Jumat, 25 Januari 2013

Menggiatkan Kembali Pelaksanaan Tes Essay, Wawancara dan Observasi dalam Rangka Pengembangan Karakter Peserta Didik

Keberhasilan pengembangan pendidikan krakter peserta didik di satuan pendidikan akan sangat ditentukan oleh berbagai faktor atau aspek yang menyertainya. Salah satu aspek yang dapat memberi kontribusi signifikan dalam usaha itu adalah aspek penilaian (evaluasi) yang dikembangkan di satuan pendidikan ataupun oleh pemerintah. Evaluasi yang dilakukan akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada proses pengembangan karakter peserta didik. Sebab, sebagaimana dikemukakan oleh Nurkancana (1986), ruang lingkup evaluasi dalam pendidikan dan pengajaran di sekolah meliputi evaluasi : hasil belajar, inteligensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadiaan. Mengingat ruang lingkup penilaian di atas, maka pada hakekatnya kegiatan evaluasi itu harus berorientasi pada ketiga aspek tuajuan pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan penilaian perlu diperhatikan aspek-aspek, seperti yang dikatakan oleh Rusyan (1989), berikut : a). hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengetian; b) hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan; c) hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan; dan d) hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Bertolak dari pendapat ahli tersebut, maka sesungguhnya evaluasi yang dilakukan di sekolah atau oleh guru tidak terbatas pada aspek pengetahuan (intelektualitas) peserta didik semata-mata, tetapi juga yang menyangkut ranah sikap dan keterampilannya. Dengan demikian, pelaksanaan penilaian harus mampu menjadi alat ukur untuk mengetahui pekerkembangan peserta didik dalam tiga aspek tersebut secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan. Pada konteks inilah penilaian memainkan peranan penting dan strategis dalam upaya pengembangan karakter peserta didik di satuan pendidikan. Sehingga potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik dapat tersalurkan dan tumbuh (berkembang) dengan wajar. Untuk dapat menjadikan kegiatan penilaian sebagai sesuatu yang penting dan strategis dalam upaya mengembangkan karakter setiap peserta didik, maka perlu digiatkan kembali bentuk-bentuk (metode-metode) evaluasi yang mendukung kearah upaya tersebut. Bahkan untuk dapat mengukur semua aspek yang dinilai dalam pengembangan karakter masing-masing peserta didik, diperlukan berbagai model alat penilaian yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan tidak dipisah-pisah. Karakter peserta didik merupakan aspek yang kompleks. Oleh karena itu, perkembangan atau perubahan karakter setiap peserta didik akan dapat terlihat dan terukur secara menyeluruh apabila menggunakan berbagai metode evaluasi yang sesuai. Beberapa metode penilaian, seiring dengan diberlakukannya sistem ujian nasional (UN), kurang diperhatikan pelaksanaannya di sekolah. Satuan pendidikan dan guru memiliki kecenderungan mengembangkan model evaluasi mengikuti model yang digunakan dalam UN, atau mengkondisikan pelaksanaan penilaian dalam rangka mendukung kesuksesan UN. Pengkondisian ini berlaku untuk semua peserta didik di semua tingkatan, dari kelas yang terendah sampai kelas yang tertinggi. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip penilaian itu sendiri. Memang beberapa bentuk penilaian dilaksanakan dan diperhitungkan dalam raport, seperti yang berhubungan dengan aspek penilaian sikap dan keterampilan (ekstrakurikuler/pengembangan diri). Tetapi pelaksanaannya tidak bisa optimal dan terkesan dilaksanakan apa adanya. Sehingga tidak dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (dinilai) dari perkembangan sehari-hari peserta didik secara utuh dan berkesinambungan. Tidak jarang dalam rapat penentuan (penetapan) kenaikan kelas terjadi pedebatan seru antara para guru di sekolah tentang prilaku atau sikap seorang peserta didik, tetapi argumentasi yang dikemukakan tidak didukung oleh bukti fisik yang lekap dan dapat dipertanggungjawabkan, didasarkan pada apa yang diingat atau ditulis pada