Jumat, 25 Januari 2013

Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia Melalui Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meju dan berkembang pesat, dan persaingan di era globalisasi semakin ketat. Indonesia yang masih tergolong sebagai negara berkembang, harus mampu menjawab tantangan tersebut untuk mengejar keterninggalannya dari negara-negara lain, terutama yang sudah lebih dulu maju. Untuk bisa menapak kearah itu dibutuhkan adanya sumber daya manusia (SDM) yang handal. Hal ini semakin dibutuhkan mengingat di negara ini, SDM yang telah dihasilkan belum mampu sepenuhnya bersaing dengan SDM dari negara-negara lainnya. Banyaknya tingkat pengangguran, tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang sebagian besar hanya mampu berkiprah sebagai buruh kasar, dan kecilnya hasil karya dalam bidang ilmu pengetahuan, mencerminkin statemen tersebut. Sebagai contoh, pada Agustus tahun 2009 saja terdapat angka pengangguran 8,96 juta jiwa menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Sriadi, 2011). Gambaran lainnya, merujuk dari pendapat Taofik (2011), bahwa dalam budaya menulis, Indonesia dengan jumlah pendiuduk sekitar 225 juta jiwa, hanya mampu menghasilkan 8.000 buku per tahun. Sementara tetangga kita, Vietnam dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa, mampu menghasilkan 15.000 buku per tahun. Dalam publikasi ilmiah, Indonesia hanya mampu menyumbang 0,012% dari total publikasi imiah dari seluruh duania. Bahkan menurut Fasli Djalal, Wakil Kementerian Pendidikan Nasional, pada 2009, kemampuan ilmuan Indonesia untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah hanya 0,8 artikel per satu juta penduduk. Berdasarkan gambaran keadaan di atas, maka tuntutan akan SDM yang berkualitas tidak dapat ditawar-tawar lagi. SDM yang unggul merupakan modal utama pembangunan. Ini berarti bahwa manusia Indonesia yang berkualitas yang menentukan makna dan mengendalikan modal lainnya, baik modal uang, fisik, sumber daya alam (SDM) maupun modal-modal negara lainnya. Hal ini akan dapat diwujudkan melalui investasi pendidikan yang memadai (berkualitas). Sebab, menurut Azzel (2011), pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan. Dengan modal kecerdasan inilah manusia dapat menentukan makna dan mengendalikan modal-modal yang dimiliki Indonesia dalam melakukan pembangunan di berbagai bidang dalam rangka meraih kemajuan di bidang iptek, menjawab tantangan globalisasi dan lainnya. Namun perlu diingat bahwa tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya serta masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Manusia yang hanya menguasai iptek saja tidak cukup. Mengenal diri dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila juga merupakan bagian yang penting dalam pembangunan pendidikan. Ini berarti mengandung makna bahwa melalui pendidikan tidak semata-mata dimaksudkan untuk mencetak manusia yang hanya memiliki kecerdasan intelektual semata. Tetapi juga dirahkan dalam rangka menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia (peserta didik), sehingga diperoleh kebermaknaan dan kebahagiaan hidup. Oleh karena itu, meminjam gagasan yang dikemukakan oleh Gestalt seperti dikutip Febriyani (2011), pendidikan perlu diarahkan kepada membina manusia yang utuh tidak saja dari segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi social dan efektif (emosi, sikap, perasaan, nilai, dalan lain-lain). Gagasan ini tidak lain bertolak dari fungsi dan tugas lembaga pendidikan tersebut, seperti dikemukakan oleh Astri (2011), sebagai media kultural untuk membentuk “manusia” yang berbudaya, dan terbebaskan dari ketertindasan, ketidakmampuan, ketidaktahuan, dan ketidakberdayaan. Lebih lanjut dikatakan oleh Astri (2011), sekolah perlu membimbing peserta didik untuk kuat secara karakter dan keterampilan menghadapi masalah dan tantangan yang terjadi di sekitar likup hidupnya ataupun lingkup global…. Selain itu, sekolah juga perlu mendorong pembelajaran peserta didik pada konteks realitas cultural, bukan teoritis belaka. Dengan demikian, sekolah sebagai perwujudan proses pendidikan bisa berperan sebagai area konservasi dan rekonstruksi budaya di tengah dinamika