Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD. Singaraja : FKIP UNUD. Kemendiknas (2010), Pembelajaran Berbasis PAIKEM (CTL, Pembelajaran Terpadu, Pembelajaran Tematik), Materi Pelatihan Penguatan Pengawas Sekolah. Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal PMPTK Kemendiknas, Jakarta. Nana Sudjana (2005), Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Oemar Hamalik (2033), Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara. Sartono Kartodirdjo (1988), Fungsi Pengajaran Sejarah dalam Pembangunan Nasional. Artikel dalam Harian Kompas, 26 September 1988. Sartono Kartodirdjo (1992), Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Soedjatmoko (1976), Kesadaran Sejarah dan Pembangunan, artikel dalam Majalah Prisma (Penerbitan Khusus), Nomor 7, Tahun V. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jerowaru Lombok Timur, 19 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.