lembaran yang tidak utuh. Bahkan terdapat kecenderungan hasil penilaian sikap dan keterampilan tersebut (lengkap atau tidak lengkap), menjadi terabaikan pada saat penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Seorang peserta didik yang dinyatakan telah lulus UN atau memiliki nilai akademik ujian sekolah (US) bagus, dinyatakan lulus dari satuan pendidikan walaupun yang bersangkutan memiliki kepribadian atau sikap yang kurang/tidak terpuji. Sebenarnya dalam prosedur operasi standar (POS) UN/US boleh tidak dilulusakan. Tetapi konsekwensi yang kurang/tidak baik harus diterima oleh sekolah dan guru, yang datangnya dari masyarakat dan pemerintah daerah. Konsekwensi ini justeru tidak tertuang secara tertulis (tersurat) dalam POS. Sebagaimana telah diketahui penilaian dalam sistem UN menggunakan metode penilaian yaitu metode tes, yang hanya dibatasi pada bentuk tes obyektif berupa multiple choice (pilihan ganda). Bentuk tes ini memang memberi kemudahan dalam pengoreksian dan lebih cepat mengetahui hasilnya, lebih-lebih dilakukan dengan perangkat teknologi infomasi modern. Tetapi bentuk tes ini tidak dapat menilai ranah sikap dan keterampilan masing-masing peserta didik. Bahkan dalam konteks yang lebih luas pelaksanaan sistem UN, menurut Andyka (2011), berdampak pada tujuan belajar di sekolah seakan dibentuk sekedar untuk mempersiapkan dan menghadapi UN. Spirit pengembangan nalar kritis anak didik seolah dibatasi. Harapan masa depan anak didik seakan digantungkan hanya pada sebuah angka kelulusan UN. Sejalan dengan pendapat ini, Prof. H.A.R. Tilaar, seperti dikutip Taofik (2011), mengatakan kebijakan UN ini telah melanggar hak asasi peserta didik, baik dari segi waktu, biaya, sampai ke pengendalian kreativitas individu. UN tidak hanya mengabaikan tanggung jawab pendidik, tetapi juga telah menegasikan otonomi peserta didik untuk belajar; mereka pada akhirnya belajar bukan untuk diri mereka sendiri tetapi untuk lulus dalam UN. Itulah sebabnya Paulo Freire, seperti dikutip Taofik (2011), mengungkapkan bahwa pendidikan di sekolah selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Mengacu dari pendapat beberapa orang (pakar) di atas, maka sesungguhnya sistem UN yang menggunakan bentuk tes obyektif (pilihan ganda), dan adanya kecenderungan sekolah (guru) mengembangkan model tes tesebut dalam penilaian pendidikan dan pembelajaran, sesungguhnya telah menghambat perkembangan peserta didik sesuai dengan potensinya masing-masing, dan hanya menitik beratkan pada penilaian aspek kognitif (pengetahuan) semata. Dalam rangka pengembangan potensi dan karakter peserta didik, bentuk alat evaluasi yang lainnya perlu lebih digiatkan lagi pelaksanaannya di sekolah yaitu bentuk tes essay, tes lisan (interviu) dan observasi. Bentuk-bentuk evaluasi ini lebih menitikberatkan pada penialian aspek afektif dan psikomotor, yang sangat mendukung pengembangan karakter setiap peserta didik. Menurut Asmani (2011), bentuk penilaian essay dianggap jauh lebih mampu menjangkau aspek karakter seorang siswa. Serta, sebagai bagian dari proses pembentukan karakter yang positif, yang meliputi kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya. Sedangkan melalui bentuk penilaian interviu (wawancara), menurut Nurkancana (1986), dapat diadakan hubungan yang bersifat pribadi…..dapat diadakan hubungan yang lebih bebas sehingga kita dapat mengetahui mengapa anak-anak mempunyai sikap-sikap tertentu terhadap suatu masalah atau suatu hal. Sementara itu pengembangan metode observasi dalam penilaian dalam rangka pengembangan karakter setiap peserta didik, sangat mendukung terhadap pelaksanaan atau hasil tes essay dan interviu. Sebab, menurut Nurkancana (1986), mengadakan pengamatan secara langsung terhadap sikap yang diambil anak-anak dalam situasi tertentu yang kongkrit akan dapat memberi gambaran yang lebih tepat daripada mendengarkan atau membaca jawaban anak-anak tentang apa yang akan dilakukannya oleh si anak itu dalam situasi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka pengembangan pendidikan karakter peserta didik di