globalisasi. Berarti menurut jalan pikiran di atas, pendidikan dalam proses pembelajarannya perlu memperhatikan unsurr-unsur kearifan lokal yang ada di Indonesia. Ini mengandung makna, seperti yang dikemukakan oleh Hermawan (2011), bahwa pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional bertujuan membentuk anak didik menjadi bangga terhadap Indonesia. Itulah sebabnya Syaifudin (2011), menyarankan agar pendidikan dimerdekakan dari segi capital maupun metode dedaktik. Perubahan dalam msalah dedaktik hendaknya menjadi perhatian semua pihak yang bergelut di bidang pendidikan, terutama guru. Sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna bagi peserta didik dalam rangka meningkatkan SDM-nya guna mendukung pembangunan bangsa. Oleh karena itu lembaga pendidikan melalui mata pelajaran yang dibelajarkan pada peserta didik, harus dapat memberikan bekal tidak saja berupa pengetahuan, tetapi lebih dari itu juga yang menyangkut tentang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) sebagai bekal (modal) dalam menghadapi tantangan global, pengaruh negatif dari kemajuan iptek dan pembangunan. Pada konteks ini, pembelajaran IPS di sekolah memiliki tempat yang strategis dan penting dalam rangka mencetak SDM Indonesia seperti itu. Hal ini mengingat, sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, bahwa melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Lebih lanjut, dengan merujuk pada Permendiknas tersebut, mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembelajaran IPS itu, bertolak dari pendapat yang dikemukakan oleh Sapriya (2009), maka peserta didik perlu dibekali dengan empat diminsi program pendidikan IPS yang komprehensif, meliputi : 1) Dimensi pengetahuan (Knowledge); 2) Dimensi keterampilan (Skills); 3) Diminsi nilai dan sikap (Values and Attitudes); dan 4) Dimensi tindakan (Action). Melalui pembekalan peserta didik dengan empat diminsi pembelajaran IPS itu, maka diharapkan mereka dapat hidup di masyarakat dengan baik, dan dapat memecahkan masalah-masalah pribadi maupun masalah-masalah sosial. Untuk bisa mencapai kearah itu, maka dalam pengembangan pembelajaran IPS di sekolah, seperti dikemukakan oleh Sapriya (2009), harus didasarkan pada landasan pendidikan IPS (PIPS), yang meliputi : landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis, psikologis, dan religius. Dalam rangka pengembangan pembelajaran IPS atau memahami masalah pendidikan IPS dengan berpedoman pada landasan-landasan itu, maka seperti dikemukakan oleh Sapriya (2009), seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial. Dengan kata lain, setiap orang, terutama guru IPS, dengan merujuk pada pendapat yang dikemukakan Atmadja (1992), dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi. Untuk memiliki pemahaman dan wawasan sperti di atas, seorang guru IPS perlu untuk mengembangkan nilai-nilai atau unsur-unsur lokal da nasional Indonesia, tidak semata-mata terpaku pada tuntutan kurikuler (materi yang terdapat dalam kurikum). Dengan adanya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran, akan memudahkan peserta didik untuk memehami materi yang menjadi tuntutan kurikulum. Artinya materi-materi pembelajaran yang digariskan oleh kurikulum lebih mudah dimengerti apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat setempat (lokal) dimana peserta didik itu berada. Begitu pula peserta didik akan lebih memahami dan mengerti tentang materi-materi pembelajaran IPS yang bersangkut paut dengan dunia internasional, apabila substansinya dibelajarkan dengan memperhatikan atau memasukan unsur-unsur keindonesiaan yang telah dikenal oleh peserta didik. Penyelenggaraan pembelajaran seperti inilah yang akan mendukung lahirnya SDM Indonesia yang berkualitas (unggul). Untuk bisa mencapai kearah itu, maka perlu dikembangkan model-model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, bukan lagi cara-cara konvensional. Model-model pembelajaran IPS yang bisa dikembangkan dalam rangka melahirkan SDM yang berkualitas, merujuk pada pendapat Sapriya (2009), pendekatan-pendekatan pembelajaran IPS itu meliputi : a) pendekatan inkuiri (inquiry approach) atau model inkuiri sosial; b) keterampilan