Jumat, 25 Januari 2013

Putus Sekolah Pilihan di Tengah Kungkungan Budaya Sasak

Siswa putus sekolah merupakan hal yang masih menonjol dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Setiap tahun pelajaran peserta didik yang putus sekolah selalu terjadi di satuan pendidikan, terutama yang berada di wilayah pedesaan, pelosok dan pinggiran. Termasuk di dalamnya sekolah-sekolah yang ada di wilayah Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur . Di sekolah tempat saya bertugas, pada tahun pelajaran 2010/2011 sampai dengan pertengahan semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012 ini (per 31 Oktober 2011), tercatat 43 orang peserta didik sudah putus sekolah. Gejala semacam ini juga dialami oleh satuan-satuan pendidikan lainnya di wilayah kecamatan ini. Pada umumnya peserta didik yang putus sekolah lebih banyak perempuan, ketimbang yang laki-laki. Rata-rata peserta didik perempuan putus sekolah karena alasan kawin (nikah), menjadi tenaga kerja ke luar negeri (TKW), ikut orangtua (keluarga) bekerja ke Bali, dan alasan-alasan lainnya (tidak mau bersekolah lagi). Sedangkan peserta didik yang laki-laki mengalami putus sekolah karena menjadi tenaga kerja ke luar negeri (TKI), membantu pekerjaan orangtuanya, ikut orangtua (keluarga) bekerja ke Bali, dan alasan lain yang tidak jelas (menganggur). Gejala tersebut merupakan masalah, mengingat satuan pendidikan merupakan lembaga yang amat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Masalah itu sekaligus merupakan kendala serius untuk suksesnya penyelenggaraan program pendidikan dasar atau wajib belajar (wajar) sembilan tahun yang ditetapkan baik oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur maupun Provinsi NTB. Persoalan tersebut telah ikut menjadi salah satu penyebab masih rendahnya indeks prestasi minimal (IPM) di provinsi ini. Apabila ditelisik (dianaisa) secara lebih luas dan mendalam, akar penyebab (faktor pendorong) banyaknya peserta didik drouf out, ternyata tidak terbatas hanya pada masalah ekonomi (kemiskinan), letak geografis, dan infrastuktur (keterbatasan sekolah, jalan dan transfortasi). Faktor lain yang ikut memberi kontribusi bersumber juga dari aspek sosiologis dan unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat setempat. Dengan kata lain, faktor ekonomi atau aspek infrastruktur material bukan satu-satunya penyebab bagi tindakan manusia, melainkan ada faktor lainnya yang bersumberkan pada aspek struktur sosial dan super-struktur ideologi. Struktur sosial terkait dengan sistem kepolitikan atau kekuasaan pada lingkungan keluarga. Superstruktur ideologi berkaitan dengan ide atau ideologi yang ada di balik struktur sosial dan infrastruktur material. Adapun ideologi yang ada di baliknya adalah dualisme kultural. Dualisme kultural berintikan pada ide yang memilahkan sesuatu menjadi dua hal yang berlawanan. Pemilahan ini bisa berujung pada pengutamaan atau penempatan yang satu pada posisi pusat, sebaliknya menomorduakan atau bahkan meminggirkan yang lainnya. Hal ini tidak terlihat secara nyata, tidak disadari atau berada di dalam pikiran (bersifat nirnyata). Namun ini bisa diketahui dan diamati. Artinya walaupun nirnyata, namun teramati pada representasinya berbentuk ucapan dan tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia acap kali tidak menyadarinya, sebab suatu ide (ideologi) tersembunyi di alam bawah sadar. Dualisme kultural yang ada dalam kehidupan bermasyarakat sangat beragam, misalnya dualisme kultural laki-laki dan wanita, dualisme kultural sektor publik dan domistik, dualisme kultural memberi dan meminta, dualisme kultural kota dan desa, dualisme kultural menguasai (me-) dan di-kuasai (di-). Dualisme kultural laki-laki dan wanita, terkait dengan ideologi patriarki, yakni gagasan yang tidak saja memilahkan antara laki-laki dan wanita, tetapi berlanjut pula pada pengutamaan atau pemusatan yang satu dan penomorduaan atau peminggiran yang lainnya, yakni laki-laki terhadap wanita. Ideologi patriarki tidak saja menomorsatukan laki-laki, melainkan berlanjut pada tatanan sosial merupakan perkara otoritas laki-laki. Pemilahan laki-laki dan wanita tidak hanya mendasarkan diri pada perbedaan kelamin, melainkan secara kultural bermuatan kekuasaan. Kekuasaan tidak selamanya teraktualisasi dalam bentuk kekerasan, represif yang negatif, melainkan ia muncul dalam bentuk lain. Kekuasaan harus dilihat sebagai sebentuk kekuasaan ekpansionis yang positif. Kekuasaan cenderung pada kekuatan yang bersifat menggerakkan, membuatnya tumbuh dan mengaturnya, ketimbang menghalang-halanginya, membuatnya tunduk, atau menghancurkannya. Kekuasaan semacam itu berlangsung bukan dengan larangan, melainkan dengan intervensi yang bersifat mengatur dan prosedur-prosedur manajemen. Bisa pula dikatakan, bahwa kekekuasaan yang menimbulkan kepatuhan, tidak selamanya mendasarkan pada dominasi, melainkan bisa pula bersendikan pada hegemoni. Bisa juga mengemuka dalam bentuk tindakan kekerasan sehingga muncul kekuasaan represif, koersif atau dominatif bila cara halus dan hegemoni gagal diterapkan. Hal ini juga berlaku pada warga komunitas. Sebab, aneka gagasan itu merupakan pencerminan dari budaya dominan pada masyarakat setempat. Pada konteks inilah yang dimaksud dengan dualisme kultural menguasai (me-) dan di-kuasai (di-). Sedangkan dualisme kultural sektor publik dan domistik, bertumpu pula pada ideologi gender. Ideologi ini tidak semata-mata memisahkan laki-laki dan wanita dilihat dari segi peran gender yang dibentuk secara kultural, melainkan berlanjut pula pada pengutamaan yang satu daripada yang lainnya. Peran gender laki-laki diidentikkan dengan sektor publik dan dinilai berkedudukan lebih tinggi daripada peran gender wanita yang diidentikkan dengan sektor domestik. Kegiatan yang tercakup pada sektor domestik adalah aneka pekerjaan di sekitar rumah tangga, misalnya mencuci dan menyetrika pakaian, memasak dan mencuci alat-alat dapur, mengasuh anak, menyapu dan mengepel lantai, dll. Sementara dualisme kultural memberi dan meminta, mengandung makna bahwa antara orangtua dan anak saling memberi dan meminta. Pada masa anak-anaknya masih kecil berkedudukan sebagai penerima (peminta) dan orangtua berkedudukan sebagai pemberi. Sebaliknya setelah mereka besar (dewasa), bisa mencari rezeki anak-anak berkedudukan sebagai pemberi dan orangtua sebagai penerima (peminta). Sedangkan dualisme kultural kota dan desa, merupakan perwujudan perbedaan budaya kota dan desa. Budaya desa mencerminkan sifat tradisional (kolot), identik dengan keterbelakangan. Sebaliknya budaya kota merupakan refresentasi dari kemodernan, identik dengan kemajuan, yang bisa menjadi daya tarik bagi orang-orang desa untuk menjadi urban. Daya tarik kota, tidak saja di dalam negeri, tetapi juga kota-kota yang terdapat di luar negeri yang menjadi daya tarik orang pedesaan di dalam negeri untuk menjadi tenaga kerja di sana. Budaya kota yang modern, glamor, konsumtif dan sumber tontonan, melahirkan suatu budaya yang dikenal dengan budaya populer atau budaya pop, yang diganderungi terutama oleh anak-anak muda (remaja). Faktor ekonomi dan infrastruktur penunjang pendidikan, memang masih menjadi penyebab bagi sebagaian anak-anak di