Sabtu, 26 Januari 2013

Pengembangan Pendidikan Karakter Peserta Didik di Satuan Pendidikan : Usaha Sia-sia Tanpa Peran Aktif Orang Tua dan Masyarakat

Penyelenggaraan pendidikan, terutama pendidikan formal merupakan tanggung jawab bersama. Tidak mungkin bisa terselenggara dengan baik dan maksimal apabila hanya pihak sekolah yang berperan, tanpa keterlibatan pihak lain di dalamnya. Demikian juga halnya dengan pengembangan pendidikan karakter peserta didik di satuan pendidikan, membutuhkan adanya peran serta aktif dari pihak-pihak terkait. Merujuk dari pendapat yang dikemukakan oleh Sukmadinaata (2001), bahwa interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat serta lingkungan-lingkungan kerja. Oleh karena itu, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di suatu satuan pendidikan secara maksimal akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, karena saling berkaitan satu dengan yang lainnya, masing-masing saling mempengaruhi. Menyadari akan hal ini, maka keberhasilan pengembangan pendidikan karakter pada peserta didik, juga akan sangat tergantung faktor-faktor tersebut, terutama sekali lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Itulah sebabnya, Azzel (2011) mengatakan bahwa tiga pilar penting dalam dunia pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Jadi, ketiga pilar dalam pendidikan itu harus saling mendukung dalam membangun karakter yang baik. Peserta didik (anak) memiliki sifat yang unik dan kompleks. Anak-anak menurut Hamalik (2003), memiliki bakat dan kematangan berkat adanya pengaruh-pengaruh dari luar seperti: keluarga, masyarakat, status sosial ekonomi keluarga, tingkatan dan jenis pekerjaan orangtua, pengaruh-pengaruh dari kebudayaan dan sebagainya, sehingga membentuk pribadi anak menjadi kompleks. Keluarga dalam pendidikan anak, termasuk dalam mengembangkan karakter yang baik, memiliki kedudukan yang mendasar (sentral). Sehingga dalam masalah pendidikan, keluarga merupakan lingkungan pertama tempat terjadinya interaksi pendidikan. Alasan yang mendasari gagasan ini bisa dirujuk dari pendapat yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2004), berikut ini. ….. sebab dalam lingkungan inilah pertama-tama anak mendapatkan pendidikan, bimbingan, asuhan, pembiasaan, dan latihan. Keluarga bukan hanya tempat anak dipelihara dan dibesarkan, tetapi juga tempat anak hidup dan dididik pertama kali. Apa yang diperolehnya dalam kehidupan keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan dalam kehidupan-kehidupan selanjutnya. Keluarga merupakan masyarakat kecil sebagai prototipe masyarakat luas. Semua aspek kehidupan masyarakat ada di dalam kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, keamanan, kesehatan, agama, termasuk aspek pendidikan. Dengan demikian keluarga memainkan fungsi yang setrategis dalam pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan karakter anak di rumah. Peranan penting yang dimiliki oleh lingkungan keluarga itu, mengingat anak-anak bukan saja merupakan anugerah, tetapi sekaligus sebagai amanah dari Allah. Oleh karena anak merupakan amanah, maka keluarga (orangtua) memilki kewajiban dan tanggung jawab yang sentral dalam urusan pendidikan anak. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua orangtua dapat menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam urusan pendidikan anak dalam lingkungan keluarga secara maksimal. Pada umunya orangtua menyerahkan urusan pendidikan anak-anaknya pada pihak sekolah (guru). Ada beberapa faktor yang bisa mendorong sikap orangtua seperti itu. Dalam kesempatan ini, dapat dikemukakan beberapa faktor yang dimaksud, antara lain berikut ini: 1) orangtua merasa tidak bisa memberi bimbingan tentang pendidikan anak, karena rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan atau daerah pelosok dan pinggiran; dan 2) orangtua pada umumnya bekerja dan memiliki berbagai kesibukan untuk kehidupan keluarganya. Mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Perlu disadari bahwa situasi dan kondisi di dalam keluarga besar pengaruhnya terhadap emosi, penyesuaian sosial, minat, sikap, tujuan, disiplin, dan perbuatan siswa, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakatnya. Kalau situasi dan kondisi keluarga tidak mendukung, anak mengalami, meminjam istilah Hamalik (2003), gejala-gejala maladjustment. Untuk menghindari terjadinya gejala-gejala seperti itu, empat gagasan yang