berpikir (thinking skills) : kecakapan berpikir kreatif (creative thinking) atau keterampilan berpikir kreatif (creative thinking skill), dan keterampilan berpikir kritis (critikal thinking) atau keterampilan berpikir kritis (critical thinking skill); c) keterampilan memecahkan masalah (problem solving); dan d) proses pengambilan keputusan (decision making process). Melalui model-model pembelajaran tersebut, guru IPS dituntut dalam proses pembelajaran, seperti yang disarankan oleh Ismail, dkk (2009), mengedepankan prinsip adaptif dan participatory action learning, yang memungkinkan member kesempatan kepada siswa untuk mengkaji teori dan dikaitkan dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat. Singkatnya, dalam rangka melahirkan SDM Indonesia yang berkualitas melalui pembelajaran IPS, penting untuk melakukan, merujuk dari gagasan Al-Fandi (2011), desain pembelajaran yang demokratis dan humanis. DAFTAR PUSTAKA Al-Fandi. 2011. Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Astri, Meylina. 2011. ”Pendidikan Seni Budaya : Suaka Kultural Bangsa Indonesia”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 149-161. Atmadja, Nengah Bawa. 1992. “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud. Azzel, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Febriyani, Eka Cempaka. 2011. ””Shusin” Ala Jepang”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 99-106. Hermawan, Ade. 2011. ”Pendidikan dalam Cengkeraman Globalisasi”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 21-28. Ismail M, Sukardi, dan Su’ud Surachman. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : PT Rosdakarya. Sriadi, Endri. 2011. ”Pendidikan Mengejar Pasar”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 29-36. Syaifudin. 2011. ”Turki Tak Sekedar Sekuler”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 129-137. Taofik, Reza. 2011. ”Restorasi Pendidikan Menuju Literate Society”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 162-173 Jerowaru Lombok Timur, 16 Nopember 2011.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meju dan berkembang pesat, dan persaingan di era globalisasi semakin ketat. Indonesia yang masih tergolong sebagai negara berkembang, harus mampu menjawab tantangan tersebut untuk mengejar keterninggalannya dari negara-negara lain, terutama yang sudah lebih dulu maju. Untuk bisa menapak kearah itu dibutuhkan adanya sumber daya manusia (SDM) yang handal. Hal ini semakin dibutuhkan mengingat di negara ini, SDM yang telah dihasilkan belum mampu sepenuhnya bersaing dengan SDM dari negara-negara lainnya. Banyaknya tingkat pengangguran, tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang sebagian besar hanya mampu berkiprah sebagai buruh kasar, dan kecilnya hasil karya dalam bidang ilmu pengetahuan, mencerminkin statemen tersebut. Sebagai contoh, pada Agustus tahun 2009 saja terdapat angka pengangguran 8,96 juta jiwa menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Sriadi, 2011). Gambaran lainnya, merujuk dari pendapat Taofik (2011), bahwa dalam budaya menulis, Indonesia dengan jumlah pendiuduk sekitar 225 juta jiwa, hanya mampu menghasilkan 8.000 buku per tahun. Sementara tetangga kita, Vietnam dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa, mampu menghasilkan 15.000 buku per tahun. Dalam publikasi ilmiah, Indonesia hanya mampu menyumbang 0,012% dari total publikasi imiah dari seluruh duania. Bahkan menurut Fasli Djalal, Wakil Kementerian Pendidikan Nasional, pada 2009, kemampuan ilmuan Indonesia untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah hanya 0,8 artikel per satu juta penduduk. Berdasarkan gambaran keadaan di atas, maka tuntutan akan SDM yang berkualitas tidak dapat ditawar-tawar lagi. SDM yang unggul merupakan modal utama pembangunan. Ini berarti bahwa manusia Indonesia yang berkualitas yang menentukan makna dan mengendalikan modal lainnya, baik modal uang, fisik, sumber daya alam (SDM) maupun modal-modal negara lainnya. Hal ini akan dapat diwujudkan melalui investasi pendidikan yang memadai (berkualitas). Sebab, menurut Azzel (2011), pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh dalam membangun kecerdasan. Dengan modal