Kamis, 24 Januari 2013

Menegakkan Martabat dan Citra Guru

Guru merupakan pekerjaan yang mulia dan terhormat, dan sekaligus juga merupakan profesi yang memiliki tugas berat dan tidak bisa dikerjakan secara serampangan. Guru tidak saja bertugas mengajar dalam rangka mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tepapi juga yang tidak kalah pentingnya dari itu adalah bertugas untuk mendidik dan melatih para siswa dalam rangka membentuk kepribadian atau karakter yang mantap pada diri mereka. Oleh karena itu setiap pribadi yang menggeluti profesi tersebut, menjunjung tinggi martabat dan citra guru merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Pada kenyataannya di lapangan, diakui atau tidak, masih, banyak guru yang belum melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tuntutan profesi yang sesungguhnya. Guru masih memiliki kecenderungan menempatkan diri pada posisi sebagai pengajar semata, dan mengabaikan tugasnya dalam mendidik dan melatih peserta didik. Guru terkesan melaksanakan tugasnya secara asal-asalan, tidak mengikuti rambu-rambu proses pembelajaran yang sebenarnya. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, terbatas hanya untuk menggugurkan kewajiban. Bahkan yang menyedihkan, tidak sedikit di antara guru yang lupa dan melakukan tidakan yang tidak terpuji. Ada oknum guru memukul siswa karena sebab yang sepele, oknum guru bertindak asusila dengan siswanya, oknum guru terlibat menggunakan narkoba, dan sebagainya merupakan contoh-contoh tindakan negatif yang banyak menghiasi media massa, baik cetak maupun elektronik, baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal (daerah). Kejadian-kejadian tersebut, menyebabkan terdapat oknum guru terlibat konflik dengan orang tua peserta didik dan masyarakat, dan tidak sedikit pula yang harus berurusan dengan hukum (polisi). Hal ini tentu saja mencidrai martabat dan citra guru, serta dunia pendidikan dalam pengertian yang lebih luas. Sebagai manusia biasa, guru memang tidak luput dari kehilafan dan kesalahan. Karena manusia merupakan sumber kealfaan dan dosa. Tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan (perbuatan negatif), dengan mengedepankan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritualitas merupakan langkah yang sebaiknya ditempuh, dan sekaligus sebagai tuntutan profesi. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, guru dituntut untuk bertindak secara profesional. Sebagai pekerja profesional, guru diharuskan dapat memenuhi dan melaksanakan kompetensi (kemampuan) yang dipersyaratkan dalam profesi keguruan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, telah ditetapkan 4 (empat) kompetensi yang wajib dimiliki oleh guru, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Mengingat guru merupakan pekerjaan profesional, menurut Wahjosumidjo (2010), “keberadaan guru terikat oleh berbagai macam norma atau ketentuan. Sebab tugas-tugas (occupation, area of activity) yang profesional selalu mengandung ciri-ciri : 1. ilmu pengetahuan (knowledge); 2. keahlian (competent application); 3. tanggung jawab sosial (social responsibility); 4. organisasi atau asosiasi profesi; 5. etika profesi – self control; dan 6. dukungan masyarakat (social sanction)”. Namun demikian, menjunjung tinggi martabat dan citra guru akan sangat tergantung dan kembali kepada diri (pribadi) guru masing-masing. Motivasi dan kesadaran diri merupakan faktor penting untuk dapat memelihara martabat dan citra guru tetap berada pada koridor dan jalan yang tepat. Oleh karena itu peserta didik dan warga sekolah lainnya, serta masyarakat secara umum, akan ikut hormat dan memuliakan martabat dan citra guru, apabila para guru, menurut Wahjosumidjo (2010), “paling tidak memiliki dua macam kewibawaan, yaitu kewibawaan keahlian (expert power) dan kewibawaan pribadi (referent power)”. Berdasarkan kerangka berpikir itu, berarti orang lain (warga sekolah dan masyarakat) akan sangat menghormati dan memuliakan profesi guru, apabila setiap guru memilki keahlian atau potensi (expert) dan pengetahuan khusus, serta memiliki sikap dan perilaku atau pribadinya yang penuh keteladanan dan dapat menjadi figur (idola). Secara lebih spesifik lagi, setiap guru akan dapat menegakkan (menjunjung tinggi) martabat dan citra profesinya, apabila dalam proses pembelajaran di kelas (sekolah) dan di lingkungan tempat tinggalnya, mampu bertindak dan menempatkan diri, menurut Jamal Ma’mur Asmani (2010 : 74-84), sebagai “katalisator, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator”. Dengan demikian upaya untuk menegakkan martabat dan citra guru, harus dimulai dari diri masing-masing guru itu sendiri. Kemauan yang kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, yang disertai dengan penguasaan keseluruhan kompetensi dengan mantap, merupakan modal utama setiap guru dalam mempertahankan dan memelihara harkat dan martabat profesinya. Modal dasar inilah yang akan membentuk kewibawaan pada diri setiap guru, baik kewibawaan keahlian (expert power) maupun kewibawaan pribadi (referent power). Inilah yang akan menimbulkan resfek dari peserta didik, guru lainnya, pegawai dan masyarakat kepada seorang guru, berupa penghormatan dan pemulian martabat dan citra profesi guru. Berarti apabila setiap guru ingin dihormati, dimuliakan dan dihargai, maka hendaknya terlebih dahulu menegakkan martabat dan citra profesi keguruannya dalam diri masing-masing. Itulah sebabnya profesi guru merupakan pekerjaan mulia dan terhormat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. DAFTAR PUSTAKA Jamal Ma’mur Asmani, 2010 Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta : Penerbit Diva Press. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Wahjosumidjo, 2010 Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jerowaru Lombok Timur, 10 Desember 2011.
