Minggu, 27 Januari 2013

Kegiatan Penilaian Proses Pembelajaran

Klik Untuk melihat
Salah satu tugas dalam profesi keguruan adalah melakukan penilaian terhadap setiap kegiatan yang terselenggara dalam proses pembelajaran. Hal ini berpangkal dari suatu fakta yang bersifat kondrati tentang keingintahuan dari setiap manusia mengenai wujud dari hasil aktivitas yang telah diselenggarakannya, baik yang berdimensi kuantitas maupun yang mengarah pada aspek kualitas. Dengan demikian, penilaian dalam proses pembelajaran merupakan sebuah komponen yang tidak dapat disangsikan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain bahwa kegiatan penilaian adalah sebuah bagian yang integral dalam proses pembelajaran itu sendiri. Aktivitas penilaian memiliki signifikansi dengan proses pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan kegiatan pembelajaran. Tanpa ada komitmen dan kemampuan yang relevan dengan proses penilaian itu, maka pendidikan yang diharapkan untuk memanusiakan manusia memungkinkan dapat beralih fungsi menjadi sebuah prosedur yang menafikan aspirasi dan kreatifitas peserta didik.

Oleh karena itu, guru selaku pelaksana pendidikan dan pengajaran di sekolah dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuannya agar sejalan dengan kemajuan yang ada dalam masyarakatnya. Pembaharuan yang harus dilakukan guru tidak saja yang bersifat intern, seperti tuntutan profesionalitas selaku pengemban profesi keguruan. Tetapi juga pembaharuan yang bersifat ekstren, seperti memiliki gerak yang dinamis dalam masyarakatnya. Dengan demikian seorang guru adalah inovator di dalam lembaganya juga motivator bagi masyarakatnya. Penilaian merupakan tuntutan kemampuan yang bersifat intern dalam profesi keguruan, yakni kemampuan seorang guru untuk mengukur dan menilai sejauh mana ia telah mampu memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.

Kiranya perlu dicatat bahwa dalam usaha pencapaian tujuan selalu terdapat jurang pemisah (gap) antara tujuan dan hasil yang dicapai. Karena itu, usaha-usaha yang serius harus dilakukan untuk : 1. Menentukan tujuan yang realistis dan pragmatis. 2. Menentukan standard kualitas pekerjaan yang diharapkan. 3. Meneliti sampai pada tingkat apa standard yang telah ditentukan itu dapat dicapai. 4. Mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, baik penyesuaian rencana, pelaksanaan maupun cara memotivasi serta pengawasan. Penyesuaian dapat pula ditujukan terhadap tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1981 : 141).

Kriteria di atas merupakan komponen-komponen yang perlu mendapatkan perhatian dalam setiap aktivitas proses penilaian. Artinya bahwa setiap kegiatan penilaian harus selalu tertuju pada ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam pendidikan, orang mengadakan evaluasi (penilaian) dapat memenuhi dua tujuan, yaitu : (a) Untuk mengetahui kemajuan anak, atau orang yang didik setelah si terdidik tadi menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu. (b) Untuk mengetahui tingkat efesiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu (Buchari, 1983 : 7).

Berpangkal dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penilaian dalam lembaga-lembaga pendidikan formal pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai jarak antara situasi yang ada dengan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh data yang akan memberikan gambaran tentang harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan pembelajaran seperti yang ditetapkan sebelumnya. Tanpa ada kegiatan penilaian tidak akan mungkin seorang guru dapat mengembangkan atau memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan karena tidak tersedianya informasi yang akurat tentang kelebihan/keuntungan maupun kekurangan/kelemahan dari berbagai praktik-praktik yang telah dilakukannya di dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Demikian pula bahwa dengan kegiatan penilaian akan diperoleh data tentang sejauhmana penguasaan peserta didik terhadap bahan yang telah tersaji dalam interaksi belajar mengajar dan sekaligus juga dapat diketahui efektifitas dan efesiensi program pengajaran yang telah dilakukan. Penilaian dalam proses belajar bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Karena tujuan pendidikan pada umumnya bersifat kompleks, maka penilaiannya pun tidak mungkin sederhana.

Dalam menilai tujuan yang hendak dicapai perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut. a. Hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengertian. b. Hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan. c. Hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan. d. Hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari (Rusyan, 1989 : 2010 – 2011).