wilayah Kecamatan Jerowaru dalam mengakses pendidikan. Di wilayah ini masih terdapat tempat-tempat yang tergolong terpencil, secara geografis sulit dijangkau dan jalan masuk ke sana masih belum mendukung (jelek). Masih ada juga sekolah yang memiliki fasilitas fisik (sarana dan prasarana) yang kurang layak untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga proses pembelajaran kurang aktif, yang juga disebabkan oleh kesulitan pendanaan. Faktor infrastruktur ikut memberikan andil bagi peserta didik untuk putus sekolah, karena mengalami kesulitan dalam masalah transportasi dan proses pembelajaran di sekolah yang tidak aktif. Hal ini terutama terjadi di sekolah satu atap (SD-SMP Satu Atap), SMP Terbuka, SD yang berada di pelosok, SMP Swasta, serta MI, MTs dan MA/SMK yang belum berkembang (maju). Faktor ekonomi merupakan faktor penting yang bisa mendorong peserta didik putus sekolah. Masyarakat pedesaan di wilayah Kecamatan Jerowaru, sebagaimana masyarakat agraris dan bahari lainnya (masyarakat tradisional), sebagaian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Tetapi kehidupan mereka tidak bisa sepenuhnya ditopang dari sektor mata pencaharian itu. Apalagi di antara mereka, banyak yang berkedudukan sebagai buruh tani, dan nelayan yang bukan sebagai pemilik modal. Sehingga kemiskinan masih terdapat pada sebagaian masyarakat pedesaan. Faktor kemiskinan ini sebenarnya bisa tidak lagi menjadi alasan peserta didik drouf out dari sekolahnya. Karena untuk menjamin terselenggaranya program wajar sembilan tahun, pemerintah telah menetapkan kebijakan tentang pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar, sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Untuk lebih menjamin kebijakan itu, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah Provinsi NTB, telah mengalokasikan dana untuk membantu siswa miskin, dana bantuan siswa miskin (BSM). Tetapi kebijakan tersebut tampaknya belum sepenuhnya mampu menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi atau meniadakan angka putus sekolah di satuan pendidikan untuk peserta didik yang drouf out karena alasan miskin atau kurang mampu. Justru di antara mereka ini ada yang memilih mengadu nasib bekerja di Bali mengikuti orangtuanya sebagai buruh kasar atau ke luar negeri menjadi TKI/TKW yang sebenarnya mereka belum memenuhi syarat karena masih di bawah umur (tetapi dipaksakan untuk bisa dengan memalsu umur). Ada pula yang memilih membantu pekerjaan orangtuanya. Yang laki-laki membantu bekerja di sawah, melaut atau menggembala ternak, sedangkan yang perempuan membantu pekerjaan yang beurusan dengan kewanitaan, urusan dapur dan lainnya. Kemiskinan yang menyertai kehidupan peserta didik, dan didukung oleh adanya budaya komunitas dalam masyarakat bisa juga menjadi faktor pendorong untuk menikah di usia dini. Budaya komunitas merupakan bagian dari dualisme kultural kota dan desa. Kota sedikit banyak telah memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Budaya komunitas yang ada dalam masyarakat juga bisa mencerminkan adanya dualisme kultural laki-laki dan wanita. Budaya komunitas yang ada didalam masyarakat Jerowaru, sebagai bagian dari komunitas Sasak bisa dijelaskan dalam uraian berikut ini. Dalam masyarakat Sasak, dikenal adanya tradisi midang, proses sebelum terjadinya merariq/bejangkep atau pernikahan dimana laki-laki bertamu (berkunjung) ke rumah perempuan untuk saling kenal, dan bisa berlanjut pada tingkat berayean (pacaran). Perempuan yang menerima tamu dalam tradisi itu disebut nemin. Pada proses tersebut, umumnya laki-laki memberikan sesuatu (barang atau uang) sebagai tanda pengikat hubungan, yang disebut dengan istilah berube atau ngerube. Tidak jarang pula terjadi orangtua (ibu) yang memintakan anaknya tanda pengikat itu, dan/atau atas inisiatif sendiri si laki-laki menyerahkan sendiri kepada orangtua (ibu) dari wanita yang diidam-idamkan itu, walaupun mungkin si anak perempuan tidak suka kepadanya. Barang atau uang yang diterima itu, digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri si perempuan (anak), dan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Proses dalam tradisi inilah yang mendorong terjadinya merariq. Karena merupakan adat istiadat, orangtua tidak memberikan batas yang tegas pada usia berapa anaknya boleh midang dan nemin. Umumnya dalam masyarakat Sasak di pedesaan, membiarkan tradisi tersebut berlangsung pada anak-anaknya yang masih sekolah, tidak melakukan upaya-upaya previntif untuk mencegahnya. Karenanya waktu belajar anak-anak di rumah pada malam hari, menjadi berkurang, bahkan tidak dilakukan. Orang (laki-laki) yang datang midang bisa berbeda-beda, dan anak perempuan nemin hampir setiap malam. Pada laki-laki mana si anak perempuan suka atau lebih (paling) disukai, hanya dia yang tahu. Berarti secara langsung maupun tidak langsung orangtua memberikan dukungan untuk terjadinya merarq. Upaya “pembiaran” yang mendorong anak-anak usia sekolah melakukan pernikahan dini. Kebiasaan meriah yang ditunjukkan dalam proses setalah pernikahan, setidak-tidaknya bisa menarik perhatian dan hasrat anak-anak sekolah (terobsesi) untuk memilih cepat-cepat menikah, walaupun ini tidak bisa berlaku secara umum, bukan merupakan generalisasi. Pada umumnya keluarga pengantin laki-laki, setelah beberapa hari atau minggu berlangsungnya akad nikah, melakukan pesta pernikahan yang dikenal dengan istilah begawe. Sebenarnya dalam ajaran agama (Islam), pernikahan sudah dianggap syah (resmi) apabila terlah dilakukan akad nikah antara calon pengantin laki-laki dan wanita. Namun karena merupakan adat-istiadat (budaya), acara begawe pun dilaksanakan. Pesta ini digelar satu atau dua hari. Pada pesta ini, mulai dari sebelum dan pada hari H pelaksanaan, dilakukan masak-memasak berbagai jenis makanan dan jajan untuk hidangan tamu, termasuk menyembeleh satu atau lebih hewan untuk daging makan (sapi, kerbau, kambing). Pada malam harinya, terkadang diadakan hiburan atau tontotan kesenian tradisional, seperti rudat, drama, cilokaq atau ale-ale. Pada pagi (siang hari) dilakukan acara bekewadik, prosesi resmi pengntin di pelaminan yang dihadiri tamu undangan. Prosesi begawe juga diikuti oleh acara sorong serah aji krame di rumah mempelai perempuan, merupakan acara yang menandai resmi atau sahnya pernikahan kedua pengantin secara adat istiadat. Acara ini terkadang juga didahului dengan acara ngewacan, pembecaan tembang dengan saling bersahutan antara pengewacan (orang yang nembang) dari pihak pengantin laki-laki dan dari pihak pengantin perempuan, yang telah ditunjuk sebelumnya. Rangkaian begawe akan diakhiri dengan acara yang disebut nyongkolan, proses berkunjungnya kedua pengantin yang diiringi keluarga, kerabat dan tetangga ke rumah pengantin perempuan yang disambut oleh keluarga, kerabat dan tetangga juga. Acara ini biasanya sangat meriah, karena diiringi oleh kesenian tradisional, seperti gendang belek, kecimol, dan cilokaq. Saking meriah dan ramainya, sampai-sampai menghambat lalu lintas (macet) di jalan yang dilalui rombongan tersebut. Acara begawe, suatu bentuk gotong-royong dalam masyarakat Sasak untuk saling bantu-membantu, baik berupa tenaga, barang atau uang, tetapi yang punya gawe (hajatan) tetap sebagai pemodal utama. Ada kalanya juga dalam begawe berlaku prinsip yang kurang baik, yang dalam masyarakat Sasak dikenal dengan istilah sombong jeleng, di mana yang punya gawe walaupun kurang berpunya dan berhutang (kurang mampu), tetapi begawe juga. Dalam hubungannya dengan budaya komunitas, terjadinya drouf out pada peserta didik di sekolah didorong juga oleh kebiasaan kawin cerai orang tua dalam masyarakat Sasak. Kebiasaan nikah lebih dari satu kali, yang diiringi dengan perceraian istri sebelumnya, merupakan suatu hal yang lumerah terjadi. Tidak sedikit juga laki-laki memiliki istri lebih dari satu (dimadu). Walaupun perceraian, dan pernikahan lebih dari satu kali dibenarkan dalam ajaran agama (Islam), tetapi prosesnya tidak selalu mengikuti atau didasari oleh pemahaman terhadap ketentuaan atau pedoman yang sebenarnya. Karena sesuatu hal yang sepele bercerai, dan sebenarnya secara ekonomi tidak mampu menghidupi istri dan anak-anak secara layak dalam berbagai aspek kehidupan, malah kawin lagi atau istri dimadu. Kebiasaan seperti ini, dari sudut budaya mencerminkan dualisme kultural laki-laki dan wanita dalam masyarakat Sasak. Pada umumnya anak-anak sekolah yang berasal dari keluarga broken home ini, karena tidak terurus dengan layak (terlantar), memilih untuk putus sekolah dan menjadi pengangguran di desa atau kampungnya. Faktor budaya komunitas lain yang dapat ikut mendorong terjadinya pernikahan pada anak-anak di usia masih sekolah, baru lulus SD dan masih sekolah pada jenjang SMP/SMA, adalah budaya hidup kekinian anak-anak (remaja). Kehidupan modern, budaya popular (pop), kota dewasa ini telah berpengaruh ke pelosok-pelosok pedesaan di wilayah Kecamatan Jerowaru, yang ikut merubah gaya hidup anak-anak sekolah dan remaja. Budaya pop dibawa oleh mereka yang telah lebih dahulu merantau, terutama ke Bali, disamping pengaruh tersebut masuk karena faktor lainnya. Pengaruh budaya itu juga datang dari kota-kota di luar negeri, yang dibawa oleh para TKI/TKW yang lebih dahu mengadu nasib di negeri yang bersangkutan. Pengaruh-pengaruh budaya pop dalam kehidupan anak-anak sekolah (remaja) bisa terlihat dalam beberapa wujud, sebagaimana dipaparkan di bawah ini. Salah satu pengaruh budaya pop, tergambar dari pergaulan tidak sehat antar muda mudi, antar pelajar (perilaku menyimpang) terjadi juga dalam kehidupan bermasyarakat di pedesaan, termasuk yang pernah terjadi baru-baru ini di wilayah Kabupaten Lombok Timur dan menjadi berita hangat di media massa. Pergaulan seperti ini, tentu saja memberi kontribusi terhadap bertambahnya angka siswa putus sekolah. Bentuk lain dari pengaruh budaya tersebut, tercermin dari adanya kebiasaan dan keinginan tampil beda dan sifat konsumtif dalam kehidupan anak-anak (remaja), baik dalam hal penampilan, berpakaian dan dalam pemenuhan kebutuhan lainnya, telah ikut mendorong anak-anak di pedesaan, terutama dari kalangan tidak mampu untuk memilih lebih baik bekerja (mencari pekerjaan) ketimbang tetap bersekolah. Mereka yang tidak tahan godaan kemajuan ini, memilih untuk bekerja ke luar negeri menjadi buruh kasar atau pembantu rumah tangga (PRT), dan memilih ikut bekerja dengan orangtuanya di Bali. Setelah mereka kembali ke tanah air atau daerah asalnya, bisa bergaya hidup modern atau pop, memiliki penampilan beda. Tentu saja pilihan bekerja ke luar negeri juga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang lain. Sedangkan mereka yang putus sekolah tetapi tidak memilih untuk bekerja, tergabung dalam kelompok anak-anak (remaja) penggangguran di desa atau kampungnya. Mereka ini tampil sebagai sosok yang justru lebih “gaul” dari yang sebelumnya. Anak-anak ini lebih cepat terpengaruh dan mencontoh budaya-budaya pop negatif, baik yang diperoleh melalui pergaulan dengan teman-temannya yang telah lebih dahulu terpengaruh maupun mencontoh sendiri dari tontonan televisi atau media elektronik lainnya. Mewarnai rambut, memakai tato, dan laki-laki memakai hiasan-hiasan tertentu, merupakan cermin dari hal tersebut. Pilihan peserta didik yang putus sekolah untuk bekerja ke luar daerah, dan menjadi TKI atau TKW ke luar negeri, terutama ke Malaysia dan negara-negara Timur Tengah (Arab), bisa dikaji dari dualisme kultural antara memberi dan meminta. Karena adanya prinsip hidup seperti ini, para orangtua di daerah pedesaan yang ada di wilayah NTB, ada kecenderungan tidak merasa menyesal melihat anak-anaknya tidak bersekolah. Hal ini terbukti dari tidak melarang anak-anaknya untuk pergi ke luar negeri atau ikut bekerja di luar daerah (Bali), padahal masih pada usia sekolah. Apa bila mereka bekerja beban keluarga menjadi lebih ringan, karena mereka mendapat bayaran dari pekerjaannya di luar negeri. Dari gaji yang mereka terima, dapat memberikan nilai ekonomis bagi orangtua atau keluarganya. Sedangkan kalau mereka tetap bersekolah, maka muncul makna merugikan atau menimbulkan beban keluarga, karena orang tua harus membiayai penmdidikannya. Kebiasaan seperti ini turut didukung oleh rendahnya pemahaman orangtua tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, karena sebagaian besar dari mereka hanya pernah bersekolah sampai tingkat sekolah dasar, bahkan banyak yang tidak pernah bersekolah. Orangtua dan anak-anak juga bercermin dari anak-anak yang bersekolah sampai perguruan tinggi yang pada akhirnya harus menganggur. Oleh karena itu, pilihan jatuh kepada menjadi TKI/TKW atau buruh kasar lainnya, sehingga di antara mereka dapat saling memberi dan menerima. Gejala menjadi tenaga kerja ke luar negeri atau luar daerah dan membantu pekerjaan orangtua (di sawah, melaut dan menggembala ternak), mencerminkan pula adanya dualisme kultural laki-laki dan wanita dalam masyarakat Sasak. Dalam masyarakat patriarchaat laki-laki dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada perempuan. Ia merupakan pewaris harta, penerus keturunan dan menetap secara partilokal mengikuti garis keturunan ayahnya. Oleh karena itu, anak laki-laki memiliki tanggung jawab kepada orangtuanya, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal. Merawat dan menyelesaikan segala bentuk prosesi upacara keagamaan (Islam) ketika telah meninggal, merupakan tanggung jawab utama anak laki-laki. Dengan demikian, anak laki-laki merupakan modal sosial, budaya, agama, dan finansial bagi keluarga. Sedangkan anak wanita memiliki posisi yang sebaliknya, sebab setelah menikah dia ikut suaminya. Anak wanita tidak berstatus sebagai ahli waris utama (mendapat warisan kecil), sehingga tanggung jawab terhadap orang tua kandungnya tidak sebesar anak laki-laki, tetapi ikut membantu. Anak wanita yang telah menikah secara otomatis menjadi milik suaminya, sebab dia menetap di lingkungan keluarga suaminya. Pola hidup seperti itu merupakan ukuran bakti anak kepada orangtuanya sesuai ajaran dan perintah agama (Islam). Pilihan peserta didik putus sekolah untuk menjadi TKI/TKW atau PRT di luar negeri dan buruh kasar di luar daerah, tidak saja mencerminkan dualisme kultural yang terkait dengan ideologi patriarki, tetapi bisa pula dimaknai sebagai dualisme kultural dalam konteks menguasai (me-) dan dikuasai (di-) dalam masyarakat Sasak. Berdasarkan pengertian dualisme kultural ini, maka pilihan