kecerdasan inilah manusia dapat menentukan makna dan mengendalikan modal-modal yang dimiliki Indonesia dalam melakukan pembangunan di berbagai bidang dalam rangka meraih kemajuan di bidang iptek, menjawab tantangan globalisasi dan lainnya. Namun perlu diingat bahwa tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya serta masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Manusia yang hanya menguasai iptek saja tidak cukup. Mengenal diri dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila juga merupakan bagian yang penting dalam pembangunan pendidikan. Ini berarti mengandung makna bahwa melalui pendidikan tidak semata-mata dimaksudkan untuk mencetak manusia yang hanya memiliki kecerdasan intelektual semata. Tetapi juga dirahkan dalam rangka menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia (peserta didik), sehingga diperoleh kebermaknaan dan kebahagiaan hidup. Oleh karena itu, meminjam gagasan yang dikemukakan oleh Gestalt seperti dikutip Febriyani (2011), pendidikan perlu diarahkan kepada membina manusia yang utuh tidak saja dari segi fisik dan intelektual, tetapi juga segi social dan efektif (emosi, sikap, perasaan, nilai, dalan lain-lain). Gagasan ini tidak lain bertolak dari fungsi dan tugas lembaga pendidikan tersebut, seperti dikemukakan oleh Astri (2011), sebagai media kultural untuk membentuk “manusia” yang berbudaya, dan terbebaskan dari ketertindasan, ketidakmampuan, ketidaktahuan, dan ketidakberdayaan. Lebih lanjut dikatakan oleh Astri (2011), sekolah perlu membimbing peserta didik untuk kuat secara karakter dan keterampilan menghadapi masalah dan tantangan yang terjadi di sekitar likup hidupnya ataupun lingkup global…. Selain itu, sekolah juga perlu mendorong pembelajaran peserta didik pada konteks realitas cultural, bukan teoritis belaka. Dengan demikian, sekolah sebagai perwujudan proses pendidikan bisa berperan sebagai area konservasi dan rekonstruksi budaya di tengah dinamika globalisasi. Berarti menurut jalan pikiran di atas, pendidikan dalam proses pembelajarannya perlu memperhatikan unsurr-unsur kearifan lokal yang ada di Indonesia. Ini mengandung makna, seperti yang dikemukakan oleh Hermawan (2011), bahwa pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional bertujuan membentuk anak didik menjadi bangga terhadap Indonesia. Itulah sebabnya Syaifudin (2011), menyarankan agar pendidikan dimerdekakan dari segi capital maupun metode dedaktik. Perubahan dalam msalah dedaktik hendaknya menjadi perhatian semua pihak yang bergelut di bidang pendidikan, terutama guru. Sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna bagi peserta didik dalam rangka meningkatkan SDM-nya guna mendukung pembangunan bangsa. Oleh karena itu lembaga pendidikan melalui mata pelajaran yang dibelajarkan pada peserta didik, harus dapat memberikan bekal tidak saja berupa pengetahuan, tetapi lebih dari itu juga yang menyangkut tentang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) sebagai bekal (modal) dalam menghadapi tantangan global, pengaruh negatif dari kemajuan iptek dan pembangunan. Pada konteks ini, pembelajaran IPS di sekolah memiliki tempat yang strategis dan penting dalam rangka mencetak SDM Indonesia seperti itu. Hal ini mengingat, sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, bahwa melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Lebih lanjut, dengan merujuk pada Permendiknas tersebut, mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembelajaran IPS itu, bertolak dari pendapat yang dikemukakan oleh Sapriya (2009), maka peserta didik perlu dibekali dengan empat diminsi program pendidikan IPS yang komprehensif, meliputi : 1) Dimensi pengetahuan (Knowledge); 2) Dimensi keterampilan (Skills); 3) Diminsi nilai dan sikap (Values and Attitudes); dan 4) Dimensi tindakan (Action). Melalui pembekalan peserta didik dengan empat diminsi pembelajaran IPS itu, maka diharapkan mereka dapat hidup di masyarakat dengan baik, dan dapat memecahkan masalah-masalah pribadi maupun masalah-masalah sosial. Untuk bisa mencapai kearah itu, maka dalam pengembangan pembelajaran IPS di sekolah, seperti dikemukakan oleh Sapriya (2009), harus didasarkan pada landasan pendidikan