Minggu, 27 Januari 2013

MEMBANGUN PERSEPSI GURU DALAM MENYONGSONG PENERAPAN KURIKULUM SMP 2013

Klik Untuk melihat
A.PENDAHULUAN

Menjelang berakhirnya tahun 2012, kembali ada suatu persoalan yang tiba-tiba menyeruak kepermukaan dan mencuri perhatian hampir seluruh bangsa Indonesia, karena masalah ini terkait dengan kepentingan yang paling dasar bagi setiap individu, yaitu masalah pendidikan. Pemerintah, melalui Kemdikbud kembali melakukan perombakan kurikulum mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Kurikulum baru ini akan mulai diterapkan pada Juni 2013.

Meskipun masih banyak pro dan kontra, pelaksanaan kurikulum baru sudah tidak ada lagi tawar-menawar. Mendikbud dengan tegas mengatakan, bahwa pelaksanaaan kurikulum 2013 yang direncanakan pemerintah mulai tahun ajaran baru nanti tidak bisa ditunda. Sebab, persoalan pendidikan Indonesia menghadapi masalah penting dan genting (kompas.com, 2013). Oleh karena, pelaksanaannya tidak bisa ditawar-tawar lagi, maka setiap guru dituntut untuk melek kurikulum. Memiliki persepsi positif dan mengambil sikap untuk merespon lebih awal terkait dengan perubahan kurikulum, memahami tujuan, mengetahui elemen perubahan, serta isu-isu terkait rancangan struktur kurikulum dapat memberikan bekal awal bagi guru dalam menyongsong penerapan kurikulum 2013. Pengembangan pemahaman (profesional) guru terhadap kurikulum baru, harus pula didukung secara penuh oleh pemerintah. Memfasilitasi para guru dalam pelatihan yang tepat dan bermakna, sudah menjadi kewajiban pemerintah.


B.KURIKULUM SMP 2013 : APA SAJA YANG BERUBAH ?

Perubahan kurikulum pendidikan nasional akan berimbas pada perubahan beberapa elemen yang terdapat dalam kurikulum. Elemen-elemen yang berubah dalam kurikulum 2013, yaitu kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, serta kegiatan ekstrakurikuler. Kelima elemen perubahan ini, diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA (Kemdikbud, 2012).

Perubahan kurikulum untuk jenjang pendidikan SMP, dapat dijabarkan berikut ini.

1.Perubahan SKL

Kompetensi lulusan jenjang pendidikan SMP, sama halnya dengan jenjang pendidikan SD dan SMA, adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills dengan mengasah tiga kompetensi anak (ranah), yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

2.Perubahan Standar Isi

Aspek-aspek standar isi untuk jenjang pendidikan SMP yang mengalami perubahan, adalah kedudukan mata pelajaran, serta struktur kurikulum (mata pelajaran dan alokasi waktu). Bentuk perubahan aspek kedudukan mata pelajaran adalah kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi tersebut sama dengan kurikulum 2006, dilakukan melalui mata pelajaran. Sedangkan struktur kurikulum yang mengalami perubahan, yaitu : a) TIK menjadi media semua mata pelajaran, dan tidak lagi berdiri sendiri menjadi mata pelejaran; b) pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler; c) jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10; d) mata pelajaran muatan lokal diintegrasikan (masuk) ke mata pelajaran seni budaya, penjaskes, dan prakarya; dan e) Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Jika sebelumnya siswa belajar selama 32 jam, maka nanti mereka akan belajar selama 38 jam di sekolah. Untuk lebih memperjelas tentang struktur kurikulum SMP 2013, berikut disajikan tabel struktur kurikulum yang akan diterapkan.
                                      Sumber : Kemdikbud, 2012.

Perubahan mendasar dalam struktur kurikulum SMP, adalah adanya pengurangan jumlah mata pelajaran, dan penambahan jam belajar. Terdapat beberapa permasalahan yang akan muncul dengan terjadinya perubahan ini. Misalnya, dalam hubungannya dengan TIK yang dijadikan sebagai media pelajaran untuk semua mata pelajaran, muncul persoalan bahwa belum semua sekolah memiliki sarana dan prsarana teknologi informasi yang lengkap dan memadai, dan belum semua guru telah mengusai teknologi informasi. Oleh karena itu, sebelum penerapan kurikulum 2013 secara menyeluruh, terlebih dahulu pemerintah melengkapi fasilitas pendidikan, dan penyiapan SDM. Hal ini tidak saja dalam kaitannya dengan teknologi informasi, tetapi juga dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan dalam arti yang lebih luas. Masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas sesuai dengan tuntutan dalam standar sarana dan prasarana. Selama ini, tidak sedikit pula guru yang belum pernah mendapat pelatihan, dan sebagian dari guru yang pernah mengikutinya belum merasakan manfaatnya secara optimal untuk menunjang pelaksanaan profesionalnya. Setiap guru tentu berkeinginan bisa seperti Ibu Guru Muslimah yang dapat membuat seorang Andrea Hirata berani untuk bermimpi dan mampu mewujudkan mimpi-mimpinya dan menjadi seorang ahli sastra yang mendapatkan banyak pujian dari berbagai penjuru dunia untuk semua karyanya. Tetapi zaman telah berubah jauh. Untuk mampu mencetak peserta didik seperti yang diharapkan dalam kurikulum, harus didukung oleh kelengkapan fasilitas, dan penyiapan SDM sesuai tuntutan zaman.

Permasalahan yang akan timbul dengan adanya penambahan jam pelajaran, antara lain menyangkut dana. Ini akan menyebabkan biaya operasional yang dibutuhkan sekolah untuk menjalankan program semakin besar. Harus ada solusi tepat terhadap persoalan ini. Apabila mengandalkan pembiayaan dari masyarakat (orang tua murid), sekolah akan mengalami kesulitan, mengingat segala bentuk pungutan terhadap peserta didik tidak diperbolehkan dalam aturan BOS, dan di era otonomi daerah “diharamkan” oleh Pemda. Konsekwensi lain dari penambahan jam adalah bertambahnya waktu belajar, kendala utama yang akan dihadapi adalah kebosanan siswa dalam belajar. Setiap guru harus memperhatikan hal ini, dengan kata lain siapkah guru berubah dengan pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan ?. Untuk menghadapi persoalan tersebut dapat dilakukan hal-hal berikut : a) menguasai metode pendekatan pembelajaran baik indoor maupun outdoor, agar pembelajaran dapat dilakukan selang-seling; b) melatih kemampuan dalam menerapkan strategi pembelajaran aktif. Untuk hal ini disarankan agar setiap guru membaca buku-buku terkait strategi pembelajaran aktif; dan c) melatih dalam meningkatkan metode dan teknik mengajar, agar guru dapat menjadi teman sekaligus pendidik di sekolah. Hal tersebut diharapkan dapat menghilangkan pembatas antara guru dengan siswa.