menjadi TKI/TKW bisa merupakan permainan kekuasaan orangtua, baik secara halus melalui bujukan, rayuan atau cara-cara hegemonik berwujud tindakan manipulatif atas kearifan sosial sehingga anak menjadi patuh. Adanya sikap orangtua dan warga komunitas yang tidak berupaya menghalangi terjadinya pernikahan dini pada saat terjadinya proses midang dan nemin (proses berayean), dan ikut terlibat dalam masalah berube/rube merupakan contoh yang bisa menggambarkan tentang hal itu. Disamping juga bisa di ketahui dari nilai-nilai kearifan sosial atau agama (Islam) yang dijadikan sebagai modal oleh orangtua dan warga komunitas dalam menunjukkan kekuasaan atas anak-anaknya, misalnya ajaran tentang keharusan berbakti kepada orangtua (hormat), karena itu anak-anak harus mengikuti perintah dan larangannya secara patuh. Itulah sebabnya anak-anak menentukan pilihan untuk berkerja sebagai TKI/TKW, bekerja di Bali atau bekerja membantu orangtua mengharapkan dapat masukan finansial. Dalam kasus ini penonjolan kekuasaan orangtua dan warga komunitas tampak, dimana orangtua, secara langsung maupun tidak langsung, mengizinkan (mendukung) anaknya menjadi TKI/TKW, dan warga komunitas pun bisa menerima realitas anak-anak itu menjadi TKI/TKW atau PRT dan buruh kasar lainnya. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan, bahwa orangtua dan warga komunitas, bahkan bisa pula anak-anak, lebih tertarik pada uang yang dihasilkannya melalui pekerjaan yang dilakukan, daripada mengeluarkan biaya untuk tetap sekolah. Gagasan ini berkaitan dengan kapitalisme yang meresap pada masyarakat Sasak, seperti juga tampak pada kecenderungan anak-anak (remaja) dalam budaya modern atau budaya pop, yang menunjukkan adanya sifat materialisme (kapitalisme) di dalamnya, yang sangat menonjolkan peranan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, yang menjelma menjadi sikap konsumtif dalam kehidupan bermasyarakat (Sasak). Akibatnya, muncul sikap permisif pada warga komunitas dan orang tua, yakni menerima realitas sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya, atau mereka tidak mencela melainkan memuja anak-anaknya yang menjadi TKI/TKW atau PRT di luar negeri dan menjadi buruh kasar di luar daerah, karena mereka menghasilkan uang guna memenuhi hasratnya sendiri maupun keluarganya. Disamping itu, pilihan peserta didik yang putus sekolah untuk menjadi TKW dan bekerja untuk urusan kerumahtanggaan, juga mencerminkan dualisme kultural sektor domistik dan publik dalam masyarakat Sasak. Peserta didik perempuan yang putus sekolah dan disuruh (didorong) oleh orangtuanya menjadi TKW dan membantu urusan kerumahtanggaan, pada kenyataannya mengandung muatan idiologis, yaitu anak perempuan oleh orang tuanya didorong untuk menekuni pekerjaan yang sesuai dengan dunia kulturalnya (kodrad kewanitaannya). Menjadi TKW, terutama di negara-negara Timur Tengah merupakan “idola” bagi masyarakat Kabupaten Lombok Timur (Kecamatan Jerowaru) khususnya dan Provinsi NTB umumnya. Banyak perempuan di daerah ini mengadu nasib ke luar negeri menjadi PRT, yang sesuai dengan kodradnya sebagai wanita. Sama halnya dengan membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga di rumah. Para ibu, terutama di pedesaan wilayah NTB cenderung punya kebiasaan untuk medrong anak-anak perempuannya untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, mengasuh adiknya dan sebaginya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa peserta didik putus sekolah dari satuan pendidikan tidak selamanya disebabkan karena faktor kemiskinan, letak geografis dan infrastruktur pendukung pendidikan (faktor struktural), tetapi faktor kultural yang ada dalam masyarakat Kecamatan Jerowaru (Sasak) juga memberikan kontribusi yang besar dalam mempengaruhinya, yang tergambar dalam berbagai macam dualisme kultural dan di dalamnya mencerminkan adanya aspek-aspek atau unsur-unsur ideologi patriarki, kapitalisme, budaya konsumsi dan budaya pop. Walaupun faktor kultural bersifat nirnyata, namun menjadi nyata, karena terepresentasi pada ucapan dan tindakan orang tua, anak-anak yang putus sekolah, dan warga komunitas, yakni tidak mencela, tetapi mendukung anak-anak menjadi TKI/TKW atau PRT, menjadi buruh kasar di luar daerah (Bali), dan sekaligus berarti menyetujui pula tindakan mereka untuk tidak tetap bersekolah. Berdasarkan hal itu, maka usaha pemerintah untuk menyukseskan program wajib belajar sembilan tahunm, termasuk mengatasi siswa putus sekolah di satuan pendidikan, tidak cukup hanya lewat program pendidikan gratis, melainkan memerlukan pula adanya penanggulangan kendala struktural dan kendala kultural. Penanggulangan struktural diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan penanggulangan kendala kultural membutuhkan penyadaran lewat pendidikan budaya yang ditujukan kepada orang tua, murid dan warga komunitas, dengan melibatkan berbagai lembaga atas dukungan berbagai aktor yang memiliki aneka keahlian. Pola ini sangat penting, mengingat, bahwa merubah tindakan lewat penyadaran budaya sangat sulit, karena budaya sebagai kognisi tidak selamanya bermuatan rasionalitas, melainkan berbaur dengan keper-cayaan, rasa atau emosionalitas. Sasarannya, tidak hanya menyadarkan mereka tentang posisi pendidikan dalam konteks kebutuhan dasar, tetapi yang lebih penting adalah mengajak mereka untuk hidup menetralisir budaya konsumen, melalui strategi membiasakan diri ber-pegang pada asas kebutuhan, bukan azas keinginan (hasrat). Ini berarti pula pendidikan budaya hendaknya berintikan pada usaha mengajak warga masyarakat untuk lebih arif menyikapi godaan pasar sehingga peluang untuk menginvestasikan modal lewat pendidikan formal menjadi lebih besar. Apapun yang dilakukan, peran pemerintah tidak bisa diabaikan. Pemerintah yang baik tidak hanya menganjurkan orang tua agar menyekolahkan anaknya dengan janji-janji muluk, tetapi yang lebih penting harus pula disertai dengan kegiatan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat miskin lewat penciptaan lapangan kerja sehingga peluang rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya menjadi lebih besar. Jika kebutuhan dasar yang paling dasar terpenuhi (makanan, pakaian dan perumahan) yang disertai dengan ketidakterjebakan pada budaya konsumerisme, maka ajakan untuk memikirkan kebutuhan dasar yang lebih tinggi, yakni pendidikan, pencapaiannya tentu lebih mudah. BAHAN BACAAN A.A. Yudhianta, dkk, 1988, Sejarah Budaya Program Pengetahuan Budaya 1 untuk Kelas 2 SMA, Klaten : PT Intan – Pariwara. Al-Ghazali, 1995, Menyingkap Hakikat Perkawinan Adab, Tata-cara dan Hikmahnya, Muhammad al-Baqir (Penerjemah), Bandung : Karisma. H. Sulaiman Rasjid, 1989, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru. M. Ismail, Sukardi, dan Su’ud Surachman, 2009, Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha. Nengah Bawa Atmadja dan Anantawikrama Tungga Atmadja, 2010, Lulusan Sekolah Dasar (SD) Menjadi Pembantu Rumah Tangga dan Dagang Kopi Cantik (Dakocan) : Perspektif Dualisme Kultural, artikel dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 12, Juli 2010, halaman 96 – 105, Singaraja : Undiksha. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Jerowaru Lombok Timur, 3 Nopember 2011.