IPS (PIPS), yang meliputi : landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis, psikologis, dan religius. Dalam rangka pengembangan pembelajaran IPS atau memahami masalah pendidikan IPS dengan berpedoman pada landasan-landasan itu, maka seperti dikemukakan oleh Sapriya (2009), seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial. Dengan kata lain, setiap orang, terutama guru IPS, dengan merujuk pada pendapat yang dikemukakan Atmadja (1992), dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi. Untuk memiliki pemahaman dan wawasan sperti di atas, seorang guru IPS perlu untuk mengembangkan nilai-nilai atau unsur-unsur lokal da nasional Indonesia, tidak semata-mata terpaku pada tuntutan kurikuler (materi yang terdapat dalam kurikum). Dengan adanya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran, akan memudahkan peserta didik untuk memehami materi yang menjadi tuntutan kurikulum. Artinya materi-materi pembelajaran yang digariskan oleh kurikulum lebih mudah dimengerti apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat setempat (lokal) dimana peserta didik itu berada. Begitu pula peserta didik akan lebih memahami dan mengerti tentang materi-materi pembelajaran IPS yang bersangkut paut dengan dunia internasional, apabila substansinya dibelajarkan dengan memperhatikan atau memasukan unsur-unsur keindonesiaan yang telah dikenal oleh peserta didik. Penyelenggaraan pembelajaran seperti inilah yang akan mendukung lahirnya SDM Indonesia yang berkualitas (unggul). Untuk bisa mencapai kearah itu, maka perlu dikembangkan model-model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, bukan lagi cara-cara konvensional. Model-model pembelajaran IPS yang bisa dikembangkan dalam rangka melahirkan SDM yang berkualitas, merujuk pada pendapat Sapriya (2009), pendekatan-pendekatan pembelajaran IPS itu meliputi : a) pendekatan inkuiri (inquiry approach) atau model inkuiri sosial; b) keterampilan berpikir (thinking skills) : kecakapan berpikir kreatif (creative thinking) atau keterampilan berpikir kreatif (creative thinking skill), dan keterampilan berpikir kritis (critikal thinking) atau keterampilan berpikir kritis (critical thinking skill); c) keterampilan memecahkan masalah (problem solving); dan d) proses pengambilan keputusan (decision making process). Melalui model-model pembelajaran tersebut, guru IPS dituntut dalam proses pembelajaran, seperti yang disarankan oleh Ismail, dkk (2009), mengedepankan prinsip adaptif dan participatory action learning, yang memungkinkan member kesempatan kepada siswa untuk mengkaji teori dan dikaitkan dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat. Singkatnya, dalam rangka melahirkan SDM Indonesia yang berkualitas melalui pembelajaran IPS, penting untuk melakukan, merujuk dari gagasan Al-Fandi (2011), desain pembelajaran yang demokratis dan humanis. DAFTAR PUSTAKA Al-Fandi. 2011. Desain Pembelajaran yang Demokratis dan Humanis. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Astri, Meylina. 2011. ”Pendidikan Seni Budaya : Suaka Kultural Bangsa Indonesia”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 149-161. Atmadja, Nengah Bawa. 1992. “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud. Azzel, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Febriyani, Eka Cempaka. 2011. ””Shusin” Ala Jepang”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 99-106. Hermawan, Ade. 2011. ”Pendidikan dalam Cengkeraman Globalisasi”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 21-28. Ismail M, Sukardi, dan Su’ud Surachman. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : PT Rosdakarya. Sriadi, Endri. 2011. ”Pendidikan Mengejar Pasar”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 29-36. Syaifudin. 2011. ”Turki Tak Sekedar Sekuler”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 129-137. Taofik, Reza. 2011. ”Restorasi Pendidikan Menuju Literate Society”, dalam Tim Kreatif LKM UNJ : Restorasi Pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Terdidik Berbasis Budaya. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Halaman 162-173 Jerowaru Lombok Timur, 16 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.