3.Perubahan Standar Proses

Cakupan standar proses ada yang menglami perubahan dan ada yang masih sama seperti dalam kurikulum 2006 tetapi lebih ditekankan lagi, terdiri dari : a) standar proses yang semua terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta; b) belajar tidak hanya terjadi di rung kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat; c) guru bukan satu-satunya sumber belajar; d) sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan; e) mata pelajaran IPA dan IPS tetap diajarkan secara terpadu; dan f) Bahasa Inggris sudah mulai diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa siswa.

Bagian yang perlu kita cermati dan diantisipasi dalam perubahan standar proses adalah menyangkut pendekatan proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan mengedepankan pendekatan pengalaman personal melalui observasi (mengamati), bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Menurut seorang pakar pendidikan, Ismunandar (2013), mengatakan : Dari berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10 -15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku kepentingan.

Berdasarkan pandangan pakar di atas, maka seyogyanya dari sebelum kurikulum 2013 benar-benar diterapkan di tingkat satuan pendidikan, pemerintah menempuh langkah strategis berupa penyiapan SDM guru secara serius dan berkesinambungan. Selain itu, guru dituntut untuk mampu mengembangkan sikap positif peserta didik melalui contoh dan teladan. Budaya menjadi contoh dan teladan harus mampu dikembangkan. Tuntutan ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi kembali ditekankan dan menjadi salah satu prioritas untuk dapat dicapai. Hal ini dilatar belakangi oleh semakin berkembangnya berbagai bentuk fenomena negatif di Indonesia. Untuk mengembangkan sikap positif siswa, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis (Ahmad Turmuzi, 2011).

Sedangkan pembelajaran terhadap dua mata pelajaran, IPA dan IPS masih sama dengan yang terdapat dalam kurikulum 2006 (KTSP), masing-masing diajarkan secara terpadu. Berarti keduanya ditetapkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah. Persoalan yang terasa mengganjal selama ini adalah tidak semua guru mau dan mampu membelajarkannya secara terpadu. Mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara terpisah, sesuai latar belakang pendidikan atau spesialisasi keilmuan yang diperolehnya di perguruan tinggi. Terhadap persoalan ini, seyogyanya pemerintah memfasilitasi untuk melakukan pembekalan secara serius dan menyeluruh bagi pengampu dua mata pelajaran ini.

4.Perubahan Standar Penilaian

Penilaian hasil belajar peserta didik dikembangkan dan diperoleh melalui lima cara, yaitu : a) penilaian berbasis kompetensi; b) pergeseran dari penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil); c) memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal); d) penilaian tidak hanya pada level KD, tetpi juga kompetensi inti dan SKL; dan e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian.

Komponen penilaian diyakini memberikan dampak nyata bagi keberhasilan pembelajaran kompetensi kepada peserta didik, maka penilaian ditempatkan pada posisi yang penting dalam rangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk dan cara penilaian dalam banyak hal memberikan pengaruh penting bagi proses pembelajaran, bagaimana guru harus membelajarkan dan bagaimana peserta didik harus belajar, dan karenanya menentukan capaian kompetensi. Penilaian otentik menekankan pengukuran hasil pembelajaran yang berupa kompetensi peserta didik untuk melakukan sesuatu, doing something, sesuai dengan mata pelajaran dan kompetensi yang dibelajarkan. Tekanan capaian kompetensi bukan pada pengetahuan yang dikuasai peserta didik, melainkan pada kemampuan peserta didik untuk menampilkan, mendemonstrasikan, atau melakukan sesuatu yang merupakan cerminan esensi pengetahuan dan kemampuan yang telah dikuasainya tersebut. Selain itu, pendemonstrasian kompetensi tersebut tidak semata-mata demi pengetahuan itu sendiri, melainkan harus sekaligus mencerminkan kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian otentik membutuhkan pembelajaran yang kontekstual, pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar yang dimaksudkan membantu guru mengaitkan bahan ajar yang dibelajarkan di kelas dengan situasi nyata di masyarakat dan sekaligus mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan perencanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian kondisi ideal guru pada penerapan penilain secara otentik dibutuhkan pengalaman pembelajaran kontekstual. Hal tersebut dapat diantisipasi sejak dini sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungan belajar masing-masing. Untuk mendukung penilaian otentik dan penilaian lainnya, setiap guru juga sejak awal perlu meyiapkan diri dengan bekal berupa pemahaman dan penerapan atau pengelolaan tentang portofolio. Karena peemanfaatan portofolio yang dibuat siswa dijadikan sebagai instrumen utama penilaian. Guru akan dihadapkan pada rutinitas penyiapan instrumen penilaian dan tumpukan-tumpukan portofolio peserta didik yang harus dinilai.

Masih dalam hubungannya dengan penilaian, penentu kebijakan sudah pada tempatnya untuk tidak merasa keberatan mengevaluasi sistem UN yang diberlakukan sekarang. Kurikulum baru menuntut penilaian pada semua ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor). Sistem UN yang diberlakukan saat ini tidak sejalan dengan tututan itu, dan perlu dirombak. Rasanya tidak perlu UN dijadikan penentu kelulusan, dan terasa aneh apabila hasil UN dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Janganlah UN “didewakan” dalam dunia pendidikan. Bila UN tetap dipertahankan, sepatutnya dicarikan formula (sistem) yang tidak lagi mengakomudir ke dua hal itu. Bila perlu penilaian sepenuhnya dikembalikan kepada guru. Merekalah yang memiliki hak utama dalam penilaian, karena lebih tahu tentang peserta didiknya. Dengan demikian para guru tidak perlu merasa dikebiri haknya dalam menilai peserta didiknya sendiri.

5.Perubahan Kegiatan Ekstrakurikuler

Perubahan lain yang mengemuka adalah menyangkut kegiatan ekstrakurikuler. Untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat memilih, seperti OSIS, UKS, PMR, dan berbagai kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah. Namun, yang wajib diikuti oleh semua siswa sebagai kegiatan ekstrakurikuler adalah Pramuka, bukan merupakan program kegiatan pilihan. Ini berarti setiap sekolah dituntut untuk menyiapkan lebih banyak tenaga pembina Pramuka untuk membina seluruh siswa, dan berarti pula dana operasional kegiatan meningkat drastis. Untuk itu, tiap-tiap satuan pendidikan harus mengantisipasi perubahan ini sejak dini.

