Kamis, 24 Januari 2013

Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Sasak dan Transformasinya dalam Pembelajaran IPS

Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi dijelaskan bahwa “Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial”. Untuk mencapai ke arah itu, mata pelajaran IPS di sekolah mencakup (memuat) beberapa disiplin ilmu-ilmu social. Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tersebut, disebutkan bahwa “Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai”. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, lebih lanjut dalam Permendiknas itu, ditegaskan bahwa “Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan”. Pada hakekatnya pendekatan pembelajaran IPS di sekolah (SMP) yang bersifat sistematis, komprehensif dan terpadu (integrated) bertujuan ”agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik sehingga pengorganisasian materi/bahan pelajaran disesuaikan dengan lingkungan, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik” (Sapriya, 2009). Sehingga peserta didik dapat menguasai dimensi-dimensi pembelajaran IPS di sekolah, yaitu : ”menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action)” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu, tujuan mata pelajaran IPS sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 itu, bahwa : Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Tujuan mata pelajaran IPS seperti itu menuntut seseoramg memiliki pemahaman yang tinggi dalam pembelajarannya. Dengan kata lain, seperti dikemukakan oleh Sapriya (2009), yaitu ”Untuk memahami masalah pendidikan IPS seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial”. Menyadari akan ini, maka setiap guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diaorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemaunisan. Untuk menuju ke arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari : ”landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan landasan religius” (Sapriya, 2009). Sikap setiap guru IPS dalam memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, dalam rangka membentuk dan memiliki wawasan vertikal dan wawasan horizontal pada diri, tidak saja menyangkut pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemaunisan secara umum, tetapi bertalian juga dengan pemahaman mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat setempat, dimana mereka melaksanakan tugas. Sebab nilai-nilai sosio-kultural yang berkembang secara nasional akan lebih mudah dipahami dan dikembangkan, baik oleh guru itu sendiri maupun bagi peserta didik, apabila kita memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat, yang merupakan sumber dan dasar dari pengembangan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat atau bangsa Indonesia yang majemuk. Nilai-nilai kearifan lokal itu hendaknya mampu dikembangkan dalam pembelajaran IPS dan ditransformasikan kepada peserta didik dalam rangka membentuk dan mengembangkan krakter mereka. Hal ini menjadi semakin penting, mengingat adanya temuan di lapangan, seperti yang diungkapkan oleh Ismail, dkk (2009), berikut ini. …fakta semakin kuatnya gejala erosi sikap dan perilaku berdemokrasi di kalangan masyarakat (siswa), seperti sikap yang mau menang sendiri, suka memaksakan kehendak, kurang mengakui pihak lain, sikap toleran yang semakin melemah, kurangnya empati dan lain-lainya. Sementara itu, pembelajaran demokrasi melalui Pendidikan IPS kurang memberikan kontribusi terhadap pengembangan sikap dan perilaku demokratis, yang ditandai penyebabnya oleh dua hal, yaitu sisi substantif yang melupakan unsur lokal dan sisi pembelajaran yang monolitik dan undemokratis. Beranjak dari pendapat itu, berarti unsur-unsur lokal dalam pembelajaran IPS yang selama ini berlangsung di sekolah telah dikesampingkan, dan pembelajarannya masih menggunakan cara konvensional atau tradisional, pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran IPS belum mampu mengarahkan atau mewujudkan peserta didik untuk menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Atas dasar itu, berarti pembelajaran IPS belum sepenuhnya mampu mencapai dan merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan, yang terdiri dari 4 (empat) tujuan seperti telah disebutkan di atas. Ini mencerminkan kalau guru IPS belum sepenuhnya mampu mempedomani landasan-landasan dan memiliki wawasan vertikal dan horizontal dalam pembelajaran IPS, salah satunya belum memiliki sikap arif dan pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat untuk ditransformasikan kepada peserta didik. Untuk membantu guru-guru IPS dalam mengkaji, memahami dan mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal terhadap peserta didik melalui pembelajaran, maka saya mencoba mengangkatnya sebagai tema dalam tulisan ini. Tulisan ini dibatasi pada kajian tentang kearifan lokal masyarakat Sasak, yang selanjutnya bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi setempat dan selera masing-masing. Uraian tentang kearifan lokal masyarakat (suku) Sasak didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismail, dkk (2009). Hasil penelitian ini telah mampu mengungkapkan dengan cukup jelas, memberi gambaran yang cukup lengkap