dikemukakan oleh Azzel (2011), patut dipertimbangkan untuk dilaksanakan oleh orangtua, yaitu pertama, hendaknya orangtua dapat mendampingi anak-anaknya agar bisa tumbuh dan berkembang dalam pantauan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya; kedua, hendaknya orangtua dapat membimbing anak-anaknya agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan; ketiga, hendaknya orangtua dapat mendidik anak-anaknya agar berkembang menjadi generasi yang berkarakter baik; dan keempat, hendaknya orangtua bisa jadi teladan bagi sang anak agar tumbuh dan berkembang dengan karakter yang baik. Berangkat dari gagasan di atas, maka aspek mengelola hubungan orangtua dengan anak-anak merupakan bagian yang penting dalam kehidupan berkeluarga (berumah tangga). Terciptanya intraksi (pertemuan) dengan frekwensi yang cukup dan kualitas yang baik, menjadi hal yang harus perhatikan dan pertahankan dalam pengelolaan hubungan orangtua dan anak. Dari proses inilah anak-anak bisa belajar dan memperoleh pengalaman berharga yang bisa menjadi bekal meraih sukses kelak, dan bekal dalam melakukan interaksi dengan lingkungan masyarakatnya. Kunci pertama agar pertemuan antara orangtua dan anak di rumah benar-benar berkualitas adalah komunikasi yang baik. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan karakter peserta didik di sekolah akan berhasil dengan baik, apabila orangtua (keluarga) dapat berperan (mendukung) secara aktif di dalamnya, dengan menerapkan langkah-langkah di atas atau dengan strategi lain yang dianggap baik. Hasil akhir yang diinginkan melalui peran aktif keluarga dalam pendidikan karakter anak, seperti yang diungkapkan oleh Kemendeknas (2010), adalah agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, tangguh, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli akan lingkungan, dan lain sebagainya. Dukungan lain yang tidak kalah pentingnya berasal dari lingkungan masyarakat. Terkait dengan ini, J.J Rousseau, seperti dikutip oleh Hamalik (2003), memandang anak sebagai memiliki jiwa yang bersih dan karena lingkungan maka ia menjadi kotor. Ungkapan ini, mencerminkan tetang pengaruh lingkungan dalam pendidikan anak, termasuk pendidikan karakternya. Pendidikan yang berlangsung di lingkungan masyarakat bersifat terbuka. Karena sifatnya terbuka, banyak pihak atau unsur yang dapat mempengaruhi pendidikan karakter anak, tidak saja terbatas pada masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, tetapi unsur-unsur lainnya, seperti pemerintah (pusat dan daerah), anggota legislatif, dunia usaha dan dunia industri, serta media massa, ikut memberikan andil besar dalam memberikan pengaruh. Pengaruh lingkungan sosial tersebut, merujuk pada pendapat Baharuddin (2010), ada yang diterima secara langsung dan ada yang tidak langsung. Pengaruh secara langsung seperti dalam pergaulan sehari-hari dengan teman, keluarga, teman sepekerjaan dan lainnya. Sementara pengaruh yang tidak langsung adalah melaluio radio, televisi, buku-buku bacaan, dan dengan berbagai cara yang lain. Secara ringkas, keberhasilan pendidikan karakter peserta didik akan berhasil dengan maksimal apabila unsur-unsur yang ada lingkungan masyarakat dapat memainkan peranan dan fungsi dengan baik. Pada masyarakat di mana peserta didik tinggal dibutuhkan adanya keteladanan dari tokoh-tokoh masyarakat, pembiasaan nilai-nilai di lingkungan masyarakat setempat, pembinaan dan pengembangan hubungan dengan Allah, serta penegakan aturan yang berlaku di masyarakat setempat. Pemerintah (pusat dan daerah), anggota DRP dan penyelenggara negara lainnya, serta dunia usaha/dunia industri, hendaknya mampu memberikan keteladanan, pembiasaan nilai-nilai, mengembangkan keimanan dan ketaqwaan, penegakan aturan (hukum), serta menciptakan iklim demokrasi yang bermartabat. Disamping itu, media massa, baik elektonik maupun cetak, juga diharapkan dapat menjalankan fungsi edukatif atau pun nonedukatif, dalam rangka pembetukan nilai-nilai kehidupan, sikap, perilaku, dan keperibadian atau jati diri individu, dalam hal ini peserta didik. Fungsi dan peranan media massa semakin penting dalam era globalisasi saat ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Infomasi dari berbagai penjuru dunia begitu cepat tersebar ke dalam kehidupan bermasyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif. Keseluruhan uraian di atas, dapat diringkas seperti berikut ini. Keberhasilan pengembangan