C. MEMBANGUN PERSEPSI GURU DALAM PERUBAHAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM

Perubahan kurikulum dimaksudkan sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Perubahan tersebut merupakan konsekwensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat (Anonim, 2012). Tetapi, dalam implementasi kurikulum baru akan menibulkan perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dengan pelaku kebijakan. Pemegang kebijakan memiliki asumsi bahwa pelaku kebijakan (guru) kurang menyukai perubahan, sedangkan dari sisi guru juga meyakini bahwa pemegang kebijakan tidak memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya pembelajaran (Puskur, 2008).

Memang tidak bisa dihndari, setiap perubahan kurikulum selalu menghasilkan kontroversi di semua pihak, mulai dari praktisi sampai opini para pakar. Namun sebagai guru yang notabene hanya sebagai pelaksana, tentu tidak kuasa menolak kebijakan yang sudah menjadi ketetapan. Seperti yang diungkapkan dalam wacana koranpendidikan.com (2012), bahwa tidak berlaku pepatah, “nasi sudah menjadi bubur” dalam persoalan ini. Pemerintah sudah menetapkan pemberlakuan kurikulum 2013, sementara rakyat (para guru) adalah abdi yang sepertinya “mesti” sendiko dawuh gusti (mengabdi secara utuh). Namun di dunia demokrasi, seorang guru berhak mengkritisi dan mempertanyakannya. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tunjuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Dengan demikian perubahan kurikulum pendidikan Indonesia harus disikapi dengan bijak oleh setiap guru, terlepas dari anggapan-anggapan negatif yang berkembang di masyarakat maupun media. Anggapan bahwa perubahan kurikulum adalah pratik rutin tahunan, statemen ganti menteri ganti kurikulum, ungkapan bahwa peserta didik dijadikan sebagai kelinci percobaan kurikulum, serta besarnya biaya menjadi hal yang sering terungkap dalam perbincangan masyarakat dan media.

Untuk menghidari persepsi skeptis seperti itu di kalangan para guru terhadap kebijakan pemerintah tersebut, proses perubahan kurikulum semestinya bukan hanya persoalan sosialisasi namun juga mencakup kelengkapan sarana dan prasarana serta kesiapan SDM. Menyiapkan SDM guru harus dimulai dari upaya membangun persepsi bahwa perubahan kurikulum sebagai perbaikan mutu pendidikan. Mengingat bahwa perubahan itu biasanya menghasilkan “penolakan“ baik secara mental maupun sikap dan perilaku sehingga bisa berakhir menjadi tidak efektif dalam pelaksanaan. Maka kesan bahwa kurikulum yang baru itu sebagai upaya perbaikan mutu kurikulum yang sebelumnya, lebih mudah diterapkan, lebih gampang diingat, lebih singkat, jelas dan tidak ribet serta membela kepentingan terbaik peserta didik harus menjadi pilar utama dalam strategi penyampaian atau mempublikasikannya kepada para guru. Pola pikir menentukan situasi emosi dan perilaku dalam pelaksanaan tugas membangun persepsi positif atas perubahan kurikulum harus didahulukan dalam proses sosialisasi sebelum sosialisasi pelaksanaan teknis. Salah warisan penyakit mental adalah zona nyaman dan malas melakukan perubahan. Karena itu memotivasi, membangun persepsi serta keterampilan bahwa perubahan kurikulum adalah upaya efektivitas kegiatan pembelajaran harus dapat dihayati secara mendalam oleh para guru kita.

Pada umumnya mendengar kata penggantian, maka persepsi yang terbangun adalah mengganti semua yang ada dan mengabaikan semua hasil yang telah dicapai. Dengan menggunakan kata memperbaiki mutu maka persepsi yang terbangun adalah mempertahankan hasil baik yang telah dicapai dan menambah dengan sesuatu yang baru agar menjadi lebih baik. Disamping itu, setiap guru diarahkan untuk memahami perubahan kurikulum secara utuh, tidak dipahami secara parsial, dengan memperhatikan beberapa hal berikut : 1) proses belajar yang terjadi pada masa lalu juga terjadi pada masa sekarang walaupun dengan intensitas yang berbeda; 2) guru sebagai pengontrol dominan dalam pembelajaran dicerminkan oleh transformasi nilai pada siswanya; 3) setiap kurikulum memberikan bekas tertentu pada pembelajaran; 4) pembelajaran yang kompleks lebih umum daripada pembelajaran yang sederhana; 5) pembelajaran sekarang tidak akan berhasil baik jika tidak memperhatikan pembelajaran yang lalu; dan 6) perubahan-perubahan kurikulum di dunia diperlukan untuk mengetahui perbedaan pembelajaran.

Persepsi positif di kalangan para guru dalam implementasi kurikulum akan dapat lebih terbentuk lagi apabila menggunakan role model. Menggunakan contoh sekolah yang sudah memahami dan dapat melaksanakan dengan baik hingga berhasil atas pelaksanaan kurikulum akan memperkuat keyakinan bahwa tidak ada yang sulit dan perlu ditakuti akan adanya perubahan kurikulum. Sekaligus sekolah bersangkutan dapat belajar secara langsung terhadap keberhasilan sekolah yang telah melaksanakan kurikulum tersebut, sebagai transfer of knowledge and transfer of experiences. Meskipun tentu saja harus memperhitungkan diversity, antropologi budaya masyarakat setempat, kelengkapan sarana dan prasarana, mutu SDM dan tentu saja integrity dan citra role model tersebut harus kredibel. Dengan pendekatan role model berarti sebelum kurikulum baru tersebut diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas, terlebih dahulu diimplementasikan kepada para guru. Hal ini sejalan dengan penilaian seorang pengamat pendidikan, Prof. Soedijarto, bahwa hal terpenting dalam perubahan kurikulum adalah implementasi dalam kegiatan belajar mengajar. Pertanyaan besarnya adalah apakah guru yang mengajar sudah mengerti dengan kurikulum baru yang akan diterapkan atau tidak ? Selayaknya sebelum disosialisasikan kepada anak didik kurikulum baru tersebut nantinya diimplementasikan ke kalangan tenaga pengajar. Mereka pun harus benar-benar paham dengan kurikulum baru ini, agar kualitas guru semakin tinggi (okezone.com, 2012).

Berdasrkan paparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Perubuhan kurikulum berkait dengan perubahan pradigma pembelajaran. Perubahan pradigma baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru, dimana mereka perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran bagi guru yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi dimaksud apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal (Puskur, 2008).