Apabila diperhatikan beberapa aspek yang perlu dicermati dalam proses penilaian sebagai bidang garapan guru di sekolah, maka dapat dinyatakan pula bahwa pada hakekatnya kegiatan penilaian itu harus berorientasi pada ketiga aspek tujuan pendidikan, yakni aspek kongnitif, afektif dan psikomotor. Di dalam perkembangan lembaga-lembaga pendidikan formal, di mana sampai saat ini masih harus diakui bahwa terdapat ketimpangan yang sangat mendasar yang dilakukan oleh para guru di sekolah tentang pelaksanaan penilaian, dimana guru-guru pada umumnya tidak memahami kualitas tes atau alat yang disusunnya. Umumnya guru-guru yang melaksanakan tugas-tugas keguruan, pada setiap jenjang pendidikan dapat dikatakan memiliki berbagai keterbatasan kemampuan, baik yang disebabkan katena faktor intern dari guru-guru yang bersangkutan maupun yang disebabkan oleh keterbatasan fasilitas untuk berbuat secara optimal sesuai dengan tuntutan dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Oleh karena itu, tidak sedikit para ahli pendidikan yang memiliki asumsi bahwa guru-guru di lapangan masih belum mampu mengoptimalkan antara potensi yang dimilikinya dengan kenyataan-kenyataan yang semestinya dikerjakan. Salah satu di antaranya, sebagaimana dipaparkan di bawah ini. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, praktik penilaian pendidikan yang berkembang sampai saat ini masih banyak mengalami kendala, hal ini bersumber dari ketidakmampuan akademis dari guru yang bersangkutan untuk melaksanakan proses penilaian di bidang tersebut. Dengan kata lain, guru kurang memahami penilaian secara mendalam.

Kebanyakan guru tidak memiliki latar belakang pendidikan formal secara khusus dalam penilaian pendidikan. Di sebagian perguruan tinggi atau lembaga penghasil tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kajian tentang penilaian pendidikan hanya diperoleh melalui beberapa mata kuliah saja atau bahkan satu mata kuliah saja. Sehingga bukanlah hal yang mengejutkan jika sebagian guru menggunakan tes yang sama dari tahun ke tahun. Sebagian guru bahkan berendapat bahwa mereka memberikan tes sebagaimana tes yang mereka terima. Hal ini dapat dibenarkan sepanjang guru menggunakan tes yang benar-benar baku dan dilakukan dengan cara yang baku pula. Namun terkadang guru menggunakan tes yang tidak dapat dijamin standarisasinya, dan tes yang cenderung sama digunakan dari tahun ke tahun (Supranata, 2004 : 70).

Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Makna dari kedua cara penilaian tentang kemajuan belajar tersebut, seperti terurai berikut ini. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Sedangkan penilaian secara struktural-objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa. Sungguhpun masih banyak kekurangan dan kelemahan, penilaian cara yang kedua (struktural-objektif) telah biasa digunakan oleh para guru. Namun penilaian cara yang pertama (iluminatif-observatif) masih belum biasa digunakan guru disebabkan kemampuan dan kesadaran akan pentingnya penilaian tersebut belum membudaya (Sudjana, 1989 : 21 – 22).

Dengan pendapat tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya kemampuan akademik dari para guru di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal merupakan suatu kendala yang pasti untuk menuju pada kualitas pembelajaran yang relevan. Di samping itu, masih ada kecenderungan-kecenderungan negatif pada diri guru. Tidak ada usaha yang lebih baik selain usaha untuk meningkatkan mutu tes atau non-tes yang disusunnya. Namun hal ini tidak dilaksanakan karena kecenderungan seseorang untuk beranggapan bahwa yang menjadi hasil karyanya adalah yang terbaik atau setidak-tidaknya sudah cukup. Guru yang sudah banyak pengalaman, mengajar dan menyusun soal-soal tes/non-tes, juga masih sukar menyadari bahwa tesnya masih belum sempurna (Arikunto, 1987 : 199).

Gejala-gejala yang digambarkan di atas, pada dasarnya meliputi hampir semua pengemban profesi guru, sehingga pada akhirnya berdampak langsung pada semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, terutama dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang berorientasi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bertitik tolak dari fakta-fakta teori yang ada, maka perlu adanya suatu kegiatan penalaran yang dapat menjelaskan secara sistematis tentang kemampuan guru mata pelajaran dalam penilaian ranah kognitif, afektif dan psikomotor, baik yang dilakukan oleh guru itu sendiri maupun pihak lainnya.


BAHAN BACAAN 

Arikunto, Suharsimi, 1987, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Buchari, M, 1983, Teknik-teknik Evaluasi dalam Pendidikan, Jemmars, Bandung.

Rusyan, A. Tabrani; Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Remadja Karya CV, Bandung.

Siagian, P. Sondang, 1981, Filsafat Administrasi, Gunung, Agung, Jakarta.