Guru merupakan pekerjaan yang mulia dan terhormat, dan sekaligus juga merupakan profesi yang memiliki tugas berat dan tidak bisa dikerjakan secara serampangan. Guru tidak saja bertugas mengajar dalam rangka mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tepapi juga yang tidak kalah pentingnya dari itu adalah bertugas untuk mendidik dan melatih para siswa dalam rangka membentuk kepribadian atau karakter yang mantap pada diri mereka. Oleh karena itu setiap pribadi yang menggeluti profesi tersebut, menjunjung tinggi martabat dan citra guru merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar. Pada kenyataannya di lapangan, diakui atau tidak, masih, banyak guru yang belum melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tuntutan profesi yang sesungguhnya. Guru masih memiliki kecenderungan menempatkan diri pada posisi sebagai pengajar semata, dan mengabaikan tugasnya dalam mendidik dan melatih peserta didik. Guru terkesan melaksanakan tugasnya secara asal-asalan, tidak mengikuti rambu-rambu proses pembelajaran yang sebenarnya. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, terbatas hanya untuk menggugurkan kewajiban. Bahkan yang menyedihkan, tidak sedikit di antara guru yang lupa dan melakukan tidakan yang tidak terpuji. Ada oknum guru memukul siswa karena sebab yang sepele, oknum guru bertindak asusila dengan siswanya, oknum guru terlibat menggunakan narkoba, dan sebagainya merupakan contoh-contoh tindakan negatif yang banyak menghiasi media massa, baik cetak maupun elektronik, baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal (daerah). Kejadian-kejadian tersebut, menyebabkan terdapat oknum guru terlibat konflik dengan orang tua peserta didik dan masyarakat, dan tidak sedikit pula yang harus berurusan dengan hukum (polisi). Hal ini tentu saja mencidrai martabat dan citra guru, serta dunia pendidikan dalam pengertian yang lebih luas. Sebagai manusia biasa, guru memang tidak luput dari kehilafan dan kesalahan. Karena manusia merupakan sumber kealfaan dan dosa. Tetapi berupaya semaksimal mungkin untuk meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan (perbuatan negatif), dengan mengedepankan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritualitas merupakan langkah yang sebaiknya ditempuh, dan sekaligus sebagai tuntutan profesi. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, guru dituntut untuk bertindak secara profesional. Sebagai pekerja profesional, guru diharuskan dapat memenuhi dan melaksanakan kompetensi (kemampuan) yang dipersyaratkan dalam profesi keguruan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, telah ditetapkan 4 (empat) kompetensi yang wajib dimiliki oleh guru, meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Mengingat guru merupakan pekerjaan profesional, menurut Wahjosumidjo (2010), “keberadaan guru terikat oleh berbagai macam norma atau ketentuan. Sebab tugas-tugas (occupation, area of activity) yang profesional selalu mengandung ciri-ciri : 1. ilmu pengetahuan (knowledge); 2. keahlian (competent application); 3. tanggung jawab sosial (social responsibility); 4. organisasi atau asosiasi profesi; 5. etika profesi – self control; dan 6. dukungan masyarakat (social sanction)”. Namun demikian, menjunjung tinggi martabat dan citra guru akan sangat tergantung dan kembali kepada diri (pribadi) guru masing-masing. Motivasi dan kesadaran diri merupakan faktor penting untuk dapat memelihara martabat dan citra guru tetap berada pada koridor dan jalan yang tepat. Oleh karena itu peserta didik dan warga sekolah lainnya, serta masyarakat secara umum, akan ikut hormat dan memuliakan martabat dan citra guru, apabila para guru, menurut Wahjosumidjo (2010), “paling tidak memiliki dua macam kewibawaan, yaitu kewibawaan keahlian (expert power) dan kewibawaan pribadi (referent power)”. Berdasarkan kerangka berpikir itu, berarti orang lain (warga sekolah dan masyarakat) akan sangat menghormati dan memuliakan profesi guru, apabila setiap guru memilki keahlian atau potensi (expert) dan pengetahuan khusus, serta memiliki sikap dan perilaku atau pribadinya yang penuh keteladanan dan dapat menjadi figur (idola). Secara lebih spesifik lagi, setiap guru akan dapat menegakkan (menjunjung tinggi) martabat dan citra profesinya, apabila dalam proses pembelajaran di kelas (sekolah) dan di lingkungan tempat tinggalnya, mampu bertindak dan menempatkan diri, menurut Jamal Ma’mur Asmani (2010 : 74-84), sebagai “katalisator, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator”. Dengan demikian upaya untuk menegakkan martabat dan citra guru, harus dimulai dari diri masing-masing guru itu sendiri. Kemauan yang kuat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, yang disertai dengan penguasaan keseluruhan kompetensi dengan mantap, merupakan modal utama setiap guru dalam mempertahankan dan memelihara harkat dan martabat profesinya. Modal dasar inilah yang akan membentuk kewibawaan pada diri setiap guru, baik kewibawaan keahlian (expert power) maupun kewibawaan pribadi (referent power). Inilah yang akan menimbulkan resfek dari peserta didik, guru lainnya, pegawai dan masyarakat kepada seorang guru, berupa penghormatan dan pemulian martabat dan citra profesi guru. Berarti apabila setiap guru ingin dihormati, dimuliakan dan dihargai, maka hendaknya terlebih dahulu menegakkan martabat dan citra profesi keguruannya dalam diri masing-masing. Itulah sebabnya profesi guru merupakan pekerjaan mulia dan terhormat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. DAFTAR PUSTAKA Jamal Ma’mur Asmani, 2010 Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta : Penerbit Diva Press. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Wahjosumidjo, 2010 Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Jerowaru Lombok Timur, 10 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.