Untuk itu setiap guru perlu ditingkatkan kemampuan atau profesionalnya dalam rangka mengimplementasikan kurikulum 2013. Dalam dokumen uji publik kurikulum 2013, telah ditetapkan bahwa untuk menyiapkan implementasi akan dilakukan training pada para guru. Tetapi belum ditetapkan model (bentuk) pelaksanaannya. Pelatihan yang harus diberikan kapada guru agar dapat mengimplementasikan pembelajaran yang diharapkan, adalah pelatihan yang menggunakan pendekatan yang sama dengan cara pembelajaran yang diharapkan akan terjadi di kelas nantinya. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan inkuiri, sesuai dengan tuntutan kurikulum baru. Dalam pelatihan model ini, setiap guru minimal dibekali dengan pengalaman yang memungkinkannya untuk : (i) melakukan sendiri kegiatan inkuiri, (ii) mendapatkan pengalaman langsung bagaimana pembelajaran terjadi (how people learn) dan peran guru dalam pembelajaran inkuiri. Selain itu dalam pelatihan harus dimasukkan juga berbagai metoda assessment yang tepat untuk memonitor kemampuan siswa dalam kemampuan-kemampuan inkuiri. Kegiatan lanjutan pasca pelatihan dapat berupa dukungan dan kunjungan tim ahli, penyediaan sumber belajar online (Ismunandar, 2013). Namun perlu diingat dan ditekankan, agar pelatihan yang dilakukan melibatkan seluruh guru, bukan sebagian kecil saja. Pelatihan dirancang dengan sebaik-baiknya, dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan berkesinambungan. Sehingga mampu merangsang peningkatan profesional guru secara optimal. Intinya agar pembelajaran yang diharapkan dapat berlangsung berkelanjutan diperlukan perubahan budaya dari pelatihan yang bersifat top down menjadi kebutuhan para guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya (bottom up) (Ismunandar, 2013).

D.KESIMPULAN

Kurikulum baru berbasis sains yang akan mulai diterapkan pada Juni 2013 nanti, melalui pengembangan SKL yang meningkat dan seimbang antara soft skills dan hard skills, bertujuan untuk mengasah tiga kompetensi anak, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Perubahan kurikulum 2013 untuk tingkat satuan pendidikan SMP yang mendasar terdapat dalam standar isi, terutama pada struktur kurikulum, yang ditandai dengan pengurangan jumlah mata pelajaran dan pengintegrasiannya ke mata pelajaran lain, serta penambahan jam belajar. Dalam aspek perubahan ini, terdapat persoalan yang dihadapi oleh sekolah, yang harus diantisipasi dan dicarikan solusinya, antara lain menyakut masih kurangnya fasilitas pendukung, pendanaan, SDM guru, dan kesiapan peserta didik.

Perubahan mencolok lainnya juga terdapat pada standar proses, yaitu berkaitan dengan pendekatan proses pembelajaran, dan adanya penekanan pengembangan sikap peserta didik. Pendekatan proses pembelajaran dalam kurikulum baru lebih mengedepankan pengalaman personal. Sementara pengembangan sikap positif peserta didik, ditekankan pada pengembangan dan pemberian contoh dan teladan dari guru terhadap peserta didik. Perubahan ini menuntut adanya kesiapan guru. Kesiapan guru juga dituntut terhadap pengampu mata pelajaran IPA dan IPS untuk mampu membelajarkannya secara terpadu, bukan terpisah berdasarkan disiplin ilmu. Kurikulum 2013 juga menuntut adanya keseimbangan penilaian antara penilain melalui tes dan portofolio. Penilaian harus dilakukan secara otentik untuk mengukur semua kompetensi peserta didik, dengan menggunakan instrumen utama penilaian adalah portofolio yang dibuat oleh siswa. Berarti dituntut adanya keseimbangan antara proses dan hasil.

Disamping itu, dalam kurikulum 2013 ditetapkan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib bagi semua peserta didik, yang dimaksudkan untuk dapat mengenmbangkan karakter atau sikap positif mereka. Dalam setiap perubahan kurikulum, termasuk kurikulum 2013, selalu terdapat sikap pro dan kontra dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam situasi dan konsisi seperti itu, pemerintah hendaknya mampu membangun persepsi positif guru dalam perubahan dan implementasi kurikulum baru ini. Karena berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh guru. Setiap guru hendaknya mampu digerakkan untuk bersikap terbuka terhadap perubahan dan melek kurikulum, baik melalui sosialisasi yang intensif maupun menggunakan pendekatan role model.

Guru juga harus dibekali melalui pelatihan yang baik, berdaya dan berhasil guna, dengan menggunakan pendekatan inkuiri yang dilengkapi metode assessment dan tindak lanjutnya. Dengan demikian, kurikulum 2013 tidak hanya sekedar bagus dalam tataran konsep, tetapi juga tidak rapuh dalam implementasinya di sekolah. Bagaimana pun tidak ada kepentingan yang lebih utama atas perubahan kurikulum kecuali kepentingan terbaik anak bangsa.

Jerowaru, 23 Januari 2013

Aku bukanlah siapa-siapa, hanyalah setetes embun dari padang rumput yang tandus. “Selamat menyongsong kurikulum 2013, semoga Anda sukses”.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Turmuzi, 2011. Peranan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/28/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikan-karakter-di-sekolah-405139.html. Diakses 17 Januari 2013.

Anonim, 2012. Sejarah Perkembangan Kurikulum Di Indonesia. http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Revisi_Bahan_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD/UNIT-_PERKEMBANGAN_KURIKULUM_.pdf. Di akses 20 Januari 2013.

Ismunandar, 2013, Pelatihan Guru Menyiapkan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-pelatihan-guru. Di akses 17 Januari 2013.

Kemdikbud, 2012. Pengembangan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2. Di akses 17 Januari 2013.

Kompas.com. Mendikbud : Kurikulum 2013 Tidak Bisa Ditunda. http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/13/16154770/Mendikbud.Kurikulum.2013.Tidak.Bisa.Ditunda. Di akses 19 Januari 2013.

Koranpendidikan.com, 2012. Menatap Asa Kurikulum 2013. http://wacana.koranpendidikan.com/view/2522/menatap-asa-kurikulum-2013.html. Diakses 17 Januari 2013.

Okezone.com, 2012. Guru Harus Pahami Kurikulum Baru. http://kampus.okezone.com/read/2012/11/26/373/723366/guru-harus pahami-kurikulum-baru. Di akses 20 Januari 2013.

Puskur, 2008. Laporan Kajian Penididikan Menengah. Balitbang Departemen Pendidikan Nasional.
Klik Untuk melihat
A.PENDAHULUAN

Menjelang berakhirnya tahun 2012, kembali ada suatu persoalan yang tiba-tiba menyeruak kepermukaan dan mencuri perhatian hampir seluruh bangsa Indonesia, karena masalah ini terkait dengan kepentingan yang paling dasar bagi setiap individu, yaitu masalah pendidikan. Pemerintah, melalui Kemdikbud kembali melakukan perombakan kurikulum mulai dari tingkat SD sampai dengan SMA. Kurikulum baru ini akan mulai diterapkan pada Juni 2013.

