Minggu, 27 Januari 2013

Meredam Konflik di Media Sosial

Setiap manusia memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu, bisa tercermin dari fisik (tubuh), sifat, tingkah-laku, keadaan ekonimi, status sosial, gagasan, dan lain-lainnya. Apabila dapat disikapi dengan positif, perbedaan yang ada merupakan rahmat, yang mendatangkan rasa persaudaraan dan kebersamaan, keharmonisan dan kebaikan bagi semua. Sebaliknya, apabila disikapi dengan negatif, perbedaan dapat menjadi sumber perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat. Penyikapan secara negatif terhadap perbedaan, sering kali muncul dalam intraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kemunculannya diwujudkan dalam berbagi bentuk, dan menggunakan berbagai macam sarana atau media yang ada. Sehingga terjadilah konflik sosial, baik secara terbuka maupun secara tertutup. Konflik yang ada bisa berlarut-larut dan dalam waktu yang panjang. Konflik sosial secara tertutup, misalanya dengan menggunakan bantuan alat teknologi informasi dan komunikasi (media sosial). Bentuk konflik yang terjadi adalah terjalinnya diskusi yang berujung apa adu argumentasi masing-masing. Sehingga terjadi diskusi (debat) yang tidak sehat. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempertahankan argumentasinya sebagai suatu yang paling benar, dengan melahirkan gagasan (tulisan) dan komentar dengan mendiskriditkan orang lain, dengan bahasa yang menhukum, menghujam dan menyinggung perasaan. Gagasan dan komentar dengan cara memaksakan kehendak, mengedepankan emosi dan memandang orang lain lebih rendah dari kita, merupakan hal yang patut menjadi renungan dan pertanyaan. Bisa jadi apa yang kita sampaikan telah berdasarkan dalil-dalil dan argumentasi yang kuat atau benar. Tetapi apabila cara penyampaiannya tidak mengedepankan etika dan berkepala dingin, maka komentar tersebut menjadi kehilangan makna. Bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa benci, permusuhan, dan dendam berkepanjangan. Jika seseorang merasa tidak senang atau kecewa terhadap orang lain, timbul keinginan untuk membalas. Ia akan merasa senang jika orang tersebut mendapatkan kekalahan, kesusahan atau kecelakaan. Sebaliknya, ia akan merasa tidak senang jika orang itu mendapat kemenangan atau keberuntungan. Orang-orang semacam ini kemudian menjadi tinggi hati. Orang yang tinggi hati biasanya tidak senang kalau dirinya disaingi oleh orang lain. Suatu hal yang diinginkan adalah bahwa keadaan orang lain lebih rendah atau lebih buruk dari keadaan dirinya. Sesungguhnya mengedepankan etika sopan santun dalam intraksi sosial merupakan hal yang diajarkan dalam agama dan budaya kita. Perbedaan merupakan rahmat yang harus disikapi dengan bijak. Oleh karena itu, berbagai bentuk kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh setiap orang dalam intraksi sosial, harus ditanggapi melalui gagasan dan komentar dengan mengedepankan dan menjunjung tinggi moralitas dan bersikap lapang dada. Manusia merupakan sumber kesalahan (kelilafan) dan tidak sempurna, Maka berusaha menyenangi orang lain, sekalipun orang itu membenci kita adalah sikap yang tidak akan merugikan bagi setiap individu. Dibutuhkan adanya sikap rendah hati. Sadarilah, bahwa tiap-tiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dengan demikian, keadaan orang lain tidak akan menjadikan diri kita merasa disaingi atau menyaingi. Introspeksi diri dan pengenalan diri sendiri tentang sejauh mana kita telah melaksanakan kehidupan berdasarkan ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai (norma-norma) yang ada, merupakan langkah awal yang terbaik sebelum merumuskan suatu gagasan dan komentar. Penyampaian sebuah gagasans dan komentar dengan kaedah-kaedah yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama atau norma-norma dalam masyarakat, merupakan nikmat tersendiri dan menyejukkan bagi orang atau kelompok lain serta tidak menimbulkan permasalahan baru yang tidak perlu terjadi. Sikap seperti ini akan mengantarkan kita kearah menerima perbedaan sebagai suatu rahmat. Kita tidak bisa memaksakan kehendak bahwa yang berbeda dengan kita harus mengikuti selera yang kita inginkan. Meluruskan yang salah dengan cara yang beretika dan bijaksana merupakan kewajiban kita semua, serta meminta dan memberikan maaf merupakan sesuatu yang tidak merendahkan derajad kemanusiaan. Kesempurnaan hanya milik Allah (Tuhan Yang Maha Esa) dan mengetahui segala tingkah laku kita. Setiap pribadi (individu) akan kembali kepada-Nya dengan membawa amal baik atau sebaliknya, yang merupakan hasil produk perbuatannya di dunia. Atas itu semua setiap orang akan menerima ganjaran atau balasannya, berupa kenikmatan di surga atau siksaan di neraka. Dua pilihan kehidupan di akherat yang sudah nyata dan pasti diperoleh oleh setiap individu, yang telah diatur ketentuannya dalam agama masing-masing. Salam persaudaraan dan perdamaian. Jerowaru Lombok Timur, 3 Desember 2011.