pendidikan karakter peserta didik secara maksimal, sangat tergantung dari keterlibatan aktif semua pihak dalam melaksanakan peranan dan fungsi masing-masing, baik lembaga pendidikan, keluarga maupun lingkungan masyarakat. Ketiga unsur (pilar) tersebut harus saling mendukung secara sinergis. Apabila tidak saling mendukung, maka akan terjadi sebaliknya, pengembangan pendidikan karakter peserta didik akan mengalami kegagalan. Bisa diilusttasikan seperti berikut. Peserta didik di sekolah dibimbing dan diajarkan untuk menjadi manusia yang berbudaya dan pribadi yang berkarakter. Namun di lingkungannya, mereka mendengar dan melihat kenyataan yang berbeda dengan apa yang diprolehnya di sekolah. Pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya itu merupakan aspek yang berat untuk dapat diluruskan dan di arahkan ke pengembangan pendidikan budaya dan karakter peserta didik di sekolah. Kejadian-kejadian negatif yang mereka lihat terjadi di keluarga dan masyarakat, tontonan-totonan dan berita-berita yang tidak mendidik (di media massa, hend phone, jejaring sosial) yang mereka lihat dan baca, serta apa yang dicontohkan oleh para politisi, seperti korupsi atau ketidakjujuran, merupakan pembelajaran yang tidak baik bagi mereka dan mudah terserap dalam memori otak mereka. Hal ini akan mendorong mereka untuk menjadi pelaku-pelaku baru dalam perbutan negatif tersebut. Mengacu dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan karakter peserta didik, bukanlah semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan. Oleh karena itu, kegagalan dalam usaha itu bukan berarti kegagalan sekolah saja. Pembangunan karakter peserta didik merupakan milik dan untuk bersama. Kegagalan yang dialami juga merupakan bentuk kegagalan bersama. DAFTAR PUSTAKA Azzel, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia; Revitalisasi Pendidikan Karakter terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Baharuddin. 2010. Psikologi Pendidikan Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara. Kemendiknas. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025. Jakarta : Kemendiknas. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Jerowaru Lombok Timur, 17 Nopember 2011.
Penyelenggaraan pendidikan, terutama pendidikan formal merupakan tanggung jawab bersama. Tidak mungkin bisa terselenggara dengan baik dan maksimal apabila hanya pihak sekolah yang berperan, tanpa keterlibatan pihak lain di dalamnya. Demikian juga halnya dengan pengembangan pendidikan karakter peserta didik di satuan pendidikan, membutuhkan adanya peran serta aktif dari pihak-pihak terkait. Merujuk dari pendapat yang dikemukakan oleh Sukmadinaata (2001), bahwa interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat serta lingkungan-lingkungan kerja. Oleh karena itu, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di suatu satuan pendidikan secara maksimal akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, karena saling berkaitan satu dengan yang lainnya, masing-masing saling mempengaruhi. Menyadari akan hal ini, maka keberhasilan pengembangan pendidikan karakter pada peserta didik, juga akan sangat tergantung faktor-faktor tersebut, terutama sekali lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Itulah sebabnya, Azzel (2011) mengatakan bahwa tiga pilar penting dalam dunia pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Jadi, ketiga pilar dalam pendidikan itu harus saling mendukung dalam membangun karakter yang baik. Peserta didik (anak) memiliki sifat yang unik dan kompleks. Anak-anak menurut Hamalik (2003), memiliki bakat dan kematangan berkat adanya pengaruh-pengaruh dari luar seperti: keluarga, masyarakat, status sosial ekonomi keluarga, tingkatan dan jenis pekerjaan orangtua, pengaruh-pengaruh dari kebudayaan dan sebagainya, sehingga membentuk pribadi anak menjadi kompleks. Keluarga dalam pendidikan anak, termasuk dalam mengembangkan karakter yang baik, memiliki kedudukan yang mendasar (sentral). Sehingga dalam masalah pendidikan, keluarga merupakan lingkungan pertama tempat terjadinya interaksi pendidikan. Alasan yang mendasari gagasan ini bisa dirujuk dari pendapat yang dikemukakan oleh Sukmadinata (2004), berikut ini. ….. sebab dalam lingkungan inilah pertama-tama anak mendapatkan pendidikan, bimbingan, asuhan, pembiasaan, dan latihan. Keluarga bukan hanya tempat anak dipelihara dan dibesarkan, tetapi juga tempat anak hidup dan dididik