Siswa putus sekolah merupakan hal yang masih menonjol dalam penyelenggaraan pendidikan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Setiap tahun pelajaran peserta didik yang putus sekolah selalu terjadi di satuan pendidikan, terutama yang berada di wilayah pedesaan, pelosok dan pinggiran. Termasuk di dalamnya sekolah-sekolah yang ada di wilayah Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur . Di sekolah tempat saya bertugas, pada tahun pelajaran 2010/2011 sampai dengan pertengahan semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012 ini (per 31 Oktober 2011), tercatat 43 orang peserta didik sudah putus sekolah. Gejala semacam ini juga dialami oleh satuan-satuan pendidikan lainnya di wilayah kecamatan ini. Pada umumnya peserta didik yang putus sekolah lebih banyak perempuan, ketimbang yang laki-laki. Rata-rata peserta didik perempuan putus sekolah karena alasan kawin (nikah), menjadi tenaga kerja ke luar negeri (TKW), ikut orangtua (keluarga) bekerja ke Bali, dan alasan-alasan lainnya (tidak mau bersekolah lagi). Sedangkan peserta didik yang laki-laki mengalami putus sekolah karena menjadi tenaga kerja ke luar negeri (TKI), membantu pekerjaan orangtuanya, ikut orangtua (keluarga) bekerja ke Bali, dan alasan lain yang tidak jelas (menganggur). Gejala tersebut merupakan masalah, mengingat satuan pendidikan merupakan lembaga yang amat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Masalah itu sekaligus merupakan kendala serius untuk suksesnya penyelenggaraan program pendidikan dasar atau wajib belajar (wajar) sembilan tahun yang ditetapkan baik oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur maupun Provinsi NTB. Persoalan tersebut telah ikut menjadi salah satu penyebab masih rendahnya indeks prestasi minimal (IPM) di provinsi ini. Apabila ditelisik (dianaisa) secara lebih luas dan mendalam, akar penyebab (faktor pendorong) banyaknya peserta didik drouf out, ternyata tidak terbatas hanya pada masalah ekonomi (kemiskinan), letak geografis, dan infrastuktur (keterbatasan sekolah, jalan dan transfortasi). Faktor lain yang ikut memberi kontribusi bersumber juga dari aspek sosiologis dan unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat setempat. Dengan kata lain, faktor ekonomi atau aspek infrastruktur material bukan satu-satunya penyebab bagi tindakan manusia, melainkan ada faktor lainnya yang bersumberkan pada aspek struktur sosial dan super-struktur ideologi. Struktur sosial terkait dengan sistem kepolitikan atau kekuasaan pada lingkungan keluarga. Superstruktur ideologi berkaitan dengan ide atau ideologi yang ada di balik struktur sosial dan infrastruktur material. Adapun ideologi yang ada di baliknya adalah dualisme kultural. Dualisme kultural berintikan pada ide yang memilahkan sesuatu menjadi dua hal yang berlawanan. Pemilahan ini bisa berujung pada pengutamaan atau penempatan yang satu pada posisi pusat, sebaliknya menomorduakan atau bahkan meminggirkan yang lainnya. Hal ini tidak terlihat secara nyata, tidak disadari atau berada di dalam pikiran (bersifat nirnyata). Namun ini bisa diketahui dan diamati. Artinya walaupun nirnyata, namun teramati pada representasinya berbentuk ucapan dan tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia acap kali tidak menyadarinya, sebab suatu ide (ideologi) tersembunyi di alam bawah sadar. Dualisme kultural yang ada dalam kehidupan bermasyarakat sangat beragam, misalnya dualisme kultural laki-laki dan wanita, dualisme kultural sektor publik dan domistik, dualisme kultural memberi dan meminta, dualisme kultural kota dan desa, dualisme kultural menguasai (me-) dan di-kuasai (di-). Dualisme kultural laki-laki dan wanita, terkait dengan ideologi patriarki, yakni gagasan yang tidak saja memilahkan antara laki-laki dan wanita, tetapi berlanjut pula pada pengutamaan atau pemusatan yang satu dan penomorduaan atau peminggiran yang lainnya, yakni laki-laki terhadap wanita. Ideologi patriarki tidak saja menomorsatukan laki-laki, melainkan berlanjut pada tatanan sosial merupakan perkara otoritas laki-laki. Pemilahan laki-laki dan wanita tidak hanya mendasarkan diri pada perbedaan kelamin, melainkan secara kultural bermuatan kekuasaan. Kekuasaan tidak selamanya teraktualisasi dalam bentuk kekerasan, represif yang negatif, melainkan ia muncul dalam bentuk lain. Kekuasaan harus dilihat sebagai sebentuk kekuasaan ekpansionis yang positif. Kekuasaan cenderung pada kekuatan yang bersifat menggerakkan, membuatnya tumbuh dan mengaturnya, ketimbang menghalang-halanginya, membuatnya tunduk, atau menghancurkannya. Kekuasaan semacam itu berlangsung bukan dengan larangan, melainkan dengan intervensi yang bersifat mengatur dan prosedur-prosedur manajemen. Bisa pula dikatakan, bahwa kekekuasaan yang menimbulkan kepatuhan, tidak selamanya mendasarkan pada dominasi, melainkan bisa pula bersendikan pada hegemoni. Bisa juga mengemuka dalam bentuk tindakan kekerasan sehingga muncul kekuasaan represif, koersif atau dominatif bila cara halus dan hegemoni gagal diterapkan. Hal ini juga berlaku pada warga komunitas. Sebab, aneka gagasan itu merupakan pencerminan dari budaya dominan pada masyarakat setempat. Pada konteks inilah yang dimaksud dengan dualisme kultural menguasai (me-) dan di-kuasai (di-). Sedangkan dualisme kultural sektor publik dan domistik, bertumpu pula pada ideologi gender. Ideologi ini tidak semata-mata memisahkan laki-laki dan wanita dilihat dari segi peran gender yang dibentuk secara kultural, melainkan berlanjut pula pada pengutamaan yang satu daripada yang lainnya. Peran gender laki-laki diidentikkan dengan sektor publik dan dinilai berkedudukan lebih tinggi daripada peran gender wanita yang diidentikkan dengan sektor domestik. Kegiatan yang tercakup pada sektor domestik adalah aneka pekerjaan di sekitar rumah tangga, misalnya mencuci dan menyetrika pakaian, memasak dan mencuci alat-alat dapur, mengasuh anak, menyapu dan mengepel lantai, dll. Sementara dualisme kultural memberi dan meminta, mengandung makna bahwa antara orangtua dan anak saling memberi dan meminta. Pada masa anak-anaknya masih kecil berkedudukan sebagai penerima (peminta) dan orangtua berkedudukan sebagai pemberi. Sebaliknya setelah mereka besar (dewasa), bisa mencari rezeki anak-anak berkedudukan sebagai pemberi dan orangtua sebagai penerima (peminta). Sedangkan dualisme kultural kota dan desa, merupakan perwujudan perbedaan budaya kota dan desa. Budaya desa mencerminkan sifat tradisional (kolot), identik dengan keterbelakangan. Sebaliknya budaya kota merupakan refresentasi dari kemodernan, identik dengan kemajuan, yang bisa menjadi daya tarik bagi orang-orang desa untuk menjadi urban. Daya tarik kota, tidak saja di dalam negeri, tetapi juga kota-kota yang terdapat di luar negeri yang menjadi daya tarik orang pedesaan di dalam negeri untuk menjadi tenaga kerja di sana. Budaya kota yang modern, glamor, konsumtif dan sumber tontonan, melahirkan suatu budaya yang dikenal dengan budaya populer atau budaya pop, yang diganderungi terutama oleh anak-anak muda (remaja). Faktor ekonomi dan infrastruktur penunjang pendidikan, memang masih menjadi penyebab bagi sebagaian anak-anak di wilayah Kecamatan Jerowaru dalam mengakses pendidikan. Di