Minggu, 27 Januari 2013

Mustahil Anak dapat Membaca dan Menulis dengan Baik !

Ada pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran saya, sehubungan dengan keluhan beberapa orang guru tentang kurangnya minat membaca peserta didik, dan keinginan sebagian guru untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam hal tulis-menulis. Pertanyaan tersebut, seperti berikut ini. Mungkinkah peserta didik akan rajin membaca dan mampu menulis dengan baik, apabila tidak pernah dibimbing tentang membaca dan menulis yang baik ? Apakah obsesi itu tidak terlalu muluk dan ketinggian, mengingat para guru jarang membaca dan nyaris atau bahkan tidak pernah menulis ? Mengembangkan potensi peserta didik memang merupakan harapan dan kewajiban lembaga pendidikan. Dengan begitu mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Tetapi untuk menuju kearah itu, dibutuhkan adanya dukungan dari sekolah, dan peran serta aktif para guru dalam melatih dan membimbing peserta didik. Satuan pendidikan harus memfasilitasi sarana prasarana pendukung pengembangan potensi siswa. Selanjutnya, peserta didik membutuhkan latihan dan bimbingan praktis sesuai dengan potensinya. Mereka tidak cukup hanya dibekali dengan segudang teori, tetapi mereka juga membutuhkan dan perlu dibekali keterampilan untuk mengaktualisasikan teori-teori yang mereka terima dalam proses pembelajaran, sehingga bermakna bagi diri dan kehidupannya. Dalam hubungannya dengan pengembangan minat membaca dan kemampuan menulis bagi peserta didik, sekolah harus memiliki perpustakaan dengan berbagai sumber bacaan dan fasilitas pendukung lainnya. Pada umumnya sekolah telah memiliki perpustakaan, dan telah mengadakan berbagai macam sumber bacaan, terutama buku dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan. Untuk melatih dan membimbing kemampuan peserta didik dalam hal tulis menulis dan berbahasa, sekolah menetapkan program ekstrakurikuler/pengembangan diri, seperti karya ilmiah remaja (KIR), club bahasa, jurnalis sekolah, dan lain-lainnya yang sejenis. Dalam rangka mengekspresikan atau menampilkan hasil tulisan atau karya peserta didik, sekolah juga, walaupun mungkin belum semua, menyediakan berbagai fasilitas pendukung, seperti majalah dinding, penerbitan koran atau majalah (terutama di sekolah-sekolah yang sudah maju) dan lain-lainnya. Untuk memberdayagunakan fasilitas pendukung tersebut, maka dibutuhkan adanya peran serta aktif dari guru untuk : 1) mengarahkan peserta didik guna rajin membaca dengan setrategi atau metode yang tepat; dan 2) melatih dan membimbing para siswa untuk memiliki kemampuan menulis dengan baik. Mungkin untuk sekolah-sekolah yang berada di perkotaan dan tergolong maju, peningkatan dan pengembangan minat baca dan menulis bagi peserta didik, termasuk kegiatan melatih dan membimbing, tidak menemui banyak masalah (kendala). Sebab, sekolah-sekolah tersebut telah memiliki fasilitas pedukung yang lengkap, dan memiliki guru yang rata-rata sudah terbiasa dalam hal membaca dan menulis. Tetapi untuk sekolah-sekolah yang berada di daerah pedesaan dan pinggiran, menemukan kendala yang serius, terutama masalah kebiasaan membaca dan menulis yang sangat kurang di kalangan para guru, literasi belum membudaya pada diri para guru. Budaya literasi dalam masyarakat Indonesia, termasuk di dalam lembaga pendidikan, secara umum belum membudaya. Masyarakat Indonesia lebih gemar menonton sinetron atau film dan mendengarkan musik, daripada membaca dan menulis. Sehingga umumnya lebih suka meniru dari apa yang mereka tonton, tidak berusaha untuk menjadi produktif dan kreatif. Dalam hubungannya dengan pendidikan (sekolah), salah satu penyebab tidak membudayanya literasi di kalangan warga sekolah (guru dan peserta didik), adalah proses pembelajaran bagi peserta didik yang cenderung diarahkan dalam rangka penguasaan teori (menghafal) semata, dan kurang atau tidak memperhatikan pengembangan keterampilan praktisnya. Contoh, sebagaimana dikemukakan oleh Reza Taofik pada sebuah tulisannya dengan judul Restorasi Pendidikan Menuju Literate Society, dalam buku Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya (2011), dalam “mata pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, siswa cenderung belajar materi teoritisnya atau hafalan saja. Sementara pembelajaran keterampilan membaca dan menulis jarang dilakukan dan bukan menjadi fokus utama”. Berdasarkan gambaran kondisi di atas, maka harapan untuk menumbuhkembangkan minat membaca dan kemampuan menulis peserta didik, merupakan obsesi yang terlalu tinggi dan mustahil dapat diwujudkan dengan baik (optimal), apabila guru-gurunya kurang atau tidak memiliki minat membaca, tidak mengetahui teknik membaca yang baik, memberikan materi