Sudjana, Nana, 1989, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

Supranata, Sumarna dan Muhammad Hatta, 2004, Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004, Remaja Rosdakarya, Bandung. Jerowaru Lombok Timur, 20 Desember 2011.
Klik Untuk melihat
Salah satu tugas dalam profesi keguruan adalah melakukan penilaian terhadap setiap kegiatan yang terselenggara dalam proses pembelajaran. Hal ini berpangkal dari suatu fakta yang bersifat kondrati tentang keingintahuan dari setiap manusia mengenai wujud dari hasil aktivitas yang telah diselenggarakannya, baik yang berdimensi kuantitas maupun yang mengarah pada aspek kualitas. Dengan demikian, penilaian dalam proses pembelajaran merupakan sebuah komponen yang tidak dapat disangsikan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain bahwa kegiatan penilaian adalah sebuah bagian yang integral dalam proses pembelajaran itu sendiri. Aktivitas penilaian memiliki signifikansi dengan proses pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan kegiatan pembelajaran. Tanpa ada komitmen dan kemampuan yang relevan dengan proses penilaian itu, maka pendidikan yang diharapkan untuk memanusiakan manusia memungkinkan dapat beralih fungsi menjadi sebuah prosedur yang menafikan aspirasi dan kreatifitas peserta didik.

Oleh karena itu, guru selaku pelaksana pendidikan dan pengajaran di sekolah dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuannya agar sejalan dengan kemajuan yang ada dalam masyarakatnya. Pembaharuan yang harus dilakukan guru tidak saja yang bersifat intern, seperti tuntutan profesionalitas selaku pengemban profesi keguruan. Tetapi juga pembaharuan yang bersifat ekstren, seperti memiliki gerak yang dinamis dalam masyarakatnya. Dengan demikian seorang guru adalah inovator di dalam lembaganya juga motivator bagi masyarakatnya. Penilaian merupakan tuntutan kemampuan yang bersifat intern dalam profesi keguruan, yakni kemampuan seorang guru untuk mengukur dan menilai sejauh mana ia telah mampu memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.

Kiranya perlu dicatat bahwa dalam usaha pencapaian tujuan selalu terdapat jurang pemisah (gap) antara tujuan dan hasil yang dicapai. Karena itu, usaha-usaha yang serius harus dilakukan untuk : 1. Menentukan tujuan yang realistis dan pragmatis. 2. Menentukan standard kualitas pekerjaan yang diharapkan. 3. Meneliti sampai pada tingkat apa standard yang telah ditentukan itu dapat dicapai. 4. Mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, baik penyesuaian rencana, pelaksanaan maupun cara memotivasi serta pengawasan. Penyesuaian dapat pula ditujukan terhadap tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1981 : 141).

Kriteria di atas merupakan komponen-komponen yang perlu mendapatkan perhatian dalam setiap aktivitas proses penilaian. Artinya bahwa setiap kegiatan penilaian harus selalu tertuju pada ketentuan-ketentuan tersebut. Dalam pendidikan, orang mengadakan evaluasi (penilaian) dapat memenuhi dua tujuan, yaitu : (a) Untuk mengetahui kemajuan anak, atau orang yang didik setelah si terdidik tadi menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu. (b) Untuk mengetahui tingkat efesiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu (Buchari, 1983 : 7).

Berpangkal dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penilaian dalam lembaga-lembaga pendidikan formal pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai jarak antara situasi yang ada dengan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh data yang akan memberikan gambaran tentang harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan pembelajaran seperti yang ditetapkan sebelumnya. Tanpa ada kegiatan penilaian tidak akan mungkin seorang guru dapat mengembangkan atau memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan karena tidak tersedianya informasi yang akurat tentang kelebihan/keuntungan maupun kekurangan/kelemahan dari berbagai praktik-praktik yang telah dilakukannya di dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Demikian pula bahwa dengan kegiatan penilaian akan diperoleh data tentang sejauhmana penguasaan peserta didik terhadap bahan yang telah tersaji dalam interaksi belajar mengajar dan sekaligus juga dapat diketahui efektifitas dan efesiensi program pengajaran yang telah dilakukan. Penilaian dalam proses belajar bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Karena tujuan pendidikan pada umumnya bersifat kompleks, maka penilaiannya pun tidak mungkin sederhana.

Dalam menilai tujuan yang hendak dicapai perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut. a. Hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengertian. b. Hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan. c. Hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan. d. Hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari (Rusyan, 1989 : 2010 – 2011).