wilayah ini masih terdapat tempat-tempat yang tergolong terpencil, secara geografis sulit dijangkau dan jalan masuk ke sana masih belum mendukung (jelek). Masih ada juga sekolah yang memiliki fasilitas fisik (sarana dan prasarana) yang kurang layak untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga proses pembelajaran kurang aktif, yang juga disebabkan oleh kesulitan pendanaan. Faktor infrastruktur ikut memberikan andil bagi peserta didik untuk putus sekolah, karena mengalami kesulitan dalam masalah transportasi dan proses pembelajaran di sekolah yang tidak aktif. Hal ini terutama terjadi di sekolah satu atap (SD-SMP Satu Atap), SMP Terbuka, SD yang berada di pelosok, SMP Swasta, serta MI, MTs dan MA/SMK yang belum berkembang (maju). Faktor ekonomi merupakan faktor penting yang bisa mendorong peserta didik putus sekolah. Masyarakat pedesaan di wilayah Kecamatan Jerowaru, sebagaimana masyarakat agraris dan bahari lainnya (masyarakat tradisional), sebagaian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Tetapi kehidupan mereka tidak bisa sepenuhnya ditopang dari sektor mata pencaharian itu. Apalagi di antara mereka, banyak yang berkedudukan sebagai buruh tani, dan nelayan yang bukan sebagai pemilik modal. Sehingga kemiskinan masih terdapat pada sebagaian masyarakat pedesaan. Faktor kemiskinan ini sebenarnya bisa tidak lagi menjadi alasan peserta didik drouf out dari sekolahnya. Karena untuk menjamin terselenggaranya program wajar sembilan tahun, pemerintah telah menetapkan kebijakan tentang pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar, sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Untuk lebih menjamin kebijakan itu, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah Provinsi NTB, telah mengalokasikan dana untuk membantu siswa miskin, dana bantuan siswa miskin (BSM). Tetapi kebijakan tersebut tampaknya belum sepenuhnya mampu menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi atau meniadakan angka putus sekolah di satuan pendidikan untuk peserta didik yang drouf out karena alasan miskin atau kurang mampu. Justru di antara mereka ini ada yang memilih mengadu nasib bekerja di Bali mengikuti orangtuanya sebagai buruh kasar atau ke luar negeri menjadi TKI/TKW yang sebenarnya mereka belum memenuhi syarat karena masih di bawah umur (tetapi dipaksakan untuk bisa dengan memalsu umur). Ada pula yang memilih membantu pekerjaan orangtuanya. Yang laki-laki membantu bekerja di sawah, melaut atau menggembala ternak, sedangkan yang perempuan membantu pekerjaan yang beurusan dengan kewanitaan, urusan dapur dan lainnya. Kemiskinan yang menyertai kehidupan peserta didik, dan didukung oleh adanya budaya komunitas dalam masyarakat bisa juga menjadi faktor pendorong untuk menikah di usia dini. Budaya komunitas merupakan bagian dari dualisme kultural kota dan desa. Kota sedikit banyak telah memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Budaya komunitas yang ada dalam masyarakat juga bisa mencerminkan adanya dualisme kultural laki-laki dan wanita. Budaya komunitas yang ada didalam masyarakat Jerowaru, sebagai bagian dari komunitas Sasak bisa dijelaskan dalam uraian berikut ini. Dalam masyarakat Sasak, dikenal adanya tradisi midang, proses sebelum terjadinya merariq/bejangkep atau pernikahan dimana laki-laki bertamu (berkunjung) ke rumah perempuan untuk saling kenal, dan bisa berlanjut pada tingkat berayean (pacaran). Perempuan yang menerima tamu dalam tradisi itu disebut nemin. Pada proses tersebut, umumnya laki-laki memberikan sesuatu (barang atau uang) sebagai tanda pengikat hubungan, yang disebut dengan istilah berube atau ngerube. Tidak jarang pula terjadi orangtua (ibu) yang memintakan anaknya tanda pengikat itu, dan/atau atas inisiatif sendiri si laki-laki menyerahkan sendiri kepada orangtua (ibu) dari wanita yang diidam-idamkan itu, walaupun mungkin si anak perempuan tidak suka kepadanya. Barang atau uang yang diterima itu, digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri si perempuan (anak), dan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Proses dalam tradisi inilah yang mendorong terjadinya merariq. Karena merupakan adat istiadat, orangtua tidak memberikan batas yang tegas pada usia berapa anaknya boleh midang dan nemin. Umumnya dalam masyarakat Sasak di pedesaan, membiarkan tradisi tersebut berlangsung pada anak-anaknya yang masih sekolah, tidak melakukan upaya-upaya previntif untuk mencegahnya. Karenanya waktu belajar anak-anak di rumah pada malam hari, menjadi berkurang, bahkan tidak dilakukan. Orang (laki-laki) yang datang midang bisa berbeda-beda, dan anak perempuan nemin hampir setiap malam. Pada laki-laki mana si anak perempuan suka atau lebih (paling) disukai, hanya dia yang tahu. Berarti secara langsung maupun tidak langsung orangtua memberikan dukungan untuk terjadinya merarq. Upaya “pembiaran” yang mendorong anak-anak usia sekolah melakukan pernikahan dini. Kebiasaan meriah yang ditunjukkan dalam proses setalah pernikahan, setidak-tidaknya bisa menarik perhatian dan hasrat anak-anak sekolah (terobsesi) untuk memilih cepat-cepat menikah, walaupun ini tidak bisa berlaku secara umum, bukan merupakan generalisasi. Pada umumnya keluarga pengantin laki-laki, setelah beberapa hari atau minggu berlangsungnya akad nikah, melakukan pesta pernikahan yang dikenal dengan istilah begawe. Sebenarnya dalam ajaran agama (Islam), pernikahan sudah dianggap syah (resmi) apabila terlah dilakukan akad nikah antara calon pengantin laki-laki dan wanita. Namun karena merupakan adat-istiadat (budaya), acara begawe pun dilaksanakan. Pesta ini digelar satu atau dua hari. Pada pesta ini, mulai dari sebelum dan pada hari H pelaksanaan, dilakukan masak-memasak berbagai jenis makanan dan jajan untuk hidangan tamu, termasuk menyembeleh satu atau lebih hewan untuk daging makan (sapi, kerbau, kambing). Pada malam harinya, terkadang diadakan hiburan atau tontotan kesenian tradisional, seperti rudat, drama, cilokaq atau ale-ale. Pada pagi (siang hari) dilakukan acara bekewadik, prosesi resmi pengntin di pelaminan yang dihadiri tamu undangan. Prosesi begawe juga diikuti oleh acara sorong serah aji krame di rumah mempelai perempuan, merupakan acara yang menandai resmi atau sahnya pernikahan kedua pengantin secara adat istiadat. Acara ini terkadang juga didahului dengan acara ngewacan, pembecaan tembang dengan saling bersahutan antara pengewacan (orang yang nembang) dari pihak pengantin laki-laki dan dari pihak pengantin perempuan, yang telah ditunjuk sebelumnya. Rangkaian begawe akan diakhiri dengan acara yang disebut nyongkolan, proses berkunjungnya kedua pengantin yang diiringi keluarga, kerabat dan tetangga ke rumah pengantin perempuan yang disambut oleh keluarga, kerabat dan tetangga juga. Acara ini biasanya sangat meriah, karena diiringi oleh kesenian tradisional, seperti gendang belek, kecimol, dan cilokaq. Saking meriah dan ramainya, sampai-sampai menghambat lalu lintas (macet) di jalan yang dilalui rombongan tersebut. Acara begawe, suatu bentuk gotong-royong dalam masyarakat Sasak untuk saling bantu-membantu, baik berupa tenaga, barang atau uang, tetapi yang punya gawe (hajatan) tetap sebagai pemodal utama. Ada kalanya juga