teoritis semata, dan tidak atau kurang mampu menulis. Kenyataan inilah yang menyebabkan perpustakaan dan fasilitas pendukungnya yang telah disediakan di sekolah, tidak dapat diberdayakan secara optimal, sebagaimana fungsi dan peranan yang sebenarnya. Disamping itu, tidak mengherankan apabila fasilitas untuk memajangkan atau memuat karya tulis peserta didik yang ada di sekolah, seperti majalah dinding hanya menjadi pajangan penghias tembok gedung sekolah, dan berisi pengumuman atau informasi sekolah yang sesungguhnya bukan peruntukannya. Merubah perilaku atau kebiasaan setiap individu yang bernama manusia memang susah, tidak segampang membalik telapak tangan, apabila pada diri orang yang bersangkutan tidak memiliki keinginan untuk merubah dirinya menuju kearah yang lebih baik. Bisa jadi di sutu sekolah motivasi eksternal telah dicoba untuk mendorong dan membangkitkan minat membaca dan belajar menulis bagi para guru, dengan memberi contoh (karya) tulis nyata. Tetapi hasil usaha yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan, belum berhasil, dan mungkin hanya sebagian kecil (sangat kecil) guru yang terangsang untuk mengikuti dari semua guru yang ada, sebab motivasi eksternal tersebut tidak dikuti dengan adanya motivasi internal yang kuat dari para guru. Mukin juga pengelola sekolah telah berusaha memotivasi peserta didik untuk belajar menulis, bahkan mungkin sebagai perangsang diiming-imingi dengan hadiah, tetapi mengingat tidak pernah atau jarang sekali mendapat latihan dan bimbingan membaca dan menulis dengan baik, maka tulisan yang mampu dihasilkan tidak sempuna dan belum memenuhi kriteria tulisan ilmiah. Dengan demikian, keinginan atau obsesi untuk mewujudkan pengembangan minat baca dan kemampuan menulis di kalangan peserta didik, haruslah dimulai dari guru itu sendiri dengan memberi contoh tentang membaca dan menulis yang baik, yang harus didukung oleh niat, kemauan dan motivasi diri yang kuat. Alangkah celakanya seseorang yang memberi nasehat, tetapi yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan nasehatnya sendiri. Betapa runginya seseorang yang bisa membacakan (menyampaikan) ayat-ayat dan hadis-hadis dalam Al-Qur’an bagi orang lain, tetapi si penceramah sendiri tidak mampu mengaktualisasikan makna dari apa yang disampaikan dalam kehidupan sehari-harinya. Selamat bertugas dan sukses selalu. Jerowaru Lombok Timur, 30 Nopember 2011.
Ada pertanyaan yang menggelitik dalam pikiran saya, sehubungan dengan keluhan beberapa orang guru tentang kurangnya minat membaca peserta didik, dan keinginan sebagian guru untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam hal tulis-menulis. Pertanyaan tersebut, seperti berikut ini. Mungkinkah peserta didik akan rajin membaca dan mampu menulis dengan baik, apabila tidak pernah dibimbing tentang membaca dan menulis yang baik ? Apakah obsesi itu tidak terlalu muluk dan ketinggian, mengingat para guru jarang membaca dan nyaris atau bahkan tidak pernah menulis ? Mengembangkan potensi peserta didik memang merupakan harapan dan kewajiban lembaga pendidikan. Dengan begitu mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Tetapi untuk menuju kearah itu, dibutuhkan adanya dukungan dari sekolah, dan peran serta aktif para guru dalam melatih dan membimbing peserta didik. Satuan pendidikan harus memfasilitasi sarana prasarana pendukung pengembangan potensi siswa. Selanjutnya, peserta didik membutuhkan latihan dan bimbingan praktis sesuai dengan potensinya. Mereka tidak cukup hanya dibekali dengan segudang teori, tetapi mereka juga membutuhkan dan perlu dibekali keterampilan untuk mengaktualisasikan teori-teori yang mereka terima dalam proses pembelajaran, sehingga bermakna bagi diri dan kehidupannya. Dalam hubungannya dengan pengembangan minat membaca dan kemampuan menulis bagi peserta didik, sekolah harus memiliki perpustakaan dengan berbagai sumber bacaan dan fasilitas pendukung lainnya. Pada umumnya sekolah telah memiliki perpustakaan, dan telah mengadakan berbagai macam sumber bacaan, terutama buku dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan. Untuk melatih dan membimbing kemampuan peserta didik dalam hal tulis menulis dan berbahasa, sekolah menetapkan program ekstrakurikuler/pengembangan diri, seperti karya ilmiah remaja (KIR), club bahasa, jurnalis sekolah, dan lain-lainnya yang sejenis. Dalam rangka mengekspresikan atau menampilkan hasil tulisan atau karya peserta didik, sekolah juga, walaupun mungkin belum semua, menyediakan berbagai fasilitas pendukung, seperti majalah dinding, penerbitan koran atau majalah (terutama di sekolah-sekolah yang sudah maju) dan lain-lainnya. Untuk memberdayagunakan fasilitas pendukung tersebut, maka dibutuhkan adanya peran serta