tentang kearifan lokal masyarakat Sasak. Dari hasil penelitian tersebut, terungkap tetang beberapa hal terkait kearifan lokal Suku Sasak. Sejak masa lampau etnis Sasak telah mengenal tentang wadah yang menjadi induk dalam kehidupan bermasyarakat mereka, yang mengatur tentang pedoman hidup warga masyarakat, dan tempat mereka mencari rujukan untuk menetapkan sanksi atas terjadi pelanggaran dalam tata pergaulan komunitasnya. Wadah itu dikenal dengan istilah karma. Konsepsi ini teraktualisasikan atau terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak sejak masa lampau. Sehingga pelaksanaan dari konsepsi kultural itu telah menjelma menjadi berbagai elemen atau unsur yang tidak terpisahkan. Pola yang lahir merupakan bagian dari karma, yang dapat ditelusuri sampai dengan saat ini. Gambaran tentang kopsesi kultural tersebut berserta elemen-elemennya, disajikan berikut ini. Krama, yaitu institusi adat yang memayungi kearifan lokal. Terdiri dari 2 (dua) macam : 1. Krama sebagai lembaga adat : a. Krama banjar urip pati, yaitu suatu (kelompok adat atau perkumpulan) masyarakat adat yang anggotanya terdiri atas penduduk di suatu kam-pung/dusun (dasan) atau berasal dari beberapa dasan, yang keanggotaannya berdasarkan dan mem-punyai tujuan yang sama. Krama banjar lebih banyak bergerak pada banjar yang terkait urusan orang hidup dan orang yang mati. Jenisnya antara lain krama banjar subak, krama banjar merariq, krama banjar mate, dan krama banjar haji. b. Krama gubuk, yaitu bentuk krama adat yang ber-anggotakan seluruh masyarakat dalam suatu gubuk (dasan, dusun, kampung) tanpa kecuali. Keanggotaan krama tidak memandang bulu asalkan secara adat dan administratif yang bersangkutan adalah pen-duduk yang sah di dalam gubuk. c. Krama desa, yaitu majelis adat tingkat desa, terdiri dari Pemusungan (Kepala Desa Adat), Juru Arah (Pembantu Kepala Desa), Lang-Lang Desa (Kepala Keamanan Desa), Jaksa (Hakim Desa), Luput (Koordinator Kesejahteraan Desa), Kiai Penghulu. 2. Krama sebagai aturan pergaulan sosial : a. Titi krama, merupakan adat yang diatur awig-awig sebagai hasil kesepakatan adat dari seluruh rnasyarakat adat. Jika dilanggar, dikenakan sanksi sosial atau sanksi moral seperti adat bejiran (bertetangga), adat nyangkok (menginap di rumah pacar). b. Bahasa krama, merupakan budi pekerti, sopan santun atau tata tertib adat yang diatur dalam awig-awig adat yang harus dilakukan dengan bahasa lisan dan bahasa tubuh yang santun dan tertib, dilakukan dengan penuh tertib-tapsila. Dalam bahasa krama terdapat beberapa kaidah dan tata bahasa yang termuat dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, antara lain: tata bahasa, indit bahasa, rangin bahasa, paribahasa. c. Aji krama, merupakan harga adat komunitas atau juga harga status sosial seseorang atau nilai martabat kekerabatannya seseorang yang terkait dengan hak adat dalam komunitas, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat adat secara umum. Aji krama ini mencerminkan pengakuan terhadap status sosial sesorang dalam masyarakat. Dari penerapan karma dalam kehidupan etnis Sasak itu, telah ikut mendorong lahirnya berbagai bentuk kearifan lokal dalam kumunitas tersebut, yang mengandung nilai-nilai yang masih cocok dengan kehidupan kekinian, dan relefan diwariskan melalui pendidikan bagi peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian Ismail, dkk, dapat disarikan pola-pola kearifan lokal yang dimaksud, di bawah ini. Ada tiga kategori bentuk kearifan lokal masyarakat Sasak Lombok, yaitu : 1. Bidang politik, sosial, kemasyarakatan, tercermin dari 10 (sepuluh) macam saling sebagai pengikat tali silaturrahmi masyarakat Sasak, yaitu saling jot/perasak (saling memberi atau mengantarkan makanan), pesilaq (saling undang untuk suatu hajatan keluarga), saling pelangarin (saling layat jika ada kerabat/sahabat yang meninggal), ayoin (saling mengunjungi), dan saling ajinan (saling menghormati atau saling menghargai terhadap pebedaan, menghargai adanya kelebihan dan kekurangan yang dimilki oleh seseorang atau kelompok tertentu), saling jangoq (silaturrahmi saling menjenguk jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah), saling bait (saling ambil-ambilan dalam adat perkawinan), wales/bales (saling balas silaturrahmi, kunjungan atau semu budi (kebaikan) yang pernah terjadi karena kedekatan-persahabatan), saling tembung/sapak (saling tegur sapa jika bertemu atau bertatap muka antarseorang dengan orang lain dengan tidak membedakan suku atau agama) dan saling saduq (saling mempercayai dalam pergaulan dan persahabatan, terutama membangun peranakan Sasak Jati (persaudaraan Sasak sejati) di antara sesama sanak (saudara) Sasak dan antarorang Sasak dengan batur luah (non Sasak), dan saling ilingan/peringet, yaitu saling mengingatkan satu sama lain antara seseorang (kerabat/ sahabat) dengan tulus hati demi kebaikan dalam menjamin persaudaraan/silaturrahmi. 2. Bidang ekonomi perdagangan, tercermin dari tiga praktik kearifan lokal (tiga saling) yaitu: saling peliwat (suatu bentuk menolong seseorang yang sedang pailit atau jatuh rugi dalam usaha dagangannya, saling liliq/gentik (suatu bentuk menolong kawan dengan membantu membayar hutang tanggungan sahabat atau kawan, dengan tidak memberatkannya dalam bentuk bunga atau ikatan lainnya yang mengikat), dan saling sangkul/sangkol/sangkon (saling menolong dengan memberikan bantuan material terhadap kawan yang sedang menerima musibah dalam usaha perdagangan). 