Apabila diperhatikan beberapa aspek yang perlu dicermati dalam proses penilaian sebagai bidang garapan guru di sekolah, maka dapat dinyatakan pula bahwa pada hakekatnya kegiatan penilaian itu harus berorientasi pada ketiga aspek tujuan pendidikan, yakni aspek kongnitif, afektif dan psikomotor. Di dalam perkembangan lembaga-lembaga pendidikan formal, di mana sampai saat ini masih harus diakui bahwa terdapat ketimpangan yang sangat mendasar yang dilakukan oleh para guru di sekolah tentang pelaksanaan penilaian, dimana guru-guru pada umumnya tidak memahami kualitas tes atau alat yang disusunnya. Umumnya guru-guru yang melaksanakan tugas-tugas keguruan, pada setiap jenjang pendidikan dapat dikatakan memiliki berbagai keterbatasan kemampuan, baik yang disebabkan katena faktor intern dari guru-guru yang bersangkutan maupun yang disebabkan oleh keterbatasan fasilitas untuk berbuat secara optimal sesuai dengan tuntutan dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Oleh karena itu, tidak sedikit para ahli pendidikan yang memiliki asumsi bahwa guru-guru di lapangan masih belum mampu mengoptimalkan antara potensi yang dimilikinya dengan kenyataan-kenyataan yang semestinya dikerjakan. Salah satu di antaranya, sebagaimana dipaparkan di bawah ini. Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, praktik penilaian pendidikan yang berkembang sampai saat ini masih banyak mengalami kendala, hal ini bersumber dari ketidakmampuan akademis dari guru yang bersangkutan untuk melaksanakan proses penilaian di bidang tersebut. Dengan kata lain, guru kurang memahami penilaian secara mendalam.

Kebanyakan guru tidak memiliki latar belakang pendidikan formal secara khusus dalam penilaian pendidikan. Di sebagian perguruan tinggi atau lembaga penghasil tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kajian tentang penilaian pendidikan hanya diperoleh melalui beberapa mata kuliah saja atau bahkan satu mata kuliah saja. Sehingga bukanlah hal yang mengejutkan jika sebagian guru menggunakan tes yang sama dari tahun ke tahun. Sebagian guru bahkan berendapat bahwa mereka memberikan tes sebagaimana tes yang mereka terima. Hal ini dapat dibenarkan sepanjang guru menggunakan tes yang benar-benar baku dan dilakukan dengan cara yang baku pula. Namun terkadang guru menggunakan tes yang tidak dapat dijamin standarisasinya, dan tes yang cenderung sama digunakan dari tahun ke tahun (Supranata, 2004 : 70).

Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Makna dari kedua cara penilaian tentang kemajuan belajar tersebut, seperti terurai berikut ini. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Sedangkan penilaian secara struktural-objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa. Sungguhpun masih banyak kekurangan dan kelemahan, penilaian cara yang kedua (struktural-objektif) telah biasa digunakan oleh para guru. Namun penilaian cara yang pertama (iluminatif-observatif) masih belum biasa digunakan guru disebabkan kemampuan dan kesadaran akan pentingnya penilaian tersebut belum membudaya (Sudjana, 1989 : 21 – 22).

Dengan pendapat tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya kemampuan akademik dari para guru di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal merupakan suatu kendala yang pasti untuk menuju pada kualitas pembelajaran yang relevan. Di samping itu, masih ada kecenderungan-kecenderungan negatif pada diri guru. Tidak ada usaha yang lebih baik selain usaha untuk meningkatkan mutu tes atau non-tes yang disusunnya. Namun hal ini tidak dilaksanakan karena kecenderungan seseorang untuk beranggapan bahwa yang menjadi hasil karyanya adalah yang terbaik atau setidak-tidaknya sudah cukup. Guru yang sudah banyak pengalaman, mengajar dan menyusun soal-soal tes/non-tes, juga masih sukar menyadari bahwa tesnya masih belum sempurna (Arikunto, 1987 : 199).

Gejala-gejala yang digambarkan di atas, pada dasarnya meliputi hampir semua pengemban profesi guru, sehingga pada akhirnya berdampak langsung pada semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, terutama dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang berorientasi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Bertitik tolak dari fakta-fakta teori yang ada, maka perlu adanya suatu kegiatan penalaran yang dapat menjelaskan secara sistematis tentang kemampuan guru mata pelajaran dalam penilaian ranah kognitif, afektif dan psikomotor, baik yang dilakukan oleh guru itu sendiri maupun pihak lainnya.


BAHAN BACAAN 

Arikunto, Suharsimi, 1987, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Buchari, M, 1983, Teknik-teknik Evaluasi dalam Pendidikan, Jemmars, Bandung.

Rusyan, A. Tabrani; Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Remadja Karya CV, Bandung.

Siagian, P. Sondang, 1981, Filsafat Administrasi, Gunung, Agung, Jakarta.

Sudjana, Nana, 1989, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung.

Supranata, Sumarna dan Muhammad Hatta, 2004, Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004, Remaja Rosdakarya, Bandung. Jerowaru Lombok Timur, 20 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.