Meskipun masih banyak pro dan kontra, pelaksanaan kurikulum baru sudah tidak ada lagi tawar-menawar. Mendikbud dengan tegas mengatakan, bahwa pelaksanaaan kurikulum 2013 yang direncanakan pemerintah mulai tahun ajaran baru nanti tidak bisa ditunda. Sebab, persoalan pendidikan Indonesia menghadapi masalah penting dan genting (kompas.com, 2013). Oleh karena, pelaksanaannya tidak bisa ditawar-tawar lagi, maka setiap guru dituntut untuk melek kurikulum. Memiliki persepsi positif dan mengambil sikap untuk merespon lebih awal terkait dengan perubahan kurikulum, memahami tujuan, mengetahui elemen perubahan, serta isu-isu terkait rancangan struktur kurikulum dapat memberikan bekal awal bagi guru dalam menyongsong penerapan kurikulum 2013. Pengembangan pemahaman (profesional) guru terhadap kurikulum baru, harus pula didukung secara penuh oleh pemerintah. Memfasilitasi para guru dalam pelatihan yang tepat dan bermakna, sudah menjadi kewajiban pemerintah.


B.KURIKULUM SMP 2013 : APA SAJA YANG BERUBAH ?

Perubahan kurikulum pendidikan nasional akan berimbas pada perubahan beberapa elemen yang terdapat dalam kurikulum. Elemen-elemen yang berubah dalam kurikulum 2013, yaitu kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, serta kegiatan ekstrakurikuler. Kelima elemen perubahan ini, diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA (Kemdikbud, 2012).

Perubahan kurikulum untuk jenjang pendidikan SMP, dapat dijabarkan berikut ini.

1.Perubahan SKL

Kompetensi lulusan jenjang pendidikan SMP, sama halnya dengan jenjang pendidikan SD dan SMA, adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills dengan mengasah tiga kompetensi anak (ranah), yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

2.Perubahan Standar Isi

Aspek-aspek standar isi untuk jenjang pendidikan SMP yang mengalami perubahan, adalah kedudukan mata pelajaran, serta struktur kurikulum (mata pelajaran dan alokasi waktu). Bentuk perubahan aspek kedudukan mata pelajaran adalah kompetensi yang semula diturunkan dari mata pelajaran berubah menjadi mata pelajaran dikembangkan dari kompetensi. Pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi tersebut sama dengan kurikulum 2006, dilakukan melalui mata pelajaran. Sedangkan struktur kurikulum yang mengalami perubahan, yaitu : a) TIK menjadi media semua mata pelajaran, dan tidak lagi berdiri sendiri menjadi mata pelejaran; b) pengembangan diri terintegrasi pada setiap mata pelajaran dan ekstrakurikuler; c) jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10; d) mata pelajaran muatan lokal diintegrasikan (masuk) ke mata pelajaran seni budaya, penjaskes, dan prakarya; dan e) Jumlah jam bertambah 6 jam pelajaran/minggu akibat perubahan pendekatan pembelajaran. Jika sebelumnya siswa belajar selama 32 jam, maka nanti mereka akan belajar selama 38 jam di sekolah. Untuk lebih memperjelas tentang struktur kurikulum SMP 2013, berikut disajikan tabel struktur kurikulum yang akan diterapkan.
                                      Sumber : Kemdikbud, 2012.

Perubahan mendasar dalam struktur kurikulum SMP, adalah adanya pengurangan jumlah mata pelajaran, dan penambahan jam belajar. Terdapat beberapa permasalahan yang akan muncul dengan terjadinya perubahan ini. Misalnya, dalam hubungannya dengan TIK yang dijadikan sebagai media pelajaran untuk semua mata pelajaran, muncul persoalan bahwa belum semua sekolah memiliki sarana dan prsarana teknologi informasi yang lengkap dan memadai, dan belum semua guru telah mengusai teknologi informasi. Oleh karena itu, sebelum penerapan kurikulum 2013 secara menyeluruh, terlebih dahulu pemerintah melengkapi fasilitas pendidikan, dan penyiapan SDM. Hal ini tidak saja dalam kaitannya dengan teknologi informasi, tetapi juga dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan dalam arti yang lebih luas. Masih banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas sesuai dengan tuntutan dalam standar sarana dan prasarana. Selama ini, tidak sedikit pula guru yang belum pernah mendapat pelatihan, dan sebagian dari guru yang pernah mengikutinya belum merasakan manfaatnya secara optimal untuk menunjang pelaksanaan profesionalnya. Setiap guru tentu berkeinginan bisa seperti Ibu Guru Muslimah yang dapat membuat seorang Andrea Hirata berani untuk bermimpi dan mampu mewujudkan mimpi-mimpinya dan menjadi seorang ahli sastra yang mendapatkan banyak pujian dari berbagai penjuru dunia untuk semua karyanya. Tetapi zaman telah berubah jauh. Untuk mampu mencetak peserta didik seperti yang diharapkan dalam kurikulum, harus didukung oleh kelengkapan fasilitas, dan penyiapan SDM sesuai tuntutan zaman.

Permasalahan yang akan timbul dengan adanya penambahan jam pelajaran, antara lain menyangkut dana. Ini akan menyebabkan biaya operasional yang dibutuhkan sekolah untuk menjalankan program semakin besar. Harus ada solusi tepat terhadap persoalan ini. Apabila mengandalkan pembiayaan dari masyarakat (orang tua murid), sekolah akan mengalami kesulitan, mengingat segala bentuk pungutan terhadap peserta didik tidak diperbolehkan dalam aturan BOS, dan di era otonomi daerah “diharamkan” oleh Pemda. Konsekwensi lain dari penambahan jam adalah bertambahnya waktu belajar, kendala utama yang akan dihadapi adalah kebosanan siswa dalam belajar. Setiap guru harus memperhatikan hal ini, dengan kata lain siapkah guru berubah dengan pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan ?. Untuk menghadapi persoalan tersebut dapat dilakukan hal-hal berikut : a) menguasai metode pendekatan pembelajaran baik indoor maupun outdoor, agar pembelajaran dapat dilakukan selang-seling; b) melatih kemampuan dalam menerapkan strategi pembelajaran aktif. Untuk hal ini disarankan agar setiap guru membaca buku-buku terkait strategi pembelajaran aktif; dan c) melatih dalam meningkatkan metode dan teknik mengajar, agar guru dapat menjadi teman sekaligus pendidik di sekolah. Hal tersebut diharapkan dapat menghilangkan pembatas antara guru dengan siswa.