satuan pendidikan, menggiatkan kembali pelaksanaan tes essay, interviu dan observasi merupakan keharusan, yang dilakukan secara sistematis, saling berhubungan dan berkesinambungan. Bentuk-bentuk evaluasi tersebut, saling menunjang satu sama lain dalam mengembangkan potensi peserta didik, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotornya. Penilaian dalam bentuk tes pilihan ganda bukan berarti tidak penting, tetapi harus ditempatkan pada kerangka itu, menjadi pendukung pelaksanaan tes lainnya. Bentuk tes pilihan ganda harus dilaksanakan seimbang dengan bentuk-bentuk tes lainnya, tidak lebih utama dari yang lainnya. Sehingga proses pendidikan atau pembelajaran yang diterima (dialami) peserta didik menjadi bermakna, baik untuk dirinya maupun untuk lingkungannya. Kebermanfaatan itu menjadi tujuan yang diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keterlaksanaan pengembangan pendidikan karakter peserta didik di satuan pendidikan dengan baik melalui penggiatan pelaksanaan bentuk-bentuk evaluasi itu, sangat tergantung dari guru. Menurut Nur Arifah D., seperti dikutip oleh Asmani (2011), guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukkan karakter siswa. Dengan kata lain, menurut Azzel (2011), sungguh, sebagus apa pun karakter yang dibangun dalam lembaga pendidikan apabila tidak ada suri teladan dari para pendidiknya, akan sulit dapat tercapai apa yang telah diharapkan. Dengan demikian, pencapaian pengembangan evaluasi pembelajaran tersebut dalam rangka pembentukan karakter peserta didik di satuan pendidikan merupakan tanggung jawab semua guru tanpa terkecuali. Itulah sebabnya Nurkancana (1986), mengatakan bahwa manifestasi hasil belajar itu dapat beraneka ragam. Ada yang berupa pengetahuan, ada yang berupa keterampilan dan ada pula yang berupa perubahan nilai/sikap. Hasil belajar yang berupa pengetahuan sangat tepat kalau kita nilai dengan tes verbal. Hasil belajar yang berupa keterampilan sebaiknya dinilai dengan tes tindakan. Sedangkan perubahan nilai/sikap sebaiknya dinilai dengan menggunakan observasi. Pendayagunaan metode penilaian tes dan observasi secara bersama-sama, saling mendukung (berkaitan) dalam pembelajaran oleh setiap guru, akan mendatangkan hasil belajar yang obyektif dan berdaya guna, baik untuk guru, sekolah, stakeholder, lebih-lebih untuk peserta didik. Dalam kaitannya dengan hal ini, terutama untuk mendukung pengembangan pendidikan karakter peserta didik, pemerintah seyogyanya mendukung upaya guru (sekolah) dalam melaksanakan pengembangan bentuk-bentuk penilaian tersebut. Hak evaluasi harus dikembalikan pada guru sebagaimana prinsip-prinsip yang terkadung dalam penilian. Interpensi yang dapat mengurai kebermaknaan evaluasi itu, alangkah arifnya untuk ditiadakan. Guru merupakan pihak yang paling mengetahui tentang perkembangan peserta didiknya, baik yang bertalian dengan pengetahuan, keterampilan maupun perubahan nilai/sikapnya. Untuk itu sistem pelaksanaan UN yang sekarang, sudah pada tempatnya untuk tidak dipertahankan pelaksanaannya. Dalam rangka mengukur mutu dan pemerataan pendidikan secara nasional, sebaiknya menggunakan sistem Ebtanas di era tahun 1990-an. Ini lebih bijaksana dan berkeadilan untuk peserta didik, guru dan sekolah. DAFTAR PUSTAKA Andyka, Tengku, 2011, “Pepesan Kosong UN”, dalam Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Tim Kreatif LKM UNJ. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Asmani, Jamal Ma’mur, 2011, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta : Diva press. Azzel, Akhmad Muhaimin, 2011, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, Revitaliasi Pendidikan Karakter terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Nurkancana, Wayan, dan P.P.N. Sumartana, 1986, Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Rusyan, A. Tabrani; Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : CV Remadja Karya. Taofik, Reza, 2011, “Restorasi Pendidikan Menuju Literate Society”, dalam Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Tim Kreatif LKM UNJ. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Keberhasilan pengembangan pendidikan krakter peserta didik di satuan pendidikan akan sangat ditentukan oleh berbagai faktor atau aspek yang menyertainya. Salah satu aspek yang dapat memberi kontribusi signifikan dalam usaha itu adalah aspek penilaian (evaluasi) yang dikembangkan di satuan pendidikan ataupun oleh pemerintah. Evaluasi yang dilakukan akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada proses pengembangan karakter peserta didik. Sebab, sebagaimana dikemukakan oleh Nurkancana (1986), ruang lingkup evaluasi dalam pendidikan dan pengajaran di sekolah meliputi evaluasi : hasil belajar, inteligensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadiaan. Mengingat ruang lingkup penilaian di atas, maka pada hakekatnya kegiatan evaluasi itu harus berorientasi pada ketiga aspek tuajuan pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh karena itu, dalam melakukan kegiatan penilaian perlu diperhatikan aspek-aspek, seperti yang dikatakan oleh Rusyan (1989), berikut : a). hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengetian; b) hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan; c) hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan; dan d) hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Bertolak dari pendapat ahli tersebut, maka sesungguhnya evaluasi yang dilakukan di sekolah atau oleh guru tidak terbatas pada aspek pengetahuan (intelektualitas) peserta didik semata-mata, tetapi juga yang menyangkut ranah sikap dan keterampilannya. Dengan demikian, pelaksanaan penilaian harus mampu menjadi alat ukur untuk mengetahui pekerkembangan peserta didik dalam tiga aspek tersebut secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan. Pada konteks inilah penilaian memainkan peranan penting dan strategis dalam upaya pengembangan karakter peserta didik di satuan pendidikan. Sehingga potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik dapat tersalurkan dan tumbuh (berkembang) dengan wajar. Untuk dapat menjadikan kegiatan penilaian sebagai sesuatu yang penting dan strategis dalam upaya mengembangkan karakter setiap peserta didik, maka perlu digiatkan kembali bentuk-bentuk (metode-metode) evaluasi yang mendukung kearah upaya tersebut. Bahkan untuk dapat mengukur semua aspek yang dinilai dalam pengembangan karakter masing-masing peserta didik, diperlukan berbagai model alat penilaian yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan tidak dipisah-pisah. Karakter peserta didik merupakan aspek yang kompleks. Oleh karena itu, perkembangan atau perubahan karakter setiap peserta didik akan dapat terlihat dan terukur secara menyeluruh apabila menggunakan berbagai metode evaluasi yang sesuai. Beberapa metode penilaian, seiring dengan diberlakukannya sistem ujian nasional (UN), kurang diperhatikan pelaksanaannya di sekolah. Satuan pendidikan dan guru memiliki kecenderungan mengembangkan model evaluasi mengikuti model yang digunakan dalam UN, atau mengkondisikan pelaksanaan penilaian dalam rangka mendukung kesuksesan UN. Pengkondisian ini berlaku untuk semua peserta didik di semua tingkatan, dari kelas yang terendah sampai kelas yang tertinggi. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip penilaian itu sendiri. Memang beberapa bentuk penilaian dilaksanakan dan diperhitungkan dalam raport, seperti yang berhubungan dengan aspek penilaian sikap dan keterampilan (ekstrakurikuler/pengembangan diri). Tetapi pelaksanaannya tidak bisa optimal dan terkesan dilaksanakan apa adanya. Sehingga tidak dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (dinilai) dari perkembangan sehari-hari peserta didik secara utuh dan berkesinambungan. Tidak jarang dalam rapat penentuan (penetapan) kenaikan kelas terjadi pedebatan seru antara para guru di sekolah tentang prilaku atau sikap seorang peserta didik, tetapi argumentasi yang dikemukakan tidak didukung oleh bukti fisik yang lekap dan dapat dipertanggungjawabkan, didasarkan pada apa yang diingat atau ditulis pada lembaran yang tidak utuh. Bahkan terdapat kecenderungan hasil penilaian sikap dan keterampilan