3. Bidang adat budaya, tercermin dari saling tulung (bentuk tolong menolong dalam membajak menggaru sawah ladang para petani); saling sero (saling tolong dalam menanami sawah ladang); saur alap (saling tolong dalam mengolah sawah ladang, seperti dalam hal ngekiskis/membersihkan rerumputan dengan alat potong kikis atau ngoma/ngome/mencabuti rumput; dan besesiru/besiru yaitu nilai kearifan lokal ini juga hampir sama dengan saur alap, yaitu pekerjaan gotong royong bekerja di sawah dari menanam bibit sampai panen. Nilai-nilai kearifan lokal dalam komunitas Sasak yang tinggi dan sangat cocok diterapkan dalam kehidupan dewasa ini dan di masa depan, terdapat dalam ungkapan bahasa yang dipegang teguh dalam pergaulan, yang berwujud peribahasa dan pepatah sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam komunitas Sasak diistilahkan dengan sesenggak. Terkait dengan hal tersebut, berikut disajikan intisarinya dari hasil penelitian Ismail, dkk (2009). Sesenggak, yaitu ungkapan bahasa (tradisional) yang berbentuk peribahasa dan pepatah sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam ajaran sesenggak banyak terkandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai tradisional/kearifan tradisional, seperti mengajarkan tentang ketuhanan, pendidikan, moral, hukum dan sebagainya. Beberapa contohnya anatara lain: 1. Adeqta/adeqte tao jauq aiq, supaya kita dapat membawa air, (maknanya bahwa dalam suatu perselisihan atau pertengkaran yang sedang terjadi dan memanas, kita harus mampu menjadi pendingin). 2. Besual/besiaq cara anak kemidi, bertengkar cara anak sandiwara atau jelasnya bertengkar seperti cara pemain sandiwara (maknanya boleh saja kita berselisih pendapat, tetapi tidak boleh menyimpan dendam). 3. Aiq meneng, tunjung tilah, empaq bau, air/tetap jernih teratai/tetap utuh, ikan pun di dapat/tertangkap (mengandung makna bahwa dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu perselisihan, diupayakan agar suasana tetap tenang, masyarakat tidak panik, lingkungan masyarakat tidak tertanggu, masalah atau perselisihan terselesaikan dengan damai). Berdasarkan uraian di atas, dari masalah krama sampai dengan sesenggak, Ismail, dkk (2009), menyimpulkan bahwa “terdapat 10 (sepuluh) unsur atau komponen nilai demokrasi yang tercermin dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, yaitu demokrasi berketuhanan; toleransi; kerja sama dengan orang lain; menghargai pendapat orang lain; memahami dan menerima kultur dalam masyarakat; berpikir kritis dan sistematik; penyelesaian konflik tanpa kekerasan; kemauan mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtif; sensitif terhadap kesulitan orang lain; kemauan dan kemampuan berpartispasi dalam kehidupan sosial”. Berdasarkan hal itu, kearifan lokal etnis Sasak sejak masa lampau mengandung nilai-nilai yang sangat luhur dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Memiliki relevansi dan makna yang untuk dijadikan sebagai roh dan nilai-nilai baru di era kekinian. Namun dewasa ini, nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur etnis Sasak itu telah mengalami pergeseran, mengalami kelunturan, dan seakan-akan kehilangan makna sesungguhnya. Kelunturan nilai-nilai itu terjadi karena adanya pengaruh kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi atau globalisasi, serta laju pembangunan yang tidak didasarkan atas budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, generasi penerus dalam komunitas Sasak dewasa ini tidak lagi sepenuhnya mempedomani nilai-nilai tersebut, bahkan ada kecenderungan untuk ditinggalkan. Keadaan yang mengkhawatirkan itu menuntut adanya upaya untuk menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan masyarakat Sasak dewasa ini, sehingga generasi muda tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri. Usaha ini akan efektif dilakukan melalui pendidikan, dan membangun kembali kesepakatan antar kelompok yang ada dalam komunitas Sasak itu sendiri secara sungguh-sungguh untuk memfotmat kembali nilai-nilai luhur tersebut, menyesuaikannya dengan kehidupan masa kini dan dikemas dengan afik sebagai modal untuk menghadapi tantangan masa depan. Transformasi nilai melalui pendidikan dan kesepakatan yang dibangun itu, hendaknya ditujukan untuk mengaplikasikan nilai-nilai luhur tersebut “dalam kehidupan bermasyarakat secara teguq (kuat dan utuh), bender atau tornboq (lurus dan jujur), patut (benar) tuhu (sungguh-sungguh) dan trasna (penuh rasa kasih atau kasih sayang)” (Ismail, dkk, 2009). Dalam usaha membangun kesepakatan dan memformat kembali nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur itu, hendaknya memperhatiokan dan memahami bahwa “Kearifan lokal masyarakat Sasak dilem dengan krama dan awig-awig (lisan banjar gubuk/desa). Jadi, hidup bermasyarakat akan tetap harmonis, apabila lembaga adat ditopang awig-awig adat secara arif dapat dihidupkan, dirancang kembali, disesuaikan kebutuhan dan tuntutan masa