aktif dari guru untuk : 1) mengarahkan peserta didik guna rajin membaca dengan setrategi atau metode yang tepat; dan 2) melatih dan membimbing para siswa untuk memiliki kemampuan menulis dengan baik. Mungkin untuk sekolah-sekolah yang berada di perkotaan dan tergolong maju, peningkatan dan pengembangan minat baca dan menulis bagi peserta didik, termasuk kegiatan melatih dan membimbing, tidak menemui banyak masalah (kendala). Sebab, sekolah-sekolah tersebut telah memiliki fasilitas pedukung yang lengkap, dan memiliki guru yang rata-rata sudah terbiasa dalam hal membaca dan menulis. Tetapi untuk sekolah-sekolah yang berada di daerah pedesaan dan pinggiran, menemukan kendala yang serius, terutama masalah kebiasaan membaca dan menulis yang sangat kurang di kalangan para guru, literasi belum membudaya pada diri para guru. Budaya literasi dalam masyarakat Indonesia, termasuk di dalam lembaga pendidikan, secara umum belum membudaya. Masyarakat Indonesia lebih gemar menonton sinetron atau film dan mendengarkan musik, daripada membaca dan menulis. Sehingga umumnya lebih suka meniru dari apa yang mereka tonton, tidak berusaha untuk menjadi produktif dan kreatif. Dalam hubungannya dengan pendidikan (sekolah), salah satu penyebab tidak membudayanya literasi di kalangan warga sekolah (guru dan peserta didik), adalah proses pembelajaran bagi peserta didik yang cenderung diarahkan dalam rangka penguasaan teori (menghafal) semata, dan kurang atau tidak memperhatikan pengembangan keterampilan praktisnya. Contoh, sebagaimana dikemukakan oleh Reza Taofik pada sebuah tulisannya dengan judul Restorasi Pendidikan Menuju Literate Society, dalam buku Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya (2011), dalam “mata pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, siswa cenderung belajar materi teoritisnya atau hafalan saja. Sementara pembelajaran keterampilan membaca dan menulis jarang dilakukan dan bukan menjadi fokus utama”. Berdasarkan gambaran kondisi di atas, maka harapan untuk menumbuhkembangkan minat membaca dan kemampuan menulis peserta didik, merupakan obsesi yang terlalu tinggi dan mustahil dapat diwujudkan dengan baik (optimal), apabila guru-gurunya kurang atau tidak memiliki minat membaca, tidak mengetahui teknik membaca yang baik, memberikan materi teoritis semata, dan tidak atau kurang mampu menulis. Kenyataan inilah yang menyebabkan perpustakaan dan fasilitas pendukungnya yang telah disediakan di sekolah, tidak dapat diberdayakan secara optimal, sebagaimana fungsi dan peranan yang sebenarnya. Disamping itu, tidak mengherankan apabila fasilitas untuk memajangkan atau memuat karya tulis peserta didik yang ada di sekolah, seperti majalah dinding hanya menjadi pajangan penghias tembok gedung sekolah, dan berisi pengumuman atau informasi sekolah yang sesungguhnya bukan peruntukannya. Merubah perilaku atau kebiasaan setiap individu yang bernama manusia memang susah, tidak segampang membalik telapak tangan, apabila pada diri orang yang bersangkutan tidak memiliki keinginan untuk merubah dirinya menuju kearah yang lebih baik. Bisa jadi di sutu sekolah motivasi eksternal telah dicoba untuk mendorong dan membangkitkan minat membaca dan belajar menulis bagi para guru, dengan memberi contoh (karya) tulis nyata. Tetapi hasil usaha yang dilakukan tidak sesuai dengan harapan, belum berhasil, dan mungkin hanya sebagian kecil (sangat kecil) guru yang terangsang untuk mengikuti dari semua guru yang ada, sebab motivasi eksternal tersebut tidak dikuti dengan adanya motivasi internal yang kuat dari para guru. Mukin juga pengelola sekolah telah berusaha memotivasi peserta didik untuk belajar menulis, bahkan mungkin sebagai perangsang diiming-imingi dengan hadiah, tetapi mengingat tidak pernah atau jarang sekali mendapat latihan dan bimbingan membaca dan menulis dengan baik, maka tulisan yang mampu dihasilkan tidak sempuna dan belum memenuhi kriteria tulisan ilmiah. Dengan demikian, keinginan atau obsesi untuk mewujudkan pengembangan minat baca dan kemampuan menulis di kalangan peserta didik, haruslah dimulai dari guru itu sendiri dengan memberi contoh tentang membaca dan menulis yang baik, yang harus didukung oleh niat, kemauan dan motivasi diri yang kuat. Alangkah celakanya seseorang yang memberi nasehat, tetapi yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan nasehatnya sendiri. Betapa runginya seseorang yang bisa membacakan (menyampaikan) ayat-ayat dan hadis-hadis dalam Al-Qur’an bagi orang lain, tetapi si penceramah sendiri tidak mampu mengaktualisasikan makna dari apa yang disampaikan dalam kehidupan sehari-harinya. Selamat bertugas dan sukses selalu. Jerowaru Lombok Timur, 30 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.