3.Perubahan Standar Proses

Cakupan standar proses ada yang menglami perubahan dan ada yang masih sama seperti dalam kurikulum 2006 tetapi lebih ditekankan lagi, terdiri dari : a) standar proses yang semua terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta; b) belajar tidak hanya terjadi di rung kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat; c) guru bukan satu-satunya sumber belajar; d) sikap tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan teladan; e) mata pelajaran IPA dan IPS tetap diajarkan secara terpadu; dan f) Bahasa Inggris sudah mulai diajarkan untuk membentuk keterampilan berbahasa siswa.

Bagian yang perlu kita cermati dan diantisipasi dalam perubahan standar proses adalah menyangkut pendekatan proses pembelajaran. Proses pembelajaran akan mengedepankan pendekatan pengalaman personal melalui observasi (mengamati), bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Menurut seorang pakar pendidikan, Ismunandar (2013), mengatakan : Dari berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10 -15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku kepentingan.

Berdasarkan pandangan pakar di atas, maka seyogyanya dari sebelum kurikulum 2013 benar-benar diterapkan di tingkat satuan pendidikan, pemerintah menempuh langkah strategis berupa penyiapan SDM guru secara serius dan berkesinambungan. Selain itu, guru dituntut untuk mampu mengembangkan sikap positif peserta didik melalui contoh dan teladan. Budaya menjadi contoh dan teladan harus mampu dikembangkan. Tuntutan ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi kembali ditekankan dan menjadi salah satu prioritas untuk dapat dicapai. Hal ini dilatar belakangi oleh semakin berkembangnya berbagai bentuk fenomena negatif di Indonesia. Untuk mengembangkan sikap positif siswa, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru atau menjadi idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inspirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap dan prilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis (Ahmad Turmuzi, 2011).

Sedangkan pembelajaran terhadap dua mata pelajaran, IPA dan IPS masih sama dengan yang terdapat dalam kurikulum 2006 (KTSP), masing-masing diajarkan secara terpadu. Berarti keduanya ditetapkan sebagai mata pelajaran integrative science dan integrative social studies, bukan sebagai pendidikan disiplin ilmu yang diajarkan secara terpisah. Persoalan yang terasa mengganjal selama ini adalah tidak semua guru mau dan mampu membelajarkannya secara terpadu. Mereka lebih cenderung untuk mengajarkannya secara terpisah, sesuai latar belakang pendidikan atau spesialisasi keilmuan yang diperolehnya di perguruan tinggi. Terhadap persoalan ini, seyogyanya pemerintah memfasilitasi untuk melakukan pembekalan secara serius dan menyeluruh bagi pengampu dua mata pelajaran ini.

4.Perubahan Standar Penilaian

Penilaian hasil belajar peserta didik dikembangkan dan diperoleh melalui lima cara, yaitu : a) penilaian berbasis kompetensi; b) pergeseran dari penilaian melalui tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan berdasarkan proses dan hasil); c) memperkuat PAP (Penilaian Acuan Patokan) yaitu pencapaian hasil belajar didasarkan pada posisi skor yang diperolehnya terhadap skor ideal (maksimal); d) penilaian tidak hanya pada level KD, tetpi juga kompetensi inti dan SKL; dan e) mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama penilaian.

Komponen penilaian diyakini memberikan dampak nyata bagi keberhasilan pembelajaran kompetensi kepada peserta didik, maka penilaian ditempatkan pada posisi yang penting dalam rangkaian kegiatan pembelajaran. Bentuk dan cara penilaian dalam banyak hal memberikan pengaruh penting bagi proses pembelajaran, bagaimana guru harus membelajarkan dan bagaimana peserta didik harus belajar, dan karenanya menentukan capaian kompetensi. Penilaian otentik menekankan pengukuran hasil pembelajaran yang berupa kompetensi peserta didik untuk melakukan sesuatu, doing something, sesuai dengan mata pelajaran dan kompetensi yang dibelajarkan. Tekanan capaian kompetensi bukan pada pengetahuan yang dikuasai peserta didik, melainkan pada kemampuan peserta didik untuk menampilkan, mendemonstrasikan, atau melakukan sesuatu yang merupakan cerminan esensi pengetahuan dan kemampuan yang telah dikuasainya tersebut. Selain itu, pendemonstrasian kompetensi tersebut tidak semata-mata demi pengetahuan itu sendiri, melainkan harus sekaligus mencerminkan kebutuhan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Penilaian otentik membutuhkan pembelajaran yang kontekstual, pembelajaran kontekstual merupakan sebuah konsep belajar yang dimaksudkan membantu guru mengaitkan bahan ajar yang dibelajarkan di kelas dengan situasi nyata di masyarakat dan sekaligus mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan perencanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian kondisi ideal guru pada penerapan penilain secara otentik dibutuhkan pengalaman pembelajaran kontekstual. Hal tersebut dapat diantisipasi sejak dini sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungan belajar masing-masing. Untuk mendukung penilaian otentik dan penilaian lainnya, setiap guru juga sejak awal perlu meyiapkan diri dengan bekal berupa pemahaman dan penerapan atau pengelolaan tentang portofolio. Karena peemanfaatan portofolio yang dibuat siswa dijadikan sebagai instrumen utama penilaian. Guru akan dihadapkan pada rutinitas penyiapan instrumen penilaian dan tumpukan-tumpukan portofolio peserta didik yang harus dinilai.

Masih dalam hubungannya dengan penilaian, penentu kebijakan sudah pada tempatnya untuk tidak merasa keberatan mengevaluasi sistem UN yang diberlakukan sekarang. Kurikulum baru menuntut penilaian pada semua ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor). Sistem UN yang diberlakukan saat ini tidak sejalan dengan tututan itu, dan perlu dirombak. Rasanya tidak perlu UN dijadikan penentu kelulusan, dan terasa aneh apabila hasil UN dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Janganlah UN “didewakan” dalam dunia pendidikan. Bila UN tetap dipertahankan, sepatutnya dicarikan formula (sistem) yang tidak lagi mengakomudir ke dua hal itu. Bila perlu penilaian sepenuhnya dikembalikan kepada guru. Merekalah yang memiliki hak utama dalam penilaian, karena lebih tahu tentang peserta didiknya. Dengan demikian para guru tidak perlu merasa dikebiri haknya dalam menilai peserta didiknya sendiri.

5.Perubahan Kegiatan Ekstrakurikuler

Perubahan lain yang mengemuka adalah menyangkut kegiatan ekstrakurikuler. Untuk kegiatan ekstrakurikuler siswa dapat memilih, seperti OSIS, UKS, PMR, dan berbagai kegiatan yang ditawarkan oleh sekolah. Namun, yang wajib diikuti oleh semua siswa sebagai kegiatan ekstrakurikuler adalah Pramuka, bukan merupakan program kegiatan pilihan. Ini berarti setiap sekolah dituntut untuk menyiapkan lebih banyak tenaga pembina Pramuka untuk membina seluruh siswa, dan berarti pula dana operasional kegiatan meningkat drastis. Untuk itu, tiap-tiap satuan pendidikan harus mengantisipasi perubahan ini sejak dini.