kini” (Ismail, dkk, 2009). Transformasi nilai-nilai kearifan lokal (nilai-nilai moral) masyarakat Sasak di atas melalui pendidikan, terutama melalui pembelajaran IPS menjadi sangat urgen dan relevan, karena akan mampu mengarahkan peserta didik untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab, dan cinta damai. Maksudnya adalah pengembangan sikap dan prilaku berdemokrasi, bertanggung jawab, dan cinta damai, dapat dilakukan dengan menerapkan pengembangan pembelajaran IPS melalui kajian kearifan lokal masyarakat setempat (bernuansa keindonesiaan). Dengan kata lain, materi pembelajaran IPS yang disajikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas adalah “mesti tumbuh dan lahir dari masyarakatnya sendiri, sehingga mencerminkan kondisi dan keadaan masayarakat yang ada” (Ismail, dkk, 2009). Untuk mencapai ke arah itu, maka pembelajaran IPS tidak semata-mata dipandang sebagai upaya mentransfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu harus dapat dijadikan sebagai kekuatan pembebas pada setiap kehidupan peserta didik. Karena “Pengajaran IPS sangat terkait dengan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi positif warga negara. Pengajaran IPS diarahkan untuk mengembangkan kesadaran akan pentingnya demokrasi dan kemampuan untuk hidup dalam alam demokrasi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Pembelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan pada diri siswa pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan diri dan masyarakatnya” (Ismail, dkk, 2009) Langkah yang pang tepat dilakukan untuk dapat mewujudkan prinsip dan tujuan pembelajaran IPS tersebut adalah melakukan pembeharuan dalam cara-cara pembelajaran IPS itu sendiri. Tidak pada tempatnya lagi proses pembelajaran dilakukan dengan cara-cara konvensional. Untuk menuju ke arah perubahan itu, perlu ditempuh upaya-upaya berikut : Pertama, setiap guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh landasan-landasan pendidikan IPS. Sehingga setiap guru dapat memiliki wawasan vertikal dan horizontal dalam proses pembelajaran IPS di sekolah. Kedua, setiap guru IPS, dalam hal ini yang bertugas di daerah domisili komunitas (etnis) Sasak, memiliki keperdulian dan pemahaman tentang kearifan lokal masyarakat Sasak sebagai bahan pengembangan materi dan model proses pembelajaran. Sehingga peserta didik akan lebih memahami materi pembelajaran, dan pengalaman belajar yang bermakna, karena dirangkai dengan pengetahuan yang ada di sekitar lingkungan masyarakatnya. Melalui tranformasi nilai-nilai kearifan lokal suku Sasak, mereka akan memiliki dan memahami tentang nilai demokrasi berketuhanan, toleransi, kerjasama dengan orang lain, menghargai pendapat orang lain, memahami dan menerima kultur dalam masyarakat, dan lainya. Ketiga, setiap guru IPS menetapkan model pendekatan proses pembelajaran IPS yang mencerminkan ”kondisi peserta didik dapat berpartisipasi aktif, yang bersifat merangsang, menantang, mengesankan dan menggaerahkan, dalam rangka membina dan mengembangkan keterampilan, kemampuan menemukan konsep dan struktur ilmu, serta merangkai pengalaman yang dapat menjadi suatu pengetahuan dan pembentukan sikap” (Widja, 1991, Wahyuni, 1992). Keempat, setiap guru IPS mampu menguasai dan melaksanakan pendekatan yang dapat mendorong dan mengantarkan peserta didik untuk memperoleh integrasi dari nilai-nilai secara utuh dan bermakna, dari masa lampau sampai masa kini dalam pembelajaran IPS yang mereka terima. Ini berarti mengandung maksud, bahwa dalam proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006). Kelima, setiap guru IPS berdasarkan hasil identifikasi (berpedoman) pada upaya pertama sampai keempat, mampu menetapkan dan menerapkan strategi dan metode (model) pembelajaran yang berpusat pada siswa, seperti pendekatan kontekstual, atau ”adaptif dan participatory action learning ” (Ismail, dkk, 2009). Sebab model pembelajaran seperti itu, memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan mengkaji teori dan kaitannya dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat, khususnya dalam komunitas (etnis) Sasak. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, Negah Bawa, 1992 “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud. Depdiknas RI, 2006 Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta : Depdiknas. Ismail, M, Sukardi, dan Su’ud Surachman, 2009, Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha. Sapriya, 2009 Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : Penerbit : PT Rosdakarya. Widja, I Gde, 1991, Pendiidkan Sejarah dan Tantangan Masa Depan, Orasi Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD, Singaraja : FKIP UNUD. Wahyuni, Purnomo, 1992, CBSA dalam Pengajaran Sejarah Permasalahan dan Prospeknya, artikel dalam Aneka Widya, edisi khusus, tahun 1992, halaman 122-128. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jerowaru Lombok Timur, 4 Nopember 2011.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi dijelaskan bahwa “Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial”. Untuk mencapai ke arah itu, mata pelajaran IPS di sekolah mencakup (memuat) beberapa disiplin ilmu-ilmu social. Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tersebut, disebutkan bahwa “Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai”. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, lebih lanjut dalam Permendiknas itu, ditegaskan bahwa “Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan”. Pada hakekatnya pendekatan pembelajaran IPS di sekolah (SMP) yang bersifat sistematis, komprehensif dan terpadu (integrated) bertujuan ”agar mata pelajaran ini lebih bermakna bagi peserta didik sehingga pengorganisasian materi/bahan pelajaran disesuaikan dengan lingkungan, karakteristik, dan kebutuhan peserta didik” (Sapriya, 2009). Sehingga peserta didik dapat menguasai dimensi-dimensi pembelajaran IPS di sekolah, yaitu : ”menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values), dan bertindak (action)” (Sapriya, 2009). Oleh karena itu, tujuan mata pelajaran IPS sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 itu, bahwa : Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya 2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Tujuan mata pelajaran IPS seperti itu menuntut seseoramg memiliki pemahaman yang tinggi dalam pembelajarannya. Dengan kata lain, seperti dikemukakan oleh Sapriya (2009), yaitu ”Untuk memahami masalah pendidikan IPS seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu, disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis serta permasalahan sosial”. Menyadari akan ini, maka setiap guru IPS “dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya, bahkan juga ekologi” (Atmadja, 1992). Dengan kata lain, guru IPS harus memiliki kemampuan untuk merancang dan melaksanakan program pembelajaran secara terpadu diaorganisasikan dengan baik, dan secara terus menerus menyegarkan, memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemaunisan. Untuk menuju ke arah itu, hendaknya guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, yang terdiri dari : ”landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusian, politis, psikologis, dan landasan religius” (Sapriya, 2009). Sikap setiap guru IPS dalam memahami, melaksanakan dan memegang teguh tentang landasan-landasan pendidikan IPS, dalam rangka membentuk dan memiliki wawasan vertikal dan wawasan horizontal pada diri, tidak saja menyangkut pemahaman tentang ilmu-ilmu sosial dan nilai-nilai kemaunisan secara umum, tetapi bertalian juga dengan pemahaman mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat setempat, dimana mereka melaksanakan tugas. Sebab nilai-nilai sosio-kultural yang berkembang secara nasional akan lebih mudah dipahami dan dikembangkan, baik oleh guru itu sendiri maupun bagi peserta didik, apabila kita memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat, yang merupakan sumber dan dasar dari pengembangan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat atau bangsa Indonesia yang majemuk. Nilai-nilai kearifan lokal itu hendaknya mampu dikembangkan dalam pembelajaran IPS dan ditransformasikan kepada peserta didik dalam rangka membentuk dan mengembangkan krakter mereka. Hal ini menjadi semakin penting, mengingat adanya temuan di lapangan, seperti yang diungkapkan oleh Ismail, dkk (2009), berikut ini. …fakta semakin kuatnya gejala erosi sikap dan perilaku berdemokrasi di kalangan masyarakat (siswa), seperti sikap yang mau menang sendiri, suka memaksakan kehendak, kurang mengakui pihak lain, sikap toleran yang semakin melemah, kurangnya empati dan lain-lainya. Sementara itu, pembelajaran demokrasi melalui Pendidikan IPS kurang memberikan kontribusi terhadap pengembangan sikap dan perilaku demokratis, yang ditandai penyebabnya oleh dua hal, yaitu sisi substantif yang melupakan unsur lokal dan sisi pembelajaran yang monolitik dan undemokratis. Beranjak dari pendapat itu, berarti unsur-unsur lokal dalam pembelajaran IPS yang selama ini berlangsung di sekolah telah dikesampingkan, dan pembelajarannya masih menggunakan cara konvensional atau tradisional, pembelajaran tidak berpusat pada peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran IPS belum mampu mengarahkan atau mewujudkan peserta didik untuk menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Atas dasar itu, berarti pembelajaran IPS belum sepenuhnya mampu mencapai dan merealisasikan tujuan yang telah ditetapkan, yang terdiri dari 4 (empat) tujuan seperti telah disebutkan di atas. Ini mencerminkan kalau guru IPS belum sepenuhnya mampu mempedomani landasan-landasan dan memiliki wawasan vertikal dan horizontal dalam pembelajaran IPS, salah satunya belum memiliki sikap arif dan pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat untuk ditransformasikan kepada peserta didik. Untuk membantu guru-guru IPS dalam mengkaji, memahami dan mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal terhadap peserta didik melalui pembelajaran, maka saya mencoba mengangkatnya sebagai tema dalam tulisan ini. Tulisan ini dibatasi pada kajian tentang kearifan lokal masyarakat Sasak, yang selanjutnya bisa dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi setempat dan selera masing-masing. Uraian tentang kearifan lokal masyarakat (suku) Sasak didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismail, dkk (2009). Hasil penelitian ini telah