dalam begawe berlaku prinsip yang kurang baik, yang dalam masyarakat Sasak dikenal dengan istilah sombong jeleng, di mana yang punya gawe walaupun kurang berpunya dan berhutang (kurang mampu), tetapi begawe juga. Dalam hubungannya dengan budaya komunitas, terjadinya drouf out pada peserta didik di sekolah didorong juga oleh kebiasaan kawin cerai orang tua dalam masyarakat Sasak. Kebiasaan nikah lebih dari satu kali, yang diiringi dengan perceraian istri sebelumnya, merupakan suatu hal yang lumerah terjadi. Tidak sedikit juga laki-laki memiliki istri lebih dari satu (dimadu). Walaupun perceraian, dan pernikahan lebih dari satu kali dibenarkan dalam ajaran agama (Islam), tetapi prosesnya tidak selalu mengikuti atau didasari oleh pemahaman terhadap ketentuaan atau pedoman yang sebenarnya. Karena sesuatu hal yang sepele bercerai, dan sebenarnya secara ekonomi tidak mampu menghidupi istri dan anak-anak secara layak dalam berbagai aspek kehidupan, malah kawin lagi atau istri dimadu. Kebiasaan seperti ini, dari sudut budaya mencerminkan dualisme kultural laki-laki dan wanita dalam masyarakat Sasak. Pada umumnya anak-anak sekolah yang berasal dari keluarga broken home ini, karena tidak terurus dengan layak (terlantar), memilih untuk putus sekolah dan menjadi pengangguran di desa atau kampungnya. Faktor budaya komunitas lain yang dapat ikut mendorong terjadinya pernikahan pada anak-anak di usia masih sekolah, baru lulus SD dan masih sekolah pada jenjang SMP/SMA, adalah budaya hidup kekinian anak-anak (remaja). Kehidupan modern, budaya popular (pop), kota dewasa ini telah berpengaruh ke pelosok-pelosok pedesaan di wilayah Kecamatan Jerowaru, yang ikut merubah gaya hidup anak-anak sekolah dan remaja. Budaya pop dibawa oleh mereka yang telah lebih dahulu merantau, terutama ke Bali, disamping pengaruh tersebut masuk karena faktor lainnya. Pengaruh budaya itu juga datang dari kota-kota di luar negeri, yang dibawa oleh para TKI/TKW yang lebih dahu mengadu nasib di negeri yang bersangkutan. Pengaruh-pengaruh budaya pop dalam kehidupan anak-anak sekolah (remaja) bisa terlihat dalam beberapa wujud, sebagaimana dipaparkan di bawah ini. Salah satu pengaruh budaya pop, tergambar dari pergaulan tidak sehat antar muda mudi, antar pelajar (perilaku menyimpang) terjadi juga dalam kehidupan bermasyarakat di pedesaan, termasuk yang pernah terjadi baru-baru ini di wilayah Kabupaten Lombok Timur dan menjadi berita hangat di media massa. Pergaulan seperti ini, tentu saja memberi kontribusi terhadap bertambahnya angka siswa putus sekolah. Bentuk lain dari pengaruh budaya tersebut, tercermin dari adanya kebiasaan dan keinginan tampil beda dan sifat konsumtif dalam kehidupan anak-anak (remaja), baik dalam hal penampilan, berpakaian dan dalam pemenuhan kebutuhan lainnya, telah ikut mendorong anak-anak di pedesaan, terutama dari kalangan tidak mampu untuk memilih lebih baik bekerja (mencari pekerjaan) ketimbang tetap bersekolah. Mereka yang tidak tahan godaan kemajuan ini, memilih untuk bekerja ke luar negeri menjadi buruh kasar atau pembantu rumah tangga (PRT), dan memilih ikut bekerja dengan orangtuanya di Bali. Setelah mereka kembali ke tanah air atau daerah asalnya, bisa bergaya hidup modern atau pop, memiliki penampilan beda. Tentu saja pilihan bekerja ke luar negeri juga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang lain. Sedangkan mereka yang putus sekolah tetapi tidak memilih untuk bekerja, tergabung dalam kelompok anak-anak (remaja) penggangguran di desa atau kampungnya. Mereka ini tampil sebagai sosok yang justru lebih “gaul” dari yang sebelumnya. Anak-anak ini lebih cepat terpengaruh dan mencontoh budaya-budaya pop negatif, baik yang diperoleh melalui pergaulan dengan teman-temannya yang telah lebih dahulu terpengaruh maupun mencontoh sendiri dari tontonan televisi atau media elektronik lainnya. Mewarnai rambut, memakai tato, dan laki-laki memakai hiasan-hiasan tertentu, merupakan cermin dari hal tersebut. Pilihan peserta didik yang putus sekolah untuk bekerja ke luar daerah, dan menjadi TKI atau TKW ke luar negeri, terutama ke Malaysia dan negara-negara Timur Tengah (Arab), bisa dikaji dari dualisme kultural antara memberi dan meminta. Karena adanya prinsip hidup seperti ini, para orangtua di daerah pedesaan yang ada di wilayah NTB, ada kecenderungan tidak merasa menyesal melihat anak-anaknya tidak bersekolah. Hal ini terbukti dari tidak melarang anak-anaknya untuk pergi ke luar negeri atau ikut bekerja di luar daerah (Bali), padahal masih pada usia sekolah. Apa bila mereka bekerja beban keluarga menjadi lebih ringan, karena mereka mendapat bayaran dari pekerjaannya di luar negeri. Dari gaji yang mereka terima, dapat memberikan nilai ekonomis bagi orangtua atau keluarganya. Sedangkan kalau mereka tetap bersekolah, maka muncul makna merugikan atau menimbulkan beban keluarga, karena orang tua harus membiayai penmdidikannya. Kebiasaan seperti ini turut didukung oleh rendahnya pemahaman orangtua tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, karena sebagaian besar dari mereka hanya pernah bersekolah sampai tingkat sekolah dasar, bahkan banyak yang tidak pernah bersekolah. Orangtua dan anak-anak juga bercermin dari anak-anak yang bersekolah sampai perguruan tinggi yang pada akhirnya harus menganggur. Oleh karena itu, pilihan jatuh kepada menjadi TKI/TKW atau buruh kasar lainnya, sehingga di antara mereka dapat saling memberi dan menerima. Gejala menjadi tenaga kerja ke luar negeri atau luar daerah dan membantu pekerjaan orangtua (di sawah, melaut dan menggembala ternak), mencerminkan pula adanya dualisme kultural laki-laki dan wanita dalam masyarakat Sasak. Dalam masyarakat patriarchaat laki-laki dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada perempuan. Ia merupakan pewaris harta, penerus keturunan dan menetap secara partilokal mengikuti garis keturunan ayahnya. Oleh karena itu, anak laki-laki memiliki tanggung jawab kepada orangtuanya, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal. Merawat dan menyelesaikan segala bentuk prosesi upacara keagamaan (Islam) ketika telah meninggal, merupakan tanggung jawab utama anak laki-laki. Dengan demikian, anak laki-laki merupakan modal sosial, budaya, agama, dan finansial bagi keluarga. Sedangkan anak wanita memiliki posisi yang sebaliknya, sebab setelah menikah dia ikut suaminya. Anak wanita tidak berstatus sebagai ahli waris utama (mendapat warisan kecil), sehingga tanggung jawab terhadap orang tua kandungnya tidak sebesar anak laki-laki, tetapi ikut membantu. Anak wanita yang telah menikah secara otomatis menjadi milik suaminya, sebab dia menetap di lingkungan keluarga suaminya. Pola hidup seperti itu merupakan ukuran bakti anak kepada orangtuanya sesuai ajaran dan perintah agama (Islam). Pilihan peserta didik putus sekolah untuk menjadi TKI/TKW atau PRT di luar negeri dan buruh kasar di luar daerah, tidak saja mencerminkan dualisme kultural yang terkait dengan ideologi patriarki, tetapi bisa pula dimaknai sebagai dualisme kultural dalam konteks menguasai (me-) dan dikuasai (di-) dalam masyarakat Sasak. Berdasarkan pengertian dualisme kultural ini, maka pilihan menjadi TKI/TKW bisa merupakan permainan kekuasaan