Setiap manusia memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu, bisa tercermin dari fisik (tubuh), sifat, tingkah-laku, keadaan ekonimi, status sosial, gagasan, dan lain-lainnya. Apabila dapat disikapi dengan positif, perbedaan yang ada merupakan rahmat, yang mendatangkan rasa persaudaraan dan kebersamaan, keharmonisan dan kebaikan bagi semua. Sebaliknya, apabila disikapi dengan negatif, perbedaan dapat menjadi sumber perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat. Penyikapan secara negatif terhadap perbedaan, sering kali muncul dalam intraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kemunculannya diwujudkan dalam berbagi bentuk, dan menggunakan berbagai macam sarana atau media yang ada. Sehingga terjadilah konflik sosial, baik secara terbuka maupun secara tertutup. Konflik yang ada bisa berlarut-larut dan dalam waktu yang panjang. Konflik sosial secara tertutup, misalanya dengan menggunakan bantuan alat teknologi informasi dan komunikasi (media sosial). Bentuk konflik yang terjadi adalah terjalinnya diskusi yang berujung apa adu argumentasi masing-masing. Sehingga terjadi diskusi (debat) yang tidak sehat. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempertahankan argumentasinya sebagai suatu yang paling benar, dengan melahirkan gagasan (tulisan) dan komentar dengan mendiskriditkan orang lain, dengan bahasa yang menhukum, menghujam dan menyinggung perasaan. Gagasan dan komentar dengan cara memaksakan kehendak, mengedepankan emosi dan memandang orang lain lebih rendah dari kita, merupakan hal yang patut menjadi renungan dan pertanyaan. Bisa jadi apa yang kita sampaikan telah berdasarkan dalil-dalil dan argumentasi yang kuat atau benar. Tetapi apabila cara penyampaiannya tidak mengedepankan etika dan berkepala dingin, maka komentar tersebut menjadi kehilangan makna. Bahkan sebaliknya akan menimbulkan rasa benci, permusuhan, dan dendam berkepanjangan. Jika seseorang merasa tidak senang atau kecewa terhadap orang lain, timbul keinginan untuk membalas. Ia akan merasa senang jika orang tersebut mendapatkan kekalahan, kesusahan atau kecelakaan. Sebaliknya, ia akan merasa tidak senang jika orang itu mendapat kemenangan atau keberuntungan. Orang-orang semacam ini kemudian menjadi tinggi hati. Orang yang tinggi hati biasanya tidak senang kalau dirinya disaingi oleh orang lain. Suatu hal yang diinginkan adalah bahwa keadaan orang lain lebih rendah atau lebih buruk dari keadaan dirinya. Sesungguhnya mengedepankan etika sopan santun dalam intraksi sosial merupakan hal yang diajarkan dalam agama dan budaya kita. Perbedaan merupakan rahmat yang harus disikapi dengan bijak. Oleh karena itu, berbagai bentuk kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh setiap orang dalam intraksi sosial, harus ditanggapi melalui gagasan dan komentar dengan mengedepankan dan menjunjung tinggi moralitas dan bersikap lapang dada. Manusia merupakan sumber kesalahan (kelilafan) dan tidak sempurna, Maka berusaha menyenangi orang lain, sekalipun orang itu membenci kita adalah sikap yang tidak akan merugikan bagi setiap individu. Dibutuhkan adanya sikap rendah hati. Sadarilah, bahwa tiap-tiap orang memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dengan demikian, keadaan orang lain tidak akan menjadikan diri kita merasa disaingi atau menyaingi. Introspeksi diri dan pengenalan diri sendiri tentang sejauh mana kita telah melaksanakan kehidupan berdasarkan ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai (norma-norma) yang ada, merupakan langkah awal yang terbaik sebelum merumuskan suatu gagasan dan komentar. Penyampaian sebuah gagasans dan komentar dengan kaedah-kaedah yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama atau norma-norma dalam masyarakat, merupakan nikmat tersendiri dan menyejukkan bagi orang atau kelompok lain serta tidak menimbulkan permasalahan baru yang tidak perlu terjadi. Sikap seperti ini akan mengantarkan kita kearah menerima perbedaan sebagai suatu rahmat. Kita tidak bisa memaksakan kehendak bahwa yang berbeda dengan kita harus mengikuti selera yang kita inginkan. Meluruskan yang salah dengan cara yang beretika dan bijaksana merupakan kewajiban kita semua, serta meminta dan memberikan maaf merupakan sesuatu yang tidak merendahkan derajad kemanusiaan. Kesempurnaan hanya milik Allah (Tuhan Yang Maha Esa) dan mengetahui segala tingkah laku kita. Setiap pribadi (individu) akan kembali kepada-Nya dengan membawa amal baik atau sebaliknya, yang merupakan hasil produk perbuatannya di dunia. Atas itu semua setiap orang akan menerima ganjaran atau balasannya, berupa kenikmatan di surga atau siksaan di neraka. Dua pilihan kehidupan di akherat yang sudah nyata dan pasti diperoleh oleh setiap individu, yang telah diatur ketentuannya dalam agama masing-masing. Salam persaudaraan dan perdamaian. Jerowaru Lombok Timur, 3 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.