mampu mengungkapkan dengan cukup jelas, memberi gambaran yang cukup lengkap tentang kearifan lokal masyarakat Sasak. Dari hasil penelitian tersebut, terungkap tetang beberapa hal terkait kearifan lokal Suku Sasak. Sejak masa lampau etnis Sasak telah mengenal tentang wadah yang menjadi induk dalam kehidupan bermasyarakat mereka, yang mengatur tentang pedoman hidup warga masyarakat, dan tempat mereka mencari rujukan untuk menetapkan sanksi atas terjadi pelanggaran dalam tata pergaulan komunitasnya. Wadah itu dikenal dengan istilah karma. Konsepsi ini teraktualisasikan atau terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak sejak masa lampau. Sehingga pelaksanaan dari konsepsi kultural itu telah menjelma menjadi berbagai elemen atau unsur yang tidak terpisahkan. Pola yang lahir merupakan bagian dari karma, yang dapat ditelusuri sampai dengan saat ini. Gambaran tentang kopsesi kultural tersebut berserta elemen-elemennya, disajikan berikut ini. Krama, yaitu institusi adat yang memayungi kearifan lokal. Terdiri dari 2 (dua) macam : 1. Krama sebagai lembaga adat : a. Krama banjar urip pati, yaitu suatu (kelompok adat atau perkumpulan) masyarakat adat yang anggotanya terdiri atas penduduk di suatu kam-pung/dusun (dasan) atau berasal dari beberapa dasan, yang keanggotaannya berdasarkan dan mem-punyai tujuan yang sama. Krama banjar lebih banyak bergerak pada banjar yang terkait urusan orang hidup dan orang yang mati. Jenisnya antara lain krama banjar subak, krama banjar merariq, krama banjar mate, dan krama banjar haji. b. Krama gubuk, yaitu bentuk krama adat yang ber-anggotakan seluruh masyarakat dalam suatu gubuk (dasan, dusun, kampung) tanpa kecuali. Keanggotaan krama tidak memandang bulu asalkan secara adat dan administratif yang bersangkutan adalah pen-duduk yang sah di dalam gubuk. c. Krama desa, yaitu majelis adat tingkat desa, terdiri dari Pemusungan (Kepala Desa Adat), Juru Arah (Pembantu Kepala Desa), Lang-Lang Desa (Kepala Keamanan Desa), Jaksa (Hakim Desa), Luput (Koordinator Kesejahteraan Desa), Kiai Penghulu. 2. Krama sebagai aturan pergaulan sosial : a. Titi krama, merupakan adat yang diatur awig-awig sebagai hasil kesepakatan adat dari seluruh rnasyarakat adat. Jika dilanggar, dikenakan sanksi sosial atau sanksi moral seperti adat bejiran (bertetangga), adat nyangkok (menginap di rumah pacar). b. Bahasa krama, merupakan budi pekerti, sopan santun atau tata tertib adat yang diatur dalam awig-awig adat yang harus dilakukan dengan bahasa lisan dan bahasa tubuh yang santun dan tertib, dilakukan dengan penuh tertib-tapsila. Dalam bahasa krama terdapat beberapa kaidah dan tata bahasa yang termuat dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, antara lain: tata bahasa, indit bahasa, rangin bahasa, paribahasa. c. Aji krama, merupakan harga adat komunitas atau juga harga status sosial seseorang atau nilai martabat kekerabatannya seseorang yang terkait dengan hak adat dalam komunitas, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat adat secara umum. Aji krama ini mencerminkan pengakuan terhadap status sosial sesorang dalam masyarakat. Dari penerapan karma dalam kehidupan etnis Sasak itu, telah ikut mendorong lahirnya berbagai bentuk kearifan lokal dalam kumunitas tersebut, yang mengandung nilai-nilai yang masih cocok dengan kehidupan kekinian, dan relefan diwariskan melalui pendidikan bagi peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian Ismail, dkk, dapat disarikan pola-pola kearifan lokal yang dimaksud, di bawah ini. Ada tiga kategori bentuk kearifan lokal masyarakat Sasak Lombok, yaitu : 1. Bidang politik, sosial, kemasyarakatan, tercermin dari 10 (sepuluh) macam saling sebagai pengikat tali silaturrahmi masyarakat Sasak, yaitu saling jot/perasak (saling memberi atau mengantarkan makanan), pesilaq (saling undang untuk suatu hajatan keluarga), saling pelangarin (saling layat jika ada kerabat/sahabat yang meninggal), ayoin (saling mengunjungi), dan saling ajinan (saling menghormati atau saling menghargai terhadap pebedaan, menghargai adanya kelebihan dan kekurangan yang dimilki oleh seseorang atau kelompok tertentu), saling jangoq (silaturrahmi saling menjenguk jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah), saling bait (saling ambil-ambilan dalam adat perkawinan), wales/bales (saling balas silaturrahmi, kunjungan atau semu budi (kebaikan) yang pernah terjadi karena kedekatan-persahabatan), saling tembung/sapak (saling tegur sapa jika bertemu atau bertatap muka antarseorang dengan orang lain dengan tidak membedakan suku atau agama) dan saling saduq (saling mempercayai dalam pergaulan dan persahabatan, terutama membangun peranakan Sasak Jati (persaudaraan Sasak sejati) di antara sesama sanak (saudara) Sasak dan antarorang Sasak dengan batur luah (non Sasak), dan saling ilingan/peringet, yaitu saling mengingatkan satu sama lain antara seseorang (kerabat/ sahabat) dengan tulus hati demi kebaikan dalam menjamin persaudaraan/silaturrahmi. 