tersebut (lengkap atau tidak lengkap), menjadi terabaikan pada saat penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Seorang peserta didik yang dinyatakan telah lulus UN atau memiliki nilai akademik ujian sekolah (US) bagus, dinyatakan lulus dari satuan pendidikan walaupun yang bersangkutan memiliki kepribadian atau sikap yang kurang/tidak terpuji. Sebenarnya dalam prosedur operasi standar (POS) UN/US boleh tidak dilulusakan. Tetapi konsekwensi yang kurang/tidak baik harus diterima oleh sekolah dan guru, yang datangnya dari masyarakat dan pemerintah daerah. Konsekwensi ini justeru tidak tertuang secara tertulis (tersurat) dalam POS. Sebagaimana telah diketahui penilaian dalam sistem UN menggunakan metode penilaian yaitu metode tes, yang hanya dibatasi pada bentuk tes obyektif berupa multiple choice (pilihan ganda). Bentuk tes ini memang memberi kemudahan dalam pengoreksian dan lebih cepat mengetahui hasilnya, lebih-lebih dilakukan dengan perangkat teknologi infomasi modern. Tetapi bentuk tes ini tidak dapat menilai ranah sikap dan keterampilan masing-masing peserta didik. Bahkan dalam konteks yang lebih luas pelaksanaan sistem UN, menurut Andyka (2011), berdampak pada tujuan belajar di sekolah seakan dibentuk sekedar untuk mempersiapkan dan menghadapi UN. Spirit pengembangan nalar kritis anak didik seolah dibatasi. Harapan masa depan anak didik seakan digantungkan hanya pada sebuah angka kelulusan UN. Sejalan dengan pendapat ini, Prof. H.A.R. Tilaar, seperti dikutip Taofik (2011), mengatakan kebijakan UN ini telah melanggar hak asasi peserta didik, baik dari segi waktu, biaya, sampai ke pengendalian kreativitas individu. UN tidak hanya mengabaikan tanggung jawab pendidik, tetapi juga telah menegasikan otonomi peserta didik untuk belajar; mereka pada akhirnya belajar bukan untuk diri mereka sendiri tetapi untuk lulus dalam UN. Itulah sebabnya Paulo Freire, seperti dikutip Taofik (2011), mengungkapkan bahwa pendidikan di sekolah selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya. Mengacu dari pendapat beberapa orang (pakar) di atas, maka sesungguhnya sistem UN yang menggunakan bentuk tes obyektif (pilihan ganda), dan adanya kecenderungan sekolah (guru) mengembangkan model tes tesebut dalam penilaian pendidikan dan pembelajaran, sesungguhnya telah menghambat perkembangan peserta didik sesuai dengan potensinya masing-masing, dan hanya menitik beratkan pada penilaian aspek kognitif (pengetahuan) semata. Dalam rangka pengembangan potensi dan karakter peserta didik, bentuk alat evaluasi yang lainnya perlu lebih digiatkan lagi pelaksanaannya di sekolah yaitu bentuk tes essay, tes lisan (interviu) dan observasi. Bentuk-bentuk evaluasi ini lebih menitikberatkan pada penialian aspek afektif dan psikomotor, yang sangat mendukung pengembangan karakter setiap peserta didik. Menurut Asmani (2011), bentuk penilaian essay dianggap jauh lebih mampu menjangkau aspek karakter seorang siswa. Serta, sebagai bagian dari proses pembentukan karakter yang positif, yang meliputi kejujuran, kemandirian, kemampuan berkomunikasi, struktur logika, dan lain sebagainya. Sedangkan melalui bentuk penilaian interviu (wawancara), menurut Nurkancana (1986), dapat diadakan hubungan yang bersifat pribadi…..dapat diadakan hubungan yang lebih bebas sehingga kita dapat mengetahui mengapa anak-anak mempunyai sikap-sikap tertentu terhadap suatu masalah atau suatu hal. Sementara itu pengembangan metode observasi dalam penilaian dalam rangka pengembangan karakter setiap peserta didik, sangat mendukung terhadap pelaksanaan atau hasil tes essay dan interviu. Sebab, menurut Nurkancana (1986), mengadakan pengamatan secara langsung terhadap sikap yang diambil anak-anak dalam situasi tertentu yang kongkrit akan dapat memberi gambaran yang lebih tepat daripada mendengarkan atau membaca jawaban anak-anak tentang apa yang akan dilakukannya oleh si anak itu dalam situasi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka pengembangan pendidikan karakter peserta didik di satuan pendidikan, menggiatkan kembali pelaksanaan tes