orangtua, baik secara halus melalui bujukan, rayuan atau cara-cara hegemonik berwujud tindakan manipulatif atas kearifan sosial sehingga anak menjadi patuh. Adanya sikap orangtua dan warga komunitas yang tidak berupaya menghalangi terjadinya pernikahan dini pada saat terjadinya proses midang dan nemin (proses berayean), dan ikut terlibat dalam masalah berube/rube merupakan contoh yang bisa menggambarkan tentang hal itu. Disamping juga bisa di ketahui dari nilai-nilai kearifan sosial atau agama (Islam) yang dijadikan sebagai modal oleh orangtua dan warga komunitas dalam menunjukkan kekuasaan atas anak-anaknya, misalnya ajaran tentang keharusan berbakti kepada orangtua (hormat), karena itu anak-anak harus mengikuti perintah dan larangannya secara patuh. Itulah sebabnya anak-anak menentukan pilihan untuk berkerja sebagai TKI/TKW, bekerja di Bali atau bekerja membantu orangtua mengharapkan dapat masukan finansial. Dalam kasus ini penonjolan kekuasaan orangtua dan warga komunitas tampak, dimana orangtua, secara langsung maupun tidak langsung, mengizinkan (mendukung) anaknya menjadi TKI/TKW, dan warga komunitas pun bisa menerima realitas anak-anak itu menjadi TKI/TKW atau PRT dan buruh kasar lainnya. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan, bahwa orangtua dan warga komunitas, bahkan bisa pula anak-anak, lebih tertarik pada uang yang dihasilkannya melalui pekerjaan yang dilakukan, daripada mengeluarkan biaya untuk tetap sekolah. Gagasan ini berkaitan dengan kapitalisme yang meresap pada masyarakat Sasak, seperti juga tampak pada kecenderungan anak-anak (remaja) dalam budaya modern atau budaya pop, yang menunjukkan adanya sifat materialisme (kapitalisme) di dalamnya, yang sangat menonjolkan peranan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, yang menjelma menjadi sikap konsumtif dalam kehidupan bermasyarakat (Sasak). Akibatnya, muncul sikap permisif pada warga komunitas dan orang tua, yakni menerima realitas sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya, atau mereka tidak mencela melainkan memuja anak-anaknya yang menjadi TKI/TKW atau PRT di luar negeri dan menjadi buruh kasar di luar daerah, karena mereka menghasilkan uang guna memenuhi hasratnya sendiri maupun keluarganya. Disamping itu, pilihan peserta didik yang putus sekolah untuk menjadi TKW dan bekerja untuk urusan kerumahtanggaan, juga mencerminkan dualisme kultural sektor domistik dan publik dalam masyarakat Sasak. Peserta didik perempuan yang putus sekolah dan disuruh (didorong) oleh orangtuanya menjadi TKW dan membantu urusan kerumahtanggaan, pada kenyataannya mengandung muatan idiologis, yaitu anak perempuan oleh orang tuanya didorong untuk menekuni pekerjaan yang sesuai dengan dunia kulturalnya (kodrad kewanitaannya). Menjadi TKW, terutama di negara-negara Timur Tengah merupakan “idola” bagi masyarakat Kabupaten Lombok Timur (Kecamatan Jerowaru) khususnya dan Provinsi NTB umumnya. Banyak perempuan di daerah ini mengadu nasib ke luar negeri menjadi PRT, yang sesuai dengan kodradnya sebagai wanita. Sama halnya dengan membantu ibunya dalam pekerjaan rumah tangga di rumah. Para ibu, terutama di pedesaan wilayah NTB cenderung punya kebiasaan untuk medrong anak-anak perempuannya untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, mengasuh adiknya dan sebaginya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa peserta didik putus sekolah dari satuan pendidikan tidak selamanya disebabkan karena faktor kemiskinan, letak geografis dan infrastruktur pendukung pendidikan (faktor struktural), tetapi faktor kultural yang ada dalam masyarakat Kecamatan Jerowaru (Sasak) juga memberikan kontribusi yang besar dalam mempengaruhinya, yang tergambar dalam berbagai macam dualisme kultural dan di dalamnya mencerminkan adanya aspek-aspek atau unsur-unsur ideologi patriarki, kapitalisme, budaya konsumsi dan budaya pop. Walaupun faktor kultural bersifat nirnyata, namun menjadi nyata, karena terepresentasi pada ucapan dan tindakan orang tua, anak-anak yang putus sekolah, dan warga komunitas, yakni tidak mencela, tetapi mendukung anak-anak menjadi TKI/TKW atau PRT, menjadi buruh kasar di luar daerah (Bali), dan sekaligus berarti menyetujui pula tindakan mereka untuk tidak tetap bersekolah. Berdasarkan hal itu, maka usaha pemerintah untuk menyukseskan program wajib belajar sembilan tahunm, termasuk mengatasi siswa putus sekolah di satuan pendidikan, tidak cukup hanya lewat program pendidikan gratis, melainkan memerlukan pula adanya penanggulangan kendala struktural dan kendala kultural. Penanggulangan struktural diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat. Sedangkan penanggulangan kendala kultural membutuhkan penyadaran lewat pendidikan budaya yang ditujukan kepada orang tua, murid dan warga komunitas, dengan melibatkan berbagai lembaga atas dukungan berbagai aktor yang memiliki aneka keahlian. Pola ini sangat penting, mengingat, bahwa merubah tindakan lewat penyadaran budaya sangat sulit, karena budaya sebagai kognisi tidak selamanya bermuatan rasionalitas, melainkan berbaur dengan keper-cayaan, rasa atau emosionalitas. Sasarannya, tidak hanya menyadarkan mereka tentang posisi pendidikan dalam konteks kebutuhan dasar, tetapi yang lebih penting adalah mengajak mereka untuk hidup menetralisir budaya konsumen, melalui strategi membiasakan diri ber-pegang pada asas kebutuhan, bukan azas keinginan (hasrat). Ini berarti pula pendidikan budaya hendaknya berintikan pada usaha mengajak warga masyarakat untuk lebih arif menyikapi godaan pasar sehingga peluang untuk menginvestasikan modal lewat pendidikan formal menjadi lebih besar. Apapun yang dilakukan, peran pemerintah tidak bisa diabaikan. Pemerintah yang baik tidak hanya menganjurkan orang tua agar menyekolahkan anaknya dengan janji-janji muluk, tetapi yang lebih penting harus pula disertai dengan kegiatan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat miskin lewat penciptaan lapangan kerja sehingga peluang rakyat memenuhi kebutuhan dasarnya menjadi lebih besar. Jika kebutuhan dasar yang paling dasar terpenuhi (makanan, pakaian dan perumahan) yang disertai dengan ketidakterjebakan pada budaya konsumerisme, maka ajakan untuk memikirkan kebutuhan dasar yang lebih tinggi, yakni pendidikan, pencapaiannya tentu lebih mudah. BAHAN BACAAN A.A. Yudhianta, dkk, 1988, Sejarah Budaya Program Pengetahuan Budaya 1 untuk Kelas 2 SMA, Klaten : PT Intan – Pariwara. Al-Ghazali, 1995, Menyingkap Hakikat Perkawinan Adab, Tata-cara dan Hikmahnya, Muhammad al-Baqir (Penerjemah), Bandung : Karisma. H. Sulaiman Rasjid, 1989, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru. M. Ismail, Sukardi, dan Su’ud Surachman, 2009, Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha. Nengah Bawa Atmadja dan Anantawikrama Tungga Atmadja, 2010, Lulusan Sekolah Dasar (SD) Menjadi Pembantu Rumah Tangga dan Dagang Kopi Cantik (Dakocan) : Perspektif Dualisme Kultural, artikel dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, Jilid 43, Nomor 12, Juli 2010, halaman 96 – 105, Singaraja : Undiksha. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS Tahun Anggaran 2011. Jerowaru Lombok Timur, 3 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.