2. Bidang ekonomi perdagangan, tercermin dari tiga praktik kearifan lokal (tiga saling) yaitu: saling peliwat (suatu bentuk menolong seseorang yang sedang pailit atau jatuh rugi dalam usaha dagangannya, saling liliq/gentik (suatu bentuk menolong kawan dengan membantu membayar hutang tanggungan sahabat atau kawan, dengan tidak memberatkannya dalam bentuk bunga atau ikatan lainnya yang mengikat), dan saling sangkul/sangkol/sangkon (saling menolong dengan memberikan bantuan material terhadap kawan yang sedang menerima musibah dalam usaha perdagangan). 3. Bidang adat budaya, tercermin dari saling tulung (bentuk tolong menolong dalam membajak menggaru sawah ladang para petani); saling sero (saling tolong dalam menanami sawah ladang); saur alap (saling tolong dalam mengolah sawah ladang, seperti dalam hal ngekiskis/membersihkan rerumputan dengan alat potong kikis atau ngoma/ngome/mencabuti rumput; dan besesiru/besiru yaitu nilai kearifan lokal ini juga hampir sama dengan saur alap, yaitu pekerjaan gotong royong bekerja di sawah dari menanam bibit sampai panen. Nilai-nilai kearifan lokal dalam komunitas Sasak yang tinggi dan sangat cocok diterapkan dalam kehidupan dewasa ini dan di masa depan, terdapat dalam ungkapan bahasa yang dipegang teguh dalam pergaulan, yang berwujud peribahasa dan pepatah sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam komunitas Sasak diistilahkan dengan sesenggak. Terkait dengan hal tersebut, berikut disajikan intisarinya dari hasil penelitian Ismail, dkk (2009). Sesenggak, yaitu ungkapan bahasa (tradisional) yang berbentuk peribahasa dan pepatah sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam ajaran sesenggak banyak terkandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai tradisional/kearifan tradisional, seperti mengajarkan tentang ketuhanan, pendidikan, moral, hukum dan sebagainya. Beberapa contohnya anatara lain: 1. Adeqta/adeqte tao jauq aiq, supaya kita dapat membawa air, (maknanya bahwa dalam suatu perselisihan atau pertengkaran yang sedang terjadi dan memanas, kita harus mampu menjadi pendingin). 2. Besual/besiaq cara anak kemidi, bertengkar cara anak sandiwara atau jelasnya bertengkar seperti cara pemain sandiwara (maknanya boleh saja kita berselisih pendapat, tetapi tidak boleh menyimpan dendam). 3. Aiq meneng, tunjung tilah, empaq bau, air/tetap jernih teratai/tetap utuh, ikan pun di dapat/tertangkap (mengandung makna bahwa dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu perselisihan, diupayakan agar suasana tetap tenang, masyarakat tidak panik, lingkungan masyarakat tidak tertanggu, masalah atau perselisihan terselesaikan dengan damai). Berdasarkan uraian di atas, dari masalah krama sampai dengan sesenggak, Ismail, dkk (2009), menyimpulkan bahwa “terdapat 10 (sepuluh) unsur atau komponen nilai demokrasi yang tercermin dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, yaitu demokrasi berketuhanan; toleransi; kerja sama dengan orang lain; menghargai pendapat orang lain; memahami dan menerima kultur dalam masyarakat; berpikir kritis dan sistematik; penyelesaian konflik tanpa kekerasan; kemauan mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtif; sensitif terhadap kesulitan orang lain; kemauan dan kemampuan berpartispasi dalam kehidupan sosial”. Berdasarkan hal itu, kearifan lokal etnis Sasak sejak masa lampau mengandung nilai-nilai yang sangat luhur dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Memiliki relevansi dan makna yang untuk dijadikan sebagai roh dan nilai-nilai baru di era kekinian. Namun dewasa ini, nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur etnis Sasak itu telah mengalami pergeseran, mengalami kelunturan, dan seakan-akan kehilangan makna sesungguhnya. Kelunturan nilai-nilai itu terjadi karena adanya pengaruh kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi atau globalisasi, serta laju pembangunan yang tidak didasarkan atas budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, generasi penerus dalam komunitas Sasak dewasa ini tidak lagi sepenuhnya mempedomani nilai-nilai tersebut, bahkan ada kecenderungan untuk ditinggalkan. Keadaan yang mengkhawatirkan itu menuntut adanya upaya untuk menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan masyarakat Sasak dewasa ini, sehingga generasi muda tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri. Usaha ini akan efektif dilakukan melalui pendidikan, dan membangun kembali kesepakatan antar kelompok yang ada dalam komunitas Sasak itu sendiri secara sungguh-sungguh untuk memfotmat kembali nilai-nilai luhur tersebut, menyesuaikannya dengan kehidupan masa kini dan dikemas dengan afik sebagai modal untuk menghadapi tantangan masa depan. Transformasi nilai melalui pendidikan dan kesepakatan yang dibangun itu, hendaknya ditujukan untuk mengaplikasikan nilai-nilai luhur tersebut “dalam kehidupan bermasyarakat secara teguq (kuat dan utuh), bender atau tornboq (lurus dan jujur), patut (benar) tuhu (sungguh-sungguh) dan trasna (penuh rasa kasih atau kasih sayang)” (Ismail, dkk, 2009). Dalam usaha membangun kesepakatan dan memformat kembali nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur itu, hendaknya memperhatiokan dan memahami bahwa “Kearifan lokal masyarakat Sasak dilem dengan krama dan awig-awig (lisan banjar gubuk/desa). Jadi, hidup bermasyarakat akan tetap harmonis, apabila lembaga adat ditopang awig-awig adat secara arif dapat