essay, interviu dan observasi merupakan keharusan, yang dilakukan secara sistematis, saling berhubungan dan berkesinambungan. Bentuk-bentuk evaluasi tersebut, saling menunjang satu sama lain dalam mengembangkan potensi peserta didik, yang mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotornya. Penilaian dalam bentuk tes pilihan ganda bukan berarti tidak penting, tetapi harus ditempatkan pada kerangka itu, menjadi pendukung pelaksanaan tes lainnya. Bentuk tes pilihan ganda harus dilaksanakan seimbang dengan bentuk-bentuk tes lainnya, tidak lebih utama dari yang lainnya. Sehingga proses pendidikan atau pembelajaran yang diterima (dialami) peserta didik menjadi bermakna, baik untuk dirinya maupun untuk lingkungannya. Kebermanfaatan itu menjadi tujuan yang diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keterlaksanaan pengembangan pendidikan karakter peserta didik di satuan pendidikan dengan baik melalui penggiatan pelaksanaan bentuk-bentuk evaluasi itu, sangat tergantung dari guru. Menurut Nur Arifah D., seperti dikutip oleh Asmani (2011), guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukkan karakter siswa. Dengan kata lain, menurut Azzel (2011), sungguh, sebagus apa pun karakter yang dibangun dalam lembaga pendidikan apabila tidak ada suri teladan dari para pendidiknya, akan sulit dapat tercapai apa yang telah diharapkan. Dengan demikian, pencapaian pengembangan evaluasi pembelajaran tersebut dalam rangka pembentukan karakter peserta didik di satuan pendidikan merupakan tanggung jawab semua guru tanpa terkecuali. Itulah sebabnya Nurkancana (1986), mengatakan bahwa manifestasi hasil belajar itu dapat beraneka ragam. Ada yang berupa pengetahuan, ada yang berupa keterampilan dan ada pula yang berupa perubahan nilai/sikap. Hasil belajar yang berupa pengetahuan sangat tepat kalau kita nilai dengan tes verbal. Hasil belajar yang berupa keterampilan sebaiknya dinilai dengan tes tindakan. Sedangkan perubahan nilai/sikap sebaiknya dinilai dengan menggunakan observasi. Pendayagunaan metode penilaian tes dan observasi secara bersama-sama, saling mendukung (berkaitan) dalam pembelajaran oleh setiap guru, akan mendatangkan hasil belajar yang obyektif dan berdaya guna, baik untuk guru, sekolah, stakeholder, lebih-lebih untuk peserta didik. Dalam kaitannya dengan hal ini, terutama untuk mendukung pengembangan pendidikan karakter peserta didik, pemerintah seyogyanya mendukung upaya guru (sekolah) dalam melaksanakan pengembangan bentuk-bentuk penilaian tersebut. Hak evaluasi harus dikembalikan pada guru sebagaimana prinsip-prinsip yang terkadung dalam penilian. Interpensi yang dapat mengurai kebermaknaan evaluasi itu, alangkah arifnya untuk ditiadakan. Guru merupakan pihak yang paling mengetahui tentang perkembangan peserta didiknya, baik yang bertalian dengan pengetahuan, keterampilan maupun perubahan nilai/sikapnya. Untuk itu sistem pelaksanaan UN yang sekarang, sudah pada tempatnya untuk tidak dipertahankan pelaksanaannya. Dalam rangka mengukur mutu dan pemerataan pendidikan secara nasional, sebaiknya menggunakan sistem Ebtanas di era tahun 1990-an. Ini lebih bijaksana dan berkeadilan untuk peserta didik, guru dan sekolah. DAFTAR PUSTAKA Andyka, Tengku, 2011, “Pepesan Kosong UN”, dalam Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Tim Kreatif LKM UNJ. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Asmani, Jamal Ma’mur, 2011, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta : Diva press. Azzel, Akhmad Muhaimin, 2011, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, Revitaliasi Pendidikan Karakter terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Nurkancana, Wayan, dan P.P.N. Sumartana, 1986, Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Rusyan, A. Tabrani; Atang Kusdinar dan Zainal Arifin, 1989, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : CV Remadja Karya. Taofik, Reza, 2011, “Restorasi Pendidikan Menuju Literate Society”, dalam Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Tim Kreatif LKM UNJ. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.