pertama kali. Apa yang diperolehnya dalam kehidupan keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan dalam kehidupan-kehidupan selanjutnya. Keluarga merupakan masyarakat kecil sebagai prototipe masyarakat luas. Semua aspek kehidupan masyarakat ada di dalam kehidupan keluarga, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, keamanan, kesehatan, agama, termasuk aspek pendidikan. Dengan demikian keluarga memainkan fungsi yang setrategis dalam pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan karakter anak di rumah. Peranan penting yang dimiliki oleh lingkungan keluarga itu, mengingat anak-anak bukan saja merupakan anugerah, tetapi sekaligus sebagai amanah dari Allah. Oleh karena anak merupakan amanah, maka keluarga (orangtua) memilki kewajiban dan tanggung jawab yang sentral dalam urusan pendidikan anak. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua orangtua dapat menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam urusan pendidikan anak dalam lingkungan keluarga secara maksimal. Pada umunya orangtua menyerahkan urusan pendidikan anak-anaknya pada pihak sekolah (guru). Ada beberapa faktor yang bisa mendorong sikap orangtua seperti itu. Dalam kesempatan ini, dapat dikemukakan beberapa faktor yang dimaksud, antara lain berikut ini: 1) orangtua merasa tidak bisa memberi bimbingan tentang pendidikan anak, karena rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan atau daerah pelosok dan pinggiran; dan 2) orangtua pada umumnya bekerja dan memiliki berbagai kesibukan untuk kehidupan keluarganya. Mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Perlu disadari bahwa situasi dan kondisi di dalam keluarga besar pengaruhnya terhadap emosi, penyesuaian sosial, minat, sikap, tujuan, disiplin, dan perbuatan siswa, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakatnya. Kalau situasi dan kondisi keluarga tidak mendukung, anak mengalami, meminjam istilah Hamalik (2003), gejala-gejala maladjustment. Untuk menghindari terjadinya gejala-gejala seperti itu, empat gagasan yang dikemukakan oleh Azzel (2011), patut dipertimbangkan untuk dilaksanakan oleh orangtua, yaitu pertama, hendaknya orangtua dapat mendampingi anak-anaknya agar bisa tumbuh dan berkembang dalam pantauan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya; kedua, hendaknya orangtua dapat membimbing anak-anaknya agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan; ketiga, hendaknya orangtua dapat mendidik anak-anaknya agar berkembang menjadi generasi yang berkarakter baik; dan keempat, hendaknya orangtua bisa jadi teladan bagi sang anak agar tumbuh dan berkembang dengan karakter yang baik. Berangkat dari gagasan di atas, maka aspek mengelola hubungan orangtua dengan anak-anak merupakan bagian yang penting dalam kehidupan berkeluarga (berumah tangga). Terciptanya intraksi (pertemuan) dengan frekwensi yang cukup dan kualitas yang baik, menjadi hal yang harus perhatikan dan pertahankan dalam pengelolaan hubungan orangtua dan anak. Dari proses inilah anak-anak bisa belajar dan memperoleh pengalaman berharga yang bisa menjadi bekal meraih sukses kelak, dan bekal dalam melakukan interaksi dengan lingkungan masyarakatnya. Kunci pertama agar pertemuan antara orangtua dan anak di rumah benar-benar berkualitas adalah komunikasi yang baik. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan karakter peserta didik di sekolah akan berhasil dengan baik, apabila orangtua (keluarga) dapat berperan (mendukung) secara aktif di dalamnya, dengan menerapkan langkah-langkah di atas atau dengan strategi lain yang dianggap baik. Hasil akhir yang diinginkan melalui peran aktif keluarga dalam pendidikan karakter anak, seperti yang diungkapkan oleh Kemendeknas (2010), adalah agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, tangguh, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli akan lingkungan, dan lain sebagainya. Dukungan lain yang tidak kalah pentingnya berasal dari lingkungan masyarakat. Terkait dengan ini, J.J Rousseau, seperti dikutip oleh Hamalik (2003), memandang anak sebagai memiliki jiwa yang bersih dan karena lingkungan maka ia menjadi kotor. Ungkapan ini, mencerminkan tetang pengaruh lingkungan dalam pendidikan anak, termasuk pendidikan karakternya. Pendidikan yang berlangsung di lingkungan masyarakat bersifat terbuka. Karena sifatnya terbuka, banyak pihak atau unsur yang dapat mempengaruhi pendidikan karakter