C. MEMBANGUN PERSEPSI GURU DALAM PERUBAHAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM

Perubahan kurikulum dimaksudkan sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Perubahan tersebut merupakan konsekwensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat (Anonim, 2012). Tetapi, dalam implementasi kurikulum baru akan menibulkan perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dengan pelaku kebijakan. Pemegang kebijakan memiliki asumsi bahwa pelaku kebijakan (guru) kurang menyukai perubahan, sedangkan dari sisi guru juga meyakini bahwa pemegang kebijakan tidak memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya pembelajaran (Puskur, 2008).

Memang tidak bisa dihndari, setiap perubahan kurikulum selalu menghasilkan kontroversi di semua pihak, mulai dari praktisi sampai opini para pakar. Namun sebagai guru yang notabene hanya sebagai pelaksana, tentu tidak kuasa menolak kebijakan yang sudah menjadi ketetapan. Seperti yang diungkapkan dalam wacana koranpendidikan.com (2012), bahwa tidak berlaku pepatah, “nasi sudah menjadi bubur” dalam persoalan ini. Pemerintah sudah menetapkan pemberlakuan kurikulum 2013, sementara rakyat (para guru) adalah abdi yang sepertinya “mesti” sendiko dawuh gusti (mengabdi secara utuh). Namun di dunia demokrasi, seorang guru berhak mengkritisi dan mempertanyakannya. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada penekanan pokok dari tunjuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya. Dengan demikian perubahan kurikulum pendidikan Indonesia harus disikapi dengan bijak oleh setiap guru, terlepas dari anggapan-anggapan negatif yang berkembang di masyarakat maupun media. Anggapan bahwa perubahan kurikulum adalah pratik rutin tahunan, statemen ganti menteri ganti kurikulum, ungkapan bahwa peserta didik dijadikan sebagai kelinci percobaan kurikulum, serta besarnya biaya menjadi hal yang sering terungkap dalam perbincangan masyarakat dan media.

Untuk menghidari persepsi skeptis seperti itu di kalangan para guru terhadap kebijakan pemerintah tersebut, proses perubahan kurikulum semestinya bukan hanya persoalan sosialisasi namun juga mencakup kelengkapan sarana dan prasarana serta kesiapan SDM. Menyiapkan SDM guru harus dimulai dari upaya membangun persepsi bahwa perubahan kurikulum sebagai perbaikan mutu pendidikan. Mengingat bahwa perubahan itu biasanya menghasilkan “penolakan“ baik secara mental maupun sikap dan perilaku sehingga bisa berakhir menjadi tidak efektif dalam pelaksanaan. Maka kesan bahwa kurikulum yang baru itu sebagai upaya perbaikan mutu kurikulum yang sebelumnya, lebih mudah diterapkan, lebih gampang diingat, lebih singkat, jelas dan tidak ribet serta membela kepentingan terbaik peserta didik harus menjadi pilar utama dalam strategi penyampaian atau mempublikasikannya kepada para guru. Pola pikir menentukan situasi emosi dan perilaku dalam pelaksanaan tugas membangun persepsi positif atas perubahan kurikulum harus didahulukan dalam proses sosialisasi sebelum sosialisasi pelaksanaan teknis. Salah warisan penyakit mental adalah zona nyaman dan malas melakukan perubahan. Karena itu memotivasi, membangun persepsi serta keterampilan bahwa perubahan kurikulum adalah upaya efektivitas kegiatan pembelajaran harus dapat dihayati secara mendalam oleh para guru kita.

Pada umumnya mendengar kata penggantian, maka persepsi yang terbangun adalah mengganti semua yang ada dan mengabaikan semua hasil yang telah dicapai. Dengan menggunakan kata memperbaiki mutu maka persepsi yang terbangun adalah mempertahankan hasil baik yang telah dicapai dan menambah dengan sesuatu yang baru agar menjadi lebih baik. Disamping itu, setiap guru diarahkan untuk memahami perubahan kurikulum secara utuh, tidak dipahami secara parsial, dengan memperhatikan beberapa hal berikut : 1) proses belajar yang terjadi pada masa lalu juga terjadi pada masa sekarang walaupun dengan intensitas yang berbeda; 2) guru sebagai pengontrol dominan dalam pembelajaran dicerminkan oleh transformasi nilai pada siswanya; 3) setiap kurikulum memberikan bekas tertentu pada pembelajaran; 4) pembelajaran yang kompleks lebih umum daripada pembelajaran yang sederhana; 5) pembelajaran sekarang tidak akan berhasil baik jika tidak memperhatikan pembelajaran yang lalu; dan 6) perubahan-perubahan kurikulum di dunia diperlukan untuk mengetahui perbedaan pembelajaran.

Persepsi positif di kalangan para guru dalam implementasi kurikulum akan dapat lebih terbentuk lagi apabila menggunakan role model. Menggunakan contoh sekolah yang sudah memahami dan dapat melaksanakan dengan baik hingga berhasil atas pelaksanaan kurikulum akan memperkuat keyakinan bahwa tidak ada yang sulit dan perlu ditakuti akan adanya perubahan kurikulum. Sekaligus sekolah bersangkutan dapat belajar secara langsung terhadap keberhasilan sekolah yang telah melaksanakan kurikulum tersebut, sebagai transfer of knowledge and transfer of experiences. Meskipun tentu saja harus memperhitungkan diversity, antropologi budaya masyarakat setempat, kelengkapan sarana dan prasarana, mutu SDM dan tentu saja integrity dan citra role model tersebut harus kredibel. Dengan pendekatan role model berarti sebelum kurikulum baru tersebut diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran di kelas, terlebih dahulu diimplementasikan kepada para guru. Hal ini sejalan dengan penilaian seorang pengamat pendidikan, Prof. Soedijarto, bahwa hal terpenting dalam perubahan kurikulum adalah implementasi dalam kegiatan belajar mengajar. Pertanyaan besarnya adalah apakah guru yang mengajar sudah mengerti dengan kurikulum baru yang akan diterapkan atau tidak ? Selayaknya sebelum disosialisasikan kepada anak didik kurikulum baru tersebut nantinya diimplementasikan ke kalangan tenaga pengajar. Mereka pun harus benar-benar paham dengan kurikulum baru ini, agar kualitas guru semakin tinggi (okezone.com, 2012).

Berdasrkan paparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Perubuhan kurikulum berkait dengan perubahan pradigma pembelajaran. Perubahan pradigma baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru, dimana mereka perlu melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran bagi guru yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi dimaksud apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal (Puskur, 2008).