dihidupkan, dirancang kembali, disesuaikan kebutuhan dan tuntutan masa kini” (Ismail, dkk, 2009). Transformasi nilai-nilai kearifan lokal (nilai-nilai moral) masyarakat Sasak di atas melalui pendidikan, terutama melalui pembelajaran IPS menjadi sangat urgen dan relevan, karena akan mampu mengarahkan peserta didik untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab, dan cinta damai. Maksudnya adalah pengembangan sikap dan prilaku berdemokrasi, bertanggung jawab, dan cinta damai, dapat dilakukan dengan menerapkan pengembangan pembelajaran IPS melalui kajian kearifan lokal masyarakat setempat (bernuansa keindonesiaan). Dengan kata lain, materi pembelajaran IPS yang disajikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas adalah “mesti tumbuh dan lahir dari masyarakatnya sendiri, sehingga mencerminkan kondisi dan keadaan masayarakat yang ada” (Ismail, dkk, 2009). Untuk mencapai ke arah itu, maka pembelajaran IPS tidak semata-mata dipandang sebagai upaya mentransfer pengetahuan, tetapi lebih dari itu harus dapat dijadikan sebagai kekuatan pembebas pada setiap kehidupan peserta didik. Karena “Pengajaran IPS sangat terkait dengan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi positif warga negara. Pengajaran IPS diarahkan untuk mengembangkan kesadaran akan pentingnya demokrasi dan kemampuan untuk hidup dalam alam demokrasi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Pembelajaran IPS bertujuan untuk mengembangkan pada diri siswa pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan diri dan masyarakatnya” (Ismail, dkk, 2009) Langkah yang pang tepat dilakukan untuk dapat mewujudkan prinsip dan tujuan pembelajaran IPS tersebut adalah melakukan pembeharuan dalam cara-cara pembelajaran IPS itu sendiri. Tidak pada tempatnya lagi proses pembelajaran dilakukan dengan cara-cara konvensional. Untuk menuju ke arah perubahan itu, perlu ditempuh upaya-upaya berikut : Pertama, setiap guru IPS memahami, melaksanakan dan memegang teguh landasan-landasan pendidikan IPS. Sehingga setiap guru dapat memiliki wawasan vertikal dan horizontal dalam proses pembelajaran IPS di sekolah. Kedua, setiap guru IPS, dalam hal ini yang bertugas di daerah domisili komunitas (etnis) Sasak, memiliki keperdulian dan pemahaman tentang kearifan lokal masyarakat Sasak sebagai bahan pengembangan materi dan model proses pembelajaran. Sehingga peserta didik akan lebih memahami materi pembelajaran, dan pengalaman belajar yang bermakna, karena dirangkai dengan pengetahuan yang ada di sekitar lingkungan masyarakatnya. Melalui tranformasi nilai-nilai kearifan lokal suku Sasak, mereka akan memiliki dan memahami tentang nilai demokrasi berketuhanan, toleransi, kerjasama dengan orang lain, menghargai pendapat orang lain, memahami dan menerima kultur dalam masyarakat, dan lainya. Ketiga, setiap guru IPS menetapkan model pendekatan proses pembelajaran IPS yang mencerminkan ”kondisi peserta didik dapat berpartisipasi aktif, yang bersifat merangsang, menantang, mengesankan dan menggaerahkan, dalam rangka membina dan mengembangkan keterampilan, kemampuan menemukan konsep dan struktur ilmu, serta merangkai pengalaman yang dapat menjadi suatu pengetahuan dan pembentukan sikap” (Widja, 1991, Wahyuni, 1992). Keempat, setiap guru IPS mampu menguasai dan melaksanakan pendekatan yang dapat mendorong dan mengantarkan peserta didik untuk memperoleh integrasi dari nilai-nilai secara utuh dan bermakna, dari masa lampau sampai masa kini dalam pembelajaran IPS yang mereka terima. Ini berarti mengandung maksud, bahwa dalam proses pembelajaran IPS harus menerapkan pendekatan terpadu (Depdiknas, 2006) atau pendekatan multidimensional (Atmadja, 1992), disebut pula dengan pendekatan interdisipliner (Dipdiknas, 2006). Kelima, setiap guru IPS berdasarkan hasil identifikasi (berpedoman) pada upaya pertama sampai keempat, mampu menetapkan dan menerapkan strategi dan metode (model) pembelajaran yang berpusat pada siswa, seperti pendekatan kontekstual, atau ”adaptif dan participatory action learning ” (Ismail, dkk, 2009). Sebab model pembelajaran seperti itu, memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan mengkaji teori dan kaitannya dengan apa yang ada di masyarakat, mengeksplor dan mendalami nilai-nilai individu dan masyarakat, khususnya dalam komunitas (etnis) Sasak. DAFTAR PUSTAKA Atmadja, Negah Bawa, 1992 “Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud. Depdiknas RI, 2006 Panduan Pengembangan Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta : Depdiknas. Ismail, M, Sukardi, dan Su’ud Surachman, 2009, Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha. Sapriya, 2009 Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran, Bandung : Penerbit : PT Rosdakarya. Widja, I Gde, 1991, Pendiidkan Sejarah dan Tantangan Masa Depan, Orasi Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan Sejarah pada FKIP UNUD, Singaraja : FKIP UNUD. Wahyuni, Purnomo, 1992, CBSA dalam Pengajaran Sejarah Permasalahan dan Prospeknya, artikel dalam Aneka Widya, edisi khusus, tahun 1992, halaman 122-128. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jerowaru Lombok Timur, 4 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.