anak, tidak saja terbatas pada masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, tetapi unsur-unsur lainnya, seperti pemerintah (pusat dan daerah), anggota legislatif, dunia usaha dan dunia industri, serta media massa, ikut memberikan andil besar dalam memberikan pengaruh. Pengaruh lingkungan sosial tersebut, merujuk pada pendapat Baharuddin (2010), ada yang diterima secara langsung dan ada yang tidak langsung. Pengaruh secara langsung seperti dalam pergaulan sehari-hari dengan teman, keluarga, teman sepekerjaan dan lainnya. Sementara pengaruh yang tidak langsung adalah melaluio radio, televisi, buku-buku bacaan, dan dengan berbagai cara yang lain. Secara ringkas, keberhasilan pendidikan karakter peserta didik akan berhasil dengan maksimal apabila unsur-unsur yang ada lingkungan masyarakat dapat memainkan peranan dan fungsi dengan baik. Pada masyarakat di mana peserta didik tinggal dibutuhkan adanya keteladanan dari tokoh-tokoh masyarakat, pembiasaan nilai-nilai di lingkungan masyarakat setempat, pembinaan dan pengembangan hubungan dengan Allah, serta penegakan aturan yang berlaku di masyarakat setempat. Pemerintah (pusat dan daerah), anggota DRP dan penyelenggara negara lainnya, serta dunia usaha/dunia industri, hendaknya mampu memberikan keteladanan, pembiasaan nilai-nilai, mengembangkan keimanan dan ketaqwaan, penegakan aturan (hukum), serta menciptakan iklim demokrasi yang bermartabat. Disamping itu, media massa, baik elektonik maupun cetak, juga diharapkan dapat menjalankan fungsi edukatif atau pun nonedukatif, dalam rangka pembetukan nilai-nilai kehidupan, sikap, perilaku, dan keperibadian atau jati diri individu, dalam hal ini peserta didik. Fungsi dan peranan media massa semakin penting dalam era globalisasi saat ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Infomasi dari berbagai penjuru dunia begitu cepat tersebar ke dalam kehidupan bermasyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif. Keseluruhan uraian di atas, dapat diringkas seperti berikut ini. Keberhasilan pengembangan pendidikan karakter peserta didik secara maksimal, sangat tergantung dari keterlibatan aktif semua pihak dalam melaksanakan peranan dan fungsi masing-masing, baik lembaga pendidikan, keluarga maupun lingkungan masyarakat. Ketiga unsur (pilar) tersebut harus saling mendukung secara sinergis. Apabila tidak saling mendukung, maka akan terjadi sebaliknya, pengembangan pendidikan karakter peserta didik akan mengalami kegagalan. Bisa diilusttasikan seperti berikut. Peserta didik di sekolah dibimbing dan diajarkan untuk menjadi manusia yang berbudaya dan pribadi yang berkarakter. Namun di lingkungannya, mereka mendengar dan melihat kenyataan yang berbeda dengan apa yang diprolehnya di sekolah. Pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya itu merupakan aspek yang berat untuk dapat diluruskan dan di arahkan ke pengembangan pendidikan budaya dan karakter peserta didik di sekolah. Kejadian-kejadian negatif yang mereka lihat terjadi di keluarga dan masyarakat, tontonan-totonan dan berita-berita yang tidak mendidik (di media massa, hend phone, jejaring sosial) yang mereka lihat dan baca, serta apa yang dicontohkan oleh para politisi, seperti korupsi atau ketidakjujuran, merupakan pembelajaran yang tidak baik bagi mereka dan mudah terserap dalam memori otak mereka. Hal ini akan mendorong mereka untuk menjadi pelaku-pelaku baru dalam perbutan negatif tersebut. Mengacu dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan karakter peserta didik, bukanlah semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan. Oleh karena itu, kegagalan dalam usaha itu bukan berarti kegagalan sekolah saja. Pembangunan karakter peserta didik merupakan milik dan untuk bersama. Kegagalan yang dialami juga merupakan bentuk kegagalan bersama. DAFTAR PUSTAKA Azzel, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia; Revitalisasi Pendidikan Karakter terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Baharuddin. 2010. Psikologi Pendidikan Refleksi Teoritis Terhadap Fenomena. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Hamalik, Oemar. 2003. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara. Kemendiknas. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025. Jakarta : Kemendiknas. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Jerowaru Lombok Timur, 17 Nopember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.