Untuk itu setiap guru perlu ditingkatkan kemampuan atau profesionalnya dalam rangka mengimplementasikan kurikulum 2013. Dalam dokumen uji publik kurikulum 2013, telah ditetapkan bahwa untuk menyiapkan implementasi akan dilakukan training pada para guru. Tetapi belum ditetapkan model (bentuk) pelaksanaannya. Pelatihan yang harus diberikan kapada guru agar dapat mengimplementasikan pembelajaran yang diharapkan, adalah pelatihan yang menggunakan pendekatan yang sama dengan cara pembelajaran yang diharapkan akan terjadi di kelas nantinya. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan inkuiri, sesuai dengan tuntutan kurikulum baru. Dalam pelatihan model ini, setiap guru minimal dibekali dengan pengalaman yang memungkinkannya untuk : (i) melakukan sendiri kegiatan inkuiri, (ii) mendapatkan pengalaman langsung bagaimana pembelajaran terjadi (how people learn) dan peran guru dalam pembelajaran inkuiri. Selain itu dalam pelatihan harus dimasukkan juga berbagai metoda assessment yang tepat untuk memonitor kemampuan siswa dalam kemampuan-kemampuan inkuiri. Kegiatan lanjutan pasca pelatihan dapat berupa dukungan dan kunjungan tim ahli, penyediaan sumber belajar online (Ismunandar, 2013). Namun perlu diingat dan ditekankan, agar pelatihan yang dilakukan melibatkan seluruh guru, bukan sebagian kecil saja. Pelatihan dirancang dengan sebaik-baiknya, dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan berkesinambungan. Sehingga mampu merangsang peningkatan profesional guru secara optimal. Intinya agar pembelajaran yang diharapkan dapat berlangsung berkelanjutan diperlukan perubahan budaya dari pelatihan yang bersifat top down menjadi kebutuhan para guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya (bottom up) (Ismunandar, 2013).

D.KESIMPULAN

Kurikulum baru berbasis sains yang akan mulai diterapkan pada Juni 2013 nanti, melalui pengembangan SKL yang meningkat dan seimbang antara soft skills dan hard skills, bertujuan untuk mengasah tiga kompetensi anak, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Perubahan kurikulum 2013 untuk tingkat satuan pendidikan SMP yang mendasar terdapat dalam standar isi, terutama pada struktur kurikulum, yang ditandai dengan pengurangan jumlah mata pelajaran dan pengintegrasiannya ke mata pelajaran lain, serta penambahan jam belajar. Dalam aspek perubahan ini, terdapat persoalan yang dihadapi oleh sekolah, yang harus diantisipasi dan dicarikan solusinya, antara lain menyakut masih kurangnya fasilitas pendukung, pendanaan, SDM guru, dan kesiapan peserta didik.

Perubahan mencolok lainnya juga terdapat pada standar proses, yaitu berkaitan dengan pendekatan proses pembelajaran, dan adanya penekanan pengembangan sikap peserta didik. Pendekatan proses pembelajaran dalam kurikulum baru lebih mengedepankan pengalaman personal. Sementara pengembangan sikap positif peserta didik, ditekankan pada pengembangan dan pemberian contoh dan teladan dari guru terhadap peserta didik. Perubahan ini menuntut adanya kesiapan guru. Kesiapan guru juga dituntut terhadap pengampu mata pelajaran IPA dan IPS untuk mampu membelajarkannya secara terpadu, bukan terpisah berdasarkan disiplin ilmu. Kurikulum 2013 juga menuntut adanya keseimbangan penilaian antara penilain melalui tes dan portofolio. Penilaian harus dilakukan secara otentik untuk mengukur semua kompetensi peserta didik, dengan menggunakan instrumen utama penilaian adalah portofolio yang dibuat oleh siswa. Berarti dituntut adanya keseimbangan antara proses dan hasil.

Disamping itu, dalam kurikulum 2013 ditetapkan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib bagi semua peserta didik, yang dimaksudkan untuk dapat mengenmbangkan karakter atau sikap positif mereka. Dalam setiap perubahan kurikulum, termasuk kurikulum 2013, selalu terdapat sikap pro dan kontra dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam situasi dan konsisi seperti itu, pemerintah hendaknya mampu membangun persepsi positif guru dalam perubahan dan implementasi kurikulum baru ini. Karena berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh guru. Setiap guru hendaknya mampu digerakkan untuk bersikap terbuka terhadap perubahan dan melek kurikulum, baik melalui sosialisasi yang intensif maupun menggunakan pendekatan role model.

Guru juga harus dibekali melalui pelatihan yang baik, berdaya dan berhasil guna, dengan menggunakan pendekatan inkuiri yang dilengkapi metode assessment dan tindak lanjutnya. Dengan demikian, kurikulum 2013 tidak hanya sekedar bagus dalam tataran konsep, tetapi juga tidak rapuh dalam implementasinya di sekolah. Bagaimana pun tidak ada kepentingan yang lebih utama atas perubahan kurikulum kecuali kepentingan terbaik anak bangsa.

Jerowaru, 23 Januari 2013

Aku bukanlah siapa-siapa, hanyalah setetes embun dari padang rumput yang tandus. “Selamat menyongsong kurikulum 2013, semoga Anda sukses”.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Turmuzi, 2011. Peranan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/28/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikan-karakter-di-sekolah-405139.html. Diakses 17 Januari 2013.

Anonim, 2012. Sejarah Perkembangan Kurikulum Di Indonesia. http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Revisi_Bahan_Ajar_Cetak/BAC_Pengkur_SD/UNIT-_PERKEMBANGAN_KURIKULUM_.pdf. Di akses 20 Januari 2013.

Ismunandar, 2013, Pelatihan Guru Menyiapkan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/artikel-pelatihan-guru. Di akses 17 Januari 2013.

Kemdikbud, 2012. Pengembangan Kurikulum 2013. http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-2. Di akses 17 Januari 2013.

Kompas.com. Mendikbud : Kurikulum 2013 Tidak Bisa Ditunda. http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/13/16154770/Mendikbud.Kurikulum.2013.Tidak.Bisa.Ditunda. Di akses 19 Januari 2013.

Koranpendidikan.com, 2012. Menatap Asa Kurikulum 2013. http://wacana.koranpendidikan.com/view/2522/menatap-asa-kurikulum-2013.html. Diakses 17 Januari 2013.

Okezone.com, 2012. Guru Harus Pahami Kurikulum Baru. http://kampus.okezone.com/read/2012/11/26/373/723366/guru-harus pahami-kurikulum-baru. Di akses 20 Januari 2013.

Puskur, 2008. Laporan Kajian Penididikan Menengah. Balitbang Departemen Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukan komentar Anda, tapi